Serunai.co
Kolom

Inisiasi: Pertaruhan Simbol dan Harapan

Manusia tak ubahnya alam beserta gejala kosmiknya. Ia senantiasa berubah dan bergejolak dalam siklus-siklus tertentu. Perlu rumus-rumus khusus untuk menyeimbangkannya, sekaligus menyelamatkannya. Dalam pada itu, selain manusia adalah sosok yang bekerja demi eksistensinya dalam ruang sosial, ternyata ada fase-fase tertentu yang mutlak dilaluinya seturut kepercayaan kolektif. Tradisi upacara seperti tato, sunatan, ruwatan, perkawinan, pembaptisan, kelahiran, kematian, tak sekadar peristiwa yang terhenti oleh waktu, tetapi adalah proses yang senantiasa dinamis seiring harapan masa depan manusia

“Majalah Lentera Merah (LM) adalah organisasi mahasiswa eksklusif di Universitas Nasional Indonesia (UNI). Seluruh anggota LM merupakan mahasiswa pilihan yang lolos uji mental dan kecerdasan di Malam Inisiasi.”

Kalimat di atas adalah teks pembuka dalam film Lentera Merah (2006), garapan sutradara Hanung Bramantyo. Dikisahkan dalam film itu, bahwa untuk menjadi anggota Lentera Merah—majalah legendaris yang sudah ada turun-temurun di UNI—mahasiswa memang harus melewati serangkaian tugas berat, bahkan selama proses tersebut, beberapa peserta harus menjadi korban akibat gangguan misterius dari setan perempuan.

Dari sekian puluh pendaftar, yang tersisa hanya lima orang. Hingga pada akhirnya, setelah melewati malam inisiasi tersebut, mereka benar-benar diterima menjadi anggota baru Lentera Merah, memiliki hak dan kewajiban sebagai jurnalis profesional. Dalam film bergenre horor itu, inisiasi dipahami sebagai pintu gerbang diterimanya seseorang dalam kelompok tertentu. Ada riwayat yang berganti, ada fase yang berubah.

Sakral dan Profan

Krishnamurti pernah berujar dalam bukunya Towards Discipleship (1926): “You must have the lamp and the match to light it. And you must have the desire to keep the light all the time brilliant”. (Anda harus memiliki lampu dan menyalakannya. Dan, Anda harus memiliki keinginan untuk menjaga cahaya cemerlang sepanjang waktu).

Sudah tentu manusia hanya punya jalan pikiran dan batin, yang bagi Krishnamurti, jalan pikiran itu adalah waktu, dan batin—sebuah proses yang senantiasa (harus) berubah ke arah positif. Oleh sebab itu, di dalamnya harus selalu dipenuhi terang.

Ia menasehati setiap manusia untuk menjaga terang itu, seperti simbol lilin Paskah dalam kepercayaan Katolik; alfa (∆) dan omega (Ω) sebagai lambang awal dan akhir, yang bermakna bahwa kemuliaan dan kekuasaan Kristus tak pernah rentas dibabat zaman. Ritus inisiasi (rites of initiation), sebagai pergulatan jalan pikiran dan batin manusia dalam mengarungi setiap jenjang atau fase-fase hidupnya—ada kelahiran dan kematian yang harus terjadi, peralihan, ganti kulit, dan semacamnya—adalah proses-proses yang sebetulnya sangatlah plural dan kompleks, tak cukup dilakukan sekali saja.

Ada pengertian inisiasi sebagai upacara sakral maupun profan yang berhubungan dengan diterimanya seseorang dalam suatu komunitas/masyarakat tertentu; inisiasi sebagai penguatan; inisiasi sebagai jalan untuk membebaskan diri dari sukerta, yang dalam kepercayaan Jawa dikenal dengan upacara ruwatan; dan, inisiasi lainnya dirancang untuk menyingkirkan kecemaran yang sangat merusak hubungan antara Allah dan manusia. Semua itu secara sederhana bertujuan untuk mencapai harapan-harapan tertentu, dari manusia itu sendiri, berdasarkan kepercayaan mereka masing-masing, baik berdasarkan agamanya, maupun kepercayaan terhadap leluhur, dalam bahasa Mircea Eliade disebut kosmogonik.

Dalam bukunya Fenomenologi Agama (1995), Maria Susai Dhavamoni mengatakan bahwa beberapa ritus inisiasi yang berlaku dalam masyarakat primitif, umat Hindu, Budha, masyarakat China, Israel, Islam, dengan sederet makna-maknanya, sangat erat berhubungan dengan tradisi kepercayaan dan agama, secara turun-temurun.

Singkatnya, Dhavamoni menyimpulkan: ritus-ritus kematian dan kelahiran kembali merupakan tema pokok dari semua ritus inisiasi. Arti religiusnya sangat mendalam. Secara lebih mendalam lagi, ritus inisiasi menghasilkan perubahan eksistensial yang mendasar dalam hidup individual, yaitu suatu level keberadaan yang suci. Demikian  seperti tertulis di buku The Sacred and The Profane (Mircea Eliade, 1961).

Dalam tradisi masyarakat Bali, seperti disebutkan Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, ada ritus inisiasi yang didasarkan karena perkembangan umur/usia, misalnya ketika bayi berusia 42 hari, kemudian 105 hari, lalu 210 hari. Sesudahnya masa akil balig (meningkat dewasa—ini tidak ditentukan umur, tetapi situasi sang anak), juga upacara potong gigi (mepandes). “Itu semua oleh beberapa pengamat digolongkan sebagai inisiasi, meskipun sesungguhnya istilah inisiasi tidak berlaku universal, jadi berbeda dalam setiap agama,” ujarnya.

R. Subagyo dalam Agama dan Alam Kerohanian Asli Indonesia (1979) mengkilas secara lebih spesifik mengenai inisiasi sebagai upacara peralihan dari fase anak menuju dewasa. Bumi bagi anak, yang sebelumnya berperanan hanya sebagai “lapangan permainan”, harus berubah menjadi “lapangan kerja” ketika anak sudah dewasa. Dalam pada itu, untuk peralihan yang baik, noda hidup lama harus dibersihkan, anak dicoba dan dinasehati untuk masuk taraf baru dan seluruh masyarakat mengambil bagian dalam kegembiraan perayaan. Berbagai unsur tertimbun dalam upacara ini, meliputi kedewasaan, fisiologis, higiene, jenjang hidup dalam masyarakat, ujian keberanian, pedagogi, dan agama.

Tradisi sunatan, yang antara lain dilakukan di daerah Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Aceh, Lampung, bahkan Maumere, juga menjadi contoh ritus inisiasi. Dalam sejarah adat Kejawen di beberapa daerah tertentu di Jawa Tengah, ketika anak disuruh duduk untuk disunat, orang lain di sekitarnya memukul lesung dan rebana, membawa shalawat sekeras-kerasnya, agar teriakan dan tangis anak yang kesakitan karena disunat tadi tidak terdengar. Si anak diarak keliling dengan pakaian pengantin (disebut penganten sunat) atau sebagai raja keputren di bawah payung kebesaran. Bersama dengannya berjalan singobarong dan penari jathilan atau reog, lambang daya untuk masuk jenjang hidup baru dengan aman. Setelah diadakan ngruwat-ngrasulaken, memakan jenang merah untuk menghormati kawah ari-ari, upacara lantas ditutup dengan pewayangan. Lakonnya antara lain Murwokolo atau Bima Bungkus, Noroyono Maling, Gandamana.

Baca Juga:  Tanah

Sunat merupakan praktek yang sangat kuno, yang tertanam dengan baik di antara banyak suku bangsa dunia. Namun, sunat telah memainkan dan masih memainkan peran khusus dalam Yudaisme sebagai ritus inisiasinya (Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, 2003). Tetapi agaknya, di masa kini, tradisi itu sudah berangsur surut. Sunatan berlangsung modern. Untuk mendapatkan restu, cukup mengundang banyak orang dalam pesta hiburan tertentu, nanggap ndangdut atau campur sari.

Di samping sunat, masih banyak ritus inisiasi yang bisa dijumpai dengan nama dan ekspresi yang bermacam-macam: peneguhan sidi, diksha, upanayana, madiksa, perpeloncoan, ngabersihan, nyutanan, lamen (Sikka), ba logo (Ngada), dan lain-lain. Tato, di beberapa tempat juga dipercayai sebagai petanda inisiasi, dikenal juga dengan istilah totemisme. Di Kepulauan Solomon, tato ditorehkan di wajah perempuan sebagai ritus untuk menandai tahapan baru dalam kehidupan mereka. Orang-orang Suku Nuer di Sudan memakai tato untuk menandai ritus inisiasi pada anak laki-laki.

Dari Tradisi Agama

Ritus inisiasi memiliki sejarah panjang, bahkan bisa ditelusur dari zaman kuno, terutama dimulai dari awal mula agama-agama asli di berbagai tempat. Dalam agama-agama seperti Kristen, Mandaeanisme, Sikhisme, dan beberapa sekte kuno agama Yahudi, tradisi “baptis” misalnya, adalah salah satu contoh ritus inisiasi yang cukup populer. Air dipakai sebagai media utama. Kata baptis berasal dari bahasa Yunani βάπτειν, yang maksudnya “berendam atau mandi,” tetapi lebih tepatnya berarti “berendam di air seluruhnya, sampai air menutupnya.” Dalam Kristen, itu melambangkan pembersihan dari segala dosa, juga melambangkan kematian bersama Yesus.

Menurut artikel berjudul Straight Answers: The Rite of Election (1998) tulisan William P. Saunders, seorang Rohaniwan dan Dekan Notre Dame Graduate School of Christendom College, Ritus Inisiasi Kristiani untuk orang dewasa adalah program resmi katekese, praktek dasar (doa dan rohani), serta liturgi di mana orang-orang dewasa—disebut katekumen—secara resmi diterima masuk ke dalam Gereja dan menerima Sakramen Inisiasi, antara lain Sakramen Baptis, Sakramen Penguatan dan Sakramen Ekaristi, sedangkan Sakreman Pengakuan Dosa diterimakan kemudian sebab Baptis menghapus semua dosa-dosa asal dan dosa aktual (diterjemahkan oleh “Yesaya”: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald). Agama Katolik sangat mempercayai suatu persiapan resmi untuk masuk menjadi anggota Gereja sepenuhnya melalui beberapa sakramen tersebut, yang pada intinya adalah tahap-tahap untuk selalu menjadi suci dan lahir kembali.

Ada hubungan antara agama dan masyarakat/budaya dalam konteks sosiologis dalam ritus inisiasi. Y. Sumandiyo Hadi dalam Seni dalam Ritual Agama (2006) menulis bahwa hubungan tersebut menyangkut masalah pribadi, yaitu sejauh mana agama dapat menjaga keseimbangan pribadi sebagai anggota masyarakat untuk melakukan fungsinya. Nah, dari sini jelas, bahwa keberadaan ritus inisiasi, dalam konteks kepercayaan maupun agama, merupakan sinergi yang kuat antara manusia dan Tuhan dalam pengertiannya yang luas, baik bersifat sakral maupun profan.

Dan perjalanan ilmu antropologi yang banyak berfokus pada masalah ini lambat laun menggeser paradigmanya mengenai ritual, dari masalah sempit antara komunitas adat dan kepercayaan pada leluhur, ke makna sosial dalam tindakan keagamaan. Bahkan antropologi kontemporer telah meyakini ritus inisiasi tidak hanya sebagai kegiatan sakral saja, tetapi juga profan.

Lantas, kapan sebenarnya istilah inisiasi dan maknanya mulai disepakati dalam forum ilmiah?

Secara istilah, seperti yang ditulis oleh Henrik Bognan dalam Western Esotericism and Rituals of Initiation (2007), menjelaskan, inisiasi berasal dari bahasa Latin, initiare, yang berarti “memulai”. Penggunaan kata tersebut, menurutnya, paling sering dipakai dalam pengertiannya sebagai upacara pengakuan diterimanya anggota baru ke dalam masyarakat atau klub.

Dan momentum ilmiah yang penting adalah ketika International Asociation of History The Religion pada tahun 1964 mengadakan konferensi yang secara ekslusif untuk membahas mengenai topik inisiasi guna menghasilkan konsensus terkait topik. Di sana, tidak hanya hadir para antropolog, tetapi juga etnolog sosial dan kalangan sejarawan agama. Mircea Eliade, yang dalam forum itu berhalangan hadir, tetap menyampaikan makalah yang cukup penting berjudul L’Inisiasi et le monde moderne. Ia antara lain menyebutkan batasan sempit untuk pengertian inisiasi, yaitu upacara yang menandai fase dari masa kanak-kanak sampai remaja. Selebihnya, bagi Mircea, ada juga inisiasi sebagai penanda diterimanya seseorang dalam suatu perkumpulan rahasia (secret society) berbasis politik maupun agama.

Antropolog Arnold van Gennep meneruskan, upacara sekitar siklus kehidupan manusia ini disebutnya sebagai ritus peralihan (rites de passage). Fase demi fase itu, dalam bahasa Victor Turner disebut penahbisan. Turner mengembangkan lebih jauh dari yang sudah dilakukan van Gennep, yang pada akhirnya menghasilkan teori liminal. Turner membagi penahbisan ke dalam tiga proses: pertama separation, dilanjutkan dengan liminal, dan diakhiri dengan reintegration.

Keadaan di mana individu dipisahkan dari masyarakat disebut separation. Status, kedudukan, atau apa pun yang masih melekat padanya ditanggalkan pada tahap ini. Ketika semua status lamanya telah terlepas, individu tersebut mulai memasuki tahap liminal (dari kata dasar limen, yang bermakna ambang pintu). Ada proses refleksi bagi individu tersebut. Selanjutnya individu tersebut akan memasuki tahap reintegration, yaitu keberhasilannya menyatu dengan masyarakat (lihat buku Jagat Upacara: Indonesia dalam Dialektika Yang Sakral dan Yang Profan, 2007).

Baca Juga:  Selamat Jalan Ari Malibu

Sederhananya, dalam masyarakat Jawa misalnya, yang menandai fase pubertas seseorang hingga ia resmi dianggap telah dewasa di tengah masyarakatnya adalah tradisi sunatan, atau dalam bahasa Biak disebut kbor. Sesudahnya ada perkawinan, yang secara langsung akan menjadi simbol harapan bahwa manusia telah memasuki tahap lebih serius lagi untuk menjadi bagian penuh dalam masyarakatnya untuk beranak-pinak. Prosesi menginjak telur menjadi representasi simbolik dari harapan manusia untuk mendapatkan keturunan.

Di banyak tempat di Indonesia, sudah tentu memiliki banyak tradisi dari siklus-siklus yang menurut van Gennep lengkapnya meliputi kelahiran, pubertas, perkawinan, hingga kematian tersebut. Belum lagi ritus kesuburan (berhubungan dengan panen), yang berkonsentrasi pada penanda-penanda hubungan manusia, alam, dan leluhur. Misalnya dalam ritual pemulihan alam di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Kerbau dipotong dan dipersembahkan kepada Rawula Watu Tana (Tuhan penguasa alam semesta), harapannya supaya gagal panen menjadi pulih. Itu tak jauh beda dengan tradisi inisiasi Mandasia di daerah Tawangmangu, Karanganyar. Masyarakat setempat harus menerima tantangan berupa siklus alam yang berubah, dan harus menyikapinya secara kreatif. Kepercayaan akan petungan Jawi menjadi bekal masyarakat Tawangmangu untuk terus bisa hidup melalui pertanian bawang.

Sesudah Itu

Apakah sesudah menjalani inisiasi, ada jaminan bahwa seseorang akan menjadi suci, atau setidaknya “berganti kulit”, lahir kembali, mulai dari nol—dan yang lebih penting—adakah kualitas diri mengalami peningkatan, dari sesuatu yang dikehendaki inisiator (penginisiasi), maupun yang diinisiasi, dari peristiwa sebelum dan sesudahnya? Kita tentu masih ingat apa yang sudah ditegaskan Khrisnamurti di awal tulisan ini.

“Kalau menjadi suci, tentu saja diharapkan menjadi suci dalam pengertian suci dari fase sebelumnya. Dalam jenjang kerohanian dalam kepercayaan Hindu memang ada upacara yang disebutkan “lahir kembali”, atau kelahiran kedua, dan karena itu disebut dwijati. Misalnya dari Bhawati menjadi Pendeta,” ujar Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda.

Tetapi lain bagi Edi Sedyawati, yang bilang bahwa keberhasilan inisiasi sangatlah bersifat relatif. “Inisiasi hanyalah proses yang terus berkelindan dalam hidup manusia. Tak ada jaminan yang pasti. Itu sangat tergantung dari kepercayaan masing-masing, dan usahanya untuk menjadi lebih baik,” ujar penulis buku Budaya Indonesia (2009) ini.

Dari banyaknya literatur, baik dalam bentuk buku maupun makalah yang membahas intens masalah ini, antara lain hasil pemikiran sarjana Barat seperti Mircea Eliade lewat The Sacred and Profane, 1961; Henrik Bognan dengan Western Esotericism and Rituals of Initiations, 2007; Max Heindel, Ancient and Modern Initiation; René Guénon dalam Perspective on Initiation, 1946; George Oliver, History of Initiation, 1855); dan sebagainya, rata-rata bersepakat bahwa inisiasi sangat terkait dengan legitimasi sosial terkait dengan tugas-tugas “bertahap” (kelahiran kedua dalam pengertian luas) yang harus selalu diemban.

Misalnya seperti yang ditulis René Guénon: “Inisiasi selalu digambarkan sebagai kelahiran kedua (second birth). Di situlah seseorang diuji dan harus memiliki modal (dimulai dengan ujian) yang cukup untuk bisa masuk dalam anggota masyarakat. Hal itu memiliki regulasi yang teratur”. Jauh waktu sebelum Guénon, George Oliver sudah menegaskan bahwa inisiasi bermakna “perundingan dengan masyarakat,” dengan harapan bahwa yang diinisiasi akan mempraktekkan tugas sosial, kebajikan, dan bersosialisasi secara pantas kepada sesama masyarakat.

Bagaimana pandangan sosiologi kontemporer mengenai ritus peralihan ini, misalnya, dari masa kanak-kanak ke remaja? Menurut James M. Henslin, dalam Sosiologi dengan Pendekatan Membumi (2007), remaja di dunia “industrialisasi” ternyata harus menemukan dirinya sendiri. Di kala mereka berupaya menciptakan suatu identitas yang berbeda, baik dengan dunia “lebih muda” yang sedang ditinggalkan, dan dunia “lebih tua” yang belum terjangkau, para remaja mengembangkan sub-kultur mereka sendiri, dengan busana, gaya rambut, bahasa, gerak-isyarat, dan musik yang khas. Dalam bahasa Sejarawan Kenneth Keniston, perubahan itu bukanlah secara psikologis, tetapi sosiologis.

Pada umumnya masyarakat gagal menyadari bahwa, masyarakat kontemporerlah, bukan biologi, yang menciptakan periode gejolak batin, yang dinamakan masa remaja. Dalam konteks ini dapat dibaca gejolak perubahan-perubahan dalam masyarakat yang tidak perlu konsensus atau upacara tertentu.

Inisiasi, Seni, dan Pendidikan

Tentang hubungan ritus inisiasi dan kesenian, Edi Sedyawati juga menegaskan bahwa fenomena ini sangat berkaitan dengan tradisi keimanan seseorang di wilayah masyarakat tertentu, yang juga merupakan simbol untuk mencapai harapan-harapan. “Tetapi perlu dipertanyakan lagi, itu (pemanfaatan kesenian untuk upacara inisiasi) betul-betul diimani atau tidak. Kalau tidak, semuanya akan menjadi percuma,” katanya.

Tapi pertanyaan yang lebih mendasar adalah mengapa seni diperlukan dalam sebuah upacara ritual-religius? Budayawan Jakob Sumardjo, dalam buku Estetika Paradoks (2006) membahas hal ini secara khusus. Baginya—seperti yang sudah diungkapkan oleh Edy Sedyawati di atas—seni dan ritual tersebut adalah masalah iman. “Estetikanya adalah estetika iman, yakni apa yang dipercayai sebagai pandangan dunianya secara kolektif. Religi jelas berhubungan dengan “sesuatu” di luar manusia-budayanya,” jelasnya.

Baca Juga:  Yang Hilang dalam Perdebatan JRX dan Via Vallen

Soetarno menggaris-bawahi apa yang disampaikan Edy Sedyawati maupun Jakob Sumardjo, bahwa upacara seperti itu membantu membebaskan orang dari dosa—yang merupakan sisi (gangguan) dari keimanan manusia. “Ruwatan menggunakan wayang kulit misalnya, bisa menjadi sarana untuk pembebasan dosa orang yang mengalami sukerta dari ancaman Kala,” tegas mantan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini.

Tetapi yang lebih penting lagi, kembali menurut Jakob Sumardjo, dalam budaya religi, benda-benda (alam maupun buatan), ruang dan waktu, bahkan pelaku, tidak mempunyai nilai yang sama. Ada ruang yang profan, semi sakral, dan sakral. Dalam kondisi kemajemukan Indonesia dengan banyak etnisitas ini, keberadaan itu menjadi sangat relatif. “Pengalaman seni dan ritual semacam itu mungkin saja bersifat universal, namun akan lebih terasa, dan teralami secara mendalam bagi mereka yang memang punya akar budaya yang sama,” terangnya.

Sementara dalam dunia pendidikan, sebagaimana disebutkan oleh Michael Gurian dalam The Wonder of Boys yang menjelaskan bahwa inisiasi bisa terencana, terlembaga, terjadi begitu saja, insidental dan ritualistik. Dalam konteks ini, lembaga seperti sekolah menengah bisa menjadi struktur inisiasi, demikian juga perguruan tinggi. Setiap struktur pendidikan yang membimbing anak laki-laki, melalui perjalanan pertumbuhan sosial, dan personal akan menjadi pengalaman inisiasi.

Jika di sekolah-sekolah Indonesia pada umumnya dikenal dengan MOS atau masa orientasi siswa, maka di beberapa universitas ada tradisi perpeloncoan atau dikenal dengan OSPEK, orientasi dan pengenalan kampus. Tujuannya adalah uji mental kejenjangan, ada ritus peralihan yang musti diikuti, supaya ketika berganti jenjang tersebut, pelajar tidak mengalami shock, dan terlatih menghadapi medan selanjutnya yang sudah tentu berbeda dan akan jauh lebih kompleks. Tak jarang pula, tradisi seperti ini menelan korban jiwa.

Tantangan Zaman

Pertanyaan yang menggelitik adalah bagaimana inisiasi itu ditempatkan, dan bagaimana pula ia diyakini oleh masyarakat kontemporer umumnya?

Jika kita mengacu pada pandangan Mircea Eliade mengenai yang sakral dan yang profan—yang menurutnya pula harus ada pembedaan antara masyarakat religius dan non-religius—hal ini tentunya menjadi catatan bersama bahwa inisiasi bukanlah peristiwa universal dalam peradaban manusia. Terlebih jika melihat tradisi kepercayaan dari peradaban primitif, ritual, keagamaan, hingga intelektual sekarang ini, yang selalu saja memunculkan “jurang pemisah” yang menjadikan konsepsi-konsepsi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain menjadi berlainan.

Seturut pandangan G. Budi Subanar, hal itu menyangkut sejauh mana pentingnya praktek inisiasi. “Harus ada orientasi dasar, dimana itu adalah keyakinan dari komunitas atau kelompok yang ada. Unsur itu menjadi pokok-pokok yang menentukan bagaimana inisiasi menjadi penting dan tetap dipraktekkan. Jika sadar akan hal itu, inisiasi tak akan pernah hilang dari peredaran,” ujarnya yakin.

Tentu bukan tanpa alasan, sistem religi dikatakan sebagai salah satu dari ketujuh unsur cultural universal, seperti pendapat Hans J. Daeng. Betapa pun terbatas jumlah anggotanya, pada setiap kelompok masyarakat, dapat disaksikan fenomena yang memperlihatkan berbagai bentuk hubungan dengan Hakekat Tertinggi. Bagi kebanyakan orang, religi biasanya dikaitkan dengan hal-hal yang transenden sifatnya, walaupun religi itu sendiri adalah suatu fenomena sosial. Religi tidak terlepas dari pelbagai keterkaitannya dengan komunitas, masyarakat, yang mempunyai tatanan yang secara struktural terbawa dalam proses menyejarah yang dinamis (Manusia Kebudayaan dan Lingkungan-Suatu Tinjauan Antropologis, 2005)

Cerita mengenai ritus inisasi memang panjang dan begitu kompleks untuk ditelusuri. Tidak ada yang baku dan benar-benar valid. Sifatnya pun akan selalu berubah-ubah seturut gejolak zaman. Perbincangan ini sesungguhnya lebih dekat dengan isu simbolisme dalam setiap kebudayaan, entah itu sudut pandang masyarakat terhadap kepercayaan, religi, agama, maupun anutan-anutan yang lain.

Namun secara sederhana, dapat diasumsikan sementara, bahwa ritus inisiasi sesungguhnya tidak sepenuhnya bersifat “sakral dalam wujudnya” atau harus melalui medan upacara adat-tradisi dengan berbagai ubo rampe dan perwujudan doa-doa sakral untuk Hakikat Tertinggi tersebut.

Sebaliknya, inisiasi haruslah dipahami sebagai hal yang sangat wajar, dari perilaku dan kesadaran sosial sehari-hari akan “usia dan tanggung jawab” yang harus diemban semasa hidup, dalam kondisi masyarakat mana pun, baik yang kontemporer maupun tidak. Maka dari itu, seperti diungkapkan YB Mangunwijaya dalam Ragawidya, Religiositas Hal-hal Sehari-hari (1986), selalu dibutuhkan keseimbangan antara jasmani dan rohani untuk mencapai kesadaran seutuhnya itu:

tumrap urip kang utama,

tertamtu ambutuhake wadhah lan isine,

kang utama karo-karone

 (demi hidup yang baik, tentulah dibutuhkan bejana

[jasmani] dan isi [rohani] yang baik,

atau sebaiknya kedua-duanya).

Di tengah cuaca zaman yang tak menentu ini, penting untuk ditegaskan kembali: sejauh mana pentingnya keberadaan (makna) ritus-ritus inisiasi di tengah manusia kontemporer ini, dan bagaimana seharusnya manusia melangkah untuk menuju keseimbangan-keseimbangan melalui ritus inisiasi tersebut? Jangan-jangan, berbagai konflik antar manusia belakangan ini—yang kian hari kian vulgar—adalah  salah-satu contoh kegagalan manusia dalam mengelola keseimbangan itu.

*) Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggungjawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi serunai.co


* Esai ini telah dimuat di Majalah Gong Edisi 118.

Related posts

Soundscape Islami: Memori dan Literasi Auditori Azan di Indonesia

Aliyuna Pratisti

Pemblokiran PSE dan Hal-hal yang Melampauinya

Ayu Welirang

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy