Serunai.co
Kolom

Mengapa Jason Ranti Ada Baiknya Rilis Single Bertajuk “Bahaya Populisme”

Gambar: Youtube
Gambar: Youtube

Semua mungkin sepakat, tahun 2019 ini merupakan saat di mana grup WhatsApp keluarga menjadi padang Kurusetra; meja tongkrongan bisa terjungkal karena sengitnya perdebatan; semua alun-alun di penjuru kota ramai dipesan untuk orang-orang berhimpun; aparat-aparat negara berbaris dan menyelundupkan awaknya di kolong-kolong bumi; investor menahan nafas harap-harap cemas agar cuannya tak amblas.

Tapi ada juga kelompok yang santai-santai saja dan tak mau menjadi picik oleh helatan sesaat bernama pemilihan umum itu. Kelompok yang oleh banyak orang bisa jadi dianggap apatis, amoral, benalu, psycho-freak, sociopath, penjahat, pengendara Nmax dan caci maki lainnya. Kelompok itu disebut dengan swing voters.

Memang pada tahun 2019 ini, swing voters menjadi hantu yang bikin keder pihak-pihak tertentu. Mulai dari politisi hingga otoritas penyelenggara pemilu. Maklum saja hingga tulisan ini dirilis, dilansir dari berbagai sumber, selisih pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berlaga di pemilu 17 April besok hanya sekitar 10 persen.

Sedangkan menurut komunitas Perkumpulan Swing Voters Indonesia atau PSV, potensi suara swing voters atau undecided voters mencapai angka 30%. Komposisinya adalah 19,4% belum menentukan pilihan; 9,7 % menjawab rahasia; dan 1,4% menjawab golput. Tentunya, angka itu sangat dinamis mengingat karakteristik kelompok ini cenderung menentukan keputusan pada detik-detik akhir pemilihan.

Kelompok ini dilihat dengan berbagai perspektif oleh kelompok lain. Bagi penyelenggara pemilu bila persentase sebesar itu menguap menjadi golput, maka cap ‘gagal sebagai penyelenggara pemilu’, tak terhindarkan. Bagi calon presiden dan wakil presiden serta segenap tim suksesnya, persentase suara itu bisa dibilang besar. Meraih sekian persen dari persentase itu tentu dapat membuat posisi mereka lebih aman.

Celakanya suara kelompok massa mengambang ini susah-susah gampang untuk bisa dirangkul. Tahun 2019 ini, kelompok swing voters didominasi oleh orang-orang berusia 21-35 tahun alias—haduh saya terpaksa menyebutkan term ini—milenial. Kelompok generasi ini, oleh Muhamad Faisal, penulis buku Generasi Phi: Memahami Milenial Pengubah Indonesia disebut sebagai pihak yang cenderung menghindari institusi politik.

Politik, termasuk berbagai instrumennya, secara asosiasi kognitif masih berkonotasi negatif. Politik dianggap dekat dengan dunia konspirasi-korupsi dan bergerak dengan cara yang relatif kuno. Kecenderungan itu tidak senada dengan berbagai metode ekspresi anak muda (milenial) yang dekat dengan dunia kreatif dan juga budaya digital.

Maka, digunakanlah cara-cara populer untuk mendorong angka pemilih, terutama dari kalangan anak muda yang tadi sudah dijabarkan penjelasannya secara singkat. Salah satu cara tersebut ialah dengan menyelenggarakan pergelaran musik. Namun, untuk segmen ini pergelaran musik yang disuguhkan berbeda dengan publik yang lebih bersifat ‘massa’. Hal ini lantaran referensi dan preferensi yang berbeda daripada khalayak pada umumnya. Sebagai pihak yang lebih dekat dengan dunia digital, maka kesempatan milenial untuk meluaskan preferensi dan referensinya (termasuk mengenai musik) juga semakin terbuka. Sehingga kalangan ini lebih punya kemungkinan memadai untuk mengakses musik dari spektrum arus samping atau sidestream.

Nah, kecenderungan inilah yang dilakukan dan disadari oleh panitia sebuah acara yang diselenggarakan pada 6 April 2019 lalu di Jakarta. Kedok acara yang berjudul Konser Yang Muda Melawan Lupa itu terbongkar dan menjadi buah bibir di media sosial. Acara itu, entah bagaimana ceritanya tiba-tiba menjadi Konser Goyang Jempol. Asal tahu saja, ‘goyang jempol’ adalah gimmick kampanye salah satu paslon capres-cawapres.

Baca Juga:  Bagaimana Kompilasi Berisik #3 Dibuat

Nahas, panitia kampanye itu bahkan mengundang beberapa penyintas kejahatan HAM dan pihak keluarganya. Nama-nama seperti Fajar Merah dan Fitri Nganthi Wani, putra dan putri aktivis cum penyair Wiji Thukul pun turut hadir sebagai penampil. Di luar itu memang hadir beberapa musisi yang juga semakin menguatkan bahwa acara ini bukan acara kampanye seperti misalnya Jason Ranti. Tapi di sisi lain, beberapa nama pengisi acara selama ini teridentifikasi dekat dengan paslon capres dan cawapres tersebut.

Agenda acara ini pada mulanya berjalan rapi. Hingga akhirnya salah dua pengisi acara itu, Jason Ranti dan Fajar Merah, membikin ‘agenda dalam agenda’ di luar acara resmi itu. Kedua musisi yang selama ini dikenal sering membawakan (((musik-musik perlawanan))) itu malah membuat sesi sendiri di luar agenda resmi: mereka berdua tampil di parkiran, tanpa sound system dan panggung besar. Sedangkan di dalam venue itu, seorang agen Aq*a galon pengisi acara naik pentas dan berteriak “Aduh bangsat panitia gak bolehin kampanye, udahlah ye jujur aja kita kampanye aja terang-terangan,” kata si orang itu diikuti dentuman lagu dan goyangan “Goyang Jempol… Gaspol”. Yah, kalian tahu kan siapa yang dimaksud? Hehehe.

Keniscayaan musik, kedegilan politik

Musik dan politik memang bukan barang baru. Musik bisa disebut sebagai pengejawantahan populisme yang paling riil di musim-musim politik seperti sekarang ini. Sejarah juga sudah dengan gamblang menyatakannya.

Partai Golongan Karya (Golkar) pernah membentuk unit bernama Tim Kesenian Safari Golkar 1971. Tim itu berisikan 324 artis (angkanya seperti merk kretek kenamaan itu ya, btw hehe) yang berkeliling ke beberapa daerah di Indonesia sejak bulan Mei hingga Juni 1971. Nama-nama mentereng seperti Bing Slamet, Eddy Sud, Titiek Puspa, Koes Plus, dan Rofiqoh Dhargo Wahab mengisi line-up tur Golkar-Fest itu. Jennifer Lindsay, penulis makalah “Performing in The 2004 Elections” bahkan bilang perlu 14 pesawat untuk mengangkut tim kesenian itu. Coachella atau festival-festival yang apalah-coba-sebutkan-saja-satu-per-satu itu saya pikir tidak apa-apanya.

Baca Juga:  Merayakan Kepulangan Joni dan Susi

Hubungan mesra politik dan musik itu terus berlanjut hingga ke sini. Kalau masih ingat, 2014 lalu, elektabilitas pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terkerek berkat genjrang-genjreng musik. PascaKonser 2 Jari yang diselenggarakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, elektablilitas pasangan ini meningkat sebesar 3,6%.

Padahal sebelum hari H konser diselenggarakan, survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan elektabilitas pasangan Jokowi-JK hanya berselisih 0,5% lebih banyak dari elektabilitas lawan, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Dari kasus itu kita jadi bisa mengajukan pertanyaan: bila konser musik sebagai mesin populisme bisa mendongkrak suara calon, apakah ia juga bisa menyempitkan margin suara para swing voters yang disumbang dari kalangan anak muda milenial itu? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu perlu penelaahan dan riset lebih lanjut.

Namun, bila kita menggunakan cara berpikir penyelenggara Konser Yang Muda Melawan Lupa, jawabannya adalah bisa. Kalau tidak bisa, ngapain juga Konser Yang Muda Melawan Lupa bikin acara yang kesannya sakral dan dramatis sampai harus membohongi para penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu seperti Fajar dan Fitri? Edan!

Salah satu youth community ibu kota (sebut saja namanya We The Youth) juga melihat potensi itu kok. Sampai-sampai mereka membuat acara dengan tajuk besar ‘Anti Golput’. Acara itu dibalut dengan perhelatan musik yang menghadirkan beberapa musisi dari berbagai spektrum.

Tak tanggung-tanggung, dihimpun dari berbagai berita yang ada, komunitas yang entah dapat sokongan dana dari mana itu bisa menghadirkan puluhan pengisi acara di sembilan kota. Salah satu yang menjadi sorotan adalah konser Pesta Partai Barbar yang dihelat di Solo pada 10 Maret silam, di mana tiket masuk ke perhelatan musik cadas itu adalah dengan menandatangani petisi tolak golput. Hal yang menarik adalah, dari puluhan pengisi acara di sembilan kota itu, ada beberapa nama musisi yang hadir dari kalangan sidestream.

Term “musisi sidestream” di sini saya gunakan demi menghindari pertikaian-pertikaian tidak penting para music snob di luar sana. Term itu saya gunakan untuk mengacu pada grup-grup musik yang gampangnya tidak akan mudah diakomodir oleh media massa seperti radio atau televisi untuk mejeng di jam-jam prime time. Singkatnya lagi, mereka adalah grup-grup musik penghuni senarai IndieNesia dalam Spotify yang kamu putar.

Baca Juga:  Jalamuda: Nyastro Pinggir Segoro

Nah dilibatkannya musisi dari spektrum sidestream ini menarik sekaligus semakin menegaskan bahwa musik apapun dan dari manapun bisa menjadi tumpangan nyaman para elit politik tergantung kalangan mana yang mereka incar. Musik, entah se-edgy apapun itu, pada akhirnya adalah produk budaya populer. Seperti tertulis dalam kitab John Storey tentang Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction, produk budaya populer tak pernah lepas dari gesekan-gesekan kepentingan. Ia tidak netral. Budaya populer, dalam hal ini musik, adalah sebenar-benarnya pengejawantahan dari kendaraan yang disebut sebagai populisme.

Untuk kasus Konser Yang Muda Melawan Lupa, identifikasi atas populisme yang ada cenderung mengarah pada populisme ‘wong cilik’. Populisme ini oleh seorang pakar politik Inggris, Margaret Canovan, disebut sebagai populisme yang berorientasi dengan selalu memasang prasangka dan kecurigaan terhadap korporasi dan pemerintah.

Populisme ini bisa bergerak menjadi lebih revolusioner dengan menolak segala bentuk pranata politik. Sehingga pranata itu harus dibongkar dengan cara-cara tertentu. Melalui narasi kejahatan negara terhadap hak asasi, isu-isu lingkungan, ketimpangan gender dan hal-hal berbau kekiri-kirian yang lain. Populisme juga menjelma. Hal itu tentu keluar dari patron populisme yang akhir-akhir ini sering sekali merujuk pada sentimen keagamaan hingga ras.

Begitulah populisme. Tidak ada definisi tunggal mengenainya. Analogi dari pemikir liberal Isaiah Berlin secara epik mengandaikan: “Memang ada sebuah sepatu berbentuk populisme, namun tak ada satupun kaki yang cocok mengenakannya”.

Maka, mungkin ada baiknya, setelah Jason Ranti melambung dan moncer lewat lagu “Bahaya Komunis” dan kemudian tertipu oleh acara kampanye terselubung itu. Sebagai bentuk protes dan seruan kepada pendengarnya agar mewaspadai bahaya populisme, ia bisa bikin lagu dengan tajuk “Bahaya Populisme”.

Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggungjawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi serunai.co

Related posts

Musik dan Kecerdasan Buatan

Aris Setyawan

Widodo, Jembatan Petani Pesisir Kulon Progo

Idha Saraswati

Bagaimana Kompilasi Berisik #3 Dibuat

Izyudin Abdussalam

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy