Serunai.co
Ulasan

Seni Kampanye Menolak Pemilu

seni menolak pemilu

Seni menolak pemilu. Pelaku seni yang melek politik di Indonesia aktif merespons situasi, termasuk ketika masa pemilihan umum tiba. Musisi hingga perupa berupaya memberikan pendidikan politik dengan cara mereka. Melihat hasil pemilu dan dampaknya bagi warga akar rumput saat ini, pesan yang mereka bagikan terasa kian relevan.

Petikan gitar disambut tepukan jimbe dan lengkingan harmonika pelan-pelan membuka lagu berjudul “Pilu Pemilu” yang dinyanyikan Kepal SPI. Mendengar irama lagunya, sulit untuk tidak ikut mengangguk-anggukkan kepala. Kelompok musik yang tumbuh di jalanan itu mengajak pendengar untuk mengamini seni menolak pemilu atau pemilihan umum, dengan cara yang santai.

Bagi saya yang lahir di era 1980-an, irama lagu itu terasa akrab meski videonya baru diunggah di youtube pada 2014 (lihat di sini). Itu karena lagunya merupakan hasil aransemen ulang mars pemilu yang rutin diputar di radio dan televisi setiap menjelang pemilu di masa Orde Baru. Di versi aslinya, lagu karya Mochtar Embut itu dinyanyikan oleh paduan suara dengan iringan piano. Embut adalah komposer kelahiran Makassar yang produktif membuat karya. Saat meninggal di usia 39 tahun, ia telah menciptakan tak kurang dari 100 karya termasuk mars pemilu.

Selain menyesuaikan komposisi musiknya, Kepal SPI juga mengubah liriknya. Jadi, lagu yang mereka rekam pada 2009 itu adalah semacam versi parodi dari mars resmi pemilu di masa Orde Baru.

Lirik versi asli :
pemilihan umum sedang memanggil kita// seluruh rakyat menyambut gembira// hak demokrasi pancasila// hikmah Indonesia merdeka

pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya// pengemban ampera yang setia// di bawah undang-undang dasar 45// kita menuju ke pemilihan umum

*Ampera adalah akronim untuk “amanat penderitaan rakyat”

Lirik versi Kepal SPI :
pemilihan umum telah menipu kita// seluruh rakyat dipaksa gembira// hak demokrasi dikantongi// hidup kita belum merdeka

semua partai (a)sudah tak dapat dipercaya// ujung-ujungnya cuma duitnya// di bawah undang-undang warisan Belanda// jangan nyoblos ayo tinggal tidur saja    

*Dalam pengucapannya, kata “sudah” terdengar diawali dengan suara “a” sehingga menjadi “(a)sudah”. Bisa jadi ini bentuk umpatan. Di Jawa, kata “asu” atau “anjing” kerap digunakan untuk mengumpat.

Baca Juga:  Rehearsal yang Membangun Kesadaran: Mengamati Pertunjukan “Membaca Sanghyang” Seutuhnya

Keluarga Seni Pinggiran Anti Kapitalisasi (Kepal) adalah kelompok musik yang menjadi anggota Serikat Pengamen Indonesia (SPI). Mereka kemudian menggabungkan namanya menjadi Kepal SPI. Kelompok musik yang mulai aktif di Yogyakarta pada 2001 ini punya dua personel tetap, yakni Mantopane yang biasa dipanggil Gonzales selaku vokalis dan Tole sebagai gitaris.

Lantaran kerap mengamen di jalanan, mereka tahu betul kondisi rakyat di bawah. Oleh karena itu, mereka selalu menelurkan karya dengan lirik-lirik yang sarat kritik terhadap penguasa. Lagu “Pilu Pemilu” yang kemudian dibuat videonya itu adalah salah satu kritik tentang seni menolak pemilu karena pemilihan umum dianggap hanya mementingkan penguasa.

Di sela-sela video lagu itu, mereka menyisipkan alasan seni menolak pemilu. Mantopane, misalnya, mengatakan bahwa pemilu 2004 dan 2009 telah menipu rakyat. Rekannya yang lain menyebut sejumlah masalah yang tak kunjung selesai meski pemilu sudah dilewati berulangkali: kasus kematian aktivis hak asasi manusia Munir dan buruh Marsinah; hilangnya penyair Wiji Thukul; pelanggaran HAM di Papua; hingga kerusakan lingkungan dan tergusurnya kelompok marjinal akibat rencana pembangunan yang hanya berpihak pada investor di Bali, Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan, dan sebagainya.

Video yang diunggah Tomy Apriando pada 5 April 2014, empat hari menjelang pemilihan anggota legislatif itu, hingga artikel ini ditulis, sudah ditonton sekitar 16.700 kali. Di akhir video, mereka mengucapkan selamat menunaikan ibadah golput.

Golput atau golongan putih adalah istilah yang mengacu pada mereka yang menolak pemilu di Indonesia. Istilah ini pertama kali muncul pada 1971, jelang pemilu pertama di era Orde Baru. Waktu itu, sekelompok intelektual dan aktivis menolak ikut pemilu sebagai bentuk oposisi terhadap Orde Baru. Pemilu waktu itu dianggap sebagai alat legitimasi untuk terus berkuasa. Tidak ada alternatif lain untuk dipilih. Pencetus golput menganjurkan para pemilih datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk mencoblos di bagian kertas putih, atau di luar gambar yang mestinya dicoblos. Namun, tak sedikit dari pengikut gerakan ini yang memilih tidak datang ke TPS. Gerakan golput ini terus berlangsung dalam setiap pemilu di masa Orde Baru.

Pasca-Orde Baru, masih ada banyak pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Istilah golput pun terus digunakan untuk menyebut mereka yang tidak menggunakan hak pilih, tak peduli apapun alasannya. Pada pemilu legislatif 2014 lalu, misalnya, jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya mencapai sekitar 24 persen. Ada yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagai pilihan politik, namun ada pula yang karena keadaan, misalnya karena namanya tidak tercatat dalam daftar pemilih tetap, atau karena berhalangan ke TPS.

Baca Juga:  Mari Mengenang Semsar

Ditemui akhir Juli lalu, Mantopane menuturkan bahwa di masa kini golput masih relevan karena pemilu tetap dipenuhi wajah-wajah lama yang memiliki hubungan dengan Orde Baru. Ia merasa tidak ada yang bisa diharapkan dari partai politik maupun kandidat yang tengah bersaing meraup suara rakyat. Karena itu, ia tak percaya bahwa menggunakan hak pilih pada pemilihan anggota legislatif maupun presiden akan bisa mengubah keadaan.

Video parodi mars pemilu itu sengaja dibuat untuk merespons pemilu 2014 yang digelar 16 tahun pascatumbangnya Orde Baru. Sedangkan lagunya sudah direkam pada 2009 untuk merespons pemilu di tahun yang sama. “Kalau semua golput, pemilu batal. Lalu kembalikan lagi ke rakyat bagaimana maunya, lalu kita cari lagi solusinya bersama,” katanya.

Memarodikan mars pemilu merupakan langkah yang efektif. Di Indonesia, mars itu sudah menempel di memori jutaan orang yang mengalami masa Orde Baru. Pada pemilu 2014, ada mars baru yang dikenalkan ke publik. Namun bagi sebagian besar pemilik hak pilih, mars pemilu Orde Baru tetap lebih familiar. “Aku pernah mendengar orang ngamen pakai lagu itu,” ujar Mantopane soal lagu parodinya.

Mars seperti sudah menjadi menu wajib dalam perhelatan politik di Indonesia. Tak hanya mars resmi yang digunakan lembaga penyelenggara pemilu, setiap partai politik pun merasa perlu memiliki mars dengan kata-kata megah untuk diperdengarkan di antara jeda komersial radio dan televisi. Selain kekuatan lirik dan irama mars pemilu yang familiar, video Kepal SPI itu juga menampilkan sejumlah poster yang mengkampanyekan penolakan terhadap pemilu. Itu adalah poster karya kelompok Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia atau Sebumi. Sebumi adalah nama baru yang dipilih untuk menggantikan nama SPI.

Baca Juga:  Enola Holmes dan Perjalanan Menuju Arketipe Holmesian yang Lebih Relevan

Salah satu poster berbunyi “Ingat Golput daripada Salah Pilih” dengan jelas mengkampanyekan penolakan terhadap pemilu. Di poster lainnya, kalimat “Jangan Biarkan Tentara Berkuasa” mengingatkan rakyat tentang siapa saja sosok yang ada dalam daftar calon legislatif maupun presiden.

Selain lewat poster yang ditampilkan dalam video tersebut, Sebumi juga mengungkapkan penolakannya terhadap pemilu dengan membuat karya di ruang publik. Itu bisa berupa poster maupun mural.

Kelompok Seni Taring Padi juga merespons pemilu 2014 dengan menempelkan poster di sejumlah dinding ruang publik Yogyakarta. Semula, poster-poster itu dibuat dengan teknik cukil kayu untuk menyikapi pemilu 2009. Jelang pemilu 2014, karya-karya itu direproduksi dengan teknik cetak yang lebih sederhana. Proses penempelan poster di ruang publik itu diunggah di youtube pada 17 Mei 2014 (lihat di sini), menjelang pemilihan presiden.

Selama ini, karya-karya kelompok seni yang turut aktif menggulingkan Orde Baru itu dikenal lugas dalam menyampaikan pesan. Kelugasan itu juga terlihat dalam karakter gambar maupun pilihan kata dalam poster seri pemilu mereka, misalnya “Berpikir Merdeka”, “Menolak Dibodohi”, atau “Percaya Diri Bebas Memilih Tanpa Tekanan” yang mengajak warga merenungkan hak pilihnya.

Fitri DK, anggota Taring Padi menuturkan, ada 22 poster seri pemilu yang mereka buat. Poster-poster itu dibuat sebagai media pendidikan politik bagi rakyat. Karena itu, menempelkannya di ruang publik menjadi pilihan yang masuk akal supaya bisa dilihat oleh warga yang melewatinya.

Dalam poster-poster itu, mereka mengampanyekan berbagai isu. Mulai dari hak politik perempuan, buruh dan petani, kesetaraan, hingga pelanggaran HAM. Itu adalah isu yang selalu menjadi fokus karya-karya Taring Padi. Dalam konteks pemilu, isu-isu itu kembali diangkat untuk mengingatkan rakyat soal hak-haknya sebagai warga negara. Melalui poster-poster itu, Taring Padi mengajak warga supaya tidak memilih partai atau kandidat yang abai terhadap hak warga. Jika ternyata partai politik maupun kandidat yang menjadi peserta pemilu tidak ada yang bisa diharapkan, poster Taring Padi lainnya yang berbunyi “Memilih atau Tidak adalah Pilihan” bisa menjadi bahan perenungan yang baik.

seni menolak pemilu
“Memilih atau Tidak adalah Pilihan” karya Taring Padi
seni menolak pemilu
“Memilih tanpa Tekanan” karya Taring Padi

*) tulisan ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa jerman dan dimuat di www.graswurzel.net

Related posts

Menyimak Komposisi Lintas Batas dari Kira Linn’s Linntett

Amos

Alam Liar Sarkem Jogja, Debut Vivacity yang Menolak Bernasib Buruk

Ismail Noer Surendra

Sisir Tanah dan Nyanyian Eksistensial

Krisnaldo Triguswinri

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy