Serunai.co
Ulasan

Enola Holmes dan Perjalanan Menuju Arketipe Holmesian yang Lebih Relevan

Siapa tidak kenal Sherlock Holmes, tokoh detektif ulung paling jenius paling terkenal berkat kemampuan berpikir deduktif yang tak tertandingi. Buah karya Sir Arthur Conan Doyle ini terbit pada tahun 1887. Namun, pamornya tak terkalahkan hingga sekarang, bahkan malah melahirkan genre tersendiri. Tanpanya tidak akan ada karya fiksi dengan aliran narasi investigasi prosedural.

Dengan brand recognition yang masih sangat tinggi dan status hak cipta yang sudah masuk ranah publik, karakter ini sangat menggiurkan untuk diadaptasi ke layar film dan TV. Baru-baru ini, Netflix menerbitkan produksi orisinal Enola Holmes, yang bercerita tentang adik perempuan Sherlock dalam petualangan mencari ibunya.

Sherlock Holmes diperkirakan sudah menjadi karakter yang paling banyak muncul di layar baik itu layar lebar ataupun layar kaca. Guinness Book of World Record mencatat bahwa karakter ini sudah diperankan oleh lebih dari 75 aktor di lebih dari 250 produksi. Debut karakter ini di layar perak tercatat sejak tahun 1900 pada film bisu berjudul Sherlock Holmes Baffled. Di antara iterasinya yang terbesar dua dekade terakhir ini yaitu film Sherlock Holmes (2009) dan serial BBC Sherlock (2010). Film Sherlock Holmes (2009) dan lanjutannya Sherlock Holmes: Games of Shadow (2011) berhasil meraup masing-masing 524 juta dan 545 juta dolar AS di seluruh dunia. Serial Sherlock sendiri mencatat rata-rata 11 juta penonton pada musim terakhirnya. Figur tersebut menunjukkan kepopuleran karakter ini sudah tidak usah dipertanyakan lagi.

Secara umum watak Sherlock Holmes dapat dikategorikan sebagai jenius yang eksentrik, seorang dengan kecerdasan di atas rata-rata yang tidak taat pada norma masyarakat kontemporer pada masa itu. Namun, khusus pada beberapa adaptasi termutakhirnya ada beberapa sifat yang konsisten di antara sekian banyak versi.

Dalam serial Sherlock (BBC, 2010) Holmes mendeskripsikan diri sebagai ‘High Functioning Sociopath’, sebuah pernyataan yang cukup problematik dan mengundang reaksi negatif dari kalangan ahli saraf. Dalam upaya mereka untuk menggambarkan tokoh ini sedekat mungkin dengan sumber materi yang tertulis, sering kali karakteristik misantrop Sherlock diamplifikasi ke level yang ekstrem. Pada kedua adaptasi besar terakhir, terdapat kesamaan sifat yang muncul di keduanya. Yang pertama adalah apatisme, Sherlock sering kali tidak mendasari tindakannya karena rasa kasihan atau peduli namun berdasarkan gairahnya untuk semata-mata mengurai misteri yang ada di depan matanya. Kedua, byronic, istilah yang diambil dari arketipe pahlawan dalam puisi-puisi karangan Lord Byron di mana sang tokoh utama dilukiskan sebagai karakter pendiam misterius yang sudah kehilangan kepercayaan tentang bentuk moral yang ideal, walhasil perspektifnya selalu sinis dan getir.

Sejalan dengan itu, penggambaran watak Sherlock selalu lekat dengan sifat toxic terhadap karakter di sekitarnya, hal yang dia lakukan senantiasa memakan orang lain sebagai korban semata-mata demi memecahkan kasus yang dia tangani. Dalam penggambarannya, sifat ini adalah efek samping dari kemampuan deduktif dan prinsipnya yang hanya percaya pada logika dan pemikiran. Hal ini pada akhirnya lekat dengan pola dasar lakon detektif lainnya di media.

Baca Juga:  Tragedi itu Bernama “Gejolak Makam Keramat”

Dalam norma peran gender tradisional, kemampuan logika deduktif adalah sifat yang erat terkait dengan maskulinitas ideal, meskipun pada kenyataannya superioritas intelektual tidak dimonopoli gender tertentu. Meskipun gagasan ini sudah patah di mata publik, pencitraan peran genius penyendiri di berbagai media masih didominasi oleh arketipe Sherlock Holmes dan turunannya.

Penggambaran karakter Sherlock Holmes dalam sadurannya pun tidak jauh-jauh dari material sumbernya, yakni laki-laki kulit putih jenius yang penyendiri, tidak tertarik untuk terlibat dalam lingkungannya bahkan berada di tepian sifat beracun bagi orang lain di sekitarnya. Hal ini yang cenderung berbahaya ketika arketipe ini diinternalisasi oleh khalayak untuk dua alasan. Pertama, laki-laki yang punya kecerdasan di atas rata-rata seakan diperbolehkan untuk berperilaku menjurus pada perangai antisosial dan misantrop, belum lagi membenarkan gagasan untuk mengabaikan empati dalam pengambilan keputusan. Kedua, bagi gender di luar laki-laki, arketipe watak ini tidak sewajarnya untuk diadopsi, terutama di bagian pengambilan keputusan secara rasional. Perkara ini dapat mengarah pada pandangan stereotipikal yang sempit, bahkan dalam kasus terburuk dapat menjurus pada stigmatisasi individu yang tidak tunduk pada norma gender yang sudah usang.

Di awal abad 21, sebenarnya sudah banyak yang membongkar-pasang karakter dan cerita Sherlock Holmes dengan memasukkan feminisme dengan kadar yang beragam, mulai dari pemberian peranan lebih bagi tokoh perempuannya, hingga ke gender flipping (penukaran gender). Namun, tidak semua upayanya bisa dibilang berhasil seratus persen. Upaya ini memang tidak mudah karena tidak dimulai dari titik awal yang ideal. Sherlock sendiri, di luar antipatinya terhadap orang lain, digambarkan memiliki kesungkanan khusus terhadap perempuan. Dalam The Sign of Four, dia berucap “Women are never to be entirely trusted—not the best of them” (“Perempuan tidak pernah bisa sepenuhnya dipercaya—tidak untuk yang terbaik dari mereka”). Sifat ini memang dibingkai sebagai kelemahan watak oleh John Watson, karakter yang mewakili pembaca sebagai rekan yang merekam petualangan Holmes, dan secara tidak langsung, Conan Doyle pun secara sadar membingkai sifat ini sedemikian rupa. Rintangan ini yang selalu dicoba untuk diakali oleh penulis-penulis adaptasi Sherlock Holmes, dengan metode dan hasil yang bervariasi.

Upaya untuk mengemas karakter Sherlock agar terlihat simpatik dengan perempuan salah satunya adalah dengan memasukkan karakter pokok perempuan dengan peran dan jalan cerita yang signifikan. Dalam sumbernya, Conan Doyle memperkenalkan tokoh Irene Adler dalam A Scandal in Bohemia, di mana Sherlock menerima kasus dari Raja Bohemia yang ingin menghapus jejak perselingkuhannya sebelum dia menikah. Perempuan yang memegang buktinya adalah sang mantan penyanyi opera itu sendiri, jalan cerita ini berakhir dengan Sherlock yang diakali habis-habisan oleh Irene Adler. Signifikansi tokoh Irene Adler dalam bukunya adalah sebagai satu-satunya perempuan yang berhasil mengalahkan Sherlock, yang kasusnya tidak terpecahkan hingga akhirnya Adler menikah dengan laki-laki pilihannya dan menjalani hidupnya dengan damai. Di sini, karakter Adler adalah tamparan keras terhadap sifat misoginis Sherlock, tidak kurang dan tidak lebih, berbeda dengan berbagai adaptasinya.

Baca Juga:  Jalan Sunyi Seorang Cadel

Dalam adaptasi sinema Sherlock Holmes (2009), Irene adler digambarkan sebagai kelanjutan ceritanya dalam buku, setelah dia bercerai dari suaminya. Yang disayangkan, kedua karakter ini digambarkan memendam hasrat di luar persaingan profesional, meskipun pada sepertiga akhir cerita terungkap bahwa dia bekerja dengan James Moriarty, tokoh yang terkenal jadi musuh bebuyutan Sherlock. Hal ini memperkuat gagasan misoginis Sherlock karena menyiratkan bahwa karakter perempuan dalam jalan cerita Sherlock selalu punya niatan untuk mengkhianatinya. Dalam Serial Sherlock (BBC, 2010), Irene digambarkan sebagi dominatrix dengan klien kelas tinggi, yang pada akhirnya tidak cukup pintar untuk mengalahkan Sherlock, sebuah kontras yang cukup mengecewakan dibanding penokohan dalam sumbernya. Dalam kedua adaptasi, Irene Adler hanya berakhir sebagai perangkat jalan cerita, tanpa kualitas pribadi yang signifikan.

Elementary (2012) adalah salah satu produk adaptasi dengan upaya pendekatan yang cukup istimewa dalam mengatasi persoalan watak Sherlock yang misoginis. Dalam serial yang tayang di CBS sejak September 2012 ini, karakter John Watson digantikan oleh tokoh perempuan bernama Joan Watson, seorang pelatih pemulihan yang dikontrak oleh ayah Sherlock Holmes untuk mengawasi rehabilitasi Sherlock dari kecanduan obat-obatan. Joan, dengan latar belakang mantan dokter bedah yang beralih profesi menjadi pelatih pemulihan pada akhirnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari petualangan investigasi Sherlock.

Diperankan oleh Lucy Liu, karakter ini tumbuh seiring berlangsungnya jalan cerita, terutama secara profesional di mana Joan mulai dari dokter yang meninggalkan profesinya hingga akhirnya menjadi detektif konsultan yang membongkar kasus kriminal tingkat tinggi. Dalam sebuah wawancara, Lucy Liu sendiri menjamin bahwa karakter Joan tidak hanya akan menjadi kaki tangan Sherlock tapi juga bakal menghadapi kasusnya sendiri. Pertukaran ini menghadirkan dinamika gender yang tergolong baru dalam jalan cerita Sherlock Holmes, yang cukup segar bila dibandingkan iterasi-iterasi sebelumnya. Penerimaan khalayak yang positif pun dapat menjadi tolak ukur keberhasilan metode ini, meskipun pada akhirnya Elementary (2012) tidak bisa mengalahkan kepopuleran Sherlock (2010) yang sudah kadung dominan sejak awal.

Pendekatan feminis paling radikal dari adaptasi Sherlock berasal dari Jepang. Miss Sherlock (HBO Asia, 2018) bercerita tentang Sara Shelly Futaba, iterasi perempuan tokoh Sherlock Holmes, seorang detektif swasta yang berpasangan dengan Dr.Wato Tachibana, versi perempuan dari Dr. John Watson, yang diceritakan baru pulang dari tugasnya di Syria.

Kasus yang disadur kini dilatari Tokyo masa kini dengan segala problematikanya, termasuk pandangan masyarakatnya tentang perempuan. Meskipun begitu, Sara Futaba yang diperankan oleh Yuko Takeuchi—semoga jiwanya beristirahat dengan tenang—membawa dirinya memecahkan kasus demi kasus dengan perangai asli karakter Sherlock dengan kepercayaan diri dan kecerdikannya walaupun kerap dipandang sebelah mata karena tidak sesuai dengan norma sosial dan gender tradisional.

Baca Juga:  Metamorfosis Kuntari

Yuko Takeuchi sendiri sudah berpengalaman dalam memerankan tokoh detektif veteran berkat keterlibatannya dalam serial Strawberry Nights, walaupun pembawaan karakternya dalam serial tersebut cenderung megikuti arketipe hard-boiled detective ketimbang Holmesian.Sayangnya hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk pencitraan karakter Wato Tachibana, diperankan oleh Shiori Kanjiya, yang digambarkan sebagai kontras dari karakter Sara, meskipun tetap menjadi tokoh yang berbagi sudut pandang cerita dengan penonton. Wato digambarkan sebagai perempuan yang berhati lembut dan penyayang, yang cenderung pasif dan terkesan enggan untuk terlibat dalam petualangannya bersama Sara. Yang menjadi perkara, pengisahan ini menyiratkan karakter Sara hanya ada dalam cerita fiksi, sedangkan penonton, dalam hal ini diwakilkan oleh tokoh Wato, baiknya tunduk pada norma dan tidak usah terlibat dalam petualangan, bagaimanapun kualifikasinya.

Adaptasi terbaru dalam kosmologi Sherlock Holmes, Enola Holmes (Netflix, 2020) terang-terangan mengemban misi untuk menggambarkan karakter dengan arketipe Holmesian yang ramah untuk khalayak perempuan. Dari peran utama perempuan, latar belakang London era perjuangan hak pilih untuk perempuan, hingga kehadiran karakter mentor perempuan yang membebaskan tokoh utamanya dari bayang-bayang lakon laki-laki dalam ceritanya.

Diangkat dari novel karangan Nancy Springer yang terbit tahun 2006, film ini bercerita tentang Enola Holmes, adik bungsu Sherlock dan Mycroft Holmes dalam petualangan mencari ibu sekaligus mentornya yang menghilang pada suatu hari, bertepatan dengan kedatangan Sherlock dan Mycroft untuk berkunjung. Enola sendiri dikisahkan sebagai remaja yang memiliki kemampuan logika deduktif yang menyamai kakaknya, bedanya dia tidak sungkan untuk berkolaborasi dan membangun jaringan dengan orang yang ditemui dalam perjalanannya. Dalam cerita ini kelemahan karakter arketipe Holmesian yang biasanya hadir dalam bentuk apatisme sosial ditukar dengan keluguan yang timbul dari Enola yang dibesarkan dalam lingkungan yang terisolasi dari dunia luar.

Hasilnya, keberanian Enola untuk maju dalam petualangannya tidak berasal dari keacuhan orang lain, tapi dari kemauannya untuk mengambil resiko. Walhasil, perubahan watak ini meninggalkan ruang yang diisi sifat empati dalam karakterisasi Enola, sifat yang tidak biasanya diasosiasikan dengan arketipe Holmesian pada umumnya. Dari segi motivasi karakter pun, Enola melancarkan aksinya atas dasar kepedulian, dia memulai petualangannya karena dia peduli pada ibunya, dan di separuh jalan cerita, dia mengubah tujuannya atas dasar kepeduliannya dengan karakter yang ia temui di tengah perjalanannya. Kontras lainnya yaitu bagaimana cerita ini menghadirkan sudut pandang bagi pemirsa. Enola kerap kali bermonolog langsung menghadap kamera (dikenal dengan istilah breaking the fourth wall), tanpa membutuhkan kehadiran karakter yang mewakili penonton, sehingga penonton dapat merasa terlibat langsung dalam petualangan sang protagonis, seperti berada dalam kepalanya.

Namun demikian, film ini bukan tanpa kekurangannya sendiri, beberapa kali Enola harus mengacungkan kredensialnya sebagai adik Sherlock Holmes untuk dapat masuk dalam lingkungan tertentu, karena dia belum memiliki kemasyhuran yang sama dengan kakaknya. Selain itu ada disparitas latar dalam konteks sejarahnya, dalam satu adegan Enola juga mengenakan gaun merah di tengah-tengah jalanan kota London, gaun yang umumnya diasosiasikan dengan pekerja seks pada masa itu, dan massa yang ada di sekitarnya tidak nampak bereaksi secara khusus dengan penampilannya.

Pada kesimpulannya, Enola Holmes adalah upaya mengemas arketipe Holmesian yang menyajikan nuansa baru dan prospek yang segar bagi derivat karakter ini ke depannya. Protagonis dalam cerita ini dapat melepaskan kelemahan karakter yang sudah saatnya diperbaharui, tanpa menjadikan protagonisnya sebagai mary sue (trope karakter yang seakan-akan tidak memiliki kelemahan sama sekali).

Gambaran karakter Enola berhasil lepas dari sifat apatis, misoginis, dan kecenderungan antisosial dari arketipe Holmesian tanpa kehilangan pesona dari petualangannya. Motif feminisme yang dihadirkan dalam cerita ini pun terjalin dengan cukup manis walau kadang-kadang terasa terlalu mencolok untuk beberapa kalangan.

Enola Holmes berhasil menyajikan keseruan cerita dalam alur yang serupa dengan leluhurnya, sekaligus membuktikan bahwa sifat apatisme tidak tertanam dalam kecerdasan intelektual karakternya. Enola mengingatkan kita tentang seberapa jauh sudah kita melangkah menuju kesetaraan, sekaligus merayakan simpul-simpul perjuangan dalam perjalanannya. Dengan itu, Enola dapat menjadi model arketipe Holmesian yang bahkan lebih baik dari Sherlock sendiri.

Related posts

Sisir Tanah: Puitis Sejak Dalam Pikiran

Aloysius Bram

Don’t Look Up: Ilustrasi Apokaliptik yang Rasional

Villarian

Philippe Jaroussky: Sang Tenor-Kemayu Ternama Masa Kini

Jafar Suryomenggolo

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy