Serunai.co
Berita

Bersama-sama Menolak Kekerasan di Lingkungan Seni

Ilustrasi oleh Alim Bakhtiar.

Dalam kurun waktu tiga minggu terakhir, di media sosial berseliweran pernyataan sikap dan seruan menolak kekerasan seksual, kekerasan domestik maupun kekerasan berbasis gender di lingkungan seni. Seruan itu berasal dari penggiat seni di Yogyakarta dan Jakarta.

Pernyataan sikap dan seruan itu muncul sebagai respons terhadap peristiwa maupun isu kekerasan seksual, kekerasan domestik maupun kekerasan gender yang terjadi belakangan. Tulisan di media alternatif Merah Muda Memudar yang beredar di media sosial menjadi salah satu pembukanya. Tulisan itu berisi penolakan terhadap rencana pameran seni rupa karya Sitok Srengenge di Magelang dan Yogyakarta. Dalam tulisan yang diunggah pada 2 Mei itu, disebutkan bahwa alasan penolakan adalah status Sitok Srengenge yang pernah menjadi tersangka kasus pemerkosaan pada 2014. Sampai sekarang, kasus hukumnya terhenti tanpa ada kejelasan dan keadilan bagi korban. Di situ antara lain ditulis, “Sikap kami bukan dalam hal menolak kebebasan berekspresi, tapi kami ingin membangun keadilan penuh bagi RW dan korban-korban perkosaan lainnya.”

Tak berselang lama, dari Yogyakarta beredar tautan berisi pernyataan sikap pekerja seni terhadap normalisasi kekerasan berbasis gender di lingkungan seni budaya. Isinya tentang penolakan pekerja seni terhadap pembiaran berbagai kasus kekerasan domestik di kalangan pelaku seni budaya, khususnya di Yogyakarta. Hingga tulisan ini disusun, sudah ada lebih dari 200 orang yang membubuhkan namanya mendukung pernyataan sikap tersebut.

Berikutnya, muncul pernyataan sikap dari komunitas Ruang MES 56 di Yogyakarta. Pernyataan itu berisi sikap resmi Ruang MES 56 terhadap salah satu anggotanya yang menjadi pelaku kekerasan. Ruang MES 56 antara lain menyatakan penolakannya terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sehingga salah satu anggota yang diduga menjadi pelaku KDRT dinonaktifkan supaya bisa menyelesaikan masalahnya. Untuk mencegah hal serupa terulang, Ruang MES 56 menyatakan akan berupaya menciptakan ruang yang aman dan bebas dari diskriminasi serta kekerasan gender, orientasi seksual, agama, usia dan perbedaan latar belakang lainnya.

Selanjutnya, dari Jakarta muncul Pernyataan Sikap Solidaritas untuk Korban Kekerasan Seksual. Pernyataan yang diinisiasi oleh aktivis perempuan Olin Monteiro dan Saras Dewi itu berisi tuntutan pembatalan pameran Sitok Srengenge di Yogyakarta, tuntutan agar galeri seni memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan terutama bagi para korban, serta tuntutan kepada pihak kepolisian agar segera memproses laporan korban.

Selain empat seruan maupun pernyataan sikap yang disebut di atas, masih ada sejumlah seruan serupa yang sengaja dihadirkan untuk menggalang dukungan dalam upaya menolak kekerasan khususnya di lingkungan seni.

Baca Juga:  Merayakan Kebangkitan Rilisan Fisik

Terlepas dari rentetan peristiwa yang melatari kemunculan seruan tersebut, kami mencoba mengumpulkan pendapat para pelaku dunia seni baik di Yogyakarta maupun Jakarta terkait sikap mereka terhadap isu kekerasan seksual maupun gender yang tengah dipersoalkan. Kumpulan pendapat ini kami peroleh dengan mengajukan pertanyaan via layanan pesan instan seperti whatsapp maupun messanger. Secara umum ada dua pertanyaan inti yang kami ajukan, yakni sikap mereka terhadap surat pernyataan maupun seruan yang beredar dan sikap mereka jika ada rekan sesama pelaku seni yang menjadi pelaku kekerasan.

Pertanyaan ini kami ajukan secara acak kepada sejumlah pelaku seni, baik itu seni rupa, musik, sastra maupun seni pertunjukan yang nomor kontaknya bisa kami akses. Dengan demikian, pengumpulan pendapat ini tidak bertujuan untuk mengukur kecenderungan sikap para pelaku seni terhadap isu tersebut. Ada sejumlah narasumber yang bersedia menjawab, namun ada juga yang tidak memberikan jawaban. Inilah pendapat mereka.

Dipa Raditya (apresiator seni dan pembenci pelaku pelecehan seksual, salah satu penanda tangan seruan soal normalisasi kekerasan berbasis gender)

Alasannya simpel. I have zero tolerance for sexual abuse. No matter where they came from. Dan Sitok harus dihukum seberat beratnya. Kalau pelakunya teman dekat, gue bakalan vigilant sama dia dan mengadukan dia ke polisi.

Yustina Neni (pekerja seni) menanggapi seruan soal normalisasi kekerasan berbasis gender

Sebagai perempuan aku sepakat dengan seruan ini. Aku menempatkan diri dalam situasi korban yang mendapat perlakuan tidak adil dan lemah dalam membela diri. Pertanyaan yang mengharap bukti dan saksi atas tindak kekerasan yang dialaminya adalah kekerasan lainnya. Jika kekerasan yang terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan terjadi di dalam rumah sendiri, kemungkinan besar tidak ada saksi. Aku akan percaya pada curahan hati seorang kawan jika dia bercerita padaku telah dipukul atau dikata-katai kasar oleh pasangannya.

Aku tahu siapa yang membuat seruan, dan aku juga terlibat secara emosional dalam hari-hari yang mana kisah-kisah kekerasan ini mulai muncul dalam lingkungan kami yang berujung pada seruan ini. Jika ada teman dekat yang menjadi pelaku, dukunganku pertama (adalah) pada temanku perempuan yang jadi korban, sebagai sesama perempuan. Aku menyemangati untuk berani tidak diam saja. Kepada pelaku, aku hilang simpati dan mencap mereka kekanak-kanakan, pembohong, dan pengecut.

FX Widyatmoko (Staf Pengajar Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta) menanggapi seruan soal pameran Sitok Srengenge

Baca Juga:  Aksi Protes Warnai Pembukaan Pameran Sitok Srengenge

Belarasa pada korban, itu baik. Tidak kalah penting yaitu tentang hukum. Kita negara konstitusi. Kasus di atas harusnya kasus hukum, bukan politik. Berapa banyak di negara kita seseorang terjerat hukum namun bebas ini itu? Konstitusi, bukan politisasi. Di mana posisi Serunai?

Perdana Putri (penulis di media Merah Muda Memudar) menanggapi seruan soal normalisasi kekerasan berbasis gender

Kami sepakat dengan poin-poin di sana, dan menurut kami ide tentang kekerasan berbasis gender (perkosaan, pelecehan, dll) di ruang budaya dijabarkan dengan baik. Jika ada teman dekat yang menjadi pelaku kekerasan, harus dilihat kasus per kasus. Jangan tanya apa yang akan kami lakukan. Sebaiknya tanya apa yang korban mau lakukan, apa yang dia ingin kami lakukan. Mendengar korban adalah langkah paling awal untuk menghadapi kasus-kasus seperti ini.

Memutus mata rantai kekerasan berbasis gender di lingkaran kesenian adalah kerja berat. Dan tidak ada jalan instan. Mungkin bisa dimulai dari berhenti berpura-pura bahwa kerja kesenian adalah sesuatu yang adiluhung dan punya nilai lebih bagi kemanusiaan. Setiap entitas, setiap subyek, pasti memiliki hasrat untuk menguasai, mikrofasis, dan hal-hal ‘jahat’ lainnya. Menyadari akan hasrat ini penting. Sementara dalam tubuh sistem, bisa berbagai cara walaupun tidak terlalu baru seperti ada mekanisme ketat mengenai tindak lanjut terhadap kasus-kasus kekerasan berbasis gender, pendidikan bagi semua orang mengenai feminisme, seksualitas, gender, dll, dan bersama-sama menghapus stigma untuk korban perkosaan. Bagaimanapun harusnya kita tidak turut mereviktimisasi korban kekerasan seksual. Mereka adalah manusia yang berdaya dan tidak akan berkurang sedikitpun kediriannya karena diperkosa/dipukul. Suaranya amat penting untuk berbunyi secara mandiri.

Saut Situmorang (Penyair) menanggapi seruan soal pameran Sitok Srengenge

Terkait pertanyaan soal mengapa menyetujui seruan : Kenapa?! Emangnya pemerkosaan apalagi yang berulang kali dilakukan seseorang yang dianggap Budayawan dan Sastrawan penting terhadap beberapa korban tidak harus dilawan? Apalagi si pemerkosa tidak pernah diadili atau ditahan walau statusnya sudah jadi Tersangka! Kawan pun kalau pemerkosa serial kayak si Sitok itu harus dilawan!

Bagaimana jika ada teman yang menjadi pelaku kekerasan? : Aku tidak tahu jawabannya. Tapi mengekspos peristiwa pemerkosaan yang terjadi adalah salah satu cara yang harus dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya peristiwa tersebut di bidang apapun.

Irfan R Drajat (musisi dan peneliti musik) menanggapi seruan soal normalisasi kekerasan berbasis gender

Baca Juga:  Tambang Panas di Pasar Seni

Terkait pertanyaan soal mengapa menyetujui seruan : Masa nggak sepakat? Ada kekerasan, terus ada vict blaming, ada upaya normalisasi kemudian dari pelakunya, masa iya begitu nggak sepakat? Alasannya ya karena itu nggak beres.

Kalau ada isu kekerasan dan di wilayah domestik, kadang orang sering diam karena dianggap itu bukan urusan orang lain. Ketika sudah keluar ke wilayah publik, lewat ujaran atau curhat kupikir orang lain boleh membantu. Itu artinya ada ketidaksetaraan di sana, ada ketimpangan, dan pembiaraan atas hal tersebutlah yang kemudian membikin kasus-kasus macam ini terus terulang. Kita harus punya kesadaran atas itu.

Fitri DK (perupa dan musisi) menanggapi seruan soal normalisasi kekerasan berbasis gender

Surat pernyataan yang beredar itu merupakan bentuk solidaritas dan dukungan untuk korban kekerasan terhadap perempuan. Saya ikut tanda tangan, karena saya sepakat dengan poin-poin yang tertera di sana. Sebagai sesama perempuan saya mencoba menempatkan diri saya dalam keadaan yang dialami korban dan memahami keadaan korban, yang tentu saja ingin keluar dari permasalahan yang dialaminya. Tentu dukungan dari teman-teman akan sangat diperlukan agar korban tak merasa sendiri dan jadi lebih kuat. Cukup susah dalam penanganan kasus KDRT karena tak jarang korban diam tak mampu menceritakan aib keluarganya, ketakutan terhadap pelaku yang itu adalah orang terdekat atau bahkan ketika korban mampu bercerita tapi tak ada yang berani membantu karena menganggap tabu mengurusi permasalahan domestik. Tindak kekerasan domestik, kekerasan keluarga, menurut saya merupakan kejahatan yang harus menjadi perhatian dan urusan bersama agar tak ada lagi korban selanjutnya.

Jika dalam komunitas ada teman yang melakukan tindak kekerasan, yang (harus) dilakukan adalah menengahinya dan harus berani bilang apa yang dilakukan teman kita jika itu salah. Jangan diam dan pura pura tidak tahu! Jika jalur mediasi ini tak berhasil, pelaku tak jera, harus ada sanksi tegas dari komunitas, komunitas membuat pernyataan dan mengeluarkan pelaku dari komunitas. Tentu tak akan menjadi komunitas sehat jika masih mempertahankan anggotanya yang terus melakukan tindak kekerasan. Lebih penting lagi adalah terus memberi dukungan kepada korban, mempertemukan dengan beberapa jalur penyelesaian, misalnya mempertemukan dengan tempat-tempat pengaduan kekerasan terhadap perempuan/lembaga yang konsen terhadap permasalahan perempuan seperti Komnas Perempuan, Rifka Annisa dll. Terus menyemangati agar bisa bangkit lagi, berani mengambil keputusan, tidak diam akan kekerasan yang dialaminya.

Related posts

T Sutanto Pamerkan Karya Cetak Saring Pilihan

Redaksi Serunai

SPASI Rilis Album Musikalisasi Puisi “Rimaksara”

Redaksi Serunai

Ketika Kampus Seni Menolak Tafsir Seni HTI

Ferdhi Putra

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy