Serunai.co
Berita

FFD 2016 Refleksikan Fenomena Pengungsi

Pembukaan Festival Film Dokumenter 2016 (Dok. Gregorius Christian H).
Pembukaan Festival Film Dokumenter 2016 (Dok. Gregorius Christian H).

Sepuluh ekor keledai menapaki jalanan curam di sebuah lembah basah berselimut salju dengan langkah yang ringkih. Punggung mereka dibebani dengan barang-barang.

Keledai-keledai itu dituntun oleh tiga orang penduduk Desa Roboski. Roboski adalah sebuah desa di perbatasan Turki dan Irak dengan penduduk mayoritas etnis Kurdi. Desa tersebut berada di dataran tinggi yang dilintasi tiga jalur pegunungan, yakni Altin Tepe, Muhrina Daglari dan Tanintanin Daglari. Pada 28 Desember 2011, ketika 40 orang dari desa Roboski menuju perbatasan Turki, mereka dibombardir oleh pesawat militer Turki. Sebanyak 34 orang tewas, 11 di antaranya adalah anak-anak. Hingga hari ini, sejak seratus tahun yang lalu di garis perbatasan, kematian selalu terjadi dan terus berlangsung.

Kisah tersebut adalah penggalan cerita dari film dokumenter berjudul I Remember arahan Selim Yildiz, sutradara dari etnis Kurdi. I Remember menjadi film pembuka dalam Festival Film Dokumenter (FFD) tahun 2016 yang diselenggarakan pada 7-10 Desember di Taman Budaya Yogyakarta.

FFD adalah sebuah ajang yang digagas oleh Forum Film Dokumeter Yogyakarta. Bermula pada 2002, FFD merupakan inisiatif untuk mengumpulkan para pembuat film dokumenter dari berbagai daerah supaya bisa bertemu dan saling mengapresiasi.

Tahun ini, “Displacement menjadi tajuk yang dipilih sebagai perspektif yang merangkum FFD. Displacement, atau pemindahan, merupakan gagasan yang terinspirasi dari fenomena gelombang pengungsi di Eropa dari daerah-daerah yang dihantam konflik dan agresi militer.

Fransiskus Apriwan, salah satu programmer FFD 2016, memaparkan pada awalnya bahasan mengenai pengungsi dirasa jauh dari konteks masyarakat Indonesia. “Lantas untuk mengkontekstualisasikan perspektif, kami mencoba untuk memperluas bahasan, dan dirumuskanlah displacement atau perpindahan sebagai perspektif tahun ini,” jelas Apriwan yang biasa dipanggil Iwan, Rabu (7/12).

Baca Juga:  Meneroka Festival

“Displacement” sebagai perspektif FFD ke-15 ini tidak hanya diartikan perpindahan sesuatu secara geografis atau lokasi saja. Namun, perpindahan dapat dilihat dalam kerangka yang lebih beragam dan lebih luas. Isu kekerasan, diskriminasi, dan lain-lain, misalnya, kerap dialami kaum marjinal. Masyarakat sering kali melimpahkan isu-isu tersebut kepada pihak yang mempunyai otoritas tertentu, sehingga masyarakat lupa bahwa isu-isu tersebut adalah juga tanggung jawab bersama. “Displacement kami tawarkan sebagai medium refleksi atas sikap kita yang kerap kali mencuci tangan terhadap permasalahan sosial yang terjadi,” tambah Iwan.

Total ada 71 film dari 32 negara akan ditayangkan selama FFD. Ke-71 film tersebut terbagi dalam beberapa program yang masing-masig menjadi mata acara yang merangkai festival ini. Program Kompetisi Dokumenter menjadi program utama helatan FFD seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Kompetisi tersebut dibagi ke dalam tiga kategori, yakni kompetisi dokumenter panjang, dokumenter pendek dan dokumenter pelajar. Tahun ini, ada 22 film yang bersaing dalam ajang ini.

Selain program kompetisi, terdapat program lain yang juga menjadi mata acara. Salah satunya ialah Program Perspektif. Program ini menayangkan film-film yang telah melalui proses kurasi sejak pertengahan 2016. Tidak hanya para pembuat film dokumenter yang berasal dari Indonesia, para pembuat film dari luar negeri juga turut berpartisipasi dalam Program Parsial. Berbagai film dokumenter dari beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, Jepang dan Perancis di putar di program tersebut.

Seluruh film tersebut diputar di beberapa lokasi yang berbeda, yakni Kompleks Taman Budaya Yogyakarta yang meliputi ruang seminar TBY dan Gedung Societet, Kelas Pagi Yogyakarta dan IFI-LIP Yogyakarta.

Tak hanya pemutaran film, FFD juga menyelenggarakan program edukasi. Salah satunya program Masterclass, yakni sebuah program yang memungkinkan para pembuat film dokumenter Indonesia berdiskusi dan berkonsultasi dengan tiga orang mentor seperti Malinda Wink (Direktur Good Pitch Australia), John Appel (pembuat film asal Belanda), dan Ranjani Palit (pembuat film asal India). “Program masterclass tahun ini diikuti oleh delapan orang pembuat film dokumenter dari berbagai kota di Indonesia yang masing-masing sedang menggarap enam karya,” papar Mega Nur, salah satu panitia Masterclass FFD.

Baca Juga:  Menghapus Intoleransi melalui Seni Rupa

Selain itu, ada Program SchoolDoc yang digagas untuk merangsang minat dan apresiasi terhadap film dokumenter di kalangan pelajar. Tahun ini, Program SchoolDoc menyambangi SMAN 6 Yogyakarta, SMAN 1 Banguntapan dan SMAN 7 Yogyakarta dengan tujuan untuk membagikan wawasan mengenai dunia film dokumenter kepada pelajar.

Related posts

Musik Bising dalam Kajian

Ferdhi Putra

Bernostalgia dengan Rilisan Fisik

Nathan Cristian

Jono Terbakar Merilis Mini-Album “Pesantren Kilat”

Redaksi Serunai

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy