Serunai.co
Bincang

Wregas Bhanuteja: Ada Pangsa Lain di Dunia Film

wregas bhanuteja
Serunai/Aloysius Bram

Penghargaan film pendek terbaik dalam Semaine de la Critique 2016 ke-55, Cannes, Perancis, dengan karyanya yang berjudul Prenjak melejitkan nama Wregas Bhanuteja. Bagaimana tidak. Ia adalah sutradara pertama dari Indonesia yang memenangi festival film independen terbesar di dunia itu. Selain berjaya di Cannes, Prenjak juga mendapatkan penghargaan film pendek terbaik di Festival Film Indonesia 2016. Pemuda kelahiran Jakarta 24 tahun silam ini mengaku tidak pernah menyangka akan menerima banyak penghargaan untuk karya-karyanya seperti sekarang.

Saya pun tidak menyangka akan bertemu dengan Wregas Bhanuteja, Kamis (15/12) siang itu. Ia baru pulang dari salah satu workshop pembuatan film panjang di Prancis, sepekan sebelum ia kembali menjejakkan kaki di Yogyakarta. Pada hari yang sama ketika kami bertemu, ia menyempatkan diri untuk mampir dan memutar lima karyanya di almamaterya yakni SMA Kolese De Britto. Lima “anak” Wregas itu adalah Senyawa (2012), Lembusura (2014), Lemantun (2014), The Floating Chopin (2015), dan Prenjak (2016).

Momen siang itu cukup istimewa bagi Wregas. Si Prenjak yang telah lama melanglang buana akhirnya pulang ke kandang. Masa SMA adalah awal mula ia berkenalan secara intim dengan dunia belakang layar perfilman. Lewat ekstrakurikuler sinematografi, ia menebar benih sekaligus memupuk mimpi-mimpinya itu.

Di tengah hujan yang baru saja berhenti dan membawa semerbak petrikor, siang itu kami ngalor-ngidul berbicara tentang banyak hal. Mulai dari awal ketertarikannya dengan film, pertemanannya, pengaruh Riri Riza, hingga kondisi perfilman Indonesia saat ini. Wregas Bhanuteja tipikal orang yang luwes dalam menyampaikan cerita. Persis seperti bagaimana film-filmnya selama ini berbicara kepada khalayak. Walau sudah melanglang hingga ke berbagai belahan dunia, medhok-nya sebagai orang Jawa masih menjadi bagian dari dirinya. Sambil sesekali diselingi adegan bercanda, ia memulai pembicaraan panjang itu.

Camera, rolling, action!

Boleh diceritakan bagaimana awal ketertarikan Wregas Bhanuteja berkancah di dunia film?

Awalnya dulu sewaktu kelas 3 SMP, ada lomba film antarkelas. Aku bersama teman-teman putuskan untuk ikut. Hanya saja waktu itu aku masih menjadi aktor. Walau jadi aktor, tapi malah banyak mengintervensi sutradaranya. Aku banyak kasih komentar dan masukan “ini kenapa shoot-nya seka kene?”, “aktingnya kok ngene-ngene?”, beserta ngene-ngene lainnya. Sampai akhirnya saya menyadari ternyata lebih asik menjadi orang di belakang film.

Jadi tidak langsung mengambil peran sebagai sutradara?

Enggak, hingga setelahnya aku masuk SMA dan di sana ada ekstrakurikuler sinematografi yang pada waktu itu baru tahun kedua dibuka. Lantas ikutlah saya dan saat itu baru mulai bikin banyak film pendek. Di sana aku menemukan bahwa sepertinya aku harus kuliah di perfilman, sehingga aku menargetkan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada waktu itu. Padahal dulu bapak tidak membolehkan. Orang tua menuntut, pokoknya aku harus masuk Teknik Industri di UGM (Universitas Gadjah Mada). Waktu itu aku masih ragu dan cari cara untuk mbuh piye carane, aku harus bisa masuk ke IKJ. Siasatku pada waktu itu adalah dengan cukup rajin bikin film. Hingga akhirnya film kesepuluh yang aku buat ternyata menang di sebuah festival film yang waktu itu diselenggarakan di Yogyakarta. Kemenangan itulah yang akhirnya aku tunjukkan ke orang tuaku dan melancarkan restu mereka.

Jadi semenjak SMA saja sudah produktif bikin film ya?

Ya waktu itu masih film yang waton-watonan saja. Belum film yang bagus dan serius. Waktu itu merekamnya saja masih pake handycam mini DV.

Apa film pertama yang dibikin secara serius oleh Wregas Bhanuteja?

Waktu itu ketika aku masih sebagai art director, belum jadi sutradara, judul filmnya adalah “Kunci”. Cuma ketika aku menjadi sutradara, film pertama yang aku bikin adalah “Muffler”, waktu itu aku bikin pas kelas 2 SMA.

Apa yang membuat Wregas tidak cukup merasa puas menjadi seorang art director saja pada waktu itu, dan beralih keputusan untuk membuat film dan menyutradarainya sendiri?

Ketika aku menjadi art director itu, sutradaraku bernama Ucok. Sama-sama teman seangkatan. Waktu itu gara-garanya ya sama ketika waktu SMP: masih sering mengintervensi sutradara. Aku sering mengomentari pekerjaanya Ucok. Bahkan sampai berantem sehingga waktu itu ya sampai berimbas di hubungan pertemanan kami hahaha. Ada dua kubu waktu itu, antara kubunya Ucok dan kubunya Wregas. Akhirnya ya sudah, kami bikin dengan jalan dan cara kami masing-masing. Nah, aku menemukan satu kebebasan yang lebih sebagai sutradara ketimbang ketika aku menjadi art director. Semua kendali dan pertimbangan macam-macam, termasuk pertimbangan estetik ada di aku. Walau pun secara tanggung jawab memang lebih besar tetapi aku tidak menjadi terhambat untuk menyalurkan ekspresi.

Waktu pertama kali menjalani peran sebagai sutradara, siapa sih yang paling berpengaruh dan banyak membantu?

Waktu itu tentu adalah guru sinematografiku. Namanya Mas Bayu Prihantoro Filemon. Dia adalah director of photography-nya sutradara Yoseph Anggi Noen. Jadi konsep-konsep dasar dalam membuat film seperti three point lighting dan continuity itu aku kenal dari beliau. Tapi kalau yang sejak sekolah hingga sekarang menjadi partner itu namanya Henricus Pria. Kemarin dia yang menjadi asisten sutradara di film Prenjak.

Berarti pertemanan sangat membantu dan mempengaruhi karya Wregas Bhanuteja ya?

Iya tentu. Bahkan rumah kreatif yang menaungi karyaku selama ini, Studio Batu, itu isinya teman-teman semenjak di SMA. Pertemanan kami sudah berlangsung lebih dari tujuh tahun. Ora adoh-adoh.

Wregas Bhanuteja cukup produktif dalam berkarya. Dalam kurun empat tahun terakhir saja, hampir setiap tahunnya selalu punya karya baru. Apa itu memang target yang dipatok Wregas?

Aku pribadi memang menargetkan minimal dalam setahun bisa produksi satu film pendek. Singkatnya, kalau bisa satu tahun jangan sampai vakum deh. Kenapa? Karena itu membuat ritme berkaryaku menurun. Untuk memulai lagi akan berat. Karena disamping membuat film pendek secara mandiri aku kan juga bekerja di Miles Production sebagai asisten sutradara atau behind the screen director. Di samping itu, juga menggarap proyek-proyek komersil seperti iklan. Nah, di tengah rutinitas itu aku menarget ada karya yang menjadi karya pribadi dan bukan karya yang orientasinya untuk kerja. Selain itu juga karena siasatku agar bisa bersaing di pangsa internasional. Jadi masa edar film di sebuah festival internasional itu satu tahun. Ketika ada film yang diproduksi pada tahun 2015, di tahun 2016 film itu bisa diedarkan.

Terdengar kejar target sekali ya. Kalau setiap tahun menarget satu film diproduksi, inspirasi cerita dari mana? Apa bukan justru semakin jenuh dan kebingungan karena harus garap cerita setiap tahunnya?

Kalau soal inspirasi, sebenarnya sangat sehari-hari. Waktu pertama kuliah memang lebih prefer bikin film dengan tema-tema surealis, fantasi dan semacamnya. Tapi hasilnya malah jelek. Aku merasa tidak dekat dengan karyaku. Sehingga akhirnya muncul pertanyaan, kenapa tidak aku ambil cerita-cerita yang sangat dekat? Seperti ceritaku sendiri mungkin, atau cerita tentang keluargaku. Seperti contohnya film “Lemantun”. Film itu sangat personal sekali. Sebenarnya itu cerita keluarga besarku. Selain ceritanya identik dengan kisah keluarga besarku, aku juga pernah punya pengalaman yang serupa dengan si tokoh utama di film itu. Kisah-kisah keseharian Itu yang lalu aku tuangkan. Jadi aku tidak perlu repot dan kesulitan membuat cerita itu menjadi sedemikian dramatik. Cukup aku capture dan ya sudah begitu saja menjadi cerita. Sepertinya aku lebih cocok sebagaimana yang aku jalani saat ini.

Baca Juga:  Angki Purbandono: Dari Scanography Hingga Ganja

Kalau begitu apa film Prenjak itu juga merupakan pengalaman pribadi Wregas Bhanuteja?

Prenjak itu aku dapatkan ceritanya dari seorang guruku sewaktu SMA, namanya Pak Antonius Didik. Waktu itu beliau cerita bahwa ada modus prostitusi semacam yang digambarkan di film Prenjak. Dan di era kita sekarang, wanita-wanita ciblek yang menjadi inspirasi cerita Prenjak itu sudah tidak ada. Dulu sangat marak di pinggiran Alun-alun Kota Yogyakarta. Nah cerita tentang bagaimana kerasnya hidup itu cukup membekas. Dan terus aku pertanyakan, “kok bisa ya, sampai ada yang seperti itu?”. Hingga akhirnya ada kesempatan untuk aku tuangkan di film Prenjak.

Wregas Bhanuteja dengan berani menampilkan gambar alat kelamin yang nyata untuk menunjang unsur dramatik di film Prenjak. Ketika anda mengambil keputusan itu, apa anda tidak khawatir film ini akan mendapat protes dan penolakan ketika masuk ke Indonesia?

Awalnya aku khawatir. Tapi ketika akhirnya menang di Cannes dan disambut oleh Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) di Indonesia, mereka membuatkan konferensi pers di depan awak media. Waktu itu juga ada sesi screening-nya, dan aku bawakan dua file untuk diputar waktu itu. Satu file adalah film dengan versi asli, sedangkan yang lain adalah versi ketika gambar alat kelamin itu tidak ditayangkan. Waktu itu dari Kemendikbud malah minta film yang diputar adalah sebagaimana film yang juga diputar di Cannes. Saya sempat ragu dan saya tanya, “yakin pak?”. Waktu itu orang Kemendikbud bilang, “ya yakin. Ini perlu ditunjukkan kepada media.” Dan akhirnya film versi full itulah yang diputar di depan publik. Sampai hari ini setiap film Prenjak diputar, versi aslinya-lah yang ditayangkan. Dan sampai hari ini gak ada pemutaran yang lalu tiba-tiba digrebek. Aku bersyukur juga waktu itu ketika Prenjak aku daftarkan di Festival Film Indonesia, dari pihak komite mengganti aturan tentang penayanangan hal-hal berbau sensitif dan pornografi, sehingga Prenjak bisa aku daftarkan dan menang waktu itu.

Wregas Bhanuteja menamai film yang selama ini sudah dibuat sebagai film ber-genre apa?

Drama, mungkin lebih persisnya drama-realis. Atau lebih persisnya begini, bahwa ada tiga filmku yaitu Senyawa, Lemantun, dan Prenjak yang lebih cocok disebut dengan terminologi drama-realis itu tadi. Kalau di film Lembusura dan The Floating Chopin itu eksperimental. Karena di dua film eksperimen itu, batasan antara fiksi dan dokumenter itu masih sangat tipis dan belum secara jelas bisa dibedakan.

Secara penggarapan, Wregas Bhanuteja lebih suka yang mana?

Aku suka kedua-duanya. Tapi setelah ini aku mulai bisa menentukan akan fokus menggarap drama-realis. Eksperimental buat aku itu seperti pengalihan di kala bosan saja. Ibarat setiap hari aku bermain musik klasik lalu bosan dan ingin mencoba improvisasi, maka aku bermain musik jazz.

Berbicara tentang musik, selain unsur dramatiknya yang kuat, musik yang disodorkan Wregas di setiap film bisa dibilang sangat melengkapi dan menjadi penunjang. Kalau boleh tahu, kepada siapa sih Wregas menyerahkan penggarapan musiknya?

Kalau di Lemantun dan The Floating Chopin itu yang menggarap adalah Gardika Gigih. Kebetulan dia satu almamater dengan saya sewaktu SMA, cuma beda angkatan, dia kakak kelas saya. Sekarang dia menjadi composer dan juga kurator di Forum Musik Tembi. Kalau di film Prenjak aku serahkan kepada Ragil Wibawanto, temanku juga sewaktu SMA.

Kenapa musik di masing-masing film diserahkan kepada musikus yang berbeda?

Ya karena masing-masing dari penggarap musik di filmku punya pembawaan yang berbeda. Mas Gigih punya karakteristik musik yang lebih romantik dan lebih lembut. Sedangkan karakter musik Ragil lebih punya sense yang bagus untuk menggambarkan kehidupan yang pahit, memilukan dan keras.

Prosesnya seperti apa, apakah Wregas juga turut andil menentukan musiknya akan seperti apa?

Cenderung aku bebaskan. Biasanya aku bakal berikan dulu contoh filmnya dan saya persilahkan untuk diterjemahkan ke dalam musik. Lalu biasanya mereka akan kirim balik sample musiknya dan baru di situ aku beri masukan. Tapi sejauh ini oke sih ya, selalu cocok.

Mengapa empat dari lima film Wregas menggunakan Bahasa Jawa?

Hahaha iya karena Bahasa Jawa belum bisa lepas dari kehidupanku. Aku kalau ngomong dengan gaya Jakarta-nan ya bisa, cuma gak luwes. Masih ada sesuatu yang aku tahan. Berbeda ketika aku ngobrol nganggo Basa Jawa karena cenderung bisa aku lepaskan. Selain itu, juga pertimbangan tentang realisme dalam film yang aku usung ya. Karena dalam beberapa film yang menggunakan Bahasa Jawa itu konteks filmnya memang dengan latar kultur Jawa.

Buat Wregas, film yang bagus itu yang seperti apa?

Buat aku film yang bagus itu film yang tulus. Bukan lalu aku bilang bahwa film Holywood itu jelek, dan bilang film India itu bagus, begitu juga sebaliknya lho ya. Film bagus menurutku juga tidak bisa diukur dari berapa orang yang menonton. Buatku film yang bagus adalah film yang dibuat sesuai dengan apa yang si pembuat rasakan. Misalnya aku mau bikin film action, padahal aku tidak pernah punya pengalaman bela diri atau dikejar copet, atau bahkan berantem dengan preman. Ya buat aku, berarti aku tidak perlu membuat film yang seperti itu karena film itu tidak tulus dan tidak jujur. Tapi kalau aku membuat sesuatu yang lebih dekat dan jujur, sepengalamanku itu lebih bisa dirasakan karena sang sutradara mengalami sendiri, sehingga ketika dia harus menggambarkan ulang dalam film, cerita dalam film itu mempunyai nilai kedalaman yang lebih presisi.

Film sebagai budaya massa kan tentu bisa jadi sebuah komoditas yang berorientasi kepada permintaan pasar. Buat Wregas sendiri, lebih memilih selera pasar atau idealisme sebagai sutradara seperti yang sudah dipaparkan tadi?

Hari ini aku bisa bilang lebih prioritasin idealismeku. Aku tidak mau ketika hari ini lagi tren religi, tren horror, atau tren cinta-cintaan lalu aku jadi ikut-ikutan. Karena aku menyadari bahwa ada pangsa pasar lain selain pangsa pasar Indonesia yaitu kancah internasional. Pangsa itu bisa film-maker tempuh lewat jalur festival ke festival. Meski pun secara jumlah, penonton film-film tersebut tidak banyak, tapi cakupannya lebih luas karena beredar di beberapa negara. Akhirnya kalau mau hitung-hitungan secara profit, ya tetap dapat keuntungan. Itulah yang selama ini dilakukan Garin Nugroho. Di Indonesia siapa yang nonton filmnya dia? Tapi dia tetap dapat revenue karena pasarnya internasional. Dan buat aku lebih enak berkarya seperti itu ya. Buat film yang aku suka dan ideal, lalu pasarkan di internasional.

Baca Juga:  Ary Juliyant: Saatnya Redefinisi Musik Indie

Bagaimana Wregas bisa bermain di pasar internasional?

Waktu itu ada seorang senior di IKJ yang cerita bahwa ada satu situs di mana para pembuat film bisa tahu jadwal lengkap festival film yang diadakan di setiap tahun, termasuk jadwal open submission-nya. Tapi itu untuk festival film kecil memang. Nah, waktu itu ketika selesai menggarap Lembusura, aku bertemu dengan John Badalu. Dia seorang kurator di Festival Film Berlin. Lalu mulai ngobrol dan aku cerita tentang Lembusura. Dia malah justru suggest bahwa film itu bisa dilombakan di Berlin. Maka aku kasih Lembusura itu ke dia dan akhirnya bisa lolos diputar di Festival Film Berlin (Jerman). Dari situ aku baru paham dan tahu pemetaan festival film di dunia. Yang besar tentu ada Cannes (Perancis), Berlin (Jerman) dan Venice Film Festival (Italia). Sedangkan di bawahnya ada Tokyo (Jepang), Hong Kong, Rotterdam (Belanda), Busan (Korea Selatan) dan lain-lain. Ya dari situ aku tertarik untuk bermain di sana dan merasa bahwa pasar Indonesia ini sudah tidak relevan lagi.

Setelah sebelumnya Lembusura (2014) masuk ke Berlin Film Festival, lalu terakhir Prenjak yang berjada di Cannes, sebenarnya bagaimana sih pangsa pasar film internasional yang Wregas maksud dibandingkan dengan pangsa pasar Indonesia?

Perbedaannya mereka sangat segmented. Misalnya ketika kita menempuh jalur yang internasional ini tadi, film kita akan diputar di beberapa negara seperti Jepang, Finlandia dan lain-lain. Nah saya yakin, ketika diputar, penontonnya pasti tidak akan menyentuh angka jutaan penonton. Paling mentok hanya puluhan ribu di setiap negara. Cuma ketika itu diakumulasi, kan akan mencapai jumlah yang banyak. Berbeda dengan di Indonesia yang industri sinemanya bisa dibilang hanya dikooptasi oleh satu perusahaan saja. Jadi kalau boleh aku bilang memang kurang ya. Ketika suatu film diputar di bioskop tersebut dan ternyata secara jumlah penonton tidak banyak, mau itu film baru diputar satu minggu, pada akhirnya akan dihentikan penayangannya, sehingga pasar film di Indonesia ini sangat bergantung dengan satu perusahaan sinema saja. Sedangkan di kancah internasional, mereka akan sediakan slot waktu yang lebih panjang bahkan sampai berbulan-bulan, karena pemutarannya di setiap acara dan festival-festival yang cukup rutin diadakan.

Kalau berbicara tentang film, tentu identik dengan pembiyaannya yang mahal. Waktu itu bikin film pertama kali biayanya dari mana?

Kalau waktu awal-awal bikin film itu ya gak terlalu banyak pengeluaran, ya karena waktu itu kita kolektifan. Talent dari teman-teman sendiri. Peralatan juga punya teman-teman sendiri. Untuk makan pun juga dari dana teman-teman sendiri. Kalau untuk keperluan film mungkin keluarnya di bagian untuk beli mini DV karena waktu itu satu mini DV harganya Rp 35.000. Sedangkan untuk satu kali produksi biasanya kami butuh lima sampai enambuah mini DV. Nah, biaya mulai meningkat dan jadi mahal itu ketika aku kuliah di semester empat. Waktu itu ada satu mata kuliah di mana tugas akhirnya itu membuat film dengan menggunakan pita seluloid. Satu kaleng pita seluloid itu harganya Rp 1,5 juta dan kampus hanya memberi dua kaleng. Kalau mau tahu, satu rol itu hanya bisa untuk merekam selama sepuluh menit. Padahal durasi filmku waktu itu (Senyawa, 2013) ada sekitar 15 menit. Aku hanya boleh gagal lima menit saja. Belum lagi, karena teknologi jadul ya, membuat film dengan kamera seluloid itu butuh pencahayaan yang terang dengan peralatan yang mahal. Jadi waktu kuliah, produksi film yang katanya mahal secara cost itu benar-benar aku rasakan. Aku juga jadi bertanya-tanya “kenapa aku ambil kuliah film dan menghabiskan banyak biaya, tapi habis hanya untuk perkara-perkara teknis saja?”. Walau pun akhirnya aku juga merasa bahwa proses itu membuat aku semakin paham tentang dunia perfilman hingga detailnya yang paling rinci. Setelah proses itu, akhirnya aku ambil keputusan uuntuk meninggalkan cara yang sedemikian rupa dan kembali ke dasar dengan peralatan-peralatan yang sederhana saja.

Berapa rerata biaya yang Wregas keluarkan untuk buat film, paling tidak sampai film terakhir?

Film-film saya yang lain memang itungannya relatif murah kalau mau dibandingkan dengan produksi film pada umumnya. Film Lembusura yang bisa masuk ke Berlin Festival itu cuma butuh Rp 35.000 untuk Wulang (Wulang Sunu, art director Studio Batu) buat topeng. Prenjak itu butuh Rp 3 juta karena anggaran terbesar untuk pinjam sound yang agak memadai. Dua film tersebut juga relatif murah dibanding dengan produksi filmku yang lain seperti Lemantun dan Senyawa. Film Lemantun, misalnya, biaya membengkak karena aku harus angkut 20 crew dari IKJ untuk garap film tersebut. Memang kebetulan itu adalah proyek tugas akhir bersama dengan temanku di IKJ yang ambil sinematografi sehingga membutuhkan juga peralatan yang sangat banyak. Lemantun adalah film dengan cost terbesar yang pernah aku buat.

Berapa kalau boleh tahu?

Waktu itu habis sekitar Rp 20 juta. Dan itu hasil patungan tentu saja, karena proyek bersama ya.

Satu orang patungan berapa?

Hampir Rp 5 juta waktu itu. Dan ya itu juga yang membuat aku heran karena kecenderungan anak-anak IKJ kalau memproduksi film itu bisa dengan cost yang sangat besar. Padahal, kerap kali justru abai dari segi detail seperti segi ceritanya sendiri. Makanya di film Prenjak, film yang aku garap setelah aku lulus, tak tinggalkan model produksi yang seperti itu.

Anda ternyata beberapa kali menjadi tangan kanannya Riri Riza ya?

Hahaha iya begitu lah.

Pengaruhnya dalam beberapa film kuat sekali. Bisa diceritakan awalnya berkenalan dan berproses dengan Riri Riza seperti apa?

Lucu sebenarnya awal pertemuanku dengan dia. Waktu itu kelas 2 SMA aku sempat main ke Bangka Belitung, aku ingat betul waktu itu habis premiere-nya Laskar Pelangi dan aku tertarik buat main kesana. Nah ternyata sewaktu di sana, di sebuah pantai, aku ketemu dengan Riri Riza bersama keluarganya. Ya tak parani wae to. Aku meminta foto dengan dia. Setelah berfoto saya memperkenalkan diri, “saya Wregas dari Jogja”. Setelah kurang lebih lima tahun pascapertemuan itu, untuk keperluan studi aku harus menempuh magang. Waktu itu dibebaskan mau magang di mana aja. Pilihannya antara di PH film, di produksi sinetron, atau di iklan terserah.

Baca Juga:  Ismail Basbeth: Film Bagus Harus Punya Makna Lebih Dalam

Aku gak mau dong magang di sinetron, stripping begitu. Aku harus magang di film nih. Suatu saat ketika aku datang ke pementasan di teater Salihara, dari jauh aku lihat sosok yang kayanya Riri Riza. Aku samperin dan aku perkenalkan diri lagi dan berusaha mengingatkan dia bahwa kami sebelumnya pernah saling bertemu sewaktu di Belitung. Gak disangka juga dia ternyata masih ingat. Lantas di pertemuan itu, aku banyak ngobrol dengan dia. “Mas Riri sedang akan bikin film apa?”, iseng aku tanya begitu. “Oh ya habis ini akan shooting di Jambi. Judulnya Sokola Rimba.” Ya langsung aku todong aja nih, apakah aku bisa ikut atau tidak karena aku anggap sebagai kesempatan. Dia lalu semacam memberi syarat untuk lihat dulu karya film yang pernah aku bikin. Lalu aku kirimkan nih Senyawa ke dia. Lalu …

Cut!

(Tiba-tiba datang seseorang yang ternyata adalah karib Wregas. Setelah ia duduk, memperkenalkan diri dan bergabung bersama kami, tiba-tiba Wregas berusaha untuk menahan tawa namun tak sanggup. Ia meminta diri untuk menyingkir sebentar dan tertawa Sorry iki random banget. Sialan bener kok ini Hosea (penulis di Studio Batu), datang-datang ngisruh. Aku tak ngguyu sik,” kata Wregas. Wawancara pun berhenti sejenak. Saya pun tak kuasa ikut tertawa atas satu scene yang tak direncanakan itu. Memang benar sepertinya, hidup itu sekedar untuk mampir tertawa. Setelah tawa mereda, Wregas mendatangi kembali meja dimana kami ngobrol).

Ya, lalu sampai mana tadi ya? Oh iya. Ya aku akhirnya kirimkan film Senyawa ke Mas Riri. Selang beberapa hari kemudian, dia kirim email dan bilang bahwa tertarik dengan film itu. Dia minta aku datang ke kantor Miles Production karena akan ada reading bersama Prisia Nasution. Setelah reading itulah akhirnya aku didapuk menjadi asisten sutradara tiga. Waktu itu gak dibayar dan aku senang-senang saja. Bisa jadi asistennya Mas Riri aja sudah luar biasa. Dan berangkatlah aku ke Jambi. Ikut shooting selama satu bulan di dalam hutan buat Sokola Rimba. Gila, hutannya aja kurang lebih tiga jam perjalanan dari …

(Tiba-tiba satu scene yang tak direncanakan itu terjadi lagi. Wregas Bhanuteja dan kawan-kawannya dari Studio Batu tiba-tiba memecahkan gelas sepi di kantin De Britto dengan tawa mereka. Kembali Wregas mencoba mengendalikan dirinya).

Maaf-maaf. Kalau sudah dengan teman-teman tuh ya suka begini. Tiba-tiba ingat sesuatu, apa gitu, random dan isinya mesti cuma gojek tok. Hahaha. Ya lanjut, jadi setelah itu aku kepingin ikut film-film Riri Riza selanjutnya. Waktu itu shooting Pendekar Tongkat Emas. Cuma aku bertabrakan dengan agenda tugas akhir dan Mas Riri tidak mengijinkan, lebih support aku untuk tuntaskan tugas akhir. Akhirnya aku manut tapi dengan syarat beliau kujadikan sebagai pembimbing. Beliau pun akhirnya bersedia. Setelah lulus aku pun akhirnya bekerja di Miles dan ikut dalam beberapa garapannya seperti Nyanyian Musim Hujan, Athirah, sampai AADC 2. Mungkin influence terbesar dari dia buat aku adalah cara dia yang sangat realis dalam men-direct. Ada detail-detail yang dia ajarkan, seperti misalnya tentang lirikan mata atau sebuah gestur yang dapat mengubah maksud dari sebuah acting.

Bagaimana Wregas Bhanuteja sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia film menilai industri perfilman di Indonesia? Seperti apa kekurangannya dan seperti apa pula kelebihannya?

Harus diakui bahwa ketika berbicara tentang profit, patokan kita hari ini masih selalu bergantung dengan pasar di dalam negeri. Banyak produser dan pembuat film yang membuat film hanya untuk selera pasar, karena kalau bukan maunya pasar maka mereka gak bisa makan. Kecenderungannya kalau sedang ngetren horror ya akan banyak sekali film horror. Begitu juga dengan yang lain seperti religi atau action, maka pasti kecenderungan ragam film yang muncul akan seperti itu. Hal ini membuat sutradara tidak dapat berkarya sesuai dengan keinginannya dan bergantung dengan kehendak produser.

Bagi saya kemunculan sutrada-sutradara independen seperti Yoseph Anggi Noen, BW Purbanegara, dan Molly Surya bisa menjadi wajah baru dari sinema Indonesia. Mereka tidak harus bergantung pada pemasukan dari dalam negeri. Festival-festival internasional dan jalur distribusi internasional dijadikan sebagai fokus dan prioritas. Lantas cerita-cerita yang muncul pun bisa kita simak lebih beragam, lebih bisa dieksplorasi, dan bahkan dalam perfilman itu disebut sebagai art-cinema. Sayangnya jumlah sutradara independen itu tidak banyak di Indonesia. Padahal, lagi-lagi kalau mau bicara keuntungan, pemasukannya juga cukup besar. Cuma kalau saya melihat belum ada kemauan untuk menembus jalur itu. Dibandingkan dengan negara lain di Asia misalnya, seperti Filipina, Korea Selatan atau pun Thailand sekali pun, secara konsisten film-film produksi negara tersebut setiap tahun pasti tampil di Cannes. Sedangkan film Indonesia tidak ada, sehingga keberadaan Indonesia di peta film dunia itu juga belum punya nama.

Apa yang membuat kondisinya sedemikian rupa?

Kalau menurutku pribadi akar permasalahannya justru karena uang. Maksudnya banyak yang terlalu bergantung terhadap film sebagai sumber pemasukan utama. Dan celakanya, bergantungnya hanya di pasar Indonesia, sehingga orientasinya bisa dibilang main aman, karena tidak mau mencoba mengeksplorasi dan tidak mau gagal karena cost yang dikeluarkan memang besar.

Setelah memulai segalanya dari nol hingga menjadi Wregas Bhanuteja yang sekarang bergelimang penghargaan, menyangka gak sih bisa sampai di hari ini dengan berbagai pencapaian?

Awalnya tidak menyangka ya. Bahkan kalau dipikir-pikir lagi saat ini aku justru merasa ini terlalu cepat sekarang. Ya prinsipnya jangan terlalu senang dan jangan terlalu besar kepala,ehingga bisa selalu terpacu buat bikin lagi dan bikin lagi.

Setelah ini, apa proyek Wregas Bhanuteja selanjutnya?

Film panjang. Ya, film panjang yang menjadi karya pertamaku. Sedang mengembangkan cerita dan script dengan harapan di Agustus atau September 2017 bisa mulai shooting.

Bakal berbicara tentang apa nih film panjang pertamanya?

Apa ya? Hmmm dilihat besok aja kali ya hahaha…

Buat anda, harapan untuk perfilman Indonesia seperti apa sih?

Harapanku kita sudah harus bisa tidak bergantung tentang profit ketika membuat film. Di luar sana ada funding dan sponsor yang tidak menuntut apa pun dari seorang pembuat film, termasuk menuntut untuk balik modal. Sehingga eksplorasi pada cerita dan persinemaan di Indonesia mempunyai wajah dan identitasnya sendiri.

Related posts

Angki Purbandono: Dari Scanography Hingga Ganja

Aris Setyawan

Ary Juliyant: Saatnya Redefinisi Musik Indie

Aris Setyawan

Ismail Basbeth: Film Bagus Harus Punya Makna Lebih Dalam

Ayu Saraswati

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy