Serunai.co
Narasi

“Keluar Dari Jakarta”, Menyimak Pengalaman Orang-Orang Desa Soal Corona

konser musik

Sejak pandemi ini semakin parah di pertengahan tahun 2020, pikiran saya sudah tidak bisa diajak untuk menelan mentah-mentah informasi dan berita. Pertengahan tahun 2020 saya adalah buruh yang terjebak di Jakarta, sebagaimana ribuan buruh lain. Saya bertahan dari hari ke hari. Penuh ketidakpastian, lewat sudut kamar indekos saya di bilangan Jakarta Selatan saya melihat bagaimana pelan-pelan pandemi ini semakin dekat. Saya beberapa kali melakukan swab test, dan rapid test.

Namun, bersama setiap ketidakpastian itu pelan-pelan saya mempertanyakan segala informasi dan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah untuk menanggani pandemi. Bahwa saya tahu persis Corona tak dapat disepelekan adalah keyakinan yang saya pegang. Virus ini berbahaya, lebih berbahaya jika tidak ditangani dengan baik.

Tapi, saya juga terpaksa bertanya, misalnya mengapa pedagang pasar di dekat tempat tinggal saya menjadi objek razia aparat, sementara apartemen, dan berbagai pusat perbelanjaan besar seolah-olah luput dari razia? Mengapa anjuran hidup sehat; mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna terasa begitu ganjil ketika saya tahu ada puluhan pedagang kaki lima mengais rejeki di sekitar tempat tinggal saya? Apakah mereka bisa disalahkan sebab melanggar aturan PSBB? Padahal jika tidak begitu mereka tak pernah tahu besok makan apa.

Bagaimana mereka yang tinggal di sudut-sudut perkampungan padat penduduk di Jakarta harus mengikuti anjuran social distancing, sementara membuka pintu rumah dan berjalan di gang samping rumah pasti menyenggol bahu tetangga ketika berpapasan. Mengapa kelas menengah di Jakarta dan berbagai media giat sekali mendengungkan anjuran #DirumahSaja, sementara buruh harian, mereka yang mengais rupiah di pinggir jalan tak pernah punya kepastian hidup jika mereka #DiRumahSaja.

Segala bentuk protokol kesehatan barangkali tidak sepenuhnya langkah antisipatif, bisa jadi hanya prosedur bagaimana kelas menengah seperti kami menciptakan ketenangan untuk diri sendiri ketika pandemi. Paling tidak kami bisa mangkir dari rasa berdosa jika benar kami adalah pembawa dan penyebar virus corona.

***

Bulan November 2020 saya dan pasangan saya memutuskan keluar dari Jakarta. Kami singgah di Yogyakarta lebih dari satu bulan. Kami menyewa tempat tinggal di Sleman. Kami membatasi diri tidak berkunjung ke pusat keramaian dan bertemu orang banyak dalam dua minggu pertama.

Setelah itu, dengan selalu memakai masker dan membawa hand sanitizer kami berkunjung ke Kabupaten Gunung Kidul, lalu ke Perbukitan Menoreh dan mengunjunggi tempat pertapaan Sendangsono di Kabupaten Kulon Progo, dan beberapa desa di Kabupaten Sleman.

Setelah dari Yogyakarta, dengan sepeda motor kami menuju Kebupaten Kediri. Di perjalanan kami singgah dan menginap hampir satu minggu di Lereng Gunung Lawu. Kami menginap di sebuah tempat khalwat di Kecamatan Tawangmangu, dan mengunjunggi rumah teman di area kebun teh bukit Kemuning.

Sejak awal perjalanan ini saya terbersit keusilan untuk mengunjungi desa-desa di berbagai tempat yang saya singgahi. Saya tertarik melihat bagaimana penduduk desa merespons kondisi pandemi ini. Bagaimana mereka bertahan? Apa yang mereka katakan tentang pandemi ini?

Iya, ini perjalanan yang cukup beresiko sebenarnya, kami sangat menyadari itu. Bisa jadi kami adalah pembawa dan penyebar virus dari Jakarta. Sebagaimana informasi soal anjuran protokol kesehatan yang digaungkan pemerintah, kami pun mengantisipasi agar kami tidak menjadi pembawa virus bagi orang-orang biasa di daerah-daerah yang kami temui.

Sepanjang perjalanan ini, saya dihantui pertanyaan bagaimana nasib kelas pekerja yang tidak lebih beruntung daripada saya. Ini bukan pertanyaan yang lahir dari perasaan moralis; ingin menolong atau menyelesaikan masalah jutaan orang papa yang tersebar di sudut-sudut tersembunyi indonesia.

Ini adalah kegelisahan yang lahir persis karena saya tahu Indonesia bukan hanya Jakarta, dan Jakarta juga bukan wakil yang adekuat untuk melihat pulau jawa. Pulau terbesar dan terpadat di Indonesia ini punya kompleksitasnya sendiri. Di tengah berbagai derap dan prioritas pembangunan pemerintah Indonesia mengarah ke pulau ini; bagi saya Jawa tetap menyimpan teka-teki sudut-sudut-sudut kehidupan terdalamnya yang menarik.

Perkembangan kehidupan urban di berbagai kota pusat kegiatan ekonomi di Jawa menyimpan dan menutupi kehidupan yang lain di pinggiran. Sebuah sudut kehidupan desa, tempat ribuan bahkan jutaan kelas pekerja hidup terus bergeliat. Sudut-sudut desa itu terus melahirkan generasi yang akan datang ke kota-kota besar di Jawa; Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dll untuk menjadi penggerak kehidupan urban.

“Keluar dari Jakarta” terpaksa saya beri tanda kutip. Ini semata untuk menegaskan bahwa pada mulanya perjalanan ini digerakkan oleh kepenatan sebagai buruh di Jakarta saat pandemi. Bagaimana saya terpapar berbagai informasi tentang corona selama berada di Jakarta, dan informasi-informasi itu terperam dalam kepala untuk kemudian melahirkan tindakan. Mawas diri, ketakutan, linglung, sedih, bahagia, duka dan sekaligus bertanya-tanya.

Sisanya “keluar dari Jakarta” adalah upaya singgah. Hanya menengok kembali ke desa; puak yang melahirkan saya. Beberapa tahun lalu saya tak ubahnya pemuda desa yang punya mimpi modernis datang dan sukses membangun kehidupan di kota. Tapi sebagaimana modernitas kota menyimpan banyak sudut-sudut duka; mimpi saya juga tak sepenuhnya tercapai. Seperti mimpi-mimpi pemuda lain; mimpi itu tersangkut di awang-awang. Bagi yang tak punya, apa yang disebut Karl Marx sebagai primitive accumulation, – akumasi kapital dasar; anak pengusaha mentereng, punya perusahaan tambang, tanah berhektare-hektare,- pindah ke kota bisa jadi hanya soal bertahan hidup. Tegar di antara tegang rasa lapar keseharian yang nyata, atau impian punya rumah dan tanah yang ngablu bersama berita-berita naik turunnya saham, aset, ekonomi digital, dll yang tak pernah mampir di depan pintu kostmu; menyembuhkan laparmu.

Baca Juga:  Demotivasi Hindia Album Kedua: Merayakan Kiamat Tanpa Juru Selamat (Bagian 3/ Habis)

Perjalanan ini adalah upaya saya menguji kembali pengetahuan dan cara hidup selama pandemi. Menguji kembali keistimewaan kelas yang kami miliki. Menyerap informasi dari pinggiran; cerita, fakta dan pengalaman orang-orang biasa yang tak pernah sempat ditulis di berbagai media.

Bu Ning; siapa yang tahu bagaimana ketakutan bekerja

Ndisik Corona gak ono mas, mung ono nek berita, saiki ono tenan,” Dahulu corona itu tak ada, Cuma ada di berita, tapi sekarang benar-benar ada. Begitu cerita Bu Ning, Ia penjual nasi rames di pinggir jalan raya Kecamatan A di kota Kabupaten M, Jawa Timur. Ruas jalan raya ini sebelum pandemi cukup ramai. Orang sering beristirahat di tengah perjalanan menuju berbagai kota besar di Jawa Timur.

Bu Ning perempuan berumur 50 tahunan itu bercerita pada saya dengan bersemangat. Ia adalah pencerita yang baik. Bahasa Jawa dialek Jawa Timurannya lancar dan amat lantang. Ia duduk tak sampai satu meter dari jarak saya duduk. Siang itu warung nasi ramesnya sepi. Hanya ada saya dan pasangan saya. Kami hanya berniat melepas penat setelah perjalanan jauh.

Saya memesan satu minuman fermentasi ketan. Rasanya amat segar, tapi mungkin terlalu manis bagi saya yang sudah mulai mengurangi konsumsi gula. Saya sengaja memilih tempat duduk yang membelakangi Bu Ning.

Saya berusaha menjaga jarak dan tidak berhadapan langsung; siapa tahu saya membawa atau sudah terpapar virus selama perjalanan. Awalnya saya tak ingin memulai obrolan. Ada ketakutan dalam diri saya dan pasangan saya. Bagaimanapun juga kami tak ingin menjadi pembawa virus.

Tapi Bu Ning sepertinya santai saja. Ia tak mengenakan masker. Tak meminta kami untuk cuci tangan terlebih dahulu sebelum masuk ke warungnya. Malah saya yang bertanya padanya di mana tempat cuci tangan.

Siang itu terik sekali. Deru motor dan polusi dari mobil dan truk yang lalu-lalang di depan warung Bu Ning kadang mengharuskan kami mengencangkan volume suara. Pasangan saya memesan sepiring nasi bothok ayam. Ia makan dengan lahap. Sementara saya menyalakan rokok dan mulai menikmati fermentasi ketan.

Bu Ning duduk tepat di belakang saya. Ia memakai jilbab coklat dan terusan daster warna pastel. Ia seperti mengamati kami berdua dari jarak yang tak sampai satu meter. Ia membuka pembicaraan: “ dari mana mau ke mana ini Mas?”. Saya jawab “ kami dari kota N, mau ke Kabupaten C”.

Tak disangka Bu Ning menyambut jawaban saya panjang lebar. Ia seperti ingin didengarkan. Bu Ning bercerita soal warungnya yang sepi sejak awal pandemi sampai hari ini 1 Januari 2021. “nggak keroso mas, sudah 2021,” tegasnya. Sudah hampir satu tahun warungnya sepi.

Bu Ning adalah istri seorang supir bus pariwisata yang selama pandemi ini juga terpaksa tidak bekerja. Ia menjadi tulang punggung keluarga. Lebih tepatnya, sekarang justru ia dengan warung nasi ramesnya yang menafkahi suaminya. “untung mas anak saya dua sudah pada mentas dan masih kerja, jadi saya sering dapet kiriman dari mereka,” cerita bu Ning.

Obrolan ini seperti berjalan satu arah. Saya hanya sedikit menanggapi cerita bu Ning, sementara ia tetap bercerita dengan penuh semangat. Saya masih diliputi suasana kikuk, bingung, dan was-was; bagaimana pun virus; mahluk ultra mikroskopik yang tak mampu dijangkau penglihatan normal bisa jadi ada di antara kita dan menyebar selama pembicaraan ini.

Bu Ning bercerita tentang tetangganya yang beberapa minggu lalu positif Covid 19. Tetangganya itu adalah seorang sopir keluarga Cina1 kaya di desa tempat Bu Ning tinggal. Awalnya sang tetangga mengantarkan majikannya untuk periksa kesehatan ke Surabaya dengan mengendarai mobil pribadi. Selepas di Surabaya, ternyata istri keluarga Cina itu positif Covid-19. Lalu sang sopir pun menjalani swab test dan ternyata hasilnya positif juga.

Beredar kabar di kampung bahwa ada warga yang positif Corona. Ia tak lain adalah sopir keluarga Cina yang diceritakan Bu Ning. Orang tua sopir itu yang berada di kampung kaget, dan akhirnya serangan jantung lalu meninggal beberapa hari kemudian.

Baca Juga:  Papua di Depan Mata

Kepanikan di kampung terjadi. Sekarang semua orang desa percaya kalau Corona benar-benar ada dan bukan hanya berita, tegas bu Ning pada saya. Desanya langsung ditutup dan kemudian warga jadi rikuh menjalankan aktivitas sehari-hari. “ aneh yaa mas, kenapa si Cina itu pakai periksa ke Surabaya segala, wong sugih cen ono-ono wae,” tegas bu Ning.

Ia menyimpan sentimen etnik yang kuat atas keluarga peranakan Tionghoa satu-satunya di desanya. Beberapa kali dalam ceritanya ia mengumpat soal Cina dan Corona. Ia seperti tidak terima, dan menganggap keluarga Cina itu adalah pembawa Corona ke desanya.

Hari itu adalah awal 2021. Waktu ketika pandemi Corona di Indonesia sudah hampir genap satu tahun. Di Jakarta orang dikejar ketakutan. Kehidupan sosial berubah. Di Jakarta PSBB dilakukan berkali-kali untuk mencegah penyebaran virus yang lebih cepat. Tapi siapa sangka di pelosok desa kecil di Jawa Timur Bu Ning dan warga desanya baru percaya Corona benar-benar ada. Kepercayaan itupun diselipi oleh sentimen etnis yang mengakar kuat.

Corona iku kan sebenere penyakit e wong Cino mas,” tegas bu Ning. “ Makanya kalau yang kena orang desa, pribumi bikin cepat mati mas,” lanjut Bu Ning. Saya hanya tertegun menyimak ceritanya. Tak ada sedikitpun keinginan untuk menyangkal cerita Bu Ning dengan informasi yang saya miliki, dengan jurnal-jurnal yang saya baca. Bahwa Corona tak pernah memilih etnis apapun untuk ia bunuh perlahan-lahan. Bahwa sentimen etnis yang mengakar kuat bisa jadi lebih kekal dan membunuh daripada virus itu sendiri.

Gaya bercerita bu Ning yang meledak-ledak sulit membuat saya percaya ia benar-benar takut dengan Corona. Yang lebih mencengangkan selama ia bercerita ia tak memakai masker. Pun di sekitarnya tak terlihat ada masker. Saya tak tahu pasti bagaimana pandemi ini menciptakan ketakutan yang aneh dan penuh ambiguitas.

Lewat sosok bu Ning kita melihat ketakutan pada Corona bercampur dengan sentimen etnis. Dua hal ini semakin kompleks jika kita melihat bagaimana posisi orang desa di tengah berbagai silang sengkarut informasi soal Corona dan minimnya akses mudah atas informasi yang akurat.

Saya dan pasangan saya yang bagian dari kelas menengah Indonesia bisa menyulih informasi, mampu menahan diri, menghindar dari berbagai informasi yang disebarkan oleh berbagai pihak untuk mengeruk keuntungan di tengah derita. Tapi kita tak pernah tahu apakah Bu Ning dan orang-orang di desanya memiliki keistimewaan itu.

Jika kita berpikir selayaknya informasi yang selama ini digulirkan pemerintah soal protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus. Maka, Bu Ning tentu bukan orang yang taat protokol. Ketaatan pada protokol kesehatan bisa dipastikan adalah sikap yang lahir dari berbagai macam informasi arus utama yang kita serap soal pandemi ini. Corona adalah virus pembunuh yang lihai sekaligus ampuh. Tapi bagaimana dengan Bu Ning?

Di awal 2021, setelah hampir satu tahun kita hidup dalam pandemi, dan Bu Ning baru percaya Corona itu ada dan mengancam masyarakat di desanya. Tapi, kepercayaan yang lahir dari pengalaman langsungnya itu sama sekali tak mengubah caranya bertindak. Bu Ning tetap tak memakai masker dan menaati protokol kesehatan. Ada sesuatu yang salah sepertinya, dari cara informasi soal pandemi ini dikelola, disebarkan, dan kemudian sampai ke desa-desa di pelosok.

Saya tak ingin menyalahkan Bu Ning dan tak tertarik melihat sosok bu Ning sebagai potret kelas masyarakat miskin yang abai, sebagaimana penilaian presiden Jokowi. Tak semudah itu memberi penilaian moral atas tindakan seseorang yang dilahirkan dari silang sengkarut informasi dan kemampuan rasa merasa manusia mengolah informasi yang masuk dalam benaknya.

Segala informasi soal protokol kesehatan tidak lahir dari ruang hampa. Ia menyimpan bias kelas. Bisa jadi segala bentuk anjuran dan informasi dari pemerintah soal Covid-19 dirumuskan tanpa sama sekali mempertimbangkan posisi dan nasib orang-orang seperti Bu Ning.

Pak Min; tentang orang kota yang kagetan

Saya menawarkan tembakau Senang dari Lombok yang saya bawa dari Yogyakarta untuk Pak Min. Siang itu di akhir 2020 saya berkunjung ke desa kecil di dekat pantai Kukup Gunung Kidul. Saya bertemu Pak Min. Ia tukang bangunan yang juga penjaga sebuah penginapan di tepi pantai.

Pak Min duduk bersila sambil mulai melinting tembakau yang saya berikan. “wah enak mas ini tembakaunya, mantep,” tegas Pak Min, setelah menyalakan bara dan menghisap rokok lintingannya.

Kami duduk-duduk dan ngobrol di depan penginapan yang Pak Min tunjukkan pada saya. Ia duduk bersila tepat di teras depan penginapan yang posisinya lebih tinggi. Sementara saya duduk di teras yang lebih rendah. Ia masih terlihat mengantuk setelah tidur siang.

Baca Juga:  Demotivasi Hindia Album Kedua: Merayakan Kiamat Tanpa Juru Selamat (Bagian 1)

“Sepi mas sekarang, saya tidur-tidur saja kalau tidak ada yang menginap,” Pak Min memulai pembicaraan sambil terus menghisap rokok tembakau lintingan yang saya berikan. Bahasa Indonesianya lancar, aksen medok Jawa-nya terselip di sana-sini.

“Tiga bulan pertama Corona, semua pantai tutup mas, ndak ada penghasilan sama sekali,” lanjut pak Min setelah satu bara rokok lintingannya mati. “Saya santai saja mas, hidup mati udah diatur Gusti, sudah ada jadwalnya masing-masing,” jawab pak Min ketika saya tanya apakah ia tidak takut pada kami yang datang dari Yogyakarta.

Akhir tahun 2020 kota Yogyakarta sudah mencatat penambahan kasus positif Corona yang signifikan. Tapi di kota ini pariwisata adalah jantung ekonomi yang mengerakkan kehidupan warganya. Saya sempat lewat Malioboro beberapa waktu sebelumnya, suasana tetap ramai. Hanya di sana-sini tersedia instalasi kokoh yang terbuat dari besi untuk mencuci tangan.

Dulu mas orang desa zaman mbah saya pernah diserang virus mematikan juga, orang mati lebih banyak dari sekarang, jadi itu yang bikin saya ndak takut dengan corona, wong dulu sudah pernah ada pagebluk besar juga kok,” Cerita Pak Min pada saya.

Pagebluk (pandemi) mematikan di masa lalu yang disebut oleh Pak Min adalah wabah pes yang melanda Hindia Belanda sejak dekade 1910. Pagebluk pes muncul pertama kali di Malang, Jawa Timur pada 1910. Tak lama kemudian pada 1911 seluruh Jawa sudah diterapkan darurat pes. Kondisi ini tak terkecuali terjadi di Gunung Kidul. Ribuan orang di desa mati mendadak.

Cerita turun-temurun tentang peristiwa di lingkup wilayah kecil (sejarah lisan, le petiti histoire) yang diketahui Pak Min menjadi bentengnya ketika pandemi covid-19. Pak Min, santai saja dan seperti sudah biasa menghadapi pandemi, seolah pagebluk pes beberapa dekade yang lalu hanya berjarak waktu kemarin sore saja bagi dia. Sejarah masa lalu yang dituturkan lewat lisan itu masih segar dan melahirkan tunjuk ajar. “ yang heboh itu berita dan orang kota mas, orang kota kegetan,” tegas Pak Min.

Pernyataan Pak Min bukan untuk menyalahkan orang kota. Lebih dari itu, ini justru menunjukkan transmisi informasi yang tidak stabil tentang darurat Corona. Ada jarak informasi dan jarak pemahaman yang terlampau jauh antara kota sebagai pusat informasi tentang Corona dengan kehidupan orang-orang di desa.

Cerita menurun dari masa lalu ke generasi berikutnya lewat sejarah lisan. Apa yang disebut pak Min sebagai orang kota kagetan terkait dengan cepatnya arus transmisi informasi di jantung kehidupan urban.

Orang kota bisa jadi tak memiliki jejak sedikitpun tentang masa lalu mereka. Jangankan untuk informasi yang berjarak dari abad yang lalu. Bisa jadi kita tak pernah tahu rumah yang kita tempati di sudut-sudut mentropolitan dahulu adalah bekas pemakaman simpatisan PKI pada kisruh 1965, atau bekas rumah bordil zaman kolonial.

Pak Min tak banyak mengeluh soal pendapatannya yang berkurang. Ia justru menceritakan selama pandemi hidup di desa biasa-biasa saja. Orang desa tetap bisa mencukupi berbagai kebutuhan pangan hariannya.

Hanya yang mengandalkan diri dari sektor pariwisata, dan tak punya sampingan lain memang harus memutar otak untuk mencari penghidupan baru. Mayoritas tetangga Pak Min kembali mejadi buruh tani, atau yang memiliki lahan kembali mengurus lahan mereka; menanam jagung, padi, atau mencari ranting kayu jati dari perkebunan Perhutani yang tersebar di Gunung Kidul untuk dijual sebagai kayu bakar.

Pandemi ini menunjukkan mana profesi yang rentan mana yang terus bisa bertahan bagi orang desa seperti Pak Min dan tetangganya. Kembali bertani untuk mencukupi kebutuhan harian. Sektor-sektor ekonomi lain yang sebelumnya menawarkan kemilau penghasilan yang lebih menggoda bisa jadi lumpuh sebab pandemi ini. Tapi kesuburan tanah dan keringat petani tetap harapan satu-satunya yang tak pernah ingkar janji bagi orang desa.

***

Kita tak pernah tahu kapan pastinya pandemi ini akan berakhir. Pandemi ini tidak hanya mencabik-cabik kehidupan orang-orang kota, tapi semuanya; sampai pelosok-pelosok desa. Sebab itu akan selalu relevan untuk kita terus bertanya apakah rumusan cara hidup, mengolah informasi, dan cara mengatasi pandemi, yang selama ini kita lakukan sudah mempertimbangkan orang-orang desa, buruh harian, dan jutaan orang miskin di Indonesia.

Konsep dan slogan #DirumahSaja, #NewNormal, PSBB, Social Distancing dan berbagai slogan lain yang kian hari makin bertambah, seolah mantra ajaib untuk membasmi virus. Tapi dalam semua slogan itu sudahkah kita memasukkan kelas warga miskin, yang tidak punya banyak pilihan informasi, dan peluang ekonomi di Indonesia?

Sahih kita ragu, jika dahulu Orde Baru berusaha meredam gejolak perlawanan rakyat untuk mewujudkan tujuan rezim rust en orde (ketenteraman zaman), tata tenterem kerta raharja, dengan mengubah istilah, memperhalus bahasa (eufemisme); misalkan buruh jadi pegawai, perempuan jadi wanita, rakyat jadi massa mengambang, dll. Maka, mungkinkah memperbanyak istilah dan slogan adalah strategi untuk menyembunyikan ketidakmampuan mengatasi pandemi? Ubah dulu istilahnya, dari pandemi ke new normal, sebarkan istilah itu melalui berbagai media; lalu psikologis orang akan berubah; kewaspadaan akan menurun dan lama-lama seolah-olah semuanya sudah teratasi, tapi seolah-olah saja.

Akhirnya “keluar dari Jakarta” bagi saya adalah melihat geliat hidup yang sesungguhnya selama pandemi. Hidup bagi orang miskin yang tak punya banyak pilihan. Bagi mereka hidup semudah hanya urusan bertahan dari hari ke hari. Dan kematian tidak begitu menakutkan, sebab sejak lama bagi orang-orang miskin kematian dan duka lara adalah hal yang dekat dan begitu akrab setiap harinya. (DT) (ed: AS).

Catatan:

1 Saya menggunakan penyebutan Cina dan bukan Tionghoa tanpa intensi untuk menjadi rasis, hanya mengikuti bagaimana Bu Ning menyebut orang Peranakan Tionghoa dengan Cina. Sebutan yang lazim digunakan masyarakat di Jawa.

Related posts

Sungai yang Tak Kehilangan Hantu-hantunya

Wiman Rizkidarajat

Tambang Panas di Pasar Seni

Redaksi Serunai

Mukti Mukti dan Mimpi Esok Pagi Revolusi

Isma Swastiningrum

1 komentar

Stars and Rabbit Merilis Video Live Terbaru | Serunai.co 16 Maret 2021 at 16:05

[…] tersebut direkam pada Juli 2020 ketika seluruh dunia yang masih menyesuaikan diri dengan kondisi pandemi, proses pengambilan gambar hanya melibatkan sutradara Riva Pratama dan sinematografer Triaji Jati […]

Reply

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy