Serunai.co

Sekapur Sirih

Idha Saraswati

Untitled (Bambang Nurdiansyah, 2016)

Untitled (Bambang Nurdiansyah, 2016)Untitled (Bambang Nurdiansyah, 2016)

Oleh Idha Saraswati

Akhir Januari 2016, di sebuah bangku panjang di halaman belakang sebuah warung makan, sekitar 50 meter dari kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, empat sekawan berkumpul. Waktu itu jam makan siang. Di atas meja ada nasi rames, tempe goreng, es jeruk dan susu cokelat. Namun menu utama siang itu adalah pertanyaan tentang nama.

“Apa ya nama yang cocok, yang tidak keinggris-inggrisan tetapi juga tidak jawa banget,” kata salah seorang di antara mereka.

“Nama-nama seperti tifa itu bagus ya, tapi itu sudah dipakai,” ujar salah seorang lainnya sambil mengaduk-aduk gelas berisi es susu cokelat dengan gagang sedotan.

“Eh tifa itu alat musik kan, gimana kalau kita cari aja nama-nama alat musik tradisional di Indonesia,” timpal orang berikutnya.

Mereka berempat setuju pada usul terakhir. Mengandalkan telepon seluler masing-masing, mereka pun mulai mencari nama alat musik tradisional di mesin pencari.

Sekitar 30 menit kemudian, nasi rames di atas piring sudah habis dilahap mulut-mulut lapar. Sisa minuman di dalam gelas kurang dari separuh. Bangku panjang di sebelah mereka sudah berganti penghuni.

Beragam nama ditemukan, dari yang hanya terdiri dari tiga huruf hingga yang panjang. Ternyata ada banyak sekali jenis dan nama alat musik di negeri ini. Semuanya belum merasa cocok, hingga salah seorang dari mereka bertanya : “Bagaimana kalau serunai?”

Tak perlu waktu lama untuk menyepakati nama itu. Mereka berempat segera mengangguk setuju. Meski begitu, sempat ada kekhawatiran soal siapa yang sesungguhnya berhak menggunakan nama semacam itu—terlebih jika mengingat aksi saling klaim budaya lokal oleh sejumlah pihak. Namun, kekhawatiran itu segera sirna setelah mereka melihat contoh penggunaan istilah tradisional, seperti tifa, oleh beragam komunitas maupun lembaga.

Serunai adalah nama alat musik tiup tradisional masyarakat Minang yang berdiam di Provinsi Sumatera Barat. Alat tiup ini menyerupai seruling yang memiliki empat lubang pengatur irama, ditambah dengan corong yang berfungsi melipatgandakan volume suara di salah satu bagian ujungnya.

Meski sudah membaca deskripsinya di internet, dari mereka berempat, hanya satu orang yang bisa membayangkan bentuk dan suara serunai. Itu wajar mengingat ia adalah lulusan etnomusikologi. Walaupun begitu, namanya terdengar begitu akrab di telinga. Nama itu seperti sudah kerap mereka dengar sejak lama. Barangkali itulah yang sering orang katakan sebagai jodoh.

Begitulah prosesnya. Pada suatu siang di sebuah warung, keempat orang itu, termasuk saya, memutuskan sebuah nama dengan cara yang tampaknya mudah. Namun, proses mencari nama sebenarnya sudah dilakukan sejak berbulan-bulan sebelumnya dalam sebuah grup whatsApp yang beranggotakan tujuh orang. Ada beragam nama yang daftarnya tidak perlu saya tulis di sini. Nama-nama itu menguap begitu saja karena salah seorang atau beberapa dari kami merasa tidak cocok. Pertemuan siang itu adalah upaya untuk segera mengambil keputusan, supaya kami bisa melangkah ke tahap berikutnya.

Setelah nama serunai terpilih, untuk sebuah tujuan yang lain, pada akhir Februari saya sempat berkunjung ke beberapa wilayah di Sumatera Barat. Di sana, secara kebetulan saya menemukan buletin buatan warga yang bertajuk Sarunai Minang. Media itu hanya sempat terbit sebanyak tiga edisi karena keterbatasan biaya.

Melihat kemiripan nama dengan media yang akan saya bangun bersama teman-teman, saya penasaran mengetahui alasan pemilihan nama tersebut. Terlebih hal itu dilakukan oleh mereka yang lahir dan tumbuh dalam budaya Minang.

“Sarunai itu alat yang mengeluarkan suara. Suara yang indah,” kata Azwar Mardin, penggagas buletin Sarunai Minang.

Azwar yang belum pernah merantau jauh dari nagarinya itu mengaku belum pernah secara langsung menyaksikan orang meniup sarunai. Ia hanya kerap mendengar orang membicarakan alat musik tiup yang bersuara indah itu. Dengan memilih sarunai sebagai nama buletin, ia berharap bisa memberikan kabar atau ‘suara’ yang akan mendatangkan kebaikan bagi warga.

Saya menyimpulkan bahwa sarunai adalah serunai. Alasan kami memilih nama ternyata mirip.

*

Mencari nama adalah konsekuensi dari ide yang muncul lebih awal, yakni ide untuk membangun start up media. Ketika ide itu muncul, sebenarnya bisa dikatakan bahwa tak seorang pun dari kami yang betul-betul memahami apa itu start up dan bagaimana cara membangunnya. Modal kami waktu itu adalah pengalaman menulis di sejumlah media serta kesamaan minat pada isu seni dan budaya.

Ide itu mulai kami diskusikan bersama sejak pertengahan 2015. Namun, lontaran ide muncul jauh lebih awal. Pilihan membangun media membulat manakala kami melihat masih ada ruang yang besar untuk di isi. Memang, saat ini sudah ada banyak media yang mengulas soal seni dan budaya, terutama musik, seni rupa dan film. Akan tetapi masih ada banyak kisah tentang seni dan budaya yang belum diangkat ke media. Serunai hadir untuk ikut mengisi celah itu.

“Seni dan budaya macam apa yang akan ditulis di Serunai?”

Itu adalah satu dari beragam pertanyaan yang muncul saat kami mulai membicarakan Serunai dengan intens. Sejauh kesimpulan kami saat ini, Serunai tidak ingin membatasi jenis seni dan budaya tertentu untuk diangkat. Serunai ingin menulis pentas ataupun pameran seni, tetapi juga proses di belakangnya. Serunai ingin menulis hiruk pikuk seni kontemporer maupun urban, tetapi juga tidak ingin meninggalkan ekspresi seni budaya lainnya. Serunai juga ingin menulis tentang manusia-manusia di dalam setiap aktivitas seni dan budaya.

Ketika semboyan atau jargon atau tagline, “perspektif seni dan budaya” kami pasang di bawah nama Serunai, itu adalah cara kami mengingat bahwa media ini ingin mengangkat beragam isu melalui kacamata seni dan budaya. Sama seperti setiap seniman yang bisa mengangkat baragam isu melalui karya-karyanya.

Selain itu, Serunai juga merupakan ruang belajar dan menguji coba banyak hal di seputar isu seni dan budaya, jurnalisme, serta bagaimana mempertahankan nafas media independen di era konglomerasi media. Satu hal yang bisa disimpulkan dari semua itu adalah, kami masih akan selalu perlu belajar dan berbenah.

Kiranya, cukuplah sekian selarik perkenalan dari kami.

Selamat membaca.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy