Institut Seni Indonesia Yogyakarta menolak keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia di lingkungan kampus karena dianggap mengancam keberagaman dalam berkesenian. HTI mengaku tak hendak melarang kesenian, namun kesenian mesti dikoridori oleh nilai-nilai agama.
Jumat, 17 Juni 2016, usai waktu shalat Jumat, di depan panggung berukuran 2 x 5 meter di depan Gedung Rektorat ISI Yogyakarta, sejumlah mahasiswa tampak sibuk membagikan poster kepada rekan-rekannya. Di salah satu pojok panggung, seorang mahasiswa lainnya tengah menyiapkan pengeras suara. Jajaran pejabat rektorat tampak mulai berkumpul di bagian belakangnya.
Beranjak siang, kerumunan orang di sekitar panggung temporer itu kian bertambah. Sekitar pukul 13.00, jumlah massa yang berkumpul mencapai sekitar seratus orang. Satu jam kemudian, jumlahnya melampaui dua kali lipat.
Mereka adalah sivitas akademik ISI Yogyakarta yang terdiri dari mahasiswa juga alumni. Siang itu, mereka menggelar aksi damai sebagai respons atas keberadaan dan aktivitas HTI di lingkungan kampus ISI Yogyakarta. HTI dianggap memiliki cara pandang keislaman yang kaku sehingga dapat mengusik tradisi berkesenian di ISI. Mereka menuntut ISI menolak HTI.
*
Keberadaan HTI di kampus ISI Yogyakarta kian tersorot publik semenjak BBC Indonesia, media Inggris yang juga beroperasi di Indonesia, menurunkan berita tentang keberadaan organisasi masyarakat berbasis agama tersebut. A. Anjip, alumni Fakultas Seni Rupa ISI mengatakan keberadaan HTI sudah diketahui jauh sebelum pemberitaan tersebut. “Saya melihat gejala ini sudah sejak tahun 2003/2004,” kata Anjip. “Sejak itu mereka mulai terang-terangan melakukan halaqoh (pengajian) di pojok-pojok kampus,” tambahnya.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa ISI, Caki Arok Subagyo mengatakan, aksi tersebut bukan semata reaksi atas pemberitaan yang beredar belakangan. “Mungkin orang-orang di luar menganggap aksi ini adalah reaksi atas isu yang berkembang. Tidak. Ini memang sudah menjadi masalah interen kami sejak lama,” tegas Caki.
Ia menilai pihak kampus lambat dalam merespons keberadaan HTI. “Di UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) sudah dilarang. Di UII (Universitas Islam Indonesia) juga demikian. Di ISI ini belum, mereka bahkan sampai bisa membuat sekre (sekretariat-red) di sini,” tukasnya.
Pihak Rektorat memberi tanggapan yang positif terhadap aksi damai tersebut. Rektor ISI Yogyakarta Agus Burhan mengatakan akan segera menerbitkan Surat Keputusan (SK) Rektor terkait pelarangan kegiatan organisasi masyarakat dan partai politik di kampus. “Setelah SK Rektor terbit akan diikuti dengan sosialisasi kepada setiap unit,” katanya.
Lebih lanjut, Agus mengatakan bahwa sebelum ada aksi damai tersebut, pihaknya telah merestrukturisasi pengurus Masjid Kampus Al-Muhtar ISI. Tujuannya untuk mengembalikan masjid sebagai ruang netral yang bisa bisa digunakan oleh seluruh sivitas akademik.
Menurut Agus, setelah SK Rektor diterbitkan, pihaknya juga akan melakukan penyelidikan untuk memastikan tidak ada sivitas akademik yang melanggar aturan tersebut. Apabila terindikasi, maka pihak kampus akan menindaknya berdasarkan UU Guru dan Dosen.
Agus menegaskan, SK tersebut tidak hanya berlaku bagi HTI, tetapi juga terhadap organisasi masyarakat maupun organisasi politik manapun. “Saya kira tidak hanya HTI, tapi semua ormas maupun parpol memang tidak boleh berkegiatan di kampus. Apalagi melakukan penyebaran ideologinya,” tandasnya.
HTI adalah organisasi agama transnasional yang berdiri pada 1953 di Palestina. HTI masuk ke Indonesia pada 1980-an melalui dakwah di kampus-kampus. Organisasi ini bercita-cita mengintegrasikan setiap aspek kehidupan manusia ke dalam nilai-nilai Islam. Bagi HTI, Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif. Sistem inilah yang kemudian dikenal sebagai khilafah. Kesenian adalah salah satu aspek yang diatur di dalamnya.
Secara umum, kelompok ini tidak melarang kesenian. Kesenian diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam atau sesuai dengan syariah. Lebih spesifik, misalnya, HTI menyatakan bahwa seni drama diperbolehkan dengan syarat tertentu yang merujuk pada beberapa hadis. Di dalam situs HTI, www.hizbut-tahrir.or.id, disebutkan lima syarat yang mesti dipenuhi dalam seni drama : “Pertama, tak adanya ikhtilath (pergaulan) antara laki-laki dan perempuan. Kedua, tak adanya laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya. Ketiga, tak memerankan para malaikat, para nabi, para khulafa rasyidin, istri-istri Nabi SAW, dan Maryam ibunda Nabi Isa AS. Keempat, tak membuat atau menggambar makhluk bernyawa. Kelima, tak menggambarkan kejadian gaib seperti hari kiamat, surga, neraka, dan alam kubur.”
Nilai-nilai semacam itu, bagi Agus Burhan, bisa mengancam tradisi berkesenian di Indonesia khususnya di ISI. “Ada beberapa mata kuliah yang sudah mulai tidak membolehkan mahasiswa menggambar manusia,” katanya.
Persepsi seperti itu yang menurutnya tidak baik bagi pengembangan keilmuan di ISI. “Itu harus kita luruskan lagi, karena kurikulum kita sifatnya kreatif dan inovatif,” terang Burhan.
A. Anjip punya pendapat senada. “Seminggu yang lalu saya dengar di masjid (kampus), membuat patung dengan obyek makhluk bernyawa adalah haram. Kalau kesenian kita mau di-Islam-kan, bagaimana nanti? Mungkin tidak akan ada lagi tarian-tarian, tidak ada lagi pertunjukan-pertunjukan,” katanya.
Menanggapi aksi tersebut, Juru Bicara HTI pusat Ismail Yusanto mengatakan bahwa aksi semacam itu merupakan upaya membungkam dakwah Islam dengan dalih anti-Pancasila. “HTI tidak menghambat seni di kampus-kampus, khususnya ISI Yogyakarta, tapi seni sudah seharusnya dikendalikan oleh norma agama,” katanya.
Jejaring seniman Islam yang tergabung dalam Khilafah Arts Networks (KhAT) menganggap pencekalan terhadap HTI adalah bentuk ketidakadilan. Doni Riwayanto, salah satu pendiri KhAT menilai bahwa tindakan tersebut menjadi bukti adanya hegemoni pihak tertentu di dalam kampus ISI. “Dalam dunia akademis, diskusi tentang ide, konsep, pemikiran, dan lain sebagainya, merupakan sebuah keniscayaan,” terangnya.
Ide-ide yang bertebaran di ISI, menurut Doni, tidak hanya ide Islam. “Ide seni sosialis, ide seni liberal, dan lain-lain, semua menjadi bahan diskusi dan lebih jauh diikuti dan diamalkan oleh para pengikutnya. Lalu mengapa hanya ide Islam yang dilarang?” ungkapnya.
Khilafah Arts Network (KhAT) adalah wadah yang membingkai kesenian dalam tujuannya mewujudkan khilafah. KhAT dicetuskan pada 4 Februari 2016 di Yogyakarta. Namun menurut Ridwan Kufi, Departemen Sosial Media KhAT, wadah ini baru akan akan resmi berdiri pada 30 Juni mendatang.
Ridwan menjelaskan, KhAT tidak secara langsung berafiliasi dengan HTI. “Yang jadi anggota KhAT tidak harus anggota HTI. Akan tetapi, memang dipilih orang-orang yang insya-Allah kompeten di bidang masing-masing, sekaligus concern akan isu-isu penegakan syariah Islam dan khilafah. Dan kebetulan sebagian (seniman-red) berafiliasi dgn HTI,” jelasnya.
Musisi Harry Moekti adalah salah satu di antaranya. Di laman facebook resmi KhAT, Harry yang kerap berdakwah di bawah bendera HTI itu disebut menduduki jabatan dewan penasihat KhAT.
KhAT dideskripsikan sebagai komunitas seniman muslim untuk peradaban khilafah islam yang keanggotaanya tidak terbatas pada teritori atau negara tertentu. Sejauh ini, menurut Ridwan, jumlah anggota KhAT sudah mencapai 50-an orang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan mancanegara antara lain Australia, Tanzania, Belanda, Malaysia, Inggris, dan Bangladesh. Spektrum bidang kesenian yang dilingkupi KhAT pun cukup luas. Mulai dari seni murni, desain, kriya, arsitektur, fotografi, musik, pertunjukan, film, hingga sastra. Dalam berkesenian, seniman-seniman yang tergabung dalam KhAT diwajibkan untuk memerhatikan nilai atau fiqh Islam.
Menanggapi anggapan bahwa aksi damai di kampus ISI itu merupakan tindakan anti-Islam, Ketua BEM ISI Caki Arok langsung membantah. “Jangan disalahartikan sebagai pertentangan terhadap Islam. ISI tidak menentang Islam,” katanya.
“Jika teman-teman HTI ingin berkesenian silakan, selayaknya mahasiswa ISI lainnya. Tapi jangan mengekang kebebasan berkarya teman-teman yang lain. Misalnya, dengan melarang orang menggambar makhluk hidup,” tambah Caki.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Abdul Gaffar Karim, juga merespons maraknya aksi pelarangan ide atau kelompok tertentu di lingkungan kampus. Menurutnya, pelarangan ide atau kelompok tertentu oleh institusi akademik dengan dalih anti-demokrasi adalah sebuah kekeliruan yang berulang.
“Menolak dengan cara demokratis adalah membuat counter argument, bukan melarang keberadaannya. UGM pernah menolak diskusi tentang LGBT, pernah menolak diskusi bertema kiri. Kampus harusnya menjadi ruang yang terbuka bagi semua ide,” ujarnya.