Serunai.co
Ulasan

Paralaks Fiksi: Sebuah Usaha Memperkenalkan “Origami Tubuh”

Gambar 1: ONE DREAMS COLLECTIVELY AND WAKES UP IN INDIVIDUALIZED NIGHTMARE 02, 70 x 100 charcoal, acrylic pencil on soft paper board, (2018), Karya: Cecil Mariani. Sumber: https://indoartnow.com/exhibitions/paralaks-fiksi.
Gambar 1: ONE DREAMS COLLECTIVELY AND WAKES UP IN INDIVIDUALIZED NIGHTMARE 02, 70 x 100 charcoal, acrylic pencil on soft paper board, (2018), Karya: Cecil Mariani. Sumber: https://indoartnow.com/exhibitions/paralaks-fiksi.

Saya terbangun dengan tangan terserak, kaki yang entah di mana, leher yang terpelintir tak wajar, dan segala kebingungan bahwa mimpi buruk saya semalam ternyata malah jadi kenyataan. Ibarat Gregor Samsa, tokoh dalam novel The Metamorphosis Kafka, yang terbangun dan mendapati diri berubah bentuk. Saya tak berubah menjadi serangga, namun tubuh saya seolah sedang dilipat, dimutilasi, dan ditubrukkan. Terlipat dalam sebuah kertas realitas yang terbungkus oleh fiksi. Menjadi “origami tubuh” yang mungkin mengerikan juga sadis atau bisa jadi di titik itulah pengalaman estetik menjadi sedemikian sublim, sebab daya imajinatif saya seolah dikerek ke titik puncak, ke mimpi buruk paling muram sekaligus paling mendebarkan. Kesan itulah yang nampak pertama kali pada saya ketika melihat kolase 17 lukisan “One Dreams Collectively And Wakes Up In Individualized Nightmare” yang bertempat di Galerikertas Studio Hanafi.

Pengalaman estetik yang intens, campur baur horor dan kemuraman yang menyenangkan karena pada akhirnya karya ini mampu membawa nuansa kengerian dengan begitu ekspresif. Merayakan bagaimana teror mimpi buruk dalam gambaran figur-figur tubuh yang digurat secara natural membentuk raut wajah, juga lipatan lekuk tubuh manusia yang terdistorsi—menjadi begitu asing dan gelap. Guratan garis yang terkesan agresif namun natural disisipkan lewat balutan gradasi warna-warna charcoal yang kuat membawa kesan bahwa pikiran liar memang sengaja dibiarkan tumbuh, bukan malah dibabat. Melalui agoni yang coba dilampaui, batas-batas kemanusiaan kita ditantang untuk bergulat di dalamnya.

Mungkin bagi sebagian orang ini menjijikkan,—atau Grotesque dalam istilah yang dikatakan Geger Riyantoi—tapi saya menilainya lain. Tubuh manusia berada di batas tepi antara manusia dan nonmanusia. Situasi yang membawa perasaan semacam shock, kekagetan, keheranan, kekaguman, depresi, dan kecemasan yang sangat dalam. Tubuh yang terburai, terlipat, termutilasi, tertambal-sulam, dan saling-tubruk malah meyakinkan saya bahwa inilah jawaban/siasat imajinatif manusia yang senantiasa terlipat dalam realitas yang berbalut fiksi.

Peristiwa kebertubuhan inilah yang memproduksi sekaligus melanggengkan fiksi-fiksi yang terjalin intim, yang pada akhirnya memaksa insting imajinatif manusia memperagakan “origami tubuh”. Laiknya origami, tubuh manusia senantiasa pejal menjawab tantangan apapun yang ada, sebab ia bisa menjadi apa saja, entah sebuah pedang, ornamen angsa, perahu kertas, atau mungkin juga seekor kupu-kupu.

Pada Mulanya Hanya Tanda Tanya

Cecil Mariani menyajikan kurang lebih 23 karya yang dieksekusi melalui tiga medium berbeda mulai dari instalasi ruang hingga lukisan yang terangkum dalam sebuah pameran/sekolah yang diberi nama “Paralaks Fiksi” (08 Desember 2018 – 07 Januari 2019). Penggabungan dua term ganjil; parallax dan fiction timbul dari pengalaman panjang dan intim yang dipaparkan oleh Cecil dalam catatan kuratorial pamerannya.

Pertanyaan semacam, “Kenapa saya berpameran/kenapa saya merancang sekolah? Apa itu pameran/sekolah? kenapa dia berfungsi dan masih bertahan? Bias dan titik buta apa yang saya cenderung saya produksi dalam konteks pameran/sekolah?”ii menjadi sentral dalam pameran ini. Ternyata tanda tanya itulah yang akhirnya coba untuk dijadikan parallax, yang dalam bahasa Yunani παραλλαγή (parallagé) punya makna sebagai sebuah perubahan kedudukan sudut dari dua titik diam sekaligus relatif satu sama lain, sebagaimana pengamat yang mengamati objek sembari berpindah dari satu titik ke titik lain.iii

Cecil meringkus perpindahan sudut pandang yang fleksibel antara ruang pameran sekaligus ruang belajar, ruang seni sekaligus ruang edukasi, dan ruang publik sekaligus ruang privat. Fleksibilitas yang senantiasa saling bertukar di dalam diri seniman membuat pameran ini menjadi ajang peleburan objek seni dan subjek seni yang menyenangkan. Membiarkan apa yang nampak untuk membebaskan dirinya dari hegemoni esensial yang melingkupinya seperti yang dikatakan Slavoj Zizek dalam Parallax View bahwa paralaks merupakan “it is appearance which is the asymmetrical encompassing term: the difference between essence and appearance is internal to appearance, not to essence.iv Dengan kata lain, Cecil berupaya untuk membiarkan yang nampak bebas hilir-mudik memengaruhi dan membentuk pengalaman manusia, termasuk proses kreatif seniman.

Sementara yang kedua, fiction ditempatkan sebagai konsensus yang membentuk narasi kehidupan manusia. Narasi yang diyakini oleh Cecil sebagai konsensus hukum dan aturan realitas, nalar umum yang sebenarnya sebentuk fiksi. Laiknya sebuah aplikasi, fiksi, adalah sistem operasi. Di balik sebuah fiksi ada sejenis sistem mekanisme yang bekerja, dan semua sistem itu berfungsi ibarat serangkaian permainan yang ikut membentuk elan vital manusia. Fiksi dibutuhkan untuk meyakinkan kita bahwa hidup, entah semengejutkan atau semengerikan apapun, ia senantiasa harus dijalani sembari menyusun siasat untuk melampauinya melalui kekuatan imajinasi.

Paralaks dan fiksi berjalin dalam diri seniman, diri kita, dan relasi objek-subjek. Semuanya tak lagi punya makna tunggal bahwa esensi bisa meringkus apa saja yang nampak. Pun narasi fiksi yang hidup dalam kepejalan nalar manusia senantiasa terbentuk dari apa pun, entah dari pengalaman kursi yang mendeterminasi cara kita duduk, cara menikmati es krim yang lebih enak nikmat dijilat bukan digigit, atau dari narasi besar lain macam ideologi, agama, dan pasar modal.

Di sinilah konsensus ruang pameran-belajar, ruang seni-edukasi, dan ruang publik-privat saling membaur dan mengada lewat Paralaks Fiksi. Dengan cara ini kemungkinan-kemungkinan baru bisa dipertontonkan, menggeser gap dan bias yang kadung terpatri dalam batok kepala kita masing-masing. Bukan hanya sekadar untuk merefleksikan tapi juga untuk menggeliat, menantang, dan memberontak.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, ada tiga medium yang coba dikreasikan oleh Cecil dalam pameran ini. Pertama, dalam bentuk instalasi ruang “Shrine for Fiction Reproductions” yang menjadi kedok bagi sang seniman untuk belajar membentuk dan mem-paralaks-kan fiksi-fiksinya. Kedua, medium kertas “Map for Fictional Teritory” yang dilipat dan dilukis yang ternyata menyimpan kedok pertemuan antara ruang sekolah dan ruang pameran. Di satu sisi, kertas adalah jembatan bagi sang seniman untuk belajar, dan di sisi lain kertas digunakan juga untuk menggambar. Lalu yang terakhir, Sekolah Paralaks/Institut Paralaksis sebagai lokakarya untuk membongkar-pasang fiksi-fiksi yang sudah kadung berkarat di kepala dan berusaha mentransformasikannya lewat kepejalan daya imajinasi manusia. Ketiga hal tersebut memang pada mulanya hanya tanda tanya, namun dari situlah keajaiban-keajaiban muncul, menyebar, dan bermekaran.

Mengintip Cahaya dari Selaput Halimun

Saya rasa karya-karya yang ada dalam Paralaks Fiksi mengingatkan kita untuk menyadari fiksi-fiksi apa yang nampak dalam realitas. Setelah di buat sadar bahwa fiksi tersebut telah menjadi konsensus dalam menyelubungi realitas, kita ditantang untuk mulai bersiasat dengan fiksi-fiksi segar yang tumbuh dari halaman depan imajinasi. Sebab hanya dengan imajinasi, kita mampu meringkus apa yang tampak dan mengkreasikan hal baru atasnya. Imajinasi memberi kita kemampuan untuk melihat hal lain di luar bias dan hal yang seolah terberi begitu saja.

Barangkali inilah seni yang berusaha untuk mengintip yang tak terbatas dengan strategi yang oleh Deleuze-Guattari dinilai sebagai usaha untuk menghadirkan the infinite melalui the finite. Mencerap karya seni yang demikian, kita dihadapkan oleh “separuh ilusi”: setiap kali kita berusaha menggapai keutuhan, maka justru hal ini malah jadi distorsi. Lukisan rupa yang membentangkan dirinya sekaligus, tanpa awal dan tanpa akhir.

Di sinilah paralaks bekerja laiknya labirin. Ia tak membiarkan kita memahami unsur-unsur yang ada secara utuh, terkait, saling memperkuat, yang kita dapatkan malah sebaliknya. Kita ditantang untuk selalu memperbarui dan mempertajam daya imajinatif untuk mengintip cahaya dari selubung halimun fiksi-fiksi yang penuh bias. Bagi para pemburu pesan, hal ini malah jadi jebakan sebab fiksi di sini tak akan pernah habis untuk disibak. Dengan perasaan terbius, paralaks hadir menantang fiksi-fiksi yang hadir lewat tubuh yang terpelintir, terburai, dan termutilasi.

Selubung realitas kita senantiasa diselimuti halimun fiksi. Barangkali Anda mengira bahwa saya menanggung derita dalam menghadapi karya seni ini, maaf Anda salah. Saya malah merasakan kegirangan yang meluap-luap. Ia malah memantik imajinasi kanak-kanak saya seperti yang Le Petit Prince bilang, “it is only with the heart that one can see rightly; what is essential invisible to the eye.”v

Kegirangan ini memantik upaya berkelit, melompat, dan berakrobat guna menerobos berbagai masalah yang muncul. Halimun sebagai selubung disikapi sedemikian arif, ia dipandang bukan sebagai hambatan melainkan sebagai sebuah jembatan. Mungkin inilah amor fati, sebuah kekuatan mengatakan “ya” pada nihilisme sekaligus upaya untuk lampauinya. Realitas fiksi tidak serta-merta hadir untuk disibak, melainkan dibongkar pasang. Cara berkelit yang lihai sehingga mampu memberikan angin segar yang dapat memunculkan kemungkinan kebenaran tak tercecer di tengah jalan.

Baca Juga:  Gempuran Sonik Fateh Remix Reinterpretation

Pengalaman itu membawa saya pada sublimasi yang bermuara pada jouissance, dalam istilah Lacan. Tak heran, bagi saya, Paralaks Fiksi menjadi semacam peristiwa penting bagi perkembangan subjek karena dalam sublimasi orang menciptakan penanda-penanda baru dari bongkar-pasang fiksi. Sublimasi dimaksudkan untuk menghadapi subjek yang terus-menerus terombang-ambing antara keinginan manusia mencapai joissance di satu sisi dan keniscayaan manusia terkungkung oleh bahasa. Seni kemudian menjelma menjadi infinite jouissance tanpa mereduksinya ke dalam simptom atau melakukan represi.vi

Tubuh yang terpelintir, terlipat, dan termutilasi adalah simbolisasi yang muncul dari kebertubuhan atau pengalaman riil. Subjek seni dan objek seni tak ada yang saling mendeterminasi, semuanya larut dalam medium kertas yang jadi kedok fiksi sang seniman dalam memamerkan karya sekaligus juga kedok belajar. Pelan-pelan jalan pedang ini malah jadi permainan dalam labirin fiksi-fiksi, ia terus-menerus mereka-cipta, meloloskan diri dari fiksi yang belum terformulasikan, dan sedikit demi sedikit mengintip cahaya.

Enigma yang Tak Nampak

Permainan warna charcoal dalam kolase lukisan menciptakan proses bolak-balik antara terang dan gelap. Cahaya dan kegelapan melahirkan bayang pada ruang. Gradasi antara gelap dan terang mengingatkan saya pada Hegel, dalam die Klarheit ugetrüben Sehens, bahwa dalam terang benderang penglihatan yang tersapu redup, tak akan ada yang terlihat sebagaimana juga bila kita berada dalam kegelapan absolut. “Cahaya murni dan kegelapan murni adalah dua kehampaan yang sejatinya sama.”vii

Dalam chiasma antara cahaya dan kegelapan itulah rupa dan warna terjadi. Juga antara bentuk warna di satu sisi dan garis ruang di sisi lain. Paralaks timbul tak sekadar dari hasrat, namun juga dari determinasi bentuk. Dengan ini seni rupa menerima, bahkan menyambut yang enigmatik dan tak tampak. Menciptakan suasana horor yang sulit untuk ditampik dan dibahasakan, sebab selalu lepas dari analisis objektif. Jika sudah begitu, dalam suasana khaotik dalam perayaan horor campur teror ada enigma yang diam-diam ingin melenting ke luar.

Enigma yang tak tampak mengisi pemaknaan kita atas kolase lukisan Cecil baru mendapatkan bentuk konkretnya kemudian melalui metode Institut Paralaksis. Metode ini berusaha untuk memproduksi dan mengenakan fiksi sebagai baju perlengkapan jelajah karena adanya hasrat ingin tahu dan keinginan untuk menjelajahi ruang kemungkinan baru. Tujuh orang perupa yang dipilih oleh Cecil melalui Open Call untuk mengikuti kelas-pameran ini secara penuh. Ketujuh orang ini nantinya berusaha mem-paralaks-kan fiksi-fiksi dalam seni dan hasil dari karya ini ikut dipamerkan di Galerikertas.

Enigma yang coba di-paralaks-kan punya potensi untuk diurai dan diiterasi menjadi sebuah eksperimen pedagogis yang berporos pada pertanyaan, bagaimana memproduksi realitas baru?

Di sinilah estetika politik masuk ambil alih panggung. Jacques Rancière mengategorisasikan model demikian ke dalam model estetika relasional. Model estetika ini mengartikan seni sebagai bagian dari transformasi hubungan sosial antar agen masyarakat.viii Dengan demikian, estetika sudah selalu tertanam dalam intipati politik. Baginya, tindakan estetis pertama dipahami sebagai konfigurasi pengalaman yang mengungkap persepsi segar dalam memperlihatkan, memperdengarkan, atau merasakan realitas, serta mengejawantahkan subjektivitas politis baru yang merebut kembali haknya untuk berpikir, berbicara, dan bertindak. Kedua, tindakan politis kita pahami sebagai kemampuan subjek untuk mendistribusikan ruang berpolitik melalui perubahan relasi sosial baru yang menggugat keberlangsungan hierarki sosial dominan.ix

Institut Paralaksis sebagai karya pameran merupakan eksperimen dalam untuk membongkar-pasang praktik pameran dan sekolah guna menjadi fiksi yang berbeda. Fiksi-fiksi yang sudah mapan coba untuk “dikorsletkan” dengan sengaja hingga ia dapat bergeser atau bertransformasi. Keterlibatan adalah hal yang mutlak, sebab ada banyak keterhubungan antara seniman-penikmat, galeri-sekolah, dan objek-subjek seni yang perlu untuk dikonsensuskan supaya memantik hal baru untuk muncul.

Enigma yang tadinya tak nampak sedikit demi sedikit memantik hasrat kita untuk menggeliat, mengantisipasi, dan memberontak. Dalam asumsi saya sang seniman berusaha memantik rasa penasaran kita untuk coba mempertanyakan ulang fiksi-fiksi apa yang sedang kita hidupi. Fiksi yang sering kali tak pernah ditanyakan di mana ihwal ia bermula, bagaimana prosesnya terbentuk, dan bagaimana pada akhirnya ia menjadi konsensus di mata publik.

Jika mengontekstualisasikan realitas ekonomi politik global, kita dan juga seniman terjebak dalam fiksi-fiksi yang diinisiasi dan dilanggengkan oleh para kapitalis global. Pandangan keseharian kita yang serba teknis-prosedural adalah salah satu akibat dari mengakarnya fiksi kapitalisme dalam kebudayaan kita. Semua daya kritis masyarakat diserap ke dalam sistem kapitalis dan ditransformasikan menjadi komponen yang membenarkan sistem itu sendiri.

Pun dalam dunia seni, galeri dan Biennale tak ubahnya seperti perusahaan waralaba multinasional, yang mempekerjakan seniman untuk mengekspor-impor komoditas budaya. Tujuannya jelas mengeksploitasi seniman untuk terus menerus berkarya dan menghasilkan profit berlimpah bagi para pemilik galeri seni. Meski kesenian tidak memiliki tempat khusus, ia telah menjelma menjadi bagian dari seluruh ekonomi kebudayaan yang bekerja seturut hukum-hukum ekonomi yang ada: ada modal estetik, pertukaran estetik, dan ada juga pasaran estetik. Maka wajar saja komersialisasi seni terjadi, meskipun harus mengorbankan nilai intrinsik di dalam karya untuk sebatas dihargai berdasarkan nilai tukarnya. Walhasil, seniman terpaksa menjadi sekrup bagi langgengnya lingkaran setan kapitalisasi seni.

Penolakan atas industri budaya dan komodifikasi karya seni punya implikasi bahwa seniman perlu mengambil posisi kritis dalam berhadap-hadapan dengan horizon kultural yang melingkupinya. Seni dianggap mampu menjadi sarana untuk menyampaikan problem-problem sosial. Sang seniman tidak lagi hanya berpuas diri menghasilkan karya yang bersifat artistik, namun lebih dari itu. “Seni progresif”, bagi Badiou, “mestilah tetap seni. Artinya, progresivisme mesti mengandung kredibilitas artistik”.x Dengan demikian, seniman perlu bersiasat untuk menghasilkan karya seni yang kokoh secara artistik namun juga dapat memantik transformasi sosial di horizon kulturalnya.

Di sini otonomi seniman dan wacana sosio-historis seniman bercampur baur melingkupi pilihan artistik seniman. Dalam berkarya, menurut Adorno, otonomi karya seni tidak akan menghancurkan nilai etis dalam karya. Sebab, karya seni adalah upaya imajinasi tentang kenyataan “yang seharusnya”. Citra-citra non-konseptual yang terkandung dalam karya dapat dibaca sebagai gambaran ideal yang mungkin, atau sebagai kondisi alternatif. Dengan itu, karya seni menghadirkan semesta lain di luar dunia aktual dan karenanya pula secara artistik dunia yang lain itu senantiasa mungkin. Dalam dimensi utopis itulah karya seni menjangkarkan nilai emansipatorisnya.xi

Kesenian dalam bentuk apapun akan mengandung dalam dirinya akar-akar permasalahan yang sosial yang diungkapkan dalam pusparagam bentuk estetis. Hal ini juga berarti dalam tiap karya seni sebetulnya menyimpan motif-motif halus dan rumit perihal watak sosial masyarakatnya, sehingga perlu keahlian khusus untuk mengeksplisitkan apa yang tersimbol di dalamnya.

Institut Paralaksis nampaknya menyadari hal tersebut. Oleh karenanya, kita tak dituntut untuk mencerminkan kenyataan aktual, sebab apa yang kita sebut “kenyataan aktual” acap kali merupakan hasil mistifikasi dan bias kita terhadap kapitalisme itu sendiri. Upaya berkelit dari hal itu, alih-alih membuat “salinan kenyataan”, yang muncul malah “subversi atas pengalaman”. Kita dituntut untuk menghadirkan modus pencerapan baru. Dengan ini kita berusaha mempertanyakan distingsi mana yang “nyata” dan “tidak nyata”. Walhasil, seni dapat menggugat monopoli tafsir tentang kenyataan yang diproduksi terus-menerus oleh para pemegang kuasa.

Baca Juga:  Alicia Menolak Bullying

Setelah Tubuh Mekanis

Jika kembali pada sensasi sublim dalam 17 kolase lukisan Cecil, maka ia akan membawa kita berhadap-hadapan dengan khaos, sesuatu yang tak berbentuk, di luar kekuasaan dan kemampuannya, sebentuk energi yang melampaui manusia, tanpa ukuran. Ketika kita melihatnya tubuh mekanis kita terserap dan tiba-tiba tak dapat mendefinisikan apa-apa. Dalam kesubliman tiba-tiba kita dilempar, “ditelanjangi” dari segala nilai-nilai moral, pikiran kita sudah tak bisa menjangkaunya, dan seluruh pijakan bisa saja runtuh sewaktu-waktu.

Dalam tubuh yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya saya melihat ada kehancuran dalam tubuh mekanis kita, misalnya saja pada tangan yang termutilasi, saya membayangkan hilangnya kemampuan memproduksi. Sederhananya, tubuh yang tak punya fungsi adalah tubuh mekanis yang mati, yang sudah sepantasnya untuk ditransformasi. Dalam konteks hari ini, tubuh telah menjadi saksi bagaimana cyberspace yang tanpa batas menjebaknya ke dalam cybertime—waktu untuk memproses informasi dari dunia siber—yang terbatas. Jebakan ini membuat kita kalut, bingung, atau mungkin paranoid dalam menghadapi aktivitas sehari-hari. Tubuh yang berusaha ditundukkan menjadi seperangkat tubuh mekanis yang berusaha untuk terus produktif dan mengonsumsi produk-produk mutakhir.

Saat ini semua orang nampaknya sedang mengeluh bahwa kehidupan telah dipangkas menjadi titik-titik matriks jaringan—wilayah, identitas, dan narasi sejarah yang dimurnikan secara prematur ke dalam kategori ruang yang dikenal dan tidak diketahui—entah nyata atau virtual, konkret atau abstrak. Matriks-matriks jaringan tersebut berserak membentuk pengalaman ganjil yang menubuh dalam keseharian kita tanpa disadari.

Internet berubah menjadi media yang mengakomodir hasrat-hasrat narsistik. Ia serupa cermin dari minat dan keinginan-keinginan spesifik kita, sebab ia seolah enggan menunjukkan kepada kita apa yang tak ingin kita lihat. Misalnya saja dalam konteks bermedia sosial, kita lebih suka berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki minat dan sikap yang sama, baik secara politik maupun estetis, dibanding dengan orang yang memiliki pilihan berbeda. Dengan demikian, karakter non-selektif atau demokratis dari internet adalah ilusi jika bukan sebuah dagelan. Dalam hal ini, internet adalah kebalikan dari, katakanlah, ruang kota di mana kita secara konsisten dipaksa untuk melihat apa yang tidak selalu kita inginkan. Tak heran lewat sifat ilusif internet, tubuh sosial kita serasa dipisahkan dari kondisi mental individunya.

Jika sudah begini kita jatuh ke dalam perangkap semio-capitalism, meminjam istilah Franco Bifo Berardi, yang merupakan bentuk perkawinan bahasa dengan kapitalisme dan berdampak pada terpisahnya peranti mental kita dengan tubuh sosialnya.xii Tak ayal tubuh ini sering kali dibombardir dengan jutaan stimulus keinginan tanpa benar-benar yakin apakah informasi itu bermakna dan dapat direalisasikan olehnya. Walhasil obat anti-depresan, pornografi, dan konten kekerasan laris di pasaran sebagai bentuk pelarian atas kebingungan yang tengah dihadapi.

Dalam situasi ini ada godaan untuk kembali pada common sense—mencari perlindungan di balik Ide-Ide besar yang ada pada Rasio (Tuhan, Jiwa, Dunia) atau fiksi yang telah mapan dalam istilah Cecil—untuk menjelaskan apa yang tak terjelaskan. Padahal ketika kita masuk ke dalam tubuh yang terburai, wajah yang histeris, dan leher yang terpelintir kita akan melebur. Sebagaimana Van Gogh terserap oleh bunga matahari yang tiap pagi muncul di jendela kamarnya, seakan menatapnya, bak menariknya “menjadi-bunga matahari”.

Jikalau kita meyakini bahwa masa depan ada di dalam diri kita, maka tak ada salahnya meyakini bahwa tubuh kita adalah mesin waktu. Sebab sejarah tubuh kita adalah jalinan cerita tentang fiksi-fiksi: konstitusi penaklukan tubuh melalui rezim dan ideologi. Tubuh adalah tempat terbukanya ideologi, melalui estetika, norma, gender, dan identitas rasial. Ia tetap bekerja sepanjang pengembangan peradaban. Ia dimediasi, diperluas, dan diorganisir oleh berbagai teknologi dan filosofi. Serupa mesin waktu, tubuh membawa kita segala bentuk fiksi-fiksi dari masa lalu ke masa depan. Di tengah perjalanan waktu, tubuh tak pernah bergerak statis, ia dinamis, bergerak, dan berproses.

Dalam berproses tubuh punya kapasitas untuk melawan, bertahan, dan bertransformasi memunculkan cara berkelit baru dalam bentuknya yang otonom. Ia dengan bercermin pada sejarah masa lalu dan bermain pada aras kemungkinan di masa depan. Otonomi tubuh bergantung pada perasaan ‘mengada’ sekarang dan di sini. Perasaan seperti itu memungkinkan tubuh untuk mengenali waktu batin, kompleksitas struktural, dan sosialitas yang melekat pada dirinya. Ia menimbulkan ruang-ruang keakraban dan penemuan dari mengingat, berproses dan berimajinasi. Perasaan yang demikian juga memunculkan rasa tanggung jawab dan kemungkinan rekonstruksi atas apa yang masuk akal di masa depan.

Menjadi Kertas

Sampai di sini nampaknya tulisan ini menjadi semakin teknis dan terlalu serius, pun saya kira ini tidak baik bagi pembaca sekalian. Esai yang tak menyajikan sedikit jeda untuk melonggarkan otak barang sejenak adalah esai yang buruk, setidaknya bagi saya. Hal ini baru disadari kemudian ketika saya menyerahkan naskah setengah jadi ini kepada seorang kawan untuk dikomentari. Mokhsa namanya, ia bilang “coba Jo, tambahin cerita-cerita yang ada orangnya dong!”, biar nanti “tulisan ini nggak kering dan sekadar jadi justifikasi teoretik doang”.

Ia benar belaka, saya akhir-akhir ini terjebak sindrom ketagihan hal-hal teknis-teoretik, bahkan puisi pun tak bisa lagi saya nikmati. Hal ini terjadi karena saya lebih sering memandang layar gawai ketimbang meresapi makna dari tatapan lawan bicara, lebih sering menyentuh datar layar ketimbang menyentuh dan bercengkerama dengan orang lain. Padahal tulisan ini tak berniat untuk mendikte apalagi menggurui pembaca bahwa seni harus begini dan bukan begitu. Saya akhirnya sadar bahwa saya harus berdiri di pinggir, mencatat pada suatu jarak dan mencatat sebanyak apa yang dapat dirasakan, bukan untuk menggurui perihal gagasan-gagasan, melainkan untuk mengingatkan diri sendiri tentang apa yang terjadi dan berbagi bahan pembicaraan kepada pembaca.

Semacam ada tendensi mengerikan yang muncul dari pengalaman sehari-hari, di mana tiap kali membuka gawai muncul cuitan di Twitter tentang politik lalu tiba-tiba saya menjadi analis politik, tiap kali berpikir harus menjadi seorang filsuf, dan tiap kali dunia menghantam dengan keras saya perlu menjadi penyair. Barangkali tubuh dengan seluruh alam pikir saya adalah sebuah kertas origami. Ia mudah dilipat, dibuka, dan ditekuk kembali. Pun setelah lipatan dan tekukan itu terbuka ia masih menampakkan bekas-bekas untuk dilampaui seperti yang Deleuze katakan, “. . . [W]hat always matters is folding, unfolding, refoldingxiii.

Awal mulanya, kertas merupakan lembaran polos yang rata dan bersih—dan putih. Hampir selalu asosiasi kita pada kertas adalah bayangan ideal terhadap pola yang demikian. Ketika kita lahir pun asosiasi yang muncul ialah ibarat kertas putih yang masih belum tercemar apa-apa. Di sana kita menemukan kesamaan pada tubuh dan juga kertas. Artinya, tubuh ibarat kertas yang dapat menjadi wadah. Pun tubuh juga serupa kertas yang juga menjadi peranti untuk mendistribusikan informasi tentang identitas seseorang dan fiksi-fiksi besar lainnya di masyarakat.

Tubuh yang menjadi kertas berarti tubuh yang menampung pusparagam pengalaman dan mempunyai hasrat untuk mengaktualisasikan apa yang ia rasa benar. Tubuh seniman mungkin menyimpan guratan perasaan lewat jemari yang menyapukan kuas pada kanvas. Tubuh ekonom menampung deretan statistik yang akrab lewat angka-angka di kepala dan menuliskannya dalam koran. Atau tubuh seorang atlet adalah tubuh yang menyimpan rasa lelah ketika berlatih hingga memunculkan daya kompetitif tinggi dalam pertandingan.

Tapi, menjadi tubuh manusia adalah menjadi lokus bagi perasaan, menjadi gestalt bagi ide-ide mewujud untuk mengatasi kesulitan hidup atau menjawab tantangan alam. Ia mencoba menampung kata-kata dan/atau citra yang diterakan di atasnya sehingga dapat dibagi sebagai ide atau konsep ke dalam bentuk yang dapat dibaca secara visual. Maka, tubuh adalah bentuk visual yang menjadi jembatan imajinasi, tindakan praktis dan filosofis untuk mengada. Tubuh, dengan demikian, merupakan situs produksi dan reproduksi fiksi yang paling ampuh sekaligus perkakas yang memungkinkan fiksi berdampak tak ayalnya kenyataan. Tubuh merupakan poros di mana pengalaman ragawi dan tatanan rekaan, penanda konkret dan penanda mengambang dapat terpaut dalam dinamika yang cair dan fleksibel. Kebenaran pada tubuh adalah segala hal mengenai sesuatu yang tampil menjadi laku hingga ia dapat mengesahkan kefaktualan peristiwa-peristiwa.

Baca Juga:  Angki Purbandono: Dari Scanography Hingga Ganja

Berkenalan dengan “Origami Tubuh”

Jika kita kembali menengok karya-karya yang dihasilkan pada Paralaks Fiksi, maka kita akan menjumpai bahwa seluruh karya seni di sana adalah sebuah cara berfilsafat. Karya seni dan subjek seni saling bertaut, bergulat melalui relasi, sebuah penjumpaan dengan sesuatu yang lain yang ada dalam pengalaman sehingga menstimulus kita untuk berpikir. Seni, begitu pula filsafat, adalah bentuk nyata dari kekuatan berpikir (yang mungkin juga merupakan kekuatan khas manusia untuk mengubah nasib) dengan cara dan mediumnya masing-masing. Meskipun berinteraksi, keduanya menciptakan hasil akhir berbeda: filsafat menghasilkan konsep, seni menghasilkan, apa yang diistilahkan Deleuze sebagai sensasi.

Syahdan, tubuh tujuh perupa dalam Institut Paralaksis menggiring kita dalam mengenali fenomen fisik dan psikis dari “tubuh-kertas” yang memerankan ragam-ragam model fiksional, justru melalui fakta-fakta yang kasat mata pada materialitasnya sendiri. Tubuh-kertas diposisikan kembali pada daya lentur wujudnya sendiri ketika materialitasnya benar-benar dibebaskan dari esensialisme yang terjadi sepanjang peradaban umat manusia. Mereka adalah tubuh-tubuh lentur serupa origami.

Ketujuh perupa menjelma origami tubuh yang berakar dari gabungan dua cakrawala pemikiran; origami Deleuzian dan fenomenologi Merleau-Ponty. Pada sudut pandang yang pertama, Deleuze menjelaskan origami untuk mengekspresikan model Leibniz tentang alam semesta: “[t]he model for the sciences of matter is the ‘origami’, as the Japanese philosopher might say, or the art of folding paper”.xiv Yang imanen atau virtual (dalam istilah Leibnizian dapat berarti juga sebagai Jiwa) melipat tanpa batas apa yang empiris atau material (organik dan anorganik). Subjek manusia memerankan kembali perkembangan hidupnya sendiri sebagai permainan lipatan medan pertempuran di dunia Cartesian. Di mana “dunia material [res extensa] dipetakan dari poros subjek berpikir [res cogitans] sehingga dapat diklasifikasikan dan dapat dibagi menjadi unit-unit yang terpisah-belah”.xv

Conley menafsirkan cara Deleuze membaca Leibniz dalam The Fold melalui konteks ontologi radikal tentang subjek:

the upper room [of Baroque architecture] and its folded furnishings become the imaginary space where subjectivation can be realized. The Baroque room, a space in which thinking takes place, is the site where new folds and folding (the forces and products of thinking) can be felt and harmonized.”xvi

Arsitektur Barok yang tertutup dan gelap merupakan metafora Deleuze untuk menjelaskan imajinasi, jiwa, dan pendalaman diri subjek. Di sana, kita melipat dunia luar ke dalam diri sekaligus membuka diri kita ke luar. Dunia luar adalah kekuatan yang membawa kita ke dalam persinggungan dinamis dengan pendalaman diri. Dengan demikian, dalam ruang tersebut kita membuka dan melipat kembali diri kita masing-masing.

Sementara fenomenologi tubuh merupakan cara pandang yang melihat tubuh sebagai suatu keseluruhan yang lebih besar dari sekadar penjumlahan bagian-bagiannya. Tubuh tidak bekerja secara atomistik—seolah mata hanya bisa melihat, telinga hanya mampu mendengar, dan mulut hanya untuk berbicara. Merleau-Ponty melihat tubuh kita justru bekerja serentak sebagai kesatuan. Itulah sebabnya ia menyatakan bahwa lukisan pemandangan mengandung pada dirinya sendiri aroma pemandangan.xvii Artinya persepsi atas karya seni bukanlah kerja organ penglihatan saja.

Persepsi artistik pun begitu, ia melibatkan pengalaman kebertubuhan kita, sebab pengalaman estetis tiap-tiap orang pasti berbeda-beda. Semacam ada pengalaman biografis terhadap benda-benda, sebab adanya sifat memori yang cenderung menginternalisasikan tiap-tiap hal yang dialami, baik melalui memori sosial atau pun personal. Lewat memori itu personifikasi benda-benda dimungkinkan. Pengalaman-pengalaman yang bersifat pribadi dan intim dengan benda-benda membuatnya dapat hadir lewat personifikasi.

Tubuh menyimpan personifikasi benda-benda serupa ornamen dan hasrat di halaman depan imajinasi sebagai ruang kreatif, atau dalam bahasa saya ia membentuk origami tubuh. Origami, di situ, mengandung dan mengundang perubahan. Origami berbeda dengan kirigami, ia dilipat tanpa direkat ketat dengan lem atau dijahit mati. Ia bernilai karena ia sebuah transformasi dari bahan tipis dan rata jadi sebuah bentuk yang kita bayangkan, misalnya burung atau angsa dan pada saat yang sama ia bisa diurai kembali. Begitu pula tubuh, ia berubah, berproses, dan tak bisa dilipat mati. Dengan demikian, origami tubuh menjadi percampuran antara sensasi di yang terbentuk akibat dinamika dunia luar dan pendalaman diri yang dipadukan dengan keutuhan tubuh dalam mempersepsikan pengalaman-pengalaman.

Origami tubuh di sini dimaksudkan sebagai eksplorasi lebih lanjut cara kita menerjemahkan diri ke dalam lipatan baru yang berbeda, cair, eksperimental, dan kreatif, yang 180 derajat berbeda daripada apa yang homogen, statis, berulang-ulang, dan tiruan. Ia merupakan keberanian berada di situasi “tidak mapan”, dalam arti kenekatan menghancurkan “identitas” atau fiksi yang telah mapan dan masuk ke dalam khaos untuk melampauinya. Origami tubuh adalah upaya berkelit tak putus-putus yang dialami manusia semasa hidupnya.

Upaya ini mungkin merupakan jawaban dari gejala “impotensi” yang merambat di seluruh sendi kehidupan bermasyarakat kita. Semacam ketakutan, kemuakan, amarah, dan frustrasi yang jatuh pada bentuk kepasrahan yang gagal dikonversikan jadi perubahan ke arah yang lebih baik. Gejala impotensi membawa efek determinisme fatalistik dalam laku keseharian masyarakat.

Determinisme jangan dibayangkan sekadar metodologi filosofis yang menggambarkan adanya implikasi kausal, namun lebih dari itu, ia adalah strategi/fiksi politik yang bertujuan untuk memperkenalkan rantai sebab-akibat di dunia, khususnya dalam organisme sosial. Determinisme ini memperkenalkan bahwa obat ampuh dari jerat kemiskinan adalah pasar bebas, tak ada campur tangan pemerintah dalam pasar, subsidi harus dicabut, dan yang paling utama adalah jargon “apapun masalahnya kapitalisme jawabannya”.

Pola deterministik ini bertujuan untuk menaklukkan masa depan, membatasi kemungkinan dengan pola yang telah ditentukan di awal, dan mengotomatiskan perilaku yang ada di masyarakat. Seolah kita telah kehilangan potensi subjektif yang dapat menyebarkan pelbagai kemungkinan dan mengaktualisasikannya. Padahal potensi inilah yang nantinya dapat menjadi energi untuk mengubah kemungkinan menjadi kenyataan. Ia punya peran sentral untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan transformasi—sesuai dengan kehendak subjek. Dan sejarah “orang-orang kuat” memberikan kita pelajaran bahwa sejarah adalah ruang kemunculan kemungkinan yang inheren dalam subjektivitas yang dianugerahi potensi.

Potensi imajinatif manusia dapat menjadi penyelamat manusia dalam kondisi fatalistik yang tercipta akibat determinisme total relasi sosial. Lewat semangat apolonian (tatanan, harmoni) dan dionisian (keliaran, keberanian menerobos batas, khaos) yang hadir dalam kehidupan manusia, imajinasi mampu menyuguhkan ruang yang sama sekali berbeda. Lewat senilah kedua hal tersebut dipadukan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Paralaks Fiksi tidak menggiring kita untuk “mencari perlindungan” pada fiksi-fiksi yang telah mapan melainkan menghadapinya, bersikap afirmatif sampai menemukan bahwa dari pengalaman sublim ditelusuri. Di dalamnya kita bisa menikmati khaos, mengafirmasi “daya hancur” dan “daya hidup” dalam sebuah proses penciptaan, dan berusaha untuk melampauinya. Karya seni menjadi sensasi itu sendiri, suatu “badan tanpa organ”, tubuh sebelum diberi nama, sebelum dicacah-cacah ke dalam bahasa.

Catatan Akhir:

iCLih., Geger Riyanto, “Tubuh yang Memintal Dirinya dalam Galaksi Fiksi dan Pengalaman-pengalaman Menggembirakan Paralaks Fiksi Lainnya”, Catatan Pameran “PARALAKS FIKSI”, 2018, diakses via http://www.studiohanafi.com/tubuh-yang-memintal-dirinya-dalam-galaksi-fiksi-dan-pengalaman-pengalaman-menggembirakan-paralaks-fiksi-lainnya/.

ii Lih., Cecil Mariani, “Paralaks fiksi: pameran, kertas dan pedagogi”, Kuratorial Paralaks Fiksi, 2018, diakses via http://www.studiohanafi.com/katalog-pameran-paralaks-fiksi-cecil-mariani/.

iii  “Parallax”. Oxford English Dictionary (Second ed.). Astron. Apparent displacement, or difference in the apparent position, of an object, caused by actual change (or difference) of position of the point of observation; spec. the angular amount of such displacement or difference of position, being the angle contained between the two straight lines drawn to the object from the two different points of view, and constituting a measure of the distance of the object, 1989.

iv Lih., Slavoj Zizek. The Parralax View, London: The MIT Press Cambridge,2006, hal. 106.

v Lih., Antoine De Saint-Exupéry. The Little Prince, terj. Richard Howard, Boston: Mariner Books, 2000.

vi Lih., St. Sunardi. “Seni Sebagai Peristiwa (Evakuasi Subyek)” dalam Kalam, edisi ke-27, 2015, hal. 3, diakses via http://www.salihara.org/kalam/back-issues/detail/seni-sebagai-peristiwa-evakuasi-subyek.

vii Lih., Goenawan Mohammad, “Tatapan Jaka Tarub” dalam Kalam, edisi ke-27, 2015, hal. 3, diakses via http://www.salihara.org/kalam/back-issues/detail/tatapan-jaka-tarub.

viii Lih., Jacques Rancière. Aesthetics and Its Discontent, terj. Steven Corcoran. Cambridge: Politiy Press, 2009, hal. 22.

ix Lih., Jacques Rancière. The Politics of Aesthetics, terj. Gabriel Rockhill. London: Bloomsbury, 2013, hal. 8.

x Lih., Alain Badiou. “Art and Its Critisism: The Criteria of Progressivism”, dalam Cinema, terj. Susan Spitzer, Cambridge: Polity Press, 2013, hal. 46.

xi Lih., Theodor W. Adorno. “Comitment” dalam Notes to Literature, Volume 2, terj. Shierry Weber Nicholsen, New York: Colombia University Press, 1992, hal. 93

xii Lih., Franco Bifo Berardi, Precarious Rhapsody; Semiocapitalism and the pathologies of the post-alpha generation, terj. Arianna Bove, dkk, London: Minor Compositions, 2009, hal. 149-150.

xiii Lih., Gillez Deleuze. The fold: Leibniz and the baroque, terj, Tom Conley, London, Athlone Press,1993, hal. 137.

xivIbid., hal. 6.

xvIbid., hal. xviii.

xviTom Conley, “Folds and folding”, dalam Gilles Deleuze: Key Concepts, ed. Charles J Stivale, Montreal, McGill-Queen’s University Press, 2005, hal. 176.

xvii Lih., Merleau-Ponty. Phenomenology of Perception, terj. Colin Smith, London: Routledge & Kegan Paul, 1974, hal. 318-319.

Daftar Pustaka:

Adorno, Theodor W. 1992. “Comitment” dalam Notes to Literature, Volume 2, terj. Shierry Weber Nicholsen, New York: Colombia University Press.

Badiou, Alain. 2013. “Art and Its Critisism: The Criteria of Progressivism”, dalam Cinema, terj. Susan Spitzer, Cambridge: Polity Press.

Bifo Berardi, Franco. 2009. Precarious Rhapsody; Semiocapitalism and the pathologies of the post-alpha generation, terj. Arianna Bove, dkk, London: Minor Compositions.

Conley, Tom. 2005. “Folds and folding”, dalam Gilles Deleuze: Key Concepts, ed. Charles J Stivale, Montreal, McGill-Queen’s University Press.

De Saint-Exupéry, Antoine. 2000. The Little Prince, terj. Richard Howard, Boston: Mariner Books.

Deleuze, Gillez. 1993 The fold: Leibniz and the baroque, terj, Tom Conley, London, Athlone Press.

Mariani, Cecil. 2018. “Paralaks fiksi: pameran, kertas dan pedagogi”, dalam Kuratorial Paralaks Fiksi, diakses via http://www.studiohanafi.com/katalog-pameran-paralaks-fiksi-cecil-mariani/.

Merleau-Ponty. 1974 Phenomenology of Perception, terj. Colin Smith, London: Routledge & Kegan Paul.

Mohammad, Goenawan. 2015. “Tatapan Jaka Tarub” dalam Kalam, edisi ke-27, diakses via http://www.salihara.org/kalam/back-issues/detail/tatapan-jaka-tarub.

Rancière, Jacques. 2009. Aesthetics and Its Discontent, terj. Steven Corcoran. Cambridge: Politiy Press.

Rancière, Jacques. 2013. The Politics of Aesthetics, terj. Gabriel Rockhill. London: Bloomsbury.

Riyanto, Geger. 2018. “Tubuh yang Memintal Dirinya dalam Galaksi Fiksi dan Pengalaman-pengalaman Menggembirakan Paralaks Fiksi Lainnya”, dalam Catatan Pameran “PARALAKS FIKSI”, diakses via http://www.studiohanafi.com/tubuh-yang-memintal-dirinya-dalam-galaksi-fiksi-dan-pengalaman-pengalaman-menggembirakan-paralaks-fiksi-lainnya/.

Simpson, J. A and E. S. C. Weiner, 1989. Oxford English Dictionary (Second ed.), New York: Oxford University Press.

Sunardi, St. 2015. “Seni Sebagai Peristiwa (Evakuasi Subyek)” dalam Kalam, edisi ke-27, diakses via http://www.salihara.org/kalam/back-issues/detail/seni-sebagai-peristiwa-evakuasi-subyek.

Zizek, Slavoj. 2006. The Parralax View, London: The MIT Press Cambridge.

Related posts

Tawa dalam Pwissie Beni Satryo

Ardi Kurniawan

Sisir Tanah dan Nyanyian Eksistensial

Krisnaldo Triguswinri

Membaca Setelah Boombox Usai Menyalak

Ferdhi Putra

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy