Serunai.co
Kolom

Selamat Jalan Ari Malibu

Ilustrasi oleh Bambang Nurdiansyah

Silence like a cancer grows… (The Sound of Silence – Simon and Garfunkel)

Saya pertama kali mendengar lantunan musik puisi karya Sapardi Djoko Damono sekitar tahun 2000-an. Kapan persisnya saya lupa, mungkin sekitar 2002. Saat itu saya masih (kadang-kadang) kuliah di salah satu kampus di Yogyakarta. Selain kuliah dan beraktivitas di bidang kesenian, saya juga berusaha mendapat pekerjaan meski serabutan. Pekerjaan apa saja saya bersedia, dan tidak semua jenis pekerjaan harus dibayar dengan uang. Asalkan bisa ikut makan dan numpang tidur pun akan saya kerjakan. Waktu itu saya ingat, salah satu pekerjaan yang akhirnya dibayar dengan uang adalah menjadi tukang layout. Itu adalah pekerjaan berikutnya setelah tak betah menjadi operator warung internet. Pekerjaan berjam-jam di depan komputer itulah yang mengantar saya kepada lagu-lagu puisi Sapardi yang dibawakan oleh seorang penyanyi perempuan bersuara merdu. Lagu-lagu itu disimpan di salah satu folder komputer tempat saya bekerja. Pertama kali mendengarnya, saya langsung jatuh hati meskipun tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu siapa musisi di balik lagu puisi itu sebenarnya. Ada belasan lagu dari penyanyi yang sama di komputer, dan saya menyukai semuanya. Saya lantas menyalinnya dalam satu folder yang isinya khusus lagu-lagu kesukaan saya. Bermodal walkman milik teman, lagu-lagu puisi itu—bersama lagu-lagu karya Leo Kristi dan sejumlah lagu Bob Dylan—kerap menemani saya bersepeda membelah kota ketika malam tiba.

Belasan tahun kemudian, seseorang menghubungi saya dan meminta Sisir Tanah membuka pertunjukan AriReda di Yogyakarta. Pertunjukan di Yogyakarta itu merupakan bagian dari tur duo Reda Gaudiamo dan Ari Malibu ke sejumlah kota. Saya tidak berpikir panjang dan mengiyakan ajakan tersebut dengan antusias. Selain Sisir Tanah, Deugalih juga tampil sebagai pembuka.

Baca Juga:  Mengapa Jason Ranti Ada Baiknya Rilis Single Bertajuk "Bahaya Populisme"

Di belakang panggung, saya pun berkenalan dengan keduanya. Dari situ, saya mulai mencari lebih banyak informasi tentang siapa AriReda. Namun, bukan hanya itu. Momen tersebut ternyata juga menjadi pilar bagi perjumpaan-perjumpaan kami berikutnya. Saat bertemu kembali dalam Cikini Folk Festival yang dilangsungkan di Taman Ismail Marzuki Jakarta, saya merasa seperti bertemu dua kawan lama yang tidak berjumpa sekian waktu.

Ketika akhirnya Sisir Tanah mendapat kesempatan yang sama untuk melangsungkan tur dan singgah di Jakarta, duo favorit saya itu menjadi tamu kehormatan yang membuka pertunjukan Sisir Tanah di salah satu venue. Bahkan, kebersamaan kami berlanjut hingga di Balikpapan dan Samarinda Kalimantan Timur. Saya ingat, tim untuk perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda dibagi ke dalam dua mobil. Mobil pertama berisi Mbak Reda dan mobil kedua berisi Mas Ari. Tentu saja, mobil pertama adalah mobil bebas asap sedangkan mobil kedua sebaliknya. Saya ikut mobil kedua.

Dari pembagian mobil itu saja, bisa dibayangkan bagaimana kedua orang ini berbeda. Bisa dibayangkan pula betapa jauh dan lama sudah jalan yang mereka tempuh dengan segala perbedaan tadi. Mbak Reda selalu tampil rapi dan terkesan higienis. Mas Ari sebaliknya. Dengan segala perbedaan itu, maka bisa dibayangkan bahwa 30 tahun lebih berkarya bersama adalah jarak tempuh yang tidak main-main. Untuk urusan panggung, saya tahu keduanya sangat perfeksionis dan bertanggung jawab.

Selama berada di Samarinda, seusai pertunjukan kami hanya singgah sejenak untuk mandi dan merebahkan badan sebelum bertolak ke Balikpapan. Saya berbagi kamar dengan Mas Ari. Di momen itu, ada banyak kisah yang meluncur bebas darinya. Beberapa di antaranya merupakan kisah personal yang membuat saya merasa istimewa karena telah dipercaya untuk mendengarnya. Saya mengambil beberapa foto di momen tersebut. Entah kenapa, saya menangkap kesunyian yang dalam pada setiap foto yang saya ambil diam-diam itu. Tepat pukul dua dini hari kami bergegas menuju Bandara Sepinggan di Balikpapan untuk menyeberang ke Jawa sebelum berpencar ke rumah masing-masing.

Baca Juga:  Musik, Opium bagi Massa, dan Bagaimana Mengakalinya

Sesampainya di Bandara Sepinggan Balikpapan, Mas Ari berinisiatif mengeluarkan gitar saya (tepatnya gitar yang statusnya masih dipinjamkan oleh duo keren lainnya, Endah N Rhesa) dari kantongnya lalu menyanyikan sebuah lagu milik Simon and Garfunkel. Saya ingat lagu yang dinyanyikan Mas Ari saat itu adalah Mrs. Robinson. Mbak Reda mengiringinya lamat-lamat. Pagi itu saya menyaksikan Mas Ari sudah tiba di fase tenang dan menghanyutkan sebagai seorang biduan. Sementara Mbak Reda sanggup hadir untuk menutupi setiap celah. Mereka saling melengkapi. Itu adalah momen yang indah sehingga saya menyimpan adegan tersebut dalam lemari khusus.

Suatu malam di tahun ini, Mbak Reda mengabari bahwa mereka sedang berada di Yogyakarta. Malam itu juga saya menemui mereka. Ternyata Mas Ari dan Mbak Reda sedang menggarap album berikutnya di Yogyakarta, dan Mas Ari menyampaikan keinginannya untuk memakai gitar saya (yang kali ini statusnya sudah bukan pinjaman) untuk salah satu lagu yang akan direkam.

Keesokan harinya, saya membawakan gitar itu ke studio. Saat itu saya menyadari ada sesuatu yang sedang menggerogoti tubuh Mas Ari. Tetapi saya melihat tidak ada yang berubah dari dia. Mas Ari masih memetik gitar dan menyanyikan lagu demi lagu dengan semangat yang menyala. Saya bisa merasakannya, namun saya tidak mengetahui bahwa pertemuan itu akan menjadi pertemuan kami yang terakhir.

Setelah proses rekaman itu, kami sempat saling berkirim kabar. Selanjutnya saya hanya bisa memantau perkembangan Mas Ari melalui Felix Dass yang menjadi manajer AriReda. Mas Felix pula yang selalu saya minta untuk memberi kabar terkait perkembangan kesehatan Mas Ari. Terkadang saya merasa aneh bisa bersahabat dengan mereka, mengingat musik yang saya bawakan punya konten yang berbeda dengan musik AriReda. Tetapi ini membuktikan bahwa musik melampaui segala sekat. Saya menyesal ketika pada suatu hari, rencana untuk menjenguk Mas Ari di Jakarta tertunda.

Baca Juga:  Elegi Kisah ‘Pembangunan’ dalam Bunga Trotoar

Bagi saya pribadi, kepergian Mas Ari adalah sebuah kehilangan. Setiap kali bertemu, saya merasa belajar banyak darinya. Dari pertemanan kami yang terhitung singkat itu, saya merasa beruntung pernah menjadi bagian kecil dalam proses kreatif AriReda, dan lebih dari itu, menjadi saksi dari semangat hidup dan sukacita yang Mas Ari bagikan untuk musik yang dicintainya, untuk dunia dan untuk kehidupan. Saya berdoa agar Mbak Reda terus melanjutkan AriReda karena, sama seperti saya dan para penggemar musik AriReda lainnya, saya yakin Mas Ari juga sangat menginginkannya.

Selamat jalan Mas Ari. Saya nyanyikan The Sound of Silence untukmu, dari sini.

 

 

 

 

 

Related posts

Genjer-Genjer dan Beban Sejarah yang Menggelayutinya

Aris Setyawan

Mengapa Kangen Band Penting bagi Perkembangan Musik Populer Indonesia?

Irfan R. Darajat

Mencari Perempuan dalam Kritik Musik Kiwari

Idha Saraswati

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy