Saya pernah menulis bahwa band ini, yang sebelumnya bernama Melancholic Bitch adalah band mitos. Namun, predikat band mitos itu luntur lantaran sekitar dua tahunan ini setelah mengubah nama mereka menjadi Majelis Lidah Berduri, mereka banyak tampil di berbagai acara baik di Yogyakarta rumah mereka, maupun di kota lain.
Majelis Lidah Berduri adalah band yang tidak biasa. Album penuh mereka selalu berkonsep kuat. Misalnya Balada Joni dan Susi yang menggambarkan berbagai problematika kehidupan Nasion bernama Indonesia dalam kisah cinta sepasang kekasih, Joni dan Susi. Atau NKKBS Bagian Pertama yang membawa pendengar menapak tilas ke era simulakra Orde Baru.
Namun, kita perlu mencatat bahwa meskipun memiliki konsep album bertema luar biasa, dan penampilan mereka di panggung jika dipandang dari kacamata kajian musik sangat rapi dan menarik, tetap saja mereka terjebak dalam sebuah konsep umum bernama “band-band-an.” Maksudnya, ya seperti umumnya laku kreatif band-band lain saja: bikin band, bikin lagu, rilis album, manggung. Titik. Tidak ada bentuk di level yang lebih tinggi misalnya seperti apa yang Rully Shabara lakukan bersama Senyawa dan Zoo: bukan sekadar “band-band-an”, tapi membangun peradaban baru.
Malam itu (14/07/23), konsep “band-band-an” luntur tatkala Majelis Lidah Berduri menghelat sebuah pertunjukan bertajuk Hujan Orang Mati. Performa ArtJog menyelenggarakan di pertunjukan ini di JNM Bloc. Majelis Lidah Berduri berkolaborasi dengan Frau, Raja Kirik, dan Garasi Performance Institute.
Hujan Orang Mati bisa menggenjot Majelis Lidah Berduri menuju level membangun peradaban baru dengan cara memadu-padankan seni musik dan seni teater. Di era kiwari, model pertunjukan seperti ini tentu sangat menarik karena kita sudah terlalu lama menyimak pertunjukan yang tipikal biasa saja: musik ya musik saja, teater ya teater saja. Ketika Majelis Lidah Berduri menggabungkan keduanya, ada semacam peradaban baru terbangun, ada estetika luar biasa yang hadir ke audiens.
Padu-padan musik dan teater tentu saja bukanlah hal yang baru. The Phantom of the Opera misalnya. Petunjukan berdasarkan novel klasik karya Gaston Leroux, musikal ini menampilkan elemen musik yang megah dan produksi panggung yang spektakuler. The Phantom of the Opera telah menjadi salah satu musikal yang paling lama tampil di Broadway dan West End, dan memenangkan banyak penghargaan bergengsi.
Ada lagi The Lion King. Elton John menggubah musik untuk musikal ini. Musikal ini menggabungkan musik, tarian, dan tata panggung yang spektakuler untuk membawa cerita klasik hewan-hewan di Afrika ke panggung teater. The Lion King telah sukses secara komersial dan mendapatkan pengakuan universal atas keindahan produksi panggungnya.
Lalu Majelis Lidah Berduri menawarkan nilai baru apa? Soalnya, model pertunjukan kolaborasi musik dan teater rupanya sudah cukup banyak dihelat, kan? Setidaknya di luar negeri. Dalam pembacaan saya, nilai tawarnya adalah bagaimana Majelis Lidah Berduri mengkontekstualkan pertunjukan mereka dengan kondisi Indonesia. Apapun itu, ada banyak irisan sosial, politik, seni, dan kehidupan keseharian bangsa Indonesia di Hujan Orang Mati.
Terbagi dalam tiga babak, Hujan Orang Mati menampilkan repertoar-repertoar yang kebanyakan diambil dari album keempat Majelis Lidah Berduri—yang belum dirilis—yang bertajuk sama, Hujan Orang Mati. Ada juga satu dan dua lagu dari album lama dibawakan, seperti “Departemental Deities and Other Verse”, “On Genealogy of Melancholia”, “Tentang Cinta”, dan “Kita adalah Batu” dari album Anamnesis. Serta “Dinding Propaganda”, dan “Apel Adam” dari Balada Joni dan Susi, dan “Trauma, Irama”, “Peta Langit, Larung” dan “Bioskop, Pisau Lipat” dari NKKBS Bagian Pertama.
Menariknya, lagu-lagu lama ini tidak ditampilkan dalam aransemen asli di versi rekaman, mereka digubah ulang dengan aransemen baru. Menurut hemat saya, ini untuk memberikan benang merah agar lagu-lagu itu nyambung dengan lagu-lagu baru dari Hujan Orang Mati.
Kolaborasi Majelis Lidah Berduri dengan Frau, Raja Kirik, dan Garasi Performance Institute sungguh memukau. Perpaduan antara musik dan teater yang mereka garap menghadirkan sebuah keselarasan yang indah tak tepermanai. Keselarasan ini memiliki kekuatan estetis yang luar biasa sehingga berhasil mengaduk-aduk emosi dan perasaan penonton. Setidaknya saya pribadi merasakan itu saat menonton, enggak tahu kalau penonton lain.
Jika dipandang dari paradigma kajian musik konvensional atau musik modern, Majelis Lidah Berduri ya memang penampilan musikalnya bagus. Maka, saya membayangkan ketika mereka tampil sendiri pun tanpa dibarengi aksi teatrikal Garasi Performance Institute penonton akan sudah terpukau dengan penampilan musiknya.
Namun, saya mencoba menggali lebih dalam pentingnya kehadiran Garasi Performance Institute di pertunjukan ini melalui kebudayaan Hindu kuno. Di dalam bahasa Sansekerta, dikenal yang namanya sangita. Sangita adalah apa yang kita kenal sekarang sebagai musik. Namun, jika pemahaman kita tentang musik di era modern menyebutkan asal ada bangunan musik dan lirik yang hadir, ya sudah itu bisa didefinisikan sebagai musik. Sementara dalam pemahaman kebudayaan Hindu kuno, sangita tidak hanya terdiri dari bangunan musik dan lirik. Ada unsur ketiga yang tak kalah penting yakni gerak atau tari.
Melalui sangita lah kita bisa menemukan keindahan gerak dan tarian yang dihadirkan para penampil dari Garasi Performance Institute di pertunjukan ini. Para penampil menunjukkan kemampuan terbaik mereka mengolah tubuh, mimik muka, gerakan, dan tarian agar sesuai dengan musik yang tengah dimainkan Majelis Lidah Berduri. Laku mereka seperti memberikan panduan visual kepada para penonton. Panduan bahwa musik yang ini bisa mengaduk emosimu jadi seperti ini, dan musik yang itu bisa membikinmu menangis seperti itu.
Pengalaman emosional yang unik dan mendalam yang diberikan oleh pertunjukan ini adalah refleksi tentang kehidupan dan kematian. Penyanyi utama Majelis Lidah Berduri mengingatkan kita untuk selalu yakin bahwa sebagai manusia, makhluk biologis berbasis protein, kita harus takut mati. Karena dengan takut mati kita jadi harus berani untuk hidup.
Secara berwibawa Ugoran Prasad mengatakan bahwa “berani mati” itu konyol karena terdengar sangat macho. Kita harus takut mati, agar kemudian berani menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, sekuat tenaga. Mengenai kematian, seperti biasa Ugo menyebut tiga sosok penting yang punya peran luar biasa dalam perkembangan kebudayaan di Indonesia: almarhum Gunawan Maryanto, Djaduk Ferianto, dan Anton Gendel. Kita diajak untuk mengenang ketiga sosok ini, dan menjadikannya refleksi agar mumpung masih hidup kita harus berjuang sekuat tenaga untuk tetap bertahan hidup.
Saya mencatat beberapa momen penting dalam pertunjukan Hujan Orang Mati ini. Pertama, ketika Leilani Hermiasih alias Frau naik ke panggung dan membawakan medley “Peta Langit, Larung” dan “Bioskop, Pisau Lipat.” Lani dan pianonya Oscar diberi ruang tersendiri untuk menginterpretasikan lagu tersebut, jadi ia bermain sendiri sementara personel yang lain menghadap ke belakang. Dentingan piano dan suara Lani sungguh intens dan menjadikan repertoar ini terdengar sangat megah walaupun dengan aransemen minimalis. Sebuah momen yang mengingatkan kita lagi-lagi akan kematian, tentang genosida besar-besaran 1965, dan bagaimana manusia Indonesia dicuci otaknya dengan film propaganda yang wajib ditonton di bioskop semasa rezim Orde Baru bercokol.
Kedua, Setiap kali Raja Kirik kedapatan jatah bermain musik, ada unsur eksperimental yang sangat kental terasa. Instrumen-instrumen tidak konvensional dibawakan dengan apik, ada eksplorasi organologi terjadi di sini. Instrumen itu bukan gitar, tapi semacam instrumen berdawai yang dimainkan dengan cara dipukul. Instrumen itu bukan seruling bambu atau flute dari brass section, melainkan adalah seruling yang terbuat dari pipa paralon. Suara noise dan elektronik dari sequencer di laptop mempertegas rasa eksperimental itu.
Ketiga, Ketika repertoar “Serampang” dibawakan. Para pemain teater dari Garasi Performance Institute naik panggung mengenakan topeng berbentuk alat-alat berat seperti escavator dan truk. Ini tentu menyesuaikan dengan tema lagu “Serampang” yang membicarakan manusia, lingkungan, dan antroposentrisme. Dalam “Serampang” Majelis Lidah Berduri menyentil apa yang dalam kajian filsafat lingkungan akrab dikenal sebagai antroposentrisme. Dalam gagasan ini, manusia dapat disebut sebagai makhluk antroposentris. Makhluk yang merasa memiliki harkat dan derajat lebih tinggi dari makhluk lain di lingkungan. Karena merasa punya privilese ini, maka jadilah manusia bebas mengeksplorasi (baca: mengeksploitasi) segala kekayaan alam dan lingkungan. Sampai segalanya rusak luluh lantak.
Ketika ketiga sosok berkepala escavator dan truk berakting seperti hendak memukul Ugoran Prasad, saat itulah batok kepala penonton digetok dengan keras: eksploitasi yang dilakukan manusia benar-benar sudah terlampau parah dan meluluhlantakkan lingkungan.
Keempat, malam itu Majelis Lidah Berduri tampil dalam bentuk format band yang besar. Di luar personel Majelis Lidah Berduri, ada tambahan trumpet, french horn, dan trombone di brass section, tiga orang perempuan penyanyi latar, dan bahkan tambahan satu drum. Ya, sebagai seorang drummer saya takjub dengan hadirnya dua drum ini. Mereka berganti-gantian bermain irama. Kadang salah satu bermain beat ketika yang lain bermain pola-pola ritmis, dan sebaliknya.
Malam itu venue pertunjukan yang berada di bawah pohon besar di bagian belakang JNM Bloc sungguh sarat penonton. Mereka dengan nyaman duduk ketika Majelis Lidah Berduri membawakan tiga babak pertunjukannya. Ketika babak ketiga selesai dimainkan, seluruh penampil yang ada langsung turun panggung. Para penonton sontak berteriak “We want more. We want more.” Dan tentu saja Majelis Lidah Berduri naik panggung lagi. Kali ini mereka telah melepaskan kostum dan atribut teatrikal yang sebelumnya dikenakan saat menampilkan tiga babak Hujan Orang Mati. Mereka tampil dengan outfit “band-band-an.” Lamat-lamat terdengar teriakan dari sudut belakang “ngadek wae!! berdiri saja!!” akhirnya para penonton langsung berdiri dan berlari merangsek ke depan panggung.
Enam lagu yang dibawakan di encore adalah lagu-lagu lawas yang tentu sudah sangat dikenal penonton. Tampaknya Majelis Lidah Berduri memang sudah merencanakan encore ini sebagai sebuah bonus agar para penonton bisa ikut koor massal saat lagu “Akhirnya Masup Tipi”, “Aspal, Dukun”, “Dapur, Nkk / Bkk”, “Mars Penyembah Berhala”, “Menara”, dan “Distopia” dibawakan. Majelis Lidah Berduri seperti mau bilang bahwa butuh fokus dan pikiran yang lebih untuk mencerna tiga babak Hujan Orang Mati yang ditampilkan. Maka, di bagian akhir, setelah sukses membuat peradaban baru, mereka hadir lagi dengan format “band-band-an”, dan menghibur para penonton, menciptakan eargasm buat mereka.
Akhirnya, secara pribadi saya menyimpulkan tiga babak Hujan Orang Mati adalah babak baru untuk Majelis Lidah Berduri. Akan sangat bagus jika pertunjukan ini kemudian dibawa keliling ke berbagai penjuru Indonesia (atau bahkan dunia). Karena dengan menonton pertunjukan ini, kita akan teringat akan kematian, takut mati, dan kemudian dengan berani berujar “aku akan hidup dengan berani.”
Mengutip lirik lagu “Menantang Rasi Bintang” milik FSTVLST: “hidup itu sekali dan mati itu pasti, bisa jadi nanti atau setelah ini.” Maka, alangkah baiknya jika hidup yang cuma sekali ini kita hayati dengan sebaik-baiknya, sekuat tenaga.