Serunai.co
Ulasan

Philippe Jaroussky: Sang Tenor-Kemayu Ternama Masa Kini

Tanggal 24 Januari 2020, tepat pkl. 7.30 malam pintu utama Théâtre des Champs-Elysées yang berwarna hijau kelabu dibuka. Bak sekumpulan laron mencari cahaya, para pengunjung yang telah menanti di luar mulai masuk ke dalam gedung konser yang terkenal dengan dekor art noveau itu.

Satu per satu para pengunjung menunjukkan karcis elektronik, baik dari telpon genggam maupun dalam bentuk cetakan. Petugas dengan sigap langsung mengarahkan tempat duduk mereka masing-masing di dalam gedung. Perlahan kursi-kursi kosong mulai ditempati. Tepat pkl. 7.50 terdengar bunyi lonceng tanda pertunjukan akan dimulai. Menurut jadwal, konser akan dimulai pkl. 8 tepat. Namun, hingga pkl. 8.05 belum semua pengunjung duduk di kursi mereka. Maklum, kapasitas gedung sekitar 1900 orang dan malam ini terisi penuh, sehingga perlu waktu lebih bagi semua pengunjung mencari kursi mereka. Memang karcis konser telah habis terjual jauh hari, dan ini menandakan tingginya antusiasme pengunjung. Tak lama kemudian, lampu-lampu utama mulai diredupkan. Ini tanda akhir konser akan segera dimulai, dan pengunjung pun seketika hening sambil menanti hadirnya sang biduan di panggung. Begitu ia muncul berjalan ke tengah panggung, tepuk tangan pengunjung menggema.

Tak ada pembawa acara yang memperkenalkan sang biduan. Tidak diperlukan juga. Sang biduan kini berdiri di tengah panggung, di bagian samping piano. Menyambut tepuk tangan pengunjung, ia hanya membungkukkan badannya sedikit. Seketika dentingan piano terdengar, dan sang biduan mulai menyanyikan lagu pertama.

Sang tenor-kemayu

Suara sang biduan melantun lembut, namun tinggi. Ia adalah Philippe Jaroussky, seorang pria berusia 41 tahun. Ia memiliki suara tinggi khas, lebih tinggi dari para penyanyi tenor lainnya, bahkan sejajar dengan penyanyi perempuan bersuara mezzo-soprano. Suara tinggi khas ini lazim disebut contre-ténor, yang bisa diterjemahkan dalam kita punya bahasa persatuan sebagai tenor-kemayu.

Baca Juga:  Kultus Kargo dan Dunia Spiritual Masyarakat Melanesia

Jaroussky bukan satu-satunya penyanyi tenor-kemayu yang kita kenal sekarang ini. Ada sejumlah nama yang berasal dari berbagai negara, umumnya dari Eropa, Amerika Serikat dan beberapa negara di Amerika Selatan. Penyanyi tenor-kemayu mulai lazim dikenal dalam seni musik Barat sejak paruh abad ke-20, seiring dengan naiknya minat publik atas musik klasik. Umumnya, tenor-kemayu mengambil peran dalam opera musik klasik. Pasalnya, ada sejumlah peran dalam opera klasik, terutama dari opera Barok (abad ke-16 hingga ke-18), yang ditulis untuk castrato (jamak: castrati). Castrato adalah kasim dalam opera klasik yang memiliki suara tinggi (soprano, mezzo soprano); mereka dikebiri sebelum akil-balig. Castrato terkenal adalah Farinelli (1705-1782), yang kisah hidupnya pernah diangkat ke layar perak dalam film Farinelli, il castrato. Film ini juga punya andil dalam mempopulerkan peran tenor-kemayu di dalam opera klasik masa kini.

Sebagai tenor-kemayu, Jaroussky memiliki suara yang cemerlang dan jernih. Tidak tinggi melengking, melainkan mempunyai bobot yang mumpuni. Saat bocah, ia mulai bermain biola dan kemudian piano. Di saat berusia 18 tahun, ia menghadiri satu konser musik klasik Barok yang dibawakan oleh Fabrice di Falco, seorang penyanyi tenor-kemayu kelahiran Martinique. Konser ini menggugah hatinya, dan ia mulai melatih suaranya untuk tenor-kemayu, dengan didampingi guru olah-vokalnya, Nicole Fallien – yang masih mendampinginya hingga sekarang. Sejak itu, karirnya sebagai tenor-kemayu dimulai, dan pengalaman selama 20 tahun terakhir ini makin mematangkan dirinya.

Melantun lieder ala Franz Schubert

Dalam konser malam itu, dengan didampingi pianis Jérôme Ducros, Jaroussky melantun serangkaian lied (jamak: lieder) yang disusun oleh Franz Schubert (1797-1828). Lied adalah musikalisasi puisi-puisi (terutama puisi klasik Jerman) dengan musik klasik. Schubert telah menghasilkan banyak lied yang hingga kini menjadi répertoire umum dalam piano.

Baca Juga:  Tony Juga Manusia Biasa: Ulasan Film Roadrunner dan Eulogi yang Terlambat

Jaroussky melantunkan 20 lied, 10 pada paruh pertama dan 10 pada paruh kedua. Konser dibuka dengan Im Frühling (D882) yang merupakan musikalisasi puisi karya Ernst Schulze, yang merayakan musim semi. Selanjutnya disusul dengan 4 lied lain yang juga dipenuhi pujian manis. Di bagian tengah paruh pertama, pianis Ducros membawakan solo Klavierstücke no. 2 (D. 946) dengan sangat menawan. Begitu usai, Jaroussky kembali ke panggung melanjutkan melantun 5 lied. Secara khusus, Du bist die Ruh (D776) dilantunkan dengan penuh perhatian. Ini tentu tidak mengherankan, sebab lied ini menjadi andalan Jaroussky dalam album terbarunya.

Usai jeda 20 menit, paruh kedua dimulai dengan Sei mir gegrüsst (D741), sebuah lied yang merupakan musikalisasi puisi karya Fredrich Rückert. Lied ini telah dibawakan oleh beberapa bariton dan tenor Jerman kenamaan, seperti Dietrich Fischer-Dieskau dan Peter Schreier. Jaroussky membawakan lied ini dengan suara khasnya yang sangat optimal.

Di bagian tengah paruh kedua ini, pianis Ducros membawakan solo impromptu op. 90 no. 3 (D899). Interpretasinya disambut sangat pengunjung. Jaroussky melanjutkan melantun 5 lied sesuai jadwal acara. Begitu usai, tepuk tangan pengunjung tiada usai.

Encore tiga kali

Menyambut kemeriahan tepuk tangan, Jaroussky membawakan sebuah lied sebagai encore (lagu tambahan di luar jadwal), yakni: Schwanengesang Ständchen (D957), yang merupakan musikalilasasi puisi karya Ludwig Rellstab. Lied ini dibawakan Jaroussky dengan sangat sempurna, dan ini juga menjadi andalan dalam album terbarunya.

Usai melantun, Jaroussky membungkuk hormat. Tepuk tangan pengunjung tiada henti, sehingga Jaroussky sekali lagi membawakan sebuah lied sebagai encore kedua, yakni Die Forelle, yang merupakan musikalisasi puisi karya Christian Shubart. Bariton ternama Dietrich Fischer-Dieskau pernah juga membawakan lied ini. Oleh Jaroussky, lied ini dibawakan dengan sangat ringan dan penuh keceriaan.

Baca Juga:  Membaca Setelah Boombox Usai Menyalak

Seperti sebelumnya, tepuk tangan pengunjung tiada henti, sehingga Jaroussky kembali membawakan sebuah lied sebagai encore ketiga, yakni Gretchen am spinnrade. Sangat jarang ada biduan yang mau membawakan encore sampai tiga kali – ini sungguh di luar kebiasaan, dan Jaroussky membawakan lied ini dengan sangat luar biasa. Pengunjung dimanjakan dengan persembahan encore sebanyak tiga kali, dan tepuk tangan mengiringi Jaroussky yang membungkukkan badan sebanyak tiga kali sebagai tanda menutup konser malam itu.

Album terbaru: 20 tahun

Konser malam itu adalah bagian dari serangkaian konser yang digelar di beberapa kota Eropa sebagai promosi album terbarunya: Passion Jaroussky!. Album ini merayakan 20 tahun karirnya dalam musik klasik sebagai tenor-kemayu.

Berturut-turut rangkaian konser dimulai di kota València (10 Januari), dan Barcelona (14 Januari). Kemudian disusul di London (16 Januari), Berlin (18 Januari), dan Luxembourg (20 Januari). Usai konser di Paris (24 Januari), Jaroussky dan Ducros menuju ke kota Köln (30 Januari), dan Dortmund (1 Februari). Selanjutnya, mereka konser di dua kota di Swiss: Gstaad (3 Februari), dan La Chaux de Fonds (5 Februari). Tiga konser selanjutnya di Baden-Baden (7 Februari), Graz (9 Februari), dan Wina (11 Februari).

Jaroussky dan Ducros telah bekerja sama sebagai biduan dan pianis untuk 2 album sebelumnya yang membawakan sejumlah musik Perancis abad 19, yakni: Opium (2009) dan Green (2015), yang merupakan musikalisasi puisi-puisi karya Paul Verlaine. Album Green bahkan menjadikan Jaroussky sebagai biduan utama penerima penghargaan Echo Klassik (dari Jerman) untuk tahun 2016.

Konser malam itu bukan hanya sekedar merayakan karir 20 tahun, tapi juga memperlihatkan kematangan Jaroussky sebagai tenor-kemayu. Selama ini ia dikenal sebagai tenor-kemayu dengan spesialisasi musik klasik Barok, terutama aria dari opera Italia abad ke-16 dan ke-17. Dengan melantunkan lieder ala Schubert di dalam konser ini, Jaroussky berhasil memperluas khazanah suaranya dan menunjukkan dirinya juga sebagai biduan musik klasik Romantik abad ke-19. Ini adalah satu nilai tambah yang menjadikan dirinya sebagai tenor-kemayu ternama masa kini.

Related posts

Paralaks Fiksi: Sebuah Usaha Memperkenalkan “Origami Tubuh”

Muhammad Nur Alam Tejo

Biennale Jogja 17 dan Titen: Sebuah Usaha untuk Mempertajam Kepekaan

Ismail Noer Surendra

Enola Holmes dan Perjalanan Menuju Arketipe Holmesian yang Lebih Relevan

Fahmi Shiddiq

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy