Serunai.co
Kolom

Polemik JRX – Via Vallen : Perdebatan yang Sia-sia

Polemik antara penabuh drum band Superman is Dead (SID), I Gede Ari Astina atau dikenal dengan Jerinx [selanjutnya disebut JRX] dan biduanita Dangdut Koplo, Maulidia Octavia atau dikenal dengan Via Vallen [selanjutnya disebut VV] mengemuka sejak 10 November lalu. JRX menegur VV karena mengkaver lagunya yang bertajuk “Sunset di Tanah Anarki” tanpa izin. JRX merasa terganggu oleh beberapa alasan. Pertama, VV dianggap menggunakan lagu SID untuk kepentingan pribadi, dengan mengomersialkan lagunya ke dalam bentuk DVD dan diperjual-belikan. Kedua, VV dianggap telah menghilangkan “ruh” lagu tersebut–OM Sera dan VV memainkan lagu tersebut dengan genre dangdut koplo.

VV pun merespons pernyataan demi pernyataan JRX. VV memohon maaf atas dua hal. Pertama, memohon maaf karena telah menggunakan lagu tersebut. Kedua, memohon maaf karena telah ‘merusak’ ruh lagu “Sunset di Tanah Anarki”. Namun, alih-alih hanya meminta maaf, VV turut mengklarifikasi beberapa hal. Pertama, VV tidak mendapatkan keuntungan sepeser pun dari komersialisasi dalam bentuk VCD dan DVD. VV pun menjelaskan bahwa perekaman dan penjualan dilakukan oleh penyelenggara. Kedua, soal kepemilikan karya, VV mempertegas bahwa dirinya hanya menyanyikan tanpa bermaksud memiliki karya tersebut. Ketiga, VV tidak terima atas umpatan JRX pada dirinya.

Setelah itu keberatan JRX berlanjut. JRX mempersoalkan tidak adanya itikad baik dari VV untuk menggunakan lagu tersebut. Kemudian JRX juga memprotes pemahaman VV atas pesan dari lagu teresebut. Segala keberatan JRX supaya hal-hal tersebut tidak terulang di masa mendatang lantaran SID baru saja merilis album anyar bertajuk “Tiga Perompak Senja”. Menurut JRX, lagunya sangat berpotensi di-koplo-kan. Tidak hanya itu, JRX juga menyampaikan kekesalannya karena VV tidak menggunakan ketenarannya untuk menyuarakan sesuatu. JRX menyatakan :

…Setelah sukses, apa yang kami bisa lakukan untuk mengapresiasi karya yang membawamu ke tempat yang lebih baik? Dengan followers berjuta, minimal berkontribusilah untuk gerakan melawan lupa, atau pelurusan sejarah 65, perjuangan Kendeng, dll, ada banyak sekali hal yang bisa VV lakukan tanpa harus keluar duit.”

Di akhir penjelasan, JRX menyatakan bahwa dirinya tidak akan menuntut nominal dari VV dan biduan atau biduanita lain dan menutup pernyataannya dengan menyematkan ihwal integritas yang SID usung.

Pasca polemik tersebut, banyak kalangan angkat bicara. Media seperti serunai.co, tirto.id, dan remotivi.or.id, memuat opini dengan pelbagai perspektif; ataupun para musisi atau youtuber seperti Anji, Erix Soekamti, Dori Soekamti, Tompi, Glenn Fredly, dan sebagainya. Pelbagai respons dan telaah dilakukan, mulai dari menyalah-benarkan–salah satu yang dominan di antaranya, menilik kedalaman lagu, menelisik distribusi dangdut koplo, melihat soal selebritas keduanya, menyingkap orientasi penyanyi, hingga persoalan hak cipta.

Hal yang disebut terakhir agaknya menjadi ‘favorit’ banyak kalangan. Alih-alih menyoal sesuatu yang lebih besar dan mendalam–yang akan saya bahas dalam tulisan ini, yang paling tampak oleh awam adalah soal hak kepemilikan dan nilai nominal sebuah lagu. Singkat kata, tentang untung-rugi.

Namun apakah sebatas itu–soal untung-rugi? Adakah hal lain yang dapat kita telusuri dari polemik tersebut?

Dangdut Koplo: Apa yang Dilawan sekaligus Diciptakan?

Menurut catatan saya, JRX bukan orang pertama yang menyampaikan kegusarannya atas lagu yang dibawakan dengan aransemen khas dangdut koplo. Jauh sebelumnya, sebenarnya orkes melayu Dangdut Koplo telah menerima keberatan serupa dari Raja Dangdut, Oma Irama atau Rhoma Irama. Rhoma pernah melayangkan protesnya secara langsung pada salah satu orkes melayu dangdut koplo. Seorang pimpinan Orkes Melayu FOX (disamarkan) di Jombang mengatakan, pada pertengahan tahun 1990an manajemen Rhoma Irama menghubungi OM FOX dan mempertanyakan penggunaan lagu hingga aransemen yang dilakukan. Sang pimpinan OM lalu meminta maaf kepada manajemen Rhoma.

Namun demikian, Rhoma dan manajemennya sadar bahwa mereka tidak akan dapat melacak atau mengingatkan semua orkes yang berlaku serupa. Terlebih dua hal, yakni pola aransemen “persis kaset” memang menjadi siasat produksi musik mereka; dan jumlah orkes melayu di beberapa daerah di Jawa Timur terus bertambah. Dalam hal ini, peringatan Rhoma Irama dan manajemen dapat diartikan sebagai alat kontrol yang ambigu, sebab Rhoma tidak menyeriusi tegurannya pada pengguna lagu-lagunya.

Hal ini mungkin karena Rhoma dibesarkan pada dua kultur sekaligus. Rhoma dibesarkan dalam kultur orkes melayu, di mana biduan bukan figur sentral dan kecenderungan orkes melayu juga menyanyikan lagu melayu, lagu rakyat, dan lain sebagainya. Rhoma juga dibesarkan dalam kultur musik Barat, dalam hal ini musik rock, di mana kesadaran figur diutamakan. Sebagai siasat menggabungkannya, pada tahun 1971 Rhoma mendirikan orkes melayu yang sesuai dengan keinginan dirinya, Soneta (lihat Weintraub, 2010). Bersama OM Soneta, Rhoma mendapatkan perhatian dan dukungan besar. Dalam [menjaga] kariernya, Rhoma lantas mendirikan dua ‘lembaga’ khusus, PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia) dan AHDCI (Asosiasi Hak Cipta Musik Dangdut Indonesia). PAMMI didirikan atas kepedulian Rhoma terhadap nasib sesama musisi dangdut (2014: 199), sementara AHDCI untuk mengurus bidang royalti untuk pencipta musik dangdut (Ibid, 200).

Baca Juga:  Tak Ada Privasi Hingga ke Kamar Mandi

Dengan cara tersebut Rhoma mencoba mengangkat derajat dangdut yang dianggap rendah, yang merupakan imbas dari konstruksi oleh kalangan dari genre musik lainnya. Rhoma berjuang untuk memasukkan dangdut pada jalur industri musik arus utama. Hal itu juga lah yang membuat Rhoma Irama uring-uringan ketika dangdut koplo berkembang pesat pada awal 2000an. Kemunculan Inul Daratista di tahun 2003 membuat dirinya melayangkan protes besar (lihat Faruk dan Aprinus, 2003). Bahkan Rhoma turut ‘mengharamkan’ dangdut koplo sebagai bagian dari dangdut. Dalam hal ini, sebenarnya bukan hanya soal sensualitas Inul Daratista semata yang membuatnya geram, namun juga soal penggembosan ‘sistem’ yang telah ia bangun dan perjuangkan.

Lantas apakah dangdut koplo memang terlahir keliru? Bagaimanakah sebetulnya dangdut koplo bekerja? Skema apa yang dilawan dan digantikan?

Beberapa catatan mengungkap, gaya pertunjukan dangdut koplo muncul di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Weintraub, 2010), dan muncul di daerah Surabaya pada tahun 1990-an (wawancara dengan OM Tonsana—disamarkan). Namun sebelum mereka menemukan gaya yang berbeda dengan dangdut ‘Jakarta’, orkes-orkes melayu yang tersebar di Jawa Tengah dan Timur tetap berorientasi pada figur yang kondang di zamannya, semisal Ellya Khadam, Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, A. Rafiq, Mansyur S, dan lain sebagainya. Sebagai siasat, mereka menggunakan metode “persis kaset”—menyanyi persis dengan penyanyi aslinya. Bahkan turut membuat biduan dan biduanita berakting dan berdandan menyerupai si penyanyi asli.

Di era awal dangdut, metode “persis kaset” memang menjadi cara yang paling jitu untuk menarik penonton. Hal ini pun menjadi simbiosis mutualisme yang baik, karena biduan dan biduanita Jakarta tidak dapat melakukan tur daerah setiap waktu, sedangkan hasrat dan kebutuhan hiburan di daerah tidak dapat dibelenggu. Alhasil ketika penonton menyaksikan biduan-biduanita KW dan lagu-lagu pujaannya kiranya menambal rasa dahaga akan hiburan kegemaran mereka.

Karena produksi orkes melayu di daerah hampir seragam, dampaknya adalah terbendungnya kreativitas musikal dari para musisi orkes melayu. “Persis kaset” dan permintaan pasar berimbas pada pengerdilan kreativitas. Kemudian ketika praktik dangdut koplo muncul dan berkembang subur, kreativitas musikal orkes melayu pun lebih bebas. Hal ini saya anggap sebagai katarsis bagi orkes melayu daerah dari kecenderungan produksi musik sebelumnya.

Siasat mereka adalah menyematkan versi asli di awal—lazimnya hingga refrain—dan setelahnya diaransemen ulang dengan musikalitas yang berbeda. Bertolak dari hal ini, orkes melayu dangdut koplo sebenarnya melakukan tindakan mockery terhadap dangdut (khususnya terhadap lagu dangdut dan pop lama), yakni dengan memainkan versi asli, tapi menyematkan versi mereka sendiri yang lebih cepat dan atraktif.

Karena adanya ruang kreasi tersebut, akhirnya setiap orkes melayu mempunyai kesadaran untuk menciptakan ciri khas. Ciri khas tersebut terbedakan pada alat musik, elemen bunyi, dan genre yang dicampurkan, semisal OM Monata dengan genre reggae, OM Lagista dengan jathilan, OM Sonata dengan idiom bambu, OM GPS dengan patrolnya, dan lain sebagainya. Saya menyebutnya sebagai proses ‘oplosan’. Namun perlu dicatat, bahwa satu dekade ke belakang banyak orkes-orkes melayu ikut membuat lagu karangan sendiri.

Lain lagi soal perekaman. Pada dasarnya orkes melayu dangdut koplo lebih berorientasi pada panggung live. Namun pihak penyelenggara biasanya berinisiatif untuk melakukan perekaman. Kecenderungan itu menjadi lumrah ketika tahun 1990an, ketika kesadaran mendokumentasikan pertunjukkan, guna menjadi pengingat bagi pihak penyelenggara, mulai tumbuh.

Namun di saat yang sama, tidak dapat ditampik bahwa banyak video yang tersebar dan diperjual-belikan secara bebas. Sering kali pihak penyelenggara dan orkes melayu bersangkutan tidak mengetahuinya. Lantas pendistribusian bajakan di pinggir jalan dengan kemasan seadanya berlangsung dan menjadi kebiasaan. Hal ini pernah terjadi pada band pop melayu Kangen Band. Kangen Band merekam demo CD, namun kemudian pendistribusiannya di luar kendali mereka. Album tersebut dapat didengar dan dibeli di berbagai ruang publik strategis di sekitar Lampung: di radio, di bemo, di mal, dalam bentuk cakram padat yang disusun pada lembaran plastik dan tersebar di pinggir jalan (Sujana via Baulch, 2014). Ini juga terjadi di daerah lainnya, seperti di Jawa.

Kangen Band tidak mendapatkan uang dari penjualan tersebut. Dalam logika industri mainstream, praktik ini adalah kekeliruan dan kerugian. Namun Kangen Band malah mendapat keuntungan lain : populaitas, lantaran dokumentasi mereka yang tersebar secara masif. Hal ini dapat dibaca sebagai pertukaran modal yang lain, di mana tidak melulu soal modal ekonomi, tetapi juga modal sosial. Pendistribusian bajakan secara tidak langsung mempromosikan mereka secara lebih. Kiranya hal ini juga terjadi pada dangdut koplo, bahwa kesadaran untuk pembelian hasil perekaman orkes melayu memang dipasarkan untuk kebutuhan masyarakat sekitar. Baru setelahnya tersebar secara masif melalui bis antarkota Pantura.

Baca Juga:  Mencari Perempuan dalam Kritik Musik Kiwari

Namun pada pertengahan 2000an perekaman dilakukan secara sengaja oleh orkes melayu. Orkes melayu mulai menyadari bahwa penampilan mereka yang diperjual-belikan melalui VCD dan DVD juga menguntungkan. Orkes melayu kemudian menjalin kerja sama dengan penyedia jasa sound system dan shooting. Di sini terjadi perpindahan kuasa atas produksi dan persebaran sehingga keuntungan berpindah dari produsen VCD-DVD bajakan ke pihak orkes melayu. Ini dapat dibaca sebagai pergantian posisi semata, bukan pergantian sistem menuju industri.

Dangdut koplo juga mengalami perkembangan perekaman, di mana mereka bergabung dengan label-label baru di daerah. Label baru turut memikirkan pendistribusian. Yang menarik, label turut membuat gaya video klip serupa dengan panggung pertunjukan. Belakangan, label rekaman daerah ikut mengajak pasukan joget untuk mengisi ruang penonton dalam video klip. Tidak hanya itu, label turut membuat video klip serupa dengan band mainstream, lihat Nella Kharisma dalam video lagu “Konco Mesra”, “Karena Su Sayang”, dan “Geser Kiri Kanan”.

Video klip itu lantas dikemas ke dalam VCD-DVD dan dijual di lapak yang sama dengan rilisan bajakan. Beberapa label membedakan dirinya dengan rilisan bajakan dengan memberikan hologram dan tulisan stop pembajakan di sampul VCD atau DVD. Sedangkan beberapa label bergabung dengan APPRI (Asosiasi Penyalur dan Pengusaha Rekaman Indonesia)—kendati asosiasi ini muncul tahun 2004, namun lonjakan keikutsertaan baru berlangsung di era 2008 ke atas. Asosiasi ini kiranya dianggap ‘lebih’ oleh para label guna menjadi rekan sekaligus pelindung mereka. Namun lucunya dalam penjualan produk tetap diserahkan pada pedagang lapak, bersanding dengan VCD dan DVD bajakan.

Bertolak dari skema produksi dan distribusi di atas, menurut hemat saya dangdut koplo adalah anomali dalam industri musik mainstream. Pasalnya mereka membuat skema produksi dan distribusi dengan logika yang berbeda dari mekanisme skema musik industri dan mainstream. Lantas apa pentingnya kita mengetahui skema ini? Dengan memahami skema kerja dangdut koplo kiranya akan menunjukkan ada logika yang berbeda di samping logika industri musik mainstream yang dianggap tunggal. Lebih lanjut, saya ingin mengajak Anda untuk memahami bahwa skema produksi musik tidak hanya hitam-putih, melainkan ada warna-warna lain. Warna-warna lain yang lebih kontekstual dan terbentuk secara organik, bukan cangkokan.

Menyingkap Perdebatan yang Lebih Besar

Jika kita melihat persoalan ini, kiranya kita perlu melihat skema musik industri dan dangdut koplo. Dalam hal ini, saya tidak ingin membawa alasan historis sebagai pemakluman semata, melainkan sebagai pemahaman mengenai logika yang ada di balik gesekan tersebut. Skema produksi dangdut koplo berbanding terbalik dengan musik industri. Dalam skema musik industri, sudah barang tentu apa yang dilakukan dangdut koplo salah dan mempersulit mereka, sebab mekanisme kerja musik industri yang sudah tersusun rapi, berserta dengan pembagian keuntungan hingga perlindungan, menjadi acak seketika. Namun apakah hal yang terjalin di luar skema itu harus dinilai keliru? Apakah sehitam-putih itu, menyatakan di luar mekanisme yang mainstream sebagai sesuatu yang silap?

Jika ditelaah lebih lanjut, gesekan JRX dan VV bukanlah gesekan biasa orang per orang, melainkan gesekan antara dua sistem yang sejatinya berbeda. Di sini terjadi gesekan antara logika kolektivitas yang termanifestasikan melalui dangdut koplo dan logika individualitas yang termanifestasi pada musik industri, termasuk JRX dan SID-nya. Logika kolektivitas merujuk pada kecenderungan kesenian-kesenian tradisi, yang mengeyampingkan sosok figur dan skema kerja industri. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam kerja orkes melayu, biduan dan biduanita hanyalah sebagai satu kesatuan dengan orkes melayu. Mereka bukan agen tunggal yang menentukan kesuksesan, melainkan agen penguat dari orkes melayu, semisal OM Sera dengan Via Vallen, OM Monata dengan Sodiq, OM Lagista dengan Nella Kharisma, dan lain sebagainya. Walau belakangan para biduan dan biduanita juga ikut diajak bernyanyi di orkes melayu lain. Yang menarik, biduan atau biduanita tetap menjadi paket dari orkes melayu. Bukan sebaliknya.

Tidak hanya itu, hal ini juga dapat dibuktikan dengan pemilihan lagu, hingga urutan menyanyi yang ditentukan oleh pimpinan orkes melayu. Lazimnya orkes melayu, baik pimpinan serta para pemain akan menentukan lagu dan urutan bernyanyi kepada biduan/biduanita. Biduan dan biduanita tidak mempunyai kuasa untuk bernyanyi sesukanya. Jika seorang biduan atau biduanita menyenangi lagu tersebut, terjalinlah proses negosiasi. Selain itu, kecenderungan mereka memainkan lagu orang lain juga terjadi pada kelompok kesenian rakyat yang memainkan lagu-lagu rakyat, dan lazimnya anonim. Lalu kesadaran tersebut kiranya berlanjut karena—pada dasarnya—dangdut koplo di Jawa Timur sangat beririsan dengan kesenian rakyat, semisal Gambus Misri di Jombang dan sekitarnya; orkes gambus di Surabaya dan sekitarnya, dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Turba

Sementara itu yang diyakini oleh JRX adalah logika industri, sebab yang dipersoalkan semata soal kepemilikan. Ini merupakan cerminan sifat individualisme, di mana keakuan atau kedirian mendapat porsi yang lebih besar ketimbang kelompok. Akhirnya kesadaran kepemilikan lagu, penjualan dan hak cipta menjadi lebih dominan. Dalam dunia dangdut, hal ini dilakukan oleh Rhoma Irama, di mana kepemilikan lagu, penjualan, dan hak cipta diberlakukan dengan cukup ketat.

Tentu skema kerja industri macam itu tidaklah keliru. Namun apakah skema OM yang ‘tradisional’ selalu ketinggalan zaman? Menurut hemat saya, mereka adalah manifestasi dari sistem kerja kolektif. Dalam hal ini, kiranya kurang bijak jika memaksakan satu sistem pada pola yang diadopsi masyarakat yang liyan. Dan alangkah eloknya jika kita memahami keduanya, tidak menyalahkan dan memaksakan salah satu di antaranya sebagai satu yang tunggal, benar, dan harus diikuti. Pasalnya, melihat upaya dangdut koplo adalah negosiasi proses negosiasi yang terjadi di masyarakat. Membaca mereka sebagai suatu tawaran sistem alternatif dan logika apa yang ditawarkan lebih menarik, ketimbang harus menyalahkannya.

Lantas mengapa persoalan ini mengemuka? Pasalnya VV berdiri di dua skema kerja ini. VV ‘dilahirkan’ oleh OM Sera yang menganut sistem kolektif. Ia bukan pemeran tunggal dalam karier kepenyanyiannya, karena orkes selalu terkait dengan dirinya. Dapat kita lihat dari eksistensinya yang menanjak bersama OM Sera dan didukung dengan OM lainnya. Namun tiga tahun belakangan, industri tampaknya mulai kehilangan akal dan mulai kehabisan objek untuk dikomodifikasi. Lantas industri ‘memaksa’ VV masuk ke dalam industri musik mainstream. Namun VV tetaplah VV, ia berada dalam bayang-bayang kerja kolektif yang dipaksa masuk ke dalam logika individual.

Saya menganggap VV sekarang sebagai individu yang berada di ambang. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyentil VV secara langsung. Walau alasan JRX tidak memprotesnya di awal karier VV adalah untuk membantu struggling musisi, atau sederhananya adalah mempersilakan mereka yang tengah berupaya dalam karier musiknya, ditambah bagi JRX, album SID terbaru berpotensi dikoplokan oleh OM-OM di Jawa Timur. Tentu saja pernyataan ini dapat dipersoalkan lebih mendalam. Namun saya lebih tertarik melihat hal ini karena JRX menyadari VV sudah masuk dalam ruang industri yang sama. Atas dasar itu juga lah JRX menyarankan VV untuk menyuarakan sesuatu, laiknya dirinya.

Bertolak dari hal tersebut, pada dasarnya hal ini merupakan polemik yang sia-sia, paling banter hanya sebagai shocking therapy semata dari JRX. Kesia-siaan ini terjadi karena mereka berada dalam dua lajur yang sebetulnya berbeda, dan persoalan ini tidak dapat selesai dengan memaksa salah satunya masuk ke dalam skema kerja logika yang lain. Perlu ada negosiasi lanjutan yang lebih mendalam dan tidak berat sebelah. Namun jika Anda terburu-buru, ada baiknya jika menaruh perhatian kepada VV atas apa yang akan dilakukan olehnya kini? Terlebih VV tengah berada di fase ambang dan langkahnya ke depan adalah sebuah pilihan yang menentukan ke logika mana kakinya ia pijakan : mengalah pada industri dan menjadi bagian di dalamnya, bernegosiasi laiknya Rhoma Irama, tetap bertahan di ranah kolektiv laiknya Nella Kharisma, Ria Antika, dan sebagainya; atau menciptakan negosiasi yang berbeda dari pendahulunya. Yang jelas, kelanjutan kisah ini patut kita tunggu![]

Daftar Bacaan

Baulch, Emma. 2014. “Pop Melayu VS Pop Indonesia: New Interpretations of A Genre Into The 2000s” dalam Sonic Modernities in Southeast Asia, Bart Barendregt (ed.). Leiden: Koninklijke NV Brill.

Faruk dan Aprinus Salam. 2003. Hanya Inul. Yogyakarta: Pustaka Marwa.

Shofan, Moh. 2014. Rhoma Irama Politik Dakwah Dalam Nada. Depok: Penerbit Imania.

Weintraub, Andrew. 2010. Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Populer Music. Oxford: Oxford University Press.

Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggungjawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi serunai.co

Related posts

Swafoto

Aloysius Bram

(Mengapa) Ada Jarak di Antara Kita

Hervin Saputra

Sebuah Ingatan tentang Banda Neira

Michael H.B. Raditya

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy