Serunai.co
Narasi

Papua di Depan Mata

Anak-anak berlatih tarian Ayase dengan memanfaatkan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Kocuas Utara, Distrik Aifat Barat, Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat (08/10). (dok.Hermitianta)

Banyak sekali gambaran tentang Papua yang tertanam di pikiran masyarakat. Sebagian terbukti kebenarannya karena melibatkan banyak sumber terpercaya. Namun, tidak sedikit juga yang menuntun masyarakat pada prasangka. Gambaran buruk yang tak bisa ditelusur asalnya sangat mudah tersebar lalu tersamar. Setelah menjalani kehidupan sehari-hari bersama masyarakat pedalaman Papua, saya mencoba menyajikan nilai-nilai budaya yang sejak lama mengakar.

***

Citra buruk tentang Papua tidak hanya tertanam pada kita yang ada di Jawa. Bahkan di Papua, para pendatang juga memiliki bayangan buruk tentang orang Papua. Ternyata yang terjadi justru sebaliknya, itu hanya seterotype saja. Ketika kami terjun ke lapangan, masuk ke pedalaman, berinteraksi dengan warga, mereka sangat baik. Mereka punya jiwa sosial yang tinggi,” kata Soni Mijaya, yang menghabiskan waktu lima bulan tinggal di Distrik Waris, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua dalam program Patriot Energi.

Soni adalah salah satu rekan saya dalam program Patriot Energi dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun penempatan 2016. Berada dalam program itu merupakan pengalaman yang mencerahkan. Selama lima bulan, sejak Juli 2016 hingga Desember 2016, saya beserta Soni dan 117 kawan lainnya bertugas mendampingi masyarakat penerima bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Kami menyaksikan kelompok masyarakat yang dimasukkan dalam golongan tertinggal, terpencil, dan terluar menikmati malam-malam terang dengan memanfaatkan listrik dari sumber daya terbarukan.

Selama pelatihan sebelum penempatan, kami dianjurkan untuk memakai “sepatu rakyat.” Maksudnya supaya kami yang sudah mengenyam kehidupan modern dan pendidikan tinggi ini tetap menjejak bumi. Bahwa dalam setiap milimeter kemajuan zaman yang kami nikmati, sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada ribuan kilometer jauhnya di belakang sana. Maka, selama masa pendampingan, saya berusaha menjalani kehidupan layaknya orang Papua. Saya turut merasakan suka duka mereka yang tinggal di As, Distrik Aifat Barat, Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat.

Sebelum keberangkatan pada Juli 2016, pengetahuan saya tentang Papua masih samar, sangat mungkin menuju gelap. Saya membaca Papua hanya dari berita, atau melihatnya dari layar kaca. Meski banyak pelajar Papua di daerah asal saya, Yogyakarta, sebelumnya saya masih enggan bertegur sapa dengan mereka.

Banyak pemikiran yang menghantui sejak sebelum bertolak dari ibukota. Saat itu, mesin pencari pun tak mampu meredakan rasa was-was saya. Sebagai Daerah Otonomi Baru, Kabupaten Maybrat belum banyak mendapat sorotan dan tidak banyak informasi tentang kondisi sosial masyarakatnya di dunia maya. Salah satu peristiwa yang banyak diulas media adalah pembakaran Kantor Bupati oleh warga. Selebihnya, citra satelit via Google Earth hanya menunjukkan warna hijau tua tanpa aksen terang penanda pemukiman, terutama di lokasi yang dibayangkan sebagai lokasi penempatan.

Prasangka demi prasangka terbersit dalam benak saya. Apakah mereka masih tinggal di pohon? Akankah mereka masih menjalani adat istiadat yang ketat? Sekasar apakah perilaku orang Papua yang akan saya temui? Bagaimana menghadapi orang Papua yang sedang mabuk? Apakah mereka masih sering berlarian membawa busur panah untuk bertahan dari serangan suku lain?

Dan saya masih ingat seorang kerabat yang bilang di Papua sulit makan dan mandi. “Hidup hanya sekali kok betah hidup susah di sana,” katanya.

Dengan segala hormat, menjalani kehidupan sehari-hari di Papua merupakan proses verifikasi terhadap banyak hal yang hanya pernah saya dengar.

Cerita tentang Papua hanya beberapa yang sering muncul di layar kaca. Berita tentang kerusuhan, kekerasan, dan beberapa sajian kehidupan tradisional menjurus primitif cenderung ditampilkan berulang-ulang. Bahkan tepat sebelum keberangkatan, pemberitaan tentang mahasiswa Papua di Yogyakarta begitu berlebihan. Seolah-olah mereka ini anggota kelompok teroris yang mengancam jiwa warga Yogyakarta sehingga polisi harus berjaga di depan asrama mahasiswa Papua. Jika begitu, bagaimana hati ini tidak dihinggapi gulana saat menginjakkan kaki di Bandara Domine Eduard Osok, Sorong?

Menurut Kamus Oxford, stereotype adalah “a widely held but fixed and oversimplyfied image or idea of a particular type of person or thing.” Sebuah citra atau ide tentang seseorang atau sesuatu, tertentu namun terlalu disederhanakan, yang dijunjung dan tersebar luas. Akibat dari penerimaan informasi yang tidak utuh dan dibiaskan pendapat-pendapat yang menyesatkan, masyarakat jadi terjebak stereotyping. Suatu penyamarataan citra keseluruhan—menekankan pada sebagian yang mewakili keseluruhan—menyebabkan munculnya sikap antipati pada masyarakat luas. Sementara itu, hal-hal negatif lebih mudah menyebar, menyebabkan citra nyata Papua semakin samar.

Berhati-hati supaya tidak menjadi korban stereotyping, saya tidak serta merta mengamini segala informasi yang ada. Meski berangkat dengan bekal informasi minim tentang lokasi penempatan, saya bersama lima orang rekan penempatan se-Kabupaten Maybrat tetap berpikir positif.

Baca Juga:  Mukti Mukti dan Mimpi Esok Pagi Revolusi

Sampai di Kumurkek, ibukota Kabupaten Maybrat, kami selaku tamu berusaha memohon izin Bupati. Karena Bupati sedang tidak berada di kantor, maka kami disambut oleh Sekda Agustinus Saa, pada Jumat, 22 Juli 2016. Mendengar tujuan kami ke Kampung Kokas, Kocuas, dan Bori, Agustinus menasehati kami untuk tidak masuk ke kampung dulu. Apalagi ke Kampung Bori yang warganya terkenal sebagai orang pemabuk. Belum lagi kondisi lingkungan yang tidak seperti di Jawa, Agustinus menyampaikan tentang potensi terkena malaria. Maka ia menyarankan kami untuk tinggal di Sorong hingga pemberitahuan lebih lanjut.

Entah bagaimana menyebut kami, keras kepala atau memang ceroboh, tapi kami terus berusaha meyakinkan Sekda untuk mengijinkan kami masuk ke kampung. Hingga akhirnya kami berenam dititipkan pada Petrus Tenau, Sekretaris Dewan, yang tinggal di Kampung Kokas.

Masa-masa awal berada di tanah Papua, sebisa mungkin saya menjaga jarak dengan masyarakat. Saya selalu mengingatkan diri sendiri untuk membatasi interaksi. Langkah pertama adalah melakukan pemetaan sosial hingga kami sepenuhnya yakin tentang kondisi sosial budaya masyarakat. Kami merasa perlu menggali informasi yang sebenarnya tentang pola hidup masyarakat di sana. Ini adalah langkah menjaga diri di tanah yang pertama kali kami jejaki. Fakta pertama yang kami temukan di Kabupaten Maybrat adalah sudah tidak banyak praktik kesukuan di sana. Jadi, bayangan tentang perang antarsuku segera pudar.

Hingga bulan-bulan berikutnya, kami menjalani kehidupan sehari-hari dengan aman. Ternyata beberapa ketakutan kami tidak terbukti. Kecuali dua kawan yang tinggal di Kampung Bori sempat mengalami kejadian yang menciutkan nyali. Pada suatu malam, rumah tinggal mereka didobrak dan seisi rumah diobrak-abrik oleh warga yang sedang mabuk. Karena warga bersenjatakan parang dan kapak, kedua kawan memilih pasang badan untuk menahan pintu kamar. Beruntung warga lainnya segera datang untuk mengevakuasi kawan saya. Setelah ditelusur, ternyata permasalahannya adalah antara warga yang mabuk dengan pemilik rumah. Dan si pendobrak tidak tahu jika rumah tersebut telah ditempati orang lain. Hari-hari selanjutnya, hubungan warga pemabuk dengan kawan saya biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Selain peristiwa tersebut, tidak ada orang mabuk mengganggu saya dan Hapsari, rekan sepenempatan, yang tinggal di As. Saya sendiri beberapa kali berhadapan dengan warga yang sedang mabuk. Terpaksa harus saya tanggapi karena mereka mendatangi rumah tinggal. Tapi dari pengamatan saya, ditambah pendapat beberapa orang yang lama tinggal di Papua, mereka mabuk untuk meningkatkan nyali. Karena ketika dalam kondisi mabuk, mereka menyampaikan banyak pemikiran dengan banal—meskipun kadang juga berupa pemikiran yang konyol dan tidak penting. Uneg-uneg yang terpendam pun tersampaikan. Bahkan salah seorang warga As yang mabuk di akhir percakapan berkata, “Sa ini tau kusemeh (saya ini kakak laki-laki),” sambil menepuk dada lalu menjabat tangan saya. Saya pun hanya bisa tersenyum sambil mengacungkan jempol. Selanjutnya ia berlalu dengan tertib.

***

Sebenarnya tidak seluruh daerah di Papua memiliki budaya minum hingga mabuk. Warga mengenal minuman dari masyarakat pesisir. Masyarakat pegunungan mendapat pengetahuan mengolah air sadapan Enau—menjadi Sageru yang memabukkan—justru dari pendatang. Masyarakat tradisional di Pegunungan Arfak, beberapa jam perjalanan darat dari Maybrat atau Manokwari, bahkan jarang mabuk.

Di beberapa tempat, warga sudah merasa perlu memperbaiki perilaku terutama yang berkaitan dengan budaya mabuk. Dalam rapat warga yang membahas sanksi bagi pelanggan PLTS Kocuas, tibalah pada topik perilaku mabuk-mabukan warga. “Saya ini juga mabuk. Tapi kalau mabuk ya jangan merusak, di rumah saja,” kata Pius Basna meredam rasa khawatir saya tentang potensi merusak PLTS saat mabuk.

Lain lagi di kampung sebelah, Kampung Kokas. Setelah listrik dari PLTS bisa menerangi rumah warga di malam hari, intensitas mabuk-mabukan sedikit berkurang. Base camp pemabuk pun jadi sepi. Warga lebih sering menghabiskan waktu malam di rumah dan melakukan aktivitas selain minum-minum, misalnya nonton televisi dan bincang-bincang. Ada lagi cerita dari kawan yang ditempatkan di Distrik Waris, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Masyarakat di sana punya kebiasaan menjaga orang mabuk supaya tidak merusak. Jadi ketika ada seseorang ketahuan sedang minum hingga mabuk, warga lain akan datang untuk berjaga di sekitarnya, mencegah terjadinya tindakan yang merugikan orang lain.

Kesadaran seperti ini adalah pergeseran budaya yang sedikit lebih baik daripada mendengar perkataan “Orang Papua kaya tidur di selokan, orang miskin tidur di rumah.” Karena yang masih banyak terjadi adalah, orang-orang memiliki alokasi khusus dari pendapatannya untuk membeli minuman beralkohol. Jika ada orang Papua tertidur di jalanan, itu adalah orang yang teler setelah menghabiskan uangnya untuk membeli minuman.

Pemberlakuan Perda larangan peredaran minuman keras di berbagai kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat juga mendukung terciptanya kesadaran masyarakat untuk mengurangi kebiasaan mabuk-mabukan. Meskipun di Kabupaten Maybrat belum ada supermarket dan tempat hiburan malam, Perda nomor 7 tahun 2015 tentang Pengendalian Penjualan Minuman Keras sudah disosialisasikan dan akan diterapkan.

Baca Juga:  Kultus Kargo dan Dunia Spiritual Masyarakat Melanesia

Beruntungnya bagi saya, warga As merupakan sekelompok masyarakat yang berniat membangun hidup tenteram. Sebagian warga As merupakan korban kerusuhan politik Pilkada 2011. Mereka memilih untuk menjalani kehidupan di tempat baru. Mereka pindah tempat tinggal dari Kampung Kokas ke As—wilayah yang menjadi lokasi Kampung Kocuas dan Kocuas Utara—yang berjarak 30 menit jalan kaki melewati hutan. Sejak itu, masyarakat saling mengingatkan dalam menanggapi dinamika hidup sehari-hari. Jika ada perilaku yang tidak mengenakkan, dua kepala kampung akan memberi pengumuman pagi-pagi sebelum warga beraktivitas. Kadang hanya berteriak di tengah kampung, atau memakai pengeras suara portabel. Isi pengumuman adalah mengingatkan kembali tujuan warga untuk hidup yang aman dan damai.

Orang Papua, khususnya warga As, senang jika apa yang mereka yakini, budaya atau politik, mendapat perhatian orang lain. Pada awalnya saya ingin tinggal bersama warga. Namun, perwakilan warga merasa keberatan jika kami berdua tinggal di rumah warga. Ternyata setelah ditelusuri, selain karena memang rumah yang terlalu padat (satu rumah bisa dihuni hingga lebih dari sepuluh orang termasuk anak-anak), warga juga merasa takut kenyamanan kami terganggu oleh anak-anak mereka yang, menurut warga, perilakunya terlalu “liar”.

Warga As menyadari jarak budaya mereka dengan kami sebagai pendatang. Itulah yang membuat mereka merasa tidak layak untuk menyajikan kehidupan sehari-harinya pada kami. Masyarakat As masih memiliki rasa malu tentang “kekurangan” dan “keterbatasan” mereka. Yang ini lebih menjurus pada rendah diri.

Warga As berpikir bahwa para pendatang, apalagi yang berasal dari kota macam kami, tidak menyukai masakan mereka. Pada awalnya mereka terkesan pelit karena tidak mau berbagi dengan pendatang, padahal mereka hanya merasa tidak pede dengan yang mereka miliki. Sementara itu, sesama orang Papua biasa keluar masuk rumah mana pun untuk ikut makan. Sepengetahuan mereka, orang Jawa selalu makan beras. Jadi mereka selalu ragu menawari makanan sehari-hari mereka yang seringnya umbi-umbian, hasil kebun dan hutan.

Suatu hari saat mengajar, saya tergoda untuk mencicipi keladi (umbi talas) bakar. Gara-gara murid saya di kelas 4 makan keladi bakar di kelas, dan saya pun sedang bosan makan nasi. “Ko masih ada keladi bakar kah di rumah? Sa minta satu, eh?” kata saya pada Jerlina Tenau.

Sebentar kemudian, dia kembali membawa satu keladi bakar yang masih hangat. Itu adalah keladi bakar pertama saya dan makanan ala Papua paling nikmat sejak tiba di As. Sejak saya bilang bahwa keladi bakar itu makanan paling enak, hampir setiap pagi atau sore hari ada saja warga yang mengantar keladi bakar ke rumah. Anak-anak As bilang saya “udik awiyah”, setara dengan “rakus makan keladi”. Tak jarang keladi bakar diantarkan bersama dengan sayur kangkung, gohi, hata, upah, bahkan daging kuskus.

Selanjutnya, segala makanan warga As sudah saya cicipi. Termasuk betatas (ubi jalar), sayur mis (daun pakis), buah Na (Buah Raja), hingga papeda dengan ikan kuah kuning, kasbi (singkong) rebus dengan daging rusa bumbu kecap atau kuah kuning. “Anak ini makan sembarang. Su jadi orang Papua. (Kamu ini makan apa saja. Sudah jadi orang Papua),” komentar Nene Frans pada saya sambil tersenyum. Nene adalah sebutan untuk nenek, atau perempuan Papua yang sudah tua.

Dalam kenikmatan keragaman pangan di Papua, dengan tanah yang subur dan hutan yang masih luas seharusnya orang Papua tidak akan pernah kelaparan. Jadi apa perlunya orang Papua bercocok tanam padi?

***

Jika ada yang pernah mendengar cerita tentang orang Papua yang malas, perlu ditelusuri hubungan sebab-akibatnya. Salah satu penyebab kemalasan itu adalah bantuan dari pemerintah atau pihak swasta yang cenderung memanjakan masyarakat Papua. Padahal di masa lalu, yang terpenting bagi orang Papua adalah bekerja keras dan mempertahankan harga diri.

Saat masih muda, orang-orang di Papua pasti pernah merasakan pukulan dari orang tua jika mereka malas bekerja. Di As, orang dewasa selalu punya kegiatan setiap hari. Berkebun, mencari kayu bakar atau berburu. Pembangunan jalan kampung melibatkan semua orang. Setiap kepala keluarga mendapat sebagian jalan yang harus diisi batu dan kerikil sebagai fondasi. Bagian jalan yang jadi kewajiban setiap kepala keluarga diberi batas patok bertuliskan nama. Saat gotong royong membangun jembatan, seluruh warga juga ikut turun tangan. Anak-anak dan perempuan pun ikut menyeret kayu gelondongan yang akan dijadikan landasan, juga mengangkat batu-batu kapur untuk pengaman.

Baca Juga:  Yang Terungkap Lewat Ratapan

Salah satu tabiat orang timur adalah kasar. Baku ribut, baku mulut, baku pukul, terjadi hampir setiap hari. Bahkan di beberapa tempat bisa terjadi seperti jadwal makan, yaitu pada pagi, siang, dan sore hari. Ada saja permasalahan yang jadi alasan untuk “bekelahi”, mulai dari hal sepele urusan kebun hingga hal serius berkaitan dengan pilihan calon bupati dalam pilkada. Sebagai orang gunung dan dikelilingi hutan, warga As terbiasa berteriak untuk berkomunikasi. Tindakan mereka itu semacam langkah menghemat energi untuk mendatangi orang ketika ingin berbicara.

Baku ribut pun juga bagian dari menyuarakan pemikiran. Semacam budaya penyaluran energi. “Mereka baku ribut begitu, sebentar juga menghambur lagi,” kata Paskalis Tenau, kepala sekolah di SD YPPK Kocuas, usai menyaksikan warga baku mulut masalah pilihan calon dalam pilkada. “Kalau dong diam, itu yang jahat betul,” tambahnya.

Jadi, bagi warga As baku ribut adalah salah satu mekanisme penyelesaian masalah. Kalau masih diam berarti masih memendam sesuatu. Bagi mereka itu hal yang tidak baik.

Meskipun sering baku ribut, warga As tidak terlihat saling bermusuhan. Bagaimana mau bermusuhan kalau sesama warga memiliki hubungan darah, pun tempat tinggal hanya bertetangga? Bayangkan jika mampu bertindak dan bicara keras tapi tidak melibatkan dendam, lalu kadang diakhiri dengan canda dan tawa. Iya, kadang saya juga salah tangkap dengan maksud pembicaraan warga As, antara marah atau bercanda. Tapi lama-lama juga bisa terbiasa menghadapinya.

Warga As masih terikat erat dengan hukum adat atau hamamus dan gereja. Setiap masalah sosial, pernikahan, dan kematian masih melibatkan biaya bersama, berupa uang dan kain merah atau kain timor. Karena kekerabatan masih kental, setiap permasalahan satu orang pasti akan diselesaikan satu keluarga besar. Pernah ada upacara kematian seorang anak bermarga Asmuruf. Ia meninggal di Sorong, tapi dimakamkan di Kampung Kokas. Biaya angkutan jenazah dan kerabat saja mencapai lebih dari Rp 20 juta. Belum lagi denda yang harus dibayarkan karena kematiannya dipicu oleh perkelahian sesama anggota keluarga. Namun, permasalahan tetap dibahas bersama dan denda adat ditanggung seluruh keluarga. Setiap kerabat yang datang melayat juga ikut menyumbang dana.

Untuk menyekolahkan satu anggota keluarga pun menjadi tanggungan seluruh keluarga besar. Dan bisa dibayangkan jika suatu pernikahan membutuhkan mahar Rp 50 juta dan puluhan gulung kain timor sebagai syarat adat. Sampai-sampai fenomena ini dijadikan lagu oleh anak muda di Maybrat. Semmy dan Ellia adalah salah satu musisi lokal di Kabupaten Maybrat yang mempopulerkan lagu berjudul “Bakit Maybrat”. Bakit berarti gadis. Salah satu penggalan liriknya adalah : “Bakit-bakit Maybrat cantik bodi bahaya // Bakit-bakit Maybrat sungguh makan biaya.” Menghadapi tuntutan seperti ini, warga masih menganggapnya sebagai kewajiban orang Papua, meskipun sebagian sudah ada yang merasa keberatan dengan adat yang demikian.

Bagi orang Papua masalah satu orang pasti jadi masalah untuk semua. Kalo bisa, kawin pun kita campuri,” kata Paulus Sawiat pada suatu malam saat melayat. “Orang Papua bisa saja kaya jika ikut budaya orang Jawa yang mandiri. Semua diurus sendiri. Termasuk pendapatan yang jadi milik sendiri. Kalau orang Papua bisa begitu pasti kami akan mudah kaya. Tapi budaya kami yang terbelakang ini mengharuskan seperti itu,” tambahnya.

Orang Papua tidak bisa dianggap miskin. Mereka adalah pekerja keras dan mampu mencari uang. Tetapi karena masih menjunjung tinggi adat, uang yang mereka miliki tidak pernah tersimpan lama. Terutama karena ada kewajiban untuk menyumbang dan membantu sanak saudara. Rasa kekeluargaan orang Papua di Maybrat masih erat dan terpelihara dengan baik.

Di balik penampilan yang sangar, orang Papua menyimpan kelembutan. Di As dan sekitarnya, lelaki dewasa saling bergandeng tangan sebagai wujud saling percaya. Sambil berjalan di tengah kampung, atau dalam kegiatan bermasyarakat, mereka berbicara tentang kehidupan sehari-hari. Saya pun beberapa kali melakukannya. Saat itu saya merasakan kedekatan dengan orang Papua, merasa sudah diterima sebagai keluarga di sana.

Meski terbiasa baku ribut, aktivitas peribadatan di gereja jadi ajang untuk mengingatkan warga tentang kebersamaan dan kasih sayang. “Tuhan sudah mengasihi kita, baru kita mengasihi siapa?” kata Nikolaus Basna saat menjadi pelayan gereja.

Usai ibadah juga dimanfaatkan warga untuk membicarakan rencana-rencana kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Bahkan hari ulang tahun warga pun disebutkan di awal ibadah, tak lupa juga mendoakannya. Forum-forum semacam inilah yang menjaga ketentraman di As.

Di depan mata saya, orang Papua berusaha keras memperbaiki kehidupannya. Selanjutnya, menyebarkan informasi yang sebenar-benarnya tentang Papua adalah tugas bersama.

Related posts

Mukti Mukti dan Mimpi Esok Pagi Revolusi

Isma Swastiningrum

Ketupat buat Ibu Bumi

Idha Saraswati

Demotivasi Hindia Album Kedua: Merayakan Kiamat Tanpa Juru Selamat (Bagian 2)

Tim Liputan LHAB

2 komentar

Iskandar Budisaroso Kuntoadji 16 Januari 2017 at 05:32

Semoga semangat untuk melihat dan merasakan kenyataan, bukan hanya mendengar dan berprasangka bisa lebih diutamakan pada setiap sisi kehidupan. Modal sosial kominitas desa di As adalah contoh yg bisa dan harus diikuti oleh komunitas lainnya.
Indonesia merdeka thn 1945 karena “modal sosial” seluruh bangsa disaat itu. Mari kita raih kemerdekaan ekonomi kita saat ini dengan memperbesar modal sosial kita, seperti yang dimiliki oleh komunitas desa As di Maybrat.

Reply
Aris Setyawan 16 Januari 2017 at 13:09

Wah menarik sekali pembahasan mengenai “modal sosial”. Sesuatu yang di perkotaan atau di zaman yang segalanya diukur dengan “kesuksesan individual” ini, modal sosial rasanya memang jauh panggang dari api. Namun, jika kita menilik ke desa-desa, praktik2 kemasyarakatan mereka sebenarnya masih kental dengan modal sosial. Di desa saya misalnya di lereng Lawu. Jalan desa dibangun dengan modal sosial, karena menanti dana dari PU barangkali akan sangat mustahil.

Reply

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy