Serunai.co
Ulasan

Eksperimen Alih Wahana dalam “Bank Pasar Rakyat”

Pertunjukan teater "Bank Pasar Rakyat", oleh Forum Aktor Yogyakarta bersama Paguyuban Pedagang Pasar Kota Yogyakarta, Jumat (23/9), di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. (dok. Agathon Hutama)

Forum Aktor Yogyakarta (FAY) menggagas sebuah pementasan berjudul “Bank Pasar Rakyat”. Eksperimen alih wahana menjadi proses yang ditempuh untuk menciptakan pementasan teater yang holistik.

Berpartisipasi dalam perhelatan “Festival Teater Yogyakarta 2016”, FAY menggagas sebuah pementasan teater dengan naskah berjudul “Bank Pasar Rakyat”. Naskah ini berangkat dari dinamika perekonomian masyarakat di tingkat mikro yang terjadi di sekitar awal tahun 1990. Bukan tanpa alasan perekonomian masyarakat diletakkan oleh FAY sebagai bahan baku pementasan mereka kali ini.

FAY menyadari bahwa ekonomi merupakan bagian penting dari aktivitas manusia. Usaha pemenuhan kebutuhan, yang sedikit banyak terikat dalam rantai ekonomi, memiliki peranan dan mempengaruhi hubungan sosial antarmanusia. Pengaruh itulah yang ingin digambarkan oleh FAY lewat pementasan teater mereka. Pelaksanaan ekonomi di tataran pasar tradisional dijadikan sebagai titik pijaknya. Konsep alih wahana yang diusung oleh FAY sebagai pijakan penciptaan karya lantas diturunkan menjadi metode yang wajib ditempuh agar pementasan yang mereka suguhkan benar-benar konkret.

Untuk mendapatkan gambaran yang presisi, FAY menjumput kepingan cermin mengenai gambaran perekonomian di tingkat mikro dari hasil disertasi guru besar sosiologi Universitas Gadjah Mada, Heru Nugroho. Disertasi yang berjudul “Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Pulau Jawa” memaparkan bagaimana laju perekonomian di tingkat mikro digerakkan oleh aktivitas perniagaan para pedagang di Pasar Bantul, DI Yogyakarta.

Makna uang dalam masyarakat sub-ordinat, proses aktivitas hutang-piutang yang dijalankan oleh rentenir sebagai bagian dari denyut perekonomian akar rumput, serta makna sosial terhadap peran rentenir itu sendiri menjadi hal-hal yang lantas dikemas menjadi lakon di atas pentas. Proses pendedahan dan perangkaian pementasan ini cukup menarik. Alih-alih diserahkan kepada sutradara, naskah pementasan dirangkai bersama oleh segenap aktor yang terlibat.

Baca Juga:  Teater yang ‘Bukan-Bukan’ ala Teater Garasi

Mereka menempuh jalan saling silang pendapat secara intensif guna memperoleh intisari karya ilmiah yang mereka jadikan rujukan. Para aktor mau tidak mau kembali menelusuri ruang-ruang di Pasar Bantul untuk menemukan bagaimana aktivitas perekonomian di sana terjadi dalam konteks waktu yang sekarang. Hal itu sekaligus sebagai usaha untuk mendapat gambaran yang tidak hanya komprehensif, namun juga kontekstual.

Proses alih wahana tersebut tidak berhenti di sana. FAY lantas melibatkan subyek dari fenomena besar yang mereka ambil yaitu para “manusia pasar” dalam proses serta pementasan mereka. Hingga akhirnya dipilihlah Paguyuban Pedagang Pasar Kota Yogyakarta (PPPKY) sebagai kolaborator yang mempunyai peran signifikan dari jalannya suatu laju ekonomi di sebuah pasar tradisional. Keterlibatan pedagang, pengelola pasar, rentenir dan seniman-seniman yang aktif di lingkungan pasar dimaksud untuk menambah muatan otentik dalam upaya penyampaian pesan kepada khalayak.

Maka bertemulah tafsir karya dari dua pihak. Pihak-pihak yang selama ini hanya menjadi “orang luar” dalam lingkup dinamika pasar turut terlibat secara langsung sebagai bagian dari denyut aktivitas perekonomian di pasar tradisional. Titik temu tersebut selanjutnya dibaurkan dalam satu peristiwa yang sama, yaitu peristiwa panggung. Hingga akhirnya alih wahana telah sampai pada momen ketika para pelaku pentas mengintegrasikan referensi mereka masing-masing, saling beradaptasi dan saling mengisi kekurangan satu sama lain.

Setelah proses pendedahan dan proses mencari detil usai, barulah FAY mencoba bereksplorasi di wilayah artistik. Itu pun berjalan cukup hati-hati. Menemukan sebuah konstruksi artistik menjadi prioritas yang utama. Setiap eksplorasi yang muncul dibagikan lewat proses latihan bersama secara langsung. Tak dapat dimungkiri, mengkontekstualisasikan sebuah teks ilmiah menjadi teks seni bukanlah perkara yang mudah. Satu proses lagi yang tak kalah penting adalah menerjemahkan kenyataan empirik yang tertuang dalam pengalaman serta karya ilmiah, menjadi bahasa pertunjukan. FAY berusaha sedapat mungkin agar pesan yang mereka sodorkan kepada khalayak dapat diterima.

Baca Juga:  Berakar dan Menjalar di Konser Rimpang: Membaca Muslihat Estetika Baru ala Efek Rumah Kaca

Otentitas pentas “Bank Pasar Rakyat” semakin menemukan bentuk konkretnya lantaran Pasar Beringharjo menjadi tempat yang dipilih untuk mempertontonkan karya kolektif antara seniman dan juga para pelaku pasar itu sendiri. Dilaksanakan pada 21 September 2016 lalu, peristiwa panggung ini terjadi pukul 14.30 WIB, bersamaan dengan aktivitas pasar yang tengah berlangsung. Bau pasar tradisional, para pengunjung yang berjejalan, serta teriknya udara di Pasar Beringharjo menciptakan atmosfer pertunjukan yang riil ketika aksi panggung yang direncanakan bertemu dengan latar yang natural. Batas antara aktor dengan mereka yang memang senjaga menghadirkan diri sebagai penonton, dan juga mereka yang memang beraktivitas di pasar baik sebagai penjual maupun pembeli, terkaburkan dan sesaat memunculkan kondisi apa yang Jean Baudrillard sebut sebagai simulakra—ketika simulasi (pertunjukkan) dan realitas (aktivitas di pasar) tak lagi jelas batasnya.

Selang dua hari kemudian, eksperimentasi FAY berlanjut di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sebagai tempat pementasan. Alih wahana dalam tataran artistik kembali terjadi mengingat Beringharjo dan Concert Hall memiliki sifat yang berbeda 180 derajat. Concert Hall TBY sebagai panggung pertunjukan yang bersifat konvensional, memposisikan penampil dan penonton dalam satuan jarak yang jelas: panggung dan bangku penonton. Sialnya, hal tersebut yang ingin dihindari oleh FAY. Tak ingin lepas dari misi untuk menghadirkan sebuah pertunjukan yang konkret serta holistik, akhirnya dilakukan pembacaan dan penyesuaian ulang mengenai seluruh elemen artistik dalam konteks panggung Concert Hall.

Hingga akhirnya konsep pementasan partisipatoris menjadi tajuk pertunjukan malam itu. Hadirin pertunjukan dibawa ke area sandiwara secara langsung dan dekat. Penonton digiring dari posisinya untuk turun dan terlibat langsung di peristiwa kreatif tersebut. Lantas terciptalah pemandangan bahwa begitu banyak aktor yang terlibat. Keriuhan yang tercipta secara alami di Pasar Beringharjo berganti dengan keriuhan yang diciptakan oleh penonton di Concert Hall. Celetukan spontan hadirin dan improvisasi respon aktor saling dilempar-tangkap dengan cair. Menciptakan suasana Concert Hall rasa Beringharjo.

Baca Juga:  Teater Kecil Kota & Ingatan

FAY dan pementasan “Bank Pasar Rakyat” seolah-olah semakin menegaskan bahwa kesenian bisa sangat bersifat lentur. Fleksibilitas penyampaian gagasan dalam bentuk kesenian, tidak sekaku dan baku penyampaian dalam gagasan ilmiah. Hal yang terlihat remeh justru bisa menjadi bagian terpenting dari kebutuhan penciptaan. Sekaligus membuat kesenian mempunyai posisi tawar dan fungsi yang lain dalam mengantarkan sebuah realitas sosial yang kompleks.

*Tulisan ini diolah Aloysius Bram dari tulisan “Catatan Proses Pertunjukan ‘Bank Pasar Rakyat’ oleh Forum Aktor Yogyakarta” karya Muhammad Yudha Pratama.

Related posts

Merayakan Kepulangan Joni dan Susi

Aris Setyawan

Pesona Silat Jawa Minang

Michael H.B. Raditya

Berakar dan Menjalar di Konser Rimpang: Membaca Muslihat Estetika Baru ala Efek Rumah Kaca

Pry S

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy