Serunai.co
Narasi

Ketupat buat Ibu Bumi

Arak-arakan gunungan ketupat dalam rangka Kupatan Kendeng, Minggu (10/7), di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah. (Serunai/Idha Saraswati)

Menghidupkan seni tradisi demi menjaga lingkungan.

Sejak pagi, para perempuan di Desa Tegaldowo datang silih berganti ke rumah Sukinah. Tangan mereka menenteng bungkusan berisi ketupat matang, juga sayur nangka dalam rantang.

Sukijah salah satunya. Perempuan separuh baya itu datang menjelang siang. Sama seperti yang lain, ia membawa tas berisi ketupat. Begitu memasuki ruang tamu, tas itu segera berpindah ke tangan Sukinah.

“Setiap orang membawa 20 ketupat,” terang Sukinah.

Sementara Sukinah sibuk menerima para pengantar ketupat, Sukijah duduk di kursi kayu panjang di dalam ruang tamu. Empat perempuan lain menyusulnya duduk seusai menyerahkan ketupat pada Sukinah. Tidak seperti yang lain, mereka tak buru-buru pulang karena mesti berlatih menabuh lesung. Sore nanti mereka mau pentas di lapangan desa.

Demi pentas itu pula, Sukijah dan rekan-rekannya telah sekalian mengenakan kebaya hitam dan kain batik. Pasangan baju itu ibarat seragam. Mereka hampir selalu mengenakannya dalam berbagai aksi menolak pabrik semen.

Siang itu, Sukijah sedang tidak mendapat giliran menjaga tenda perjuangan. Begitupun rekan-rekannya sesama penabuh lesung. Namun, walaupun sebagian besar warga sibuk mengurus ketupat, tenda perjuangan yang berdiri di jalur menuju lokasi pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia itu selalu dijaga warga secara bergiliran sejak didirikan dua tahun lalu.

“Kulo pun ndek Jumat (saya sudah (berjaga) hari Jumat lalu),” ujarnya.

Menabuh lesung bukan hal asing buat Sukijah. Ia ingat, dulu sebelum ada mesin giling, para perempuan di desanya terbiasa bangun dini hari untuk menumbuk gabah menggunakan alu sebagai penumbuk dan lesung sebagai wadahnya. Kini kebiasaan itu kian jarang dilakoni. Namun, ia tak lupa caranya.

Soal cara, menabuh lesung tampak sederhana : tinggal memukul-mukulkan alu ke badan lesung. Tetapi pada praktiknya, memainkan lesung ternyata tak semudah itu. Selain harus mengikuti irama tertentu, Sukijah yang sudah berumur mengaku kini tak tahan bermain terlampau lama. Pernah suatu kali dalam acara petani di Pati, kelompoknya bermain tanpa henti selama sekitar 30 menit. Ia merasa tangannya pegal bukan main.

Seorang tamu yang tengah menonton latihan Sukijah dan rekan-rekannya menceritakan hal yang sama. Ketika rombongan perempuan Rembang melakukan aksi menolak pabrik semen di Jakarta bulan April silam, ada seorang kawannya yang mencoba menggantikan salah seorang perempuan penabuh lesung. Tetapi baru beberapa menit mencoba, ia menyerah karena tak kuat menahan alu yang ternyata berat.

            *

Saya tiba di kediaman Sukinah di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah pada Minggu (10/7) pagi, ketika adzan subuh berkumandang. Saya datang mendompleng rombongan seniman dari Yogyakarta dan Solo yang akan mengisi panggung seni dalam rangka Kupatan Kendeng 2016.

Sukinah menyambut kami dengan sigap di teras rumahnya. Sambil menawarkan kopi, ia segera membagi ruang. Perempuan diarahkan masuk ke dalam bilik, sedangkan laki-laki di ruang tamu. Setelah menempuh perjalanan semalaman—kami berangkat dari Solo hampir tengah malam, saya mengabaikan tawaran kopi dan memilih segera merebahkan tubuh di dalam bilik. Dua perempuan rekan seperjalanan menyusul satu per satu. Tak lama kemudian, kami bertiga terlelap di atas satu ranjang.

Keriuhan di luar kamar berdinding kayu yang dihiasi banyak lubang itu membangunkan saya. Warga rupanya telah berdatangan. Lelaki dan perempuan bercakap-cakap sambil menyiapkan berbagai keperluan acara.

Walaupun sudah terbangun, badan masih enggan berpisah dari ranjang beralas tikar itu. Saya berusaha terjaga sehingga mata mulai sibuk mengamati sekitar. Pada dinding kayu di dekat ranjang, foto Sukinah dipajang bersebelahan dengan foto lukisan wajahnya. Foto lukisan raut wajah yang dibuat Dewi Candraningrum, pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, itu banyak beredar di media sosial, terutama saat Sukinah dan delapan perempuan lainnya dari Rembang dan Pati melakukan aksi mengecor kaki dengan semen di seberang Istana Negara Jakarta, April lalu.

Di seberang ranjang ada deretan almari kayu yang memenuhi dinding. Di seberang lainnya, ada rak yang berisi banyak bahan makanan. Rupanya ruang ini adalah warung kelontong yang disulap menjadi kamar. Sejak disibukkan dengan upaya menolak pabrik semen, Sukinah tak lagi sempat membuka warungnya.

Keluar dari kamar, Sukinah langsung menawarkan sarapan. Di atas tikar yang menutupi lantai tanah di ruang tamu, telah tersedia panci berisi nasi beras dan nasi jagung, sayur serta lauk pauk. Sukinah tentu sudah sibuk masak sejak pagi. Sedangkan meja kayu dipenuhi toples berisi aneka makanan kecil. Suasana hari raya Idul Fitri masih jelas membekas.

Baca Juga:  Mukti Mukti dan Mimpi Esok Pagi Revolusi

Meski ada banyak makanan, pertanyaan pertama saya pada Sukinah adalah soal colokan listrik. Baterai kamera dan telepon genggam perlu dipenuhi untuk mendokumentasikan acara siang nanti. Namun, listrik ternyata sedang padam. Kata Sukinah, listrik padam sudah biasa di desanya. Itu kerapkali terjadi ketika warga yang menolak pabrik semen sedang mengadakan kegiatan. Mungkin itu pula yang membuat suami Sukinah menyiapkan genset.

Saya sedang membahas pemadaman listrik ketika Sukijah dan teman-temannya tiba untuk mengantarkan ketupat. Setelah obrolan singkat, mereka beranjak mendekati lesung yang sudah dipajang di halaman. Tak berapa lama kemudian, irama alu yang beradu dengan lesung mulai terdengar.

Sukinah ikut ambil bagian dalam latihan siang itu. Ia merasa perlu menghafalkan kembali lirik lagu yang akan ditembangkan. Sembari membaca lirik di atas kertas, ia mulai menyanyi diiringi irama lesung.

Saat tim lesung sedang berlatih, di teras rumah tetangga yang berada persis di sebelah kiri rumah Sukinah, belasan lelaki dan perempuan sibuk menyiapkan gunungan ketupat. Ada dua gunungan yang mereka siapkan di bawah rindang pohon talok (muntingia calabura) itu. Gunungan itu ditopang rangka dari bilah bambu yang membentuk kerucut.

Mereka menyusun ketupat dengan cara mengikat helai janur di bagian ujung ketupat ke rangka bambu. Dimulai dari bagian bawah menuju ke atas. Satu rangka bambu bisa dikerjakan oleh empat hingga lima orang. Sejumlah perempuan lainnya bertugas memilah ketupat yang akan disusun. Mereka memprioritaskan ketupat yang serupa ukurannya dan mulus kemasannya.

Setelah rangka bambu penuh berisi ketupat, mendekat ke bagian ujung mereka memasang lepat. Sama-sama dibungkus janur, ada perbedaan mencolok antara ketupat dengan lepat. Jika ketupat dibuat dari anyaman janur yang rumit, maka pola bungkus lepat lebih sederhana. Adapun dari isinya, bahan utama ketupat adalah beras, sedangkan lepat dibuat dari ketan. Sebagai pemuncak, mereka memasang hasil bumi setempat yakni gabah dan jagung.

Lewat tengah hari, dua gunungan ketupat itu sudah siap. Warga kembali berkumpul di sekitar rumah Sukinah. Para perempuan mengenakan baju seragamnya : kebaya dan kain batik. Sukinah yang sibuk sejak pagi juga sudah tampak rapi. Menjelang pukul 14.00, rombongan perempuan berkebaya hitam yang memakai caping dan menggendong bakul di pinggang itu mulai beranjak ke titik kumpul.

Ada dua jalur menuju ke lapangan yang menjadi lokasi Kupatan Kendeng. Rombongan perempuan berkebaya hitam bersama mobil bak terbuka yang mengangkut gunungan ketupat berangkat melalui jalan yang melingkar ke luar permukiman warga. Sementara saya mengikuti beberapa orang lain memilih berjalan kaki melewati kampung. Dari titik kumpul, jaraknya sekitar 300 meter.

Dalam perjalanan singkat itu, saya melewati pasar dan deretan pertokoan. Tak jauh dari lapangan yang menjadi tujuan, ada sebuah rumah yang dihiasi umbul-umbul PT Semen Indonesia. Papan nama di depannya ditulisi kata “Griya Pamulangan” yang dijelaskan sebagai tempat kegiatan bina lingkungan PT Semen Indonesia. Di rumah itulah pabrik semen berupaya mengambil hati warga dengan mengadakan kegiatan sosial maupun menyalurkan bantuan.

*

Siang terasa terik, namun gumpalan awan hitam tampak menggantung di kejauhan. Rombongan pembawa gunungan tiba di lapangan. Ada yang naik bak terbuka, naik sepeda motor, juga ada yang berjalan kaki.

Ternyata ada tiga gunungan ketupat yang datang. Selain dua gunungan yang disiapkan di dekat rumah Sukinah, satu gunungan lagi dibuat di rumah Joko Prianto, salah satu warga yang selama ini menjadi nara hubung Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang.

Rombongan naga, barongan dan barongsai juga bergabung ke dalam lapangan yang dihiasi umbul-umbul hitam itu. Mereka berasal dari luar desa. Selain itu ada rombongan tamu dari JMPPK Pati dan rombongan seniman dari sejumlah wilayah. Sejumlah pegiat lingkungan dari luar Rembang juga menyempatkan datang mendukung acara. Mereka segera menempatkan diri di depan panggung.

Pembawa acara mengajak warga yang masih berdiri di pinggir lapangan untuk bergabung. Acara dimulai dengan pembacaan puisi dan doa. Lalu berturut-turut para seniman menampilkan karyanya. Ada pembacaan puisi dan penampilan sejumlah musisi. Mereka antara lain Yasir Dayak, Nyonyor Numpang Tenar, Pata Bara serta Kelompok Saksi Nada yang diwakili Kepal SPI dan Sisir Tanah. Selain itu ada penampilan dari kelompok seni hadroh serta Sukijah bersama rekan-rekannya yang menabuh lesung. Teriakan “tolak pabrik semen” dan “Kendeng lestari” terdengar berkali-kali.

Di tengah acara, awan hitam yang menggelayut sedari tadi akhirnya menumpahkan hujan. Para penonton yang semula bertahan mulai berhamburan mencari perlindungan. Ada yang menyelinap ke balik terpal pelindung pengeras suara, ada pula yang berlarian ke luar lapangan.

Baca Juga:  Selamat Pagi Ruang Inisiatif Remaja

Dalam suasana semacam itu, para pemimpin doa maju ke depan. Di tengah guyuran hujan, mereka menyambar mikrofon dan mengajak semua warga kembali ke posisi semula. Salah seorang di antaranya mengatakan, musuh warga lebih besar dari sekadar hujan. Oleh karena itu, mereka tak boleh takut pada hujan. Warga pun kembali mendekat lalu melantunkan dzikir bersama.

Entah apakah karena doa itu, awan hitam perlahan memudar berganti langit cerah. Panitia segera mengajak warga bersiap mengarak gunungan keliling desa. Rombongan gunungan, naga, barongsai, barongan, perempuan, lelaki, remaja, anak-anak, semuanya berdiri dalam barisan. Lalu mereka mulai beranjak keliling desa. Sejumlah perempuan menggendong bakul berisi ketupat. Sepanjang perjalanan, mereka membagikan ketupat dalam bakul itu kepada warga.

Warga yang tak bergabung dalam rombongan tampak antusias menyambut arak-arakan. Anak-anak kecil tertawa girang melihat ulah barongsai yang meliuk-liuk diiringi tetabuhan gong, tambur dan simbal.

Rombongan sempat terhenti sesaat ketika berpapasan dengan sekawanan sapi yang pulang dari penggembalaannya di jalan sempit. Selebihnya arak-arakan berjalan lancar hingga kembali ke lapangan.

Matahari mulai tenggelam ketika arak-arakan kembali tiba di lapangan. Tiga gunungan ketupat diletakkan kembali untuk dibagikan isinya. Beberapa warga membantu menyiapkan lembaran daun jati yang akan digunakan sebagai piring, juga pisau untuk membelah ketupat. Lalu semua orang pun larut menikmati belahan ketupat yang diguyur sayur nangka di atas daun jati. Ketupat dan sayur nangka adalah pasangan wajib yang sulit dipisahkan.

*

Ini adalah Kupatan Kendeng yang kedua. Acara serupa digelar tahun lalu, tepatnya ketika warga mulai merasakan dampak dari rencana pembangunan pabrik semen di wilayah mereka.

Rangkaian acara Kupatan Kendeng dengan tema “Menjaga Alam Merawat Tradisi” ini dimulai sejak Sabtu (9/7) sore dengan ritual temon banyu beras, yakni ritual mempertemukan air dari sumber dengan air beras hasil panen. Ini merupakan wujud ucapan terimakasih atas berkah yang diberikan alam. Air campuran itu kemudian digunakan untuk membuat ketupat. Lalu pada hari kedua, acara diisi dengan doa, arak-arakan gunungan ketupat, pertunjukan seni dan ritual lamporan.

Joko Prianto menuturkan, rencana pembangunan pabrik semen telah mengubah banyak hal. Meski belum beroperasi, pabrik semen telah menimbulkan konflik antara warga yang menolak dengan yang mendukung. Sedangkan ancaman nyata ke depan adalah kerusakan lingkungan yang akan berdampak bagi seluruh warga.

Ancaman kerusakan itu nyata karena saat ini warga mulai merasakannya. Jangankan pabrik semen, penambangan batu kapur (tambang galian c) di sebelah timur desa saja telah menimbulkan banjir yang menganggu permukiman dan lahan pertanian warga. Padahal jika jadi beroperasi, pabrik semen akan mengeksploitasi lahan seluas ratusan hektar. Aktivitas penambangan itu dikhawatirkan akan merusak sumber mata air.

“Menurut penelitian, pada kedalaman 45 meter, kawasan yang akan ditambang itu merupakan daerah danau,” terang Prianto.

PT Semen Indonesia berencana mendirikan pabrik semen di Rembang guna memenuhi produksi sebanyak tiga juta ton semen per tahun. Total luas lahan yang akan digunakan mencapai lebih dari 500 hektar.

Perlawanan warga terhadap rencana pembangunan pabrik semen dimulai sejak pertengahan 2014. Pada 16 Juni 2014, warga mendirikan tenda perjuangan untuk menghadang rencana dimulainya pembangunan pabrik. Pada hari-hari pertama perlawanan itu, warga langsung berhadapan dengan aparat kepolisian. Sejumlah perempuan menerima tindakan kekerasan.

Dua tahun berlalu, warga terus menjaga semangat di tenda perjuangan tanpa peduli cuaca terik dan hujan. Selama dua tahun itu, mereka semakin banyak belajar. Kini, tak mudah membodohi mereka dengan istilah rumit macam izin lingkungan, penambangan hijau maupun janji kesejahteraan.

Baca Juga:  Papua di Depan Mata

Selain mendirikan tenda, berbagai upaya telah dilakukan warga untuk menggagalkan rencana pendirian pabrik semen. Mulai dari menempuh jalur hukum, menyediakan data pembanding untuk menunjukkan bahwa wilayah yang akan ditambang memiliki banyak sumber mata air, menemui gubernur, juga presiden. Semua belum membuahkan hasil. Namun, mereka tidak menyerah.

“Kami mendirikan tenda sudah dua tahun lebih, pemerintah Rembang maupun Jawa Tengah tidak ada respons. Tidak ada itikad baik untuk segera selesaikan kasus ini,” ujar Prianto.

Melihat semua itu, maka Kupatan Kendeng diadakan sebagai bentuk pengakuan kesalahan terhadap manusia dan alam. Kupatan Kendeng merupakan wujud permintaan maaf.

Di wilayah pesisir utara, selama ini memang ada tradisi lebaran ketupat yang biasanya dilaksanakan sepekan usai Idul Fitri. Mengutip Slamet Mulyono dalam Kamus Pepak Basa Jawa, dalam tulisannya di historia.id Jay Akbar menjelaskan bahwa kata ketupat berasal dari kupat. Parafrase kupat adalah ngaku lepat atau mengaku bersalah. Dalam suasana lebaran itulah kata maaf diungkapkan.

Melalui Kupatan Kendeng, lanjut Prianto, warga juga ingin menunjukkan bahwa mereka bisa menggelar kegiatan secara mandiri. Selama ini mereka selalu dituduh bergerak dengan ditumpangi ataupun didanai pihak lain.

“Bisa dilihat kami di sini ada tradisi rukun gotong royong. Ini kami punya hajat, jadi saya mampunya apa ya saya nyumbang, itu bisa sayur bisa beras. Lha kalau ada pabrik semen ini terancam hilang,” katanya.

Total ada 3.000 bungkus ketupat yang disiapkan untuk acara itu. Untuk memenuhi kebutuhan warga berembug dan berbagi peran. Bagi yang memiliki kemampuan lebih, ada yang menyumbang bahan, ada juga yang menyediakan diri membuat ketupat dalam jumlah banyak. Adapun secara umum, setiap keluarga menyumbang 20 bungkus ketupat. Itu dilakukan warga dari Desa Tegaldowo, Timbrangan dan Suntri (Kecamatan Gunem) serta Bitingan dan Tengger (Kecamatan Sale).

“Yang kami harapkan, biarkan gunung tetap jadi gunung, sawah jadi sawah. Biarkan masyarakat bertani karena petani kan tumpuan masyarakat Indonesia. Biarkan kami bertani, biarkan kami melestarikan pegunungan Kendeng, dan dukung kami,” tutur Prianto.

*

Usai maghrib, warga bergegas menaiki bukit di seberang lapangan untuk mengikuti ritual lamporan. Mereka berjalan cepat sembari membawa obor. Saya dan sejumlah tamu dari luar desa kewalahan mengikuti gerak mereka sehingga nyala obor tampak semakin menjauh dan gelap.

Setelah berjalan selama sekitar 30 menit, kami tiba di bagian yang cukup lapang, tak jauh dari puncak bukit. Di situ warga berjalan memutar sebanyak tujuh kali mengikuti pemimpin ritual lamporan yang mengucapkan mantra. Usai putaran itu, warga berkumpul dan duduk membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran itu, Gunretno dari JMPPK Pati yang juga tokoh sedulur sikep memimpin doa.

Lamporan adalah tradisi petani lama yang dihidupkan kembali. Pertama di Pati, kemudian Rembang. Warga dari kedua wilayah itu kini berbagai asa menjaga pegunungan Kendeng dari tangan para penjagal. Melalui ritual lamporan, para pendahulu mengusir hama dan kekuatan jahat yang merusak tanaman. Sedangkan generasi petani masa kini menggelar lamporan untuk mengusir pabrik semen.

Usai doa, ritual lamporan pun selesai. Sebelum pulang, Gunretno tak lupa mengajak semua warga untuk terus menjaga semangat karena mereka menghadapi musuh yang besar.

Ratusan obor dimatikan. Warga kembali ke arah semula. Dari atas bukit itu, di kejauhan tampak satu petak wilayah yang bercahaya terang benderang. Di situlah lokasi pabrik semen yang tengah dibangun selama dua tahun terakhir.

            *

Wajah-wajah lelah berkumpul di rumah Sukinah. Sebagian besar adalah tamu dari berbagai wilayah. Sukinah terus memastikan para tamunya mendapat minuman dan makanan yang cukup, seakan dirinya tak kenal lelah. Garis hitam melingkar di bawah matanya.

Tetapi ia memang tak lelah. Awal pekan ini, saya mendengar ia bersama para perempuan dan perwakilan warga lainnya kembali ke Jakarta untuk membangun tenda di depan istana. Mereka mau bertahan hingga presiden menemui mereka seperti yang dijanjikan.

Saya ingat ucapannya malam itu sebelum kami berpamitan.

“Kulo niko intine nggih gadah kewajiban kudu ngrekso ibu bumi supoyo tetep lestari kanggo anak putu (saya punya kewajiban menjaga ibu bumi supaya tetap lestari demi anak cucu)”.

Related posts

Demotivasi Hindia Album Kedua: Merayakan Kiamat Tanpa Juru Selamat (Bagian 3/ Habis)

Tim Liputan LHAB

Papua di Depan Mata

Hermitianta Putra

Demotivasi Hindia Album Kedua: Merayakan Kiamat Tanpa Juru Selamat (Bagian 2)

Tim Liputan LHAB

1 komentar

Peluru & Serunai 28 Januari 2017 at 03:15

[…] masyarakat Papua yang puluhan tahun memperjuangkan tanah dan kemerdekaannya; dari setiap petani dan masyarakat yang memperjuangkan lahan hidupnya di seluruh sebaran titik api konflik […]

Reply

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy