Pwissie Beni Satryo dan munculnya kembali gerakan puisi mbeling.
Saya menandaskan pembacaan terhadap buku puisi Pendidikan Jasmani dan Kesunyian dalam waktu singkat. Tidak sampai satu hari. Ini dimungkinkan oleh tiga hal. Pertama, buku puisi karya Beni Satryo ini tak terlalu tebal. Hanya 63 halaman. Kedua, puisi-puisi di buku ini relatif pendek. Tak ada puisi naratif yang panjang. Semua puisi dalam buku ini masing-masing hanya satu halaman. Hal ini memberi efek pada proses pembacaan. Puisi-puisi dalam buku ini bisa dibaca sembari mengerjakan hal lain. Bisa dibaca sambil menengok timeline media sosial, mengunyah makanan, atau sembari menunggu ojek datang.
Ketiga, puisi di buku yang diterbitkan EA Books ini relatif mudah dipahami siapa saja. Tidak perlu kening berkerut atau teori sastra ndakik-ndakik untuk memahaminya. Tak perlu menjadi sarjana sastra atau kuliah teori sastra 2 SKS untuk memahami puisi-puisi Beni Satryo. Hal ini seperti diterakan oleh EA Books, penerbit buku ini, lewat akun twitternya: “Di hari-hari ini, puisi boleh menjadi milik siapa saja.”
Lalu pertanyaannya, adakah kesegaran yang ditawarkan buku ini? Saya kira jawabannya adalah ya. Buku ini membawa humor, lelucon, atau kelakar kembali ke puisi-puisi Indonesia. Sesuatu yang sempat sedikit hilang di ranah sastra Indonesia. Mengapa hilang? Saya tak tahu sebabnya. Yang jelas kelakar, humor, atau lelucon bukanlah hal baru di ranah sastra Indonesia. Misbach Yusa Biran pernah menulis cerpen-cerpen penuh humor pada periode 1950-an. Begitu pula Remy Sylado pada 1970-an, dengan gerakan puisi mbeling, ia membawa humor masuk ke ranah puisi-puisi Indonesia.
Meski begitu, dalam beberapa tahun terakhir, apa yang disebut sastra identik dengan kemuraman, senja, hujan, dan hal-hal dengan nada serius semacam itu. Pada kutub lain, sastra dibebani kredo ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Efeknya, tak sedikit karya sastra yang terus menerus berupaya melaporkan fakta sembari berpihak kepada yang terpinggirkan. Dengan kata lain, ada semacam tendensi bahwa karya sastra menjadi dokumen sosial.
Dalam situasi sastra Indonesia semacam itu, karya Beni Satryo menjadi menonjol. Ada hasrat bermain-main, mengejek, dan meledek kemapanan puisi atau sastra. Hasrat itu bisa ditandai dari lema puisi yang ditulis menjadi pwissie di sampul buku ini. Selain itu, puisi-puisi Beni seperti tidak punya pretensi atau tendensi apapun. Ia tak hendak melakukan kritik terhadap situasi sosial. Ia tak hendak menggugat problem tertentu. Ia tak berbicara narasi besar.
Sebaliknya, puisi-puisi dalam buku ini seperti abai terhadap situasi sosial. Ia berbicara hal-hal kecil. Saya kira, puisi-puisi Beni Satryo adalah representasi kaum urban, yang asyik dengan dirinya sendiri, bekerja menjadi sekrup industri raksasa, sambil sesekali peduli dengan isu sosial politik, dan tak lupa menertawakan hidup. Simak empat biji puisi yang saya nukil dari buku tersebut.
Di Restoran
Kau bertanya banyak hal
Saat kita mampir di restoran itu
Ini apa? Lada.
Ini? Garam dan saus.
Itu apa? Pisau dan garpu.
Itu?
Kau menunjuk sesuatu yang mengalir
dari kedua mataku yang hambar
Aku menunjuk struk-struk yang terselip
Di bawah mangkuk acar.
Itu apa?
Harga yang harus kita bayar.
Menyiram Kuah Soto
Aku menyiram kuah soto di singup hatimu
agar cinta kita tumbuh menjadi botol kecap
yang menantang patgulipat air mata
dalam setiap perkara keasinan
Di Metromini
Ada yang mengembik dalam hati
Adik manis memakan popmi
Lelaki keblinger terantuk pinggiran kursi
Nietzsche dan Perempuan Berhati Pos Ronda
Adik manis duduk sendirian
memainkan sedotan es teh.
Satu lelaki pura-pura mengunyah es batu.
Lelaki lain pura-pura mengusir daun seledri
dari mangkuk sotonya
Dan jika kau menatap perempuan itu terlalu lama
Seorang hansip akan menatapmu. Lebih lama.
Nukilan puisi-puisi Beni tersebut memperlihatkan betapa humor dapat tampil lewat medium puisi. Meskipun demikian, perlu diingat pula bahwa puisi yang menawarkan humor, tawa, lelucon, atau kelakar bukanlah hal yang benar-benar baru di wilayah sastra Indonesia. Pada periode 1970-an ada gerakan puisi mbeling yang diinisiasi Remy Sylado.
Gerakan puisi mbeling merupakan respon terhadap dua hal. Pertama, sikap feodal dan munafik Orde Baru. Kedua, pandangan estetika bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih sesuai stilistika yang baku. Gerakan ini berpendapat bahwa bahasa puisi dapat diambil dari bahasa sehari-hari. Apakah puisi dapat menggugah kesadaran masyarakat atau tidak, bermanfaat atau tidak bagi masyarakat. Ini yang terpenting.
Sebagai respon terhadap dua hal tersebut, maka puisi-puisi mbeling pun lebih banyak memuat kritik sosial terhadap situasi saat itu dengan bahasa yang mudah dipahami. Berikut saya nukil tiga puisi mbeling Remy Sylado dari buku Puisi Mbeling (2004).
Madah yang Tertindas Namun Tak Binasa
Lantaran kamu
Memerintah dengan kekerasan
Aku menyiapkan pemberontakan
Dengan kasih sayang
Lewat teaterku
Menyingkat Kata
Karena
Kita orang Indonesia
Suka
Menyingkat Wr. Wb.
Maka
Rahmat dan berkah ilahi
Pun
Menjadi singkat
Dan tidak utuh buat kita
Dua Daya
Motivator
Berbicara tentang
Memberdayakan rakyat
Koruptor
Berbicara tentag
Memperdayakan rakyat
Gerakan ini sendiri mewujud lewat rubrik puisi mbeling di majalah musik Aktuil. Dalam pengantar buku Puisi Mbeling sendiri tercatat setiap bulan majalah Aktuil menerima ratusan puisi mbeling. Gerakan ini pada dasarnya hendak melawan kemapanan sastra yang didominasi majalah sastra Horison. Situasi pada saat itu memang demikian. Seolah-olah, stempel sastrawan baru layak diterakan jika seorang penyair berhasil menerbitkan karyanya di majalah Horison.
Pada titik ini, puisi-puisi Beni Satryo dapat dikatakan serupa dengan gerakan puisi mbeling. Ia berhasrat mengejek kemapanan puisi-puisi Indonesia. Meski demikian, Beni tak banyak bicara soal kritik sosial seperti puisi mbeling. Ia lebih kerap bicara hal-hal kecil lewat perspektif humor. Kegemaran berbicara hal-hal kecil ini saya kira banyak berutang dengan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Beni, serupa Sapardi, enteng saja menggarap kuah soto menjadi tema puisi. Se-enteng Sapardi menggarap hujan di bulan Juni menjadi puisi.
Apakah puisi-puisi Beni Satryo akan terus dikenang seperti Sapardi? Waktu yang akan membuktikan. Sementara itu, puisi-puisi dalam buku Pendidikan Jasmani dan Kesunyian bolehlah dikatakan membawa kesegaran di wilayah puisi Indonesia saat ini. Setidaknya, ia memberi peluang bahwa sastra juga bisa diisi hal-hal yang jenaka tanpa kehilangan makna.
Judul : Pendidikan Jasmani dan Kesunyian
Penulis : Beni Satryo
Penerbit : EA Books
Halaman : 63 hlm
Tahun terbit : April 2016