Serunai.co
Ulasan

Biennale Jogja 17 dan Titen: Sebuah Usaha untuk Mempertajam Kepekaan

Biennale Jogja 17

Menyaksikan sebuah pameran seni rupa, bagi penonton sekarang ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, memberi pencerahan, atau refleksi akan kepenatan hidup. Lebih dari itu, menyaksikan pameran seni tentu bisa menghadirkan sebuah pengalaman yang ajaib. Sebuah pengalaman spiritual dari masing-masing pribadi yang sulit dijelaskan. Demikian juga menyaksikan pameran Biennale Jogja 17 secara menyeluruh. Menyaksikannya secara saksama dan tidak grusa-grusu, bagi saya, memunculkan sebuah nilai: di zaman yang makin antah berantah ini, kita harus semakin mempertajam kepekaan.

Titen: Pengetahuan Menubuh, Pijakan Berubah sebagai tema Biennale Jogja 17 memang sebuah gagasan atau ide yang menarik. Titen memiliki makna kepekaan akan membaca tanda-tanda alam dan pola-pola kehidupan. Kata ini biasa digunakan sebagai prediksi akan kapan turunnya hujan atau kapan waktu yang baik untuk tanam dan panen. Sebuah cenayang yang biasa dipakai pada budaya agraris di Jawa. Konon, siapa yang bisa melaksanakan titen dengan baik, merekalah orang yang beruntung dan jauh dari malapetaka. Orang yang bisa niteni dengan jitu itu tidak mudah ceroboh dan gegabah dalam mengambil keputusan.

Muncul pertanyaan, apakah “ilmu titen” di dunia modern saat ini masih berlaku dan terus berkembang di masyarakat? Semakin majunya teknologi secara tidak langsung, menurut saya, memang mengeroposkan insting kepekaan membaca tanda-tanda alam tersebut. Adanya aplikasi cuaca di gawai setiap orang membuat manja hingga tidak perlu susah untuk membaca tanda alam. Perkembangan yang begitu cepat akan informasi dari bermacam sumber juga telah ada di dunia digital. Dungu, barangkali, adalah kata yang tepat untuk mewakili mereka yang tidak bisa memanfaatkan segala sumber daya kemajuan ini dengan baik.

Syahdan, dengan berkembangnya teknologi, untuk apa lagi titen ini dilakukan? Hal tersebut terus ada di kepala saya setelah melihat pameran Biennale Jogja 17 ini. Jujur, entah kenapa saya jadi lupa kapan terakhir kali mendengar kata titen ini. Ingatan saya justru berakhir dengan masa kecil saya yang dimarahi ibu karena pulang sekolah dengan basah kuyup karena kehujanan. Ibu memarahi saya karena tidak bisa titen bahwa saat itu adalah musim hujan dan saya abai membawa jas hujan. Ingatan lain berujung pada ayah saya yang seorang petani ikan tambak di Lamongan memprediksi kapan hari panen harus dipilih. Ayah dengan bangga menyampaikan ke kawan-kawannya bisa jitu memilih hari panen. Saat itu ayah saya bisa menebak dengan baik hari panen karena seminggu setelahnya desa ayah saya, dan juga tambak-tambak di desa, dilanda musibah banjir.

Titen, bagi saya, memang membawa ingatan akan hidup tinggal di desa pada era akhir 90-an. Hidup di desa dengan segala keterbatasan namun tidak pernah merasa kekurangan. Ramalan cuaca dari BMKG belum bisa tersebar luas dan bantuan Pemerintah untuk yang terdampak banjir juga belum rata. Gotong royong saat itu sangat terasa sekali. Masyarakat saling bantu membantu bila ada bencana tiba. Dari keterbatasan itu memunculkan naluri bagaimana bisa bertahan hidup dengan mengakali keadaan. 

***

Mencermati pameran Biennale Jogja Equator ini dengan baik dan teliti memang memberi asupan yang baik untuk otak dan jiwa. Mata kita jadi harus terus terbelalak agar bisa menangkap dengan baik apa yang ingin disampaikan para senimannya. Sembari terus menerka bagaimana proses para senimannya menciptakan karya-karyanya tentu saja.

Biennale Jogja 17 ini memang terasa berbeda dari perhelatan-perhelatan sebelumnya. Tidak terkesan mewah namun tetap wah. Dari banyaknya venue hingga banyaknya seniman yang terlibat memang membuat kita memberi decak kagum. Lebih dari 60 seniman dari 14 negara tentu memberi insight tersendiri pada perhelatan kali ini. Pemilihan tempat pameran yang tidak umum juga memberi pandangan baru akan bagaimana melihat sebuah pameran seni rupa. Entah ini bagus atau tidak, tapi usaha ini setidaknya pernah dicoba.

Baca Juga:  Melukis Nada dan Lirik Bersama Andra Semesta

Pemilihan tempat pameran yang tidak biasa dan beberapa aktivasi di tempat pameran, dengan sukses menjadikan perhelatan seni ini sebagai peristiwa. Kantor Kelurahan Panggungharjo dan Bangunjiwo, Gedung Olahraga Panggungharjo, Kampoeng Mataraman, Monumen Bibis, hingga Gudang Bibis adalah tempat yang tidak umum dipakai untuk berpameran seni. Untuk durasi pameran yang lebih dari sebulan, hal tersebut tentu bisa mengubah sebuah ekosistem yang telah berlangsung. Dilibatkannya masyarakat pada perhelatan Biennale Jogja 17 kali ini tentu saja memberi dampak yang tidak sedikit.

Masyarakat yang biasanya hanya menjadi penonton dari jauh kini menjadi turut serta. Mereka naik tingkat dari yang sebelumnya hanya menjadi objek pameran, kini menjadi subjek. Sebuah terobosan yang membuat lebih banyak ruang gerak dan interaksi antarpelaku. Antusiasme para hadirin pun terlihat dari insta-story @biennalejogja dan @titen.biennalejogja saat perhelatan berlangsung. Saat aktivasi dilaksanakan terlihat kegiatan ini tidak pernah sepi. Biennale Jogja 17 kali ini seperti mencoba lepas dari stigma eksklusif yang selalu muncul pada perhelatan seni rupa. Capaian yang patut diapresiasi akan seni tak hanya untuk dilihat, tetapi untuk dirasakan.

Menyaksikan rupa yang dipajang pada pameran memang berat. Beragam isu yang disampaikan membuat otak menjadi terus berpikir untuk menafsir. Gagasan translokalitas dan transhistoritas yang dipakai membuat kita berpikir lagi akan kondisi sosial masyarakat kita sekarang ini. Transhistorisitas memiliki arti melampaui batas-batas sejarah. Membuat kita termenung, seberapa kuat sebenarnya kita memikul sejarah kita sendiri. Bagaimana bisa melampauinya jika sebagai bangsa, kita sendiri acapkali lupa sejarah. Translokalitas memiliki definisi masyarakat akan identifikasi lebih dari satu lokasi. Hingga membuat berpikir akan bagaimana solusi jika terjadi konflik di sana. Perbedaan memang suatu yang rumit. Indonesia sebagai negara yang mengedepankan persatuan akan perbedaan pun banyak dinilai berhasil, meski tetap ada saja konflik-konflik di masyarakat akibat perbedaan tersebut.

Gagasan transhistorisitas dari Biennale Jogja menjadi cukup menarik karena ditarik dari akar Konferensi Asia Afrika (KAA). Presiden Soekarno saat itu berhasil menjadikan Indonesia sebagai penggagas pertemuan negara-negara yang baru merdeka di kawasan Asia-Afrika. Ide tersebut memberikan warisan sejarah yang sangat tinggi di Indonesia. Bagaimana daya tawar Indonesia untuk negara lain dan juga gerakan Non-Blok, gerakan internasional yang tidak mau ikut-ikut pada kekuatan tertentu.

Gagasan-gagasan sebagaimana ditulis di atas memang sebuah ide yang menarik. Pertanyaannya adalah apakah gagasan tersebut bisa tersalurkan dengan baik ke para hadirin sekalian? Pertanyaan yang mesti menjadi pekerjaan rumah bagi yang hadir maupun panitia. Tapi saya hanya berharap dengan sudah adanya upacara yang semi sakral, penggunaan tempat pameran yang konon wingit, dan beberapa karya yang berbicara tentang mistis dapat membuat pemahaman baru tentang sebuah fenomena. Berhasil atau tidaknya, saya hanya berharap semoga semua yang berhati baik mendapat berkah dan jauh dari kualat.

biennale jogja 17
Pameran Biennale Jogja 17 di Taman Budaya Yogyakarta. (Foto: Dokumentasi Biennale Jogja)

Memulai melihat pameran Biennale Jogja 17 ini tentu diawali di Taman Budaya Yogyakarta. Selain tempat ini mudah untuk disinggahi karena di tengah kota, TBY selalu memang pusat acara kebudayaan di Yogyeakarta. Pameran-pameran Biennale Jogja sebelumnya pun selalu berlangsung di TBY. Di TBY kita akan langsung terpukau melihat gapura selamat datang yang dibuat oleh kolektif Gegerboyo. Gapura setinggi kira-kira 7 meter dengan gambar makhluk-makhluk aneh rekonstruksi ulang dari bentuk relief di candi-candi. Gambar khas Gegerboyo.

Baca Juga:  Alicia Menolak Bullying

Kolektif dari Sumenep, Lembana Artgroecosystem juga menghadirkan panasnya Madura lewat karya instalasinya di Gudang Bibis. Instalasi daun tembakau kering, gambar batik di atas kain, beberapa lukisan di atas tikar, dan juga patung berkopiah. Mayoritas warna yang berwarna kecokelatan menghadirkan nuansa kering di Gudang beratap seng yang pada siang yang panas bisa sangat terik sekali tersebut. Pameran berjudul “Bhâko: So Which of the Favors of Your Land Would You Deny?” bercerita ihwal tanah yang merupakan ikatan primordial bagi manusia Madura. Ikatan ini tidak saja berbicara mengenai ruang hidup dan aktivitas sosial yang membentuk cara berpikir orang-orang Madura, melainkan sikap dan pernyataan politik dalam menjaga dan merawat tanah.

Aktivasi masyarakat lokal dengan seniman mancanegara juga terasa pada karya Harapan Puan (Women’s Hopes) yang ada di Kampoeng Mataraman. Seniman Gunes Terkol asal Turki berkolaborasi dengan warga Desa Prima untuk membuat spanduk tekstil. Gambar bola dunia dikelilingi 10 ibu-ibu dengan harapan-harapannya menghadirkan apa yang selalu menjadi impian ibu-ibu tersebut. Ada yang ingin berhaji, membuat toko roti, menyekolahkan anaknya hingga tinggi, dan hanya sekadar jalan-jalan. Diketahui bahwa Desa Prima di Panggungharjo terdapat sekitar 30 perempuan yang fokus pada pemberdayaan keuangan pada situasi kritis atau rentan agar perempuan dapat tampil lebih baik di panggung sosial dan politik.

Dokter Manita Newa dari Kathmandu, Nepal juga menghadirkan pameran yang menarik. Cukup menarik memang adanya dokter medis dan konselor psikologis serta aktivis queer ikut berpameran di Biennale Jogja 17 kali ini. Pada karya “Dankini Resting-Room” menghadirkan ruang baca dari luapan ekspresi para queer untuk melepaskan trauma. Fitri DK, seniman perempuan dari Taring Padi, juga menyampaikan suaranya akan kepedulian atas lingkungan. Lewat karya “Wadas Lestari”, Fitri dengan berani melawan Negara yang membuat Proyek Strategis Nasional itu. Karya Fitri merupakan refleksi dari kerjanya bersama Wadon Wadas, sebuah bagian penting dari perlawanan rakyat Wadas, Purworejo, terhadap pembangunan tambang batu di wilayah mereka.

***

Banyaknya karya yang ditampilkan pada perhelatan Biennale Jogja 17 kali ini memang membuat kita harus pelan-pelan dalam melihat satu per satu karya tersebut. Kita tidak boleh cepat-cepat dan grusa-grusu untuk bisa merasakan esensinya. Sebagaimana tema di awal, pada pameran Biennale Jogja 17 ini kita juga harus melakukan titen atau memperhatikan dengan baik.

Ilmu titen tidak bisa didapat seperti mendapatkan mukjizat atau Karomah. Turun dari langit sehingga seseorang yang mendapatkannya bisa langsung mengamalkan ilmunya. Ilmu titen  berasal dari proses pembelajaran yang saat ini belum bisa terjelaskan keilmiahannya. Melaksanakan learning by doing atau orang Jawa menyebutnya sebagai ilmu niku kelakune nganthi laku. Titen membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan perlu kesabaran serta kecermatan untuk memperolehnya.

Begitu pula kita jika ingin secara serius mendapat ilmu dan hikmah pada perhelatan kali ini. Kita menjadi harus perlu modal waktu dan biaya untuk dapat menyaksikan pamerannya. Satu per satu berpindah tempat untuk bisa menangkap satu per satu pesan yang ingin disampaikan dalam karya seni. Susah rasanya jika kita harus menghabiskan sehari langsung untuk menyaksikan keseluruhan pameran. Energi akan menjadi terkuras habis dan sesuatu yang seharusnya bisa kita dapat malah jadi ambyar.

Baca Juga:  Yang Terungkap Lewat Ratapan

Namun, menurut saya tetap ada kritik untuk Biennale Jogja 17. Banyaknya karya yang tidak ter-display dengan baik menjadi perhatian khusus. Di TBY dan Monumen Bibis banyak sekali sudut-sudut yang gagal direspons dengan baik. Pada suatu siang yang kosong atau malam yang hampir tutup, para art handler tampak kelelahan dan malah sibuk dengan gawainya masing-masing. Mungkin ini sepele, tapi bagi para hadirin yang ingin serius menyaksikan pamerannya itu mengecewakan.

Pameran kali ini pun juga menghadirkan karya-karya yang tidak memiliki unsur kebaruan. Yang patut digaris bawahi dalam hal ini adalah Fitri DK dan Jompet Kuswidananto. Karya Jompet yakni “Anno Domini” dan “War of Java, do you remember? #2 (Raw Footage)” adalah karya yang sudah pernah dipajang beberapa waktu lalu. Untuk karya Fitri, pada Artjog tahun lalu dan pada Biennale Jogja dua tahun lalu ia juga membuat karya dengan isu yang sama.

Entah benar atau tidak, banyaknya tempat yang disebar pun rasanya justru seperti agenda wisata dari Dinas Pariwisata. Para pengunjung dibawa ke sana ke mari untuk menghidupkan roda ekonomi masyarakat sekitar. Seni rupa menjadi terkesan mengalami kemunduran dengan orang-orang dibuat sibuk dengan pertunjukan kebudayaan untuk menarik minat wisatawan. Eksotisme bagi wisatawan yakni hamparan sawah, gubuk-gubuk warga, kantor kecamatan, musik lesung, hingga bakmi godok menjadi dieksploitasi habis-habisan.

Meski begitu, saya tetap mengapresiasi usaha perhelatan Biennale Jogja Equator kali ini sebagai usaha yang berani. Semua orang memang boleh dan mengkritik atas apa yang berlangsung pada perhelatan kali ini. Namun, kerja keras untuk bisa menghadirkannya memang patut diberi tepuk tangan sambil berdiri. Banyak masyarakat yang belum pulih ekonomi akibat pandemi seperti telah direspons dengan membawa khalayak seni rupa ke jantung masyarakat di desa-desa.

Biennale Jogja 17 Titen memang berhasil membawa seni kembali ke masyarakat. Agar karya seni lebih membumi. Tak hanya dinikmati segelintir orang di galeri seni yang sulit terjangkau masyarakat kelas bawah. Juga tentu memberikan pembelajaran yang tak hanya ada di ruang-ruang kampus atau seminar. Melibatkan partisipasi warga sebagai bagian dari komunitas kultural maupun birokratis melalui pemerintah desa juga merupakan upaya yang bisa menghasilkan sesuatu, meski kita tidak bisa menebak apa itu. Bisa jadi, upaya-upaya semacam ini merupakan gerakan sosial yang terselubung yang tidak disangka-sangka.

Kondisi dunia yang semakin tidak bisa tertebak sekarang ini memang membuat kita untuk harus pintar membaca keadaan. Krisis iklim, perang, terpecah belahnya masyarakat akibat politik, hingga masalah sosial lainnya selalu menghiasi laman media sosial kita setiap hari. Titen sebagai cara untuk mempertajam kepekaan harus ditumbuhkan lagi agar bisa mempunyai hidup yang lebih bermanfaat. Jika WS Rendra berpuisi tentang: Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Maka Biennale Jogja 17 melaksanakannya dengan: seniman adalah matahari, objek seni adalah bumi, pameran menjadi cakrawala, dan titen adalah pelaksanaan kata-kata.

Penulis: Ismail Noer Surendra

Editor: Aris Setyawan

Related posts

Gaze, Grace, Grief: Upaya Cecil Mariani Menerjemahkan Kegelapan

Isma Swastiningrum

“Lagipula Hidup Akan Berakhir” dan “Cincin” Karya Hindia dari Perspektif Sejarah

Nadya Karima Melati

Tragedi itu Bernama “Gejolak Makam Keramat”

Arie Kamajaya

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy