Serunai.co
Narasi

Demotivasi Hindia Album Kedua: Merayakan Kiamat Tanpa Juru Selamat (Bagian 3/ Habis)

Sambungan dari Bagian 2.

***

Dalam sesi wawancara dengan Bas, terungkap betapa proses kreatif LHAB sudah dimulai sebelum MDB dirilis. Penggarapannya sendiri dimulai dari pencatatan satu-dua kalimat di daily notes Bas, ditentukan tema dan judulnya, lalu digambar dalam melodi ritem awal, balik lagi ke penulisan lirik sementara, untuk kemudian masuk ke proses recording merekam vokal. 

Iterasi ini kemudian diulang lagi dengan penulisan lirik selanjutnya dan proses merekam vokal tambahan hingga menjadi bangunan struktur lagu utuh yang dipercayakan kepada para personel band pengiring untuk digubah.

Meski terkesan back and forth, proses kreatif ini tak hanya menyiratkan disiplin dan etos kerja kreatif yang luwes secara produktivitas, tapi juga membantu Bas memiliki kontrol penuh dalam setiap aspek di LHAB. 

Wajar bila konsep LHAB berubah lebih dari 5 kali, dengan jumlah track dan judul album yang paling sering berganti-ganti mulai dari judul album awal “Wawancara Liar”, “Hikayat Orang Gila” dan “Ku Doakan Kita Semua Masuk Neraka.” 

Bahkan total track LHAB versi awal yang disiapkannya berjumlah hampir 50 lagu, yang mana kebanyakan di antaranya sudah naik vokal. Pemangkasan lebih dari dua lusin lagu, bukan tanpa alasan. Pasalnya jika beberapa lagu dipaksakan masuk, Bagian 1 akan menjadi terlalu pesimistis dan bagian 2 akan menjadi terlalu optimistis menurut Bas. “Ada tone and mannerism yang saya berusaha jaga, kalau part 1 harus sangat pesimis dan part 2 harus optimis buta,” ungkapnya.

Wawancara Serunai – Baskara

Seraya mengenang proses kreatif LHAB, Bas mengaku di aplikasi notes smartphone-nya bahkan masih menyimpan lirik “Selebrisik” versi awal yang ditulis ulang, atau nomor unreleased “Pura-Pura Peduli” yang meski sudah rampung bertahun-tahun namun terpaksa disingkirkan dari daftar lagu final LHAB.

Menjawab komentar perkara hadirnya lagu-lagu yang bernuansa kampanye brand, Bas mengaku penuh ada semacam ‘kecacatan’ yang deliberately (dilakukan dengan sengaja) selain karena pertimbangan konsistensi storytelling album.

Emang harus ada lagu brand di sini. Banyak yang bilang “Jangan Jadi Pahlawan” itu lagu brand banget. Ada lagu yang lebih bagus dari “Jangan Jadi Pahlawan” secara musikal, cuma saya nggak mau ada itu di album karena ‘cacatnya’ jadi ga ada,” sanggah Bas santai.

Sedangkan perihal skit, Bas mengakui keempat part “Wawancara Liar” terkoneksi langsung dengan simbol empat malaikat dan empat krisis anti-modernisme yang jadi tajuk utama LHAB. Format percakapan podcast sendiri dipilih karena dua alasan: Pertama untuk melancarkan pesan-pesannya karena kerumitan topik yang jadi wacana; dan Kedua untuk mempertahankan tradisi khas Hindia yang sudah dimulai dari kemunculan voice note di MDB.    

Dengan mempercayakan penulisan sepenuhnya kepada Kristo dan Iyas, Wawancara Liar digarap Bas secara kolaboratif dengan memberikan talking points dan mempersilakan lebih dulu keduanya mendengarkan 24 lagu yang ada, serta menyimak dokumen puluhan halaman berisi manifesto LHAB yang diakuinya belum pernah ia publikasikan.

Menari Dengan (Bayangan) Demotivasi

LHAB
Artwork sampul album Menari Dengan Bayangan

Setelah background dibentangkan, analisis teks dilakukan dan proses kreatif disibak, penelusuran selanjutnya adalah menjawab bagaimana alam socio-cultural sebagai konteks yang mendorong Bas melahirkan LHAB.

Hal ini penting mengingat kita tidak bisa lompat pada kesimpulan dan menghakimi cara berpikir seseorang hanya dari potongan-potongan lirik dalam lagu yang ditulisnya. Kita mesti menengok lebih dalam pada rekam jejak pemikirannya dan menyimak seberapa intens Bas dengan isu-isu tersebut, serta hal yang tak kalah penting: seberapa konsisten.

Kita bisa sedikit banyak mendapat petunjuk dari beberapa dialog channel podcast dengan Bas yang tersebar cukup luas di Youtube. Dalam pernyataan-pernyataannya, tidak sukar bagi pendengar manapun untuk merasakan nuansa pesimistik yang kuat dari musisi berusia 29 tahun tersebut. Dalam wawancara di program Endgame-nya Gita Wirjawan misalnya, Bas menunjukkan keresahannya pada situasi sekitar yang serba “sakit”.

Gita Wirjawan tampak sepakat dengan Bas soal kondisi kontemporer, tapi jalan keluar yang ditawarkannya berbeda. Gita masih menawarkan bumbu optimistik lewat jalur-jalur seperti patriotisme dan supremasi hukum, sementara Bas tidak seyakin itu dengan solusi yang berbau hegemonis. Bas bahkan mengeluarkan kata “leap of faith”, istilah yang biasa diasosiasikan dengan filsuf eksistensialis Denmark, Søren Kierkegaard. Leap of faith diartikan sebagai “lompatan iman”, yang didorong bukan karena pengetahuan terhadap sesuatu, tapi justru ketidaktahuan. Bas seolah hendak mengatakan: “saya bermusik sebagai lompatan iman, karena saya tidak tahu apakah musik saya ini bisa mengubah keadaan atau tidak.”

Baca Juga:  Sungai yang Tak Kehilangan Hantu-hantunya

Kita tidak tahu persis referensi apa yang dibaca dan dikonsumsi bas. Apakah ia benar-benar membaca Kierkegaard atau tidak, kita tidak punya informasi persis mengenai itu. Namun, melihat caranya berpikir, berpendapat, termasuk menulis lirik, agaknya sukar untuk tidak dikatakan bahwa Hindia sama sekali steril dari pengaruh filsafat, sedikitnya nihilisme, eksistensialisme dan marxisme.

Bas tampak begitu muram melihat dunia, tetapi nyatanya, ia tidak sekadar nyinyir, melainkan cukup melandasi kemuakannya dengan argumen yang lumayan. Eksistensialisme ia pakai untuk menyasar problem paling mendasar dari kehidupan manusia seperti cinta, tragedi, kematian, dan relasi. Bekal itulah yang membuat lirik Hindia menjadi sering relate dengan permasalahan anak muda. 

Nuansa marxisme bisa terdengar dalam potongan lirik lainnya seperti dalam judul “Selebrisik:” “Kamu hanya target pasar/ produk jualan korporasi jemput antar.” Tentu Marx tidak persis mengatakan demikian, tapi poinnya, Bas tidak hanya sedang bicara problem individual, tapi juga masalah struktural. Dugaan ini kemudian tervalidasi dalam beberapa wawancaranya. Bas tidak hanya mengafirmasi curhat pribadi, tapi juga mengkritik problem struktural dan hegemoni. Ia tampak kesal dengan posisi generasinya yang serba salah, salah satunya akibat kuasa sebagian orang yang begitu menggurita. 

Bas seolah hendak mengatakan, bahwa generasinya berada di posisi yang sukar untuk berpikiran positif dan bersikap optimistik karena hal-hal semacam itu hanyalah menjadi candu. Harapan palsu. Perhatikan liriknya lagi-lagi dalam “Janji Palsu:” “Yang berkata semua indah pada waktunya/ Kau tahu hidup ini tak ada artinya.” Dalam potongan lirik tersebut, Bas tengah menertawakan sikap motivasional. Karenanya, lewat Hindia bisa jadi bas tengah menawarkan demotivasi, tidak hanya dari posisi personalnya, tapi juga mewakili generasinya. 

Di akhir tahun 1990-an hingga memasuki tahun 2000-an, negeri kita, dan juga seluruh dunia, memang tengah dibanjiri paradigma motivasional dan self help. Di Indonesia, gagasan tersebut mengalir deras lewat booming-nya acara motivator Mario Teguh dan juga buku terjemahan The Secret-nya Rhonda Byrnes. 

Masyarakat kita mengalami inflasi motivasi, seolah-olah banyak persoalan bisa diselesaikan lewat kekuatan pikiran dan pengembangan diri. Banyak orang kemudian lupa, bahwa kekuatan pikiran saja tidak cukup. Orang-orang sukses bisa menjadi sukses karena juga punya modal awal, privilese, dan kenalan orang dalam. 

Alhasil, konsep motivasi dan self help digunakan sebagai senjata untuk menyalahkan individu: “Ya kamu sih gak berpikiran maju, wajar kalau tetap miskin.” Konsep motivasi dan self help ini mengabaikan problem struktural: sehebat apapun orang berpikiran positif, kalau ia dimiskinkan secara sistemik, maka hidupnya takkan berubah menjadi makmur. 

Rupanya kesadaran semacam ini mulai timbul terutama di generasi milenial akhir dan gen-Z, yang merasa bahwa mereka hanya mendapat “limbah” dari semangat generasi di atasnya. Paradigma penuh motivasi dari katakanlah, kalangan baby boomers, telah menjadikan Bas dan orang-orang sezamannya sebagai korban. Mereka menjadi kekurangan kesempatan dan hidup dalam bayang-bayang penguasaan lahan yang telah dicaplok oleh orang-orang tua. 

Pada titik ini, sikap demotivasional tampak lebih realistis dan menghibur, ketimbang mengandalkan hidup pada semangat yang semu.

Ada semacam kesenangan tersendiri (jouissance) juga kejernihan cara pandang ketika melihat kondisi carut-marutnya dunia dari kacamata berbeda. Bak menjalani hidup slogan 3H (Hadeuh, Hadeuh, Hadeuh) sambil berdansa, dan mengamini dengan gembira sticker meme di WhatsApp Group bertuliskan “Jangan Semangat, Tetaplah Putus Asa.”

Baca Juga:  Papua di Depan Mata

Tak pelak, hal tersebut membuat LHAB menempati posisi penting di lanskap musik independen kita era pascaCovid-19. Sebagai proyek prestisius, ia hadir sebagai pencapaian baru baik di tingkatan etika yang menawarkan kontra-nilai melawan konsensus dan kandungan estetika yang berbeda dengan rilisan-rilisan karya para musisi seangkatannya.

Kritik Atas Narasi LHAB

Narasi apokalip berwujud bait puisi, tembang, hingga kisah rakyat yang mengabarkan tanda-tanda akhir zaman seperti yang termaktub dalam LHAB sebetulnya bukanlah hal yang baru. 

Pelacakan sejarah Nusantara menunjukkan di abad 11, Prabu Jayabaya sudah bernubuat akan muncul zaman Kalabendhu (carut-marut) di masa depan pasca runtuhnya kerajaan Kediri. Yang kemudian disitir pujangga Kasunanan Surakarta bernama Ronggowarsito lewat ramalan akan hadirnya zaman edan kala bangkrutnya masyarakat di bawah penjajahan Hindia Belanda, dan kepercayaan akan datangnya Ratu Adil sebagai mesias sang Juru Selamat.

Bedanya, LHAB hadir dengan meminjam simbol dan isu yang sama namun kontra-narasi lewat posisi yang berseberangan dalam memandang solusi krisis akhir zaman. Sebab alih-alih mengabarkan jalan keselamatan modernitas lewat pengharapan yang baik ala Sunan Kalijaga atau false positivisme-nya Badai Pasti Berlalu, Hindia dengan agresif dan berbahagia mengabarkan kekalahan generasi hari ini atas krisis multidimensi. 

Lewat penerimaan kita akan kondisi kekinian yang nihilis, penguatan eksistensialisme dan sikap demotivasi sebagai jalan keluar, Hindia sejatinya tengah mengajarkan pendengarnya untuk berani merayakan kiamat tanpa kehadiran juru selamat.

Dalam rangka inilah kami menilai LHAB memuat sejumlah paradoks. Pertama, terlepas dari apakah bumi kini benar-benar berada di akhir zaman sesuai ramalan, LHAB justru tengah ambil peran menyebarluaskan narasi masa lalu yang hendak dihancurkannya sendiri. Sebab menyamakan krisis multidimensi kekinian dengan kondisi akhir zaman Kalabendhu ala Jayabaya hanya akan menciptakan kebenaran palsu (baca: mitos) yang baru.

Kedua, meski belum ada bukti kuat bagaimana filsafat Nietzsche menginspirasi kekejaman Nazi, namun sejarah dunia sudah terlanjur mencatat trauma besar melanda Eropa karena pengaruh nihilisme aktif yang dianut Hitler. Tanpa mengabaikan kontribusi gagasannya dalam mengubah wajah dunia yang kita kenal hari ini, paham nihilisme tidak membawa kita kemana-mana karena sifat imanennya yang non-posisi. Dan dalam konteks LHAB, menawarkan nihilisme sebagai solusi sama saja dengan melawan trauma dengan menciptakan trauma baru.

Ketiga, kuatnya tawaran eksistensialisme dalam LHAB yang memandang manusia sebagai entitas bebas dalam menciptakan makna hidupnya sendiri, tampak kontradiktif. Sebab kalau hidup ini benar tak ada artinya dan kita bebas mengarang maknanya seorang, maka bagaimana bisa kita membangun konsensus untuk kemaslahatan bersama, semisal mengatasi krisis karbon? 

Pasalnya dalih argumentasi yang sama jugalah yang dipakai para pendukung modernisme dalam mencapai kebebasan ekonomi dan politik, memicu banyak pihak berbuat sewenang-wenang untuk kepentingannya sendiri dan kelak mewariskan krisis multidimensi yg awalnya dikritik oleh LHAB sendiri.

Analisis TeksAnalisis MusikalLHAB memiliki dua mood utama, yakni aggressive dan happy
Analisis SemantikLHAB memiliki sebaran topik dari ekses teknologi, social relationship, inflasi, personal dan mental health, krisis iklim hingga oligarki
Analisis SemiotikLHAB menggunakan format skit untuk melancarkan pesan-pesannya tentang krisis multidimensi, yakni Krisis Ekonomi, Krisis Teknologi, Krisis Politik, dan Krisis Alam, serta meminjam simbol-simbol apokaliptik lewat narasi malaikat dan peristiwa kiamat
Analisis Produksi TeksLHAB digarap dengan metode kreatif yang luwes di bawah kontrol penuh Bas
Analisis KonteksLewat sikap demotivasi, LHAB menawarkan nihilisme dan eksistensialisme sebagai jalan keluar menghadapi krisis multidimensi

Dus, ketiga paradoks di atas tak hanya membuktikan bagaimana Hindia terjebak dalam misleading di tataran ideologis, tapi sekaligus juga meruntuhkan bangunan argumentasi LHAB itu sendiri yang digadang-gadang menolak makna dan nilai-nilai yang umumnya diterima dalam masyarakat.

Karenanya menerima demotivasi sebagai sikap hidup otentik seperti yang ditawarkan LHAB, hanya akan memunculkan generasi mati rasa yang stagnan dan bibit-bibit individualisme baru yang hidup dalam The Reality Bubble-nya masing-masing. 

Baca Juga:  Melukis Nada dan Lirik Bersama Andra Semesta

Penutup: Lagipula Esai Akan Berakhir

Saat penutup esai ini ditulis, Indeks Kualitas (AQI) dan polusi udara di Jakarta tengah menyentuh skor PM2.5 dengan AQI US di kisaran 113. Skor ini ditandai sebagai Tidak Sehat Bagi Kelompok Sensitif dan berada pada level 8 kali di atas nilai panduan kualitas udara tahunan WHO.

Data serius ini memang tidak main-main, karena polusi udara PM2.5 berukuran kecil untuk dapat tetap melayang di udara dalam waktu yang lama dan bisa diserap jauh ke dalam aliran darah saat terhirup. Pakar kesehatan menyebutkan hal ini merupakan ancaman kesehatan terbesar di dunia. 

Dalam konteks global, setahun terakhir ini kita disuguhkan rangkaian laporan serupa mulai dari kenaikan suhu memicu kebakaran hutan yang mengerikan di Australia, banjir besar wilayah Israel, serta badai di sepanjang Pantai Teluk di Amerika Serikat. 

“Setiap malam di jaringan berita seperti menjelajahi alam melalui Kitab Wahyu,” demikian komentar Mantan Wakil Presiden Al Gore yang dikenal gencar berbicara mengenai masalah perubahan iklim menanggapi tren yang makin tahun makin meningkat eskalasinya.

Komentar ini bukan tanpa sebab, jika kita menilik pada berbagai kepercayaan di banyak budaya, prediksi akhir zaman selalu ditandai dengan kondisi luar biasa yang mengarah pada perubahan iklim. Mulai dari tradisi Hindu yang memercayai kiamat dimulai dengan kekeringan selama satu abad lamanya, tradisi Eropa yang menyatakan dunia akan berakhir dengan musim dingin yang parah, hingga suku Aztec yang memercayai bahwa dunia telah beberapa kali berakhir karena kebakaran, banjir, dan angin topan. 

Dan bentuk mitos yang paling umum terutama dalam kepercayaan agama Samawi adalah mitos banjir bandang saat Tuhan membanjiri bumi untuk menghukum umat manusia atas dosa-dosanya, dan mereka memilih segelintir orang yang selamat untuk mengisi kembali bumi setelah air bah surut.

Belajar dari temuan-temuan di LHAB yang paradoks, per hari ini kita justru hendak memandang kondisi global ini sebagai tantangan baru dalam mengatasi krisis karbon, alih-alih menerimanya sebagai ramalan akhir zaman yang secara cocoklogi kini terbukti kebenarannya. 

Sebab jika makin banyak masyarakat yang percaya bahwa kekacauan iklim hari ini menandakan dunia yang akan segera berakhir, kita mungkin akan dengan mudah menyerah dan pesimis pada hal-hal strategis yang perlu dilakukan untuk menghindari bencana global. Ironisnya, hal tersebut justru membuat prediksi apokaliptik akan menjadi kenyataan dalam waktu tak lama lagi dari sekarang.

VolatileThe environment demands you react quickly to ongoing changes that are unpredictable and out of your control
UncertainThe environment requires you to take action without certainty
ComplexThe environment is dynamic, with many interdependencies
AmbigousThe environment is unfamiliar, outside of your experties

Karenanya sebagai ujung kesimpulan, lewat penutup esai ini kami hendak mengajukan sebuah gagasan tentang dunia VUCA sebagai pengganti mitos masa lalu tentang nubuat kondisi akhir zaman.

Meminjam istilah militer yang biasa digunakan dalam medan peperangan, dunia VUCA itu sendiri adalah cerminan dunia yang kita hidupi sekarang ketika perubahan terjadi sangat cepat, tidak terduga, dipengaruhi oleh banyak faktor yang sulit dikontrol, sehingga kebenaran serta realitas menjadi sangat subyektif.

Menghadapi VUCA world yang matched dengan kondisi hari ini memang tak perlu menunggu sang juru selamat datang, meski tak akan cukup taji jika dijalani hanya dengan nihilisme dan demotivasi. 

Sebab yang kita butuhkan saat ini adalah melatih diri kita menjadi aktor individual-environmentalist yang mampu menyembuhkan trauma diri sendiri dengan terus membangun komunikasi asertif, melihat jernih pentingnya hidup komunal untuk terus berjejaring, dan menciptakan  etos-etos dan metodologi hidup baru yang lebih agile daripada generasi-generasi sebelumnya.

Selesai.

Bagian 1 tulisan ini dapat dibaca di tautan berikut.

Bagian 2 tulisan ini dapat dibaca di tautan berikut.

***

Tim Liputan LHAB Hindia:

Pry S. Jurnalis lepas dan programmer paruh waktu. Kini tinggal dan bekerja di Jakarta


Chasya Clementine. Pelajar di SMA Kairos Gracia. Gemar menulis abstrak untuk lagu-lagu atau album yang sedang ia dengarkan. Ia juga gemar menggambar dan mengilustrasi serta membuat banyak kerajinan tangan, mempunyai minat lebih di bidang kreatif. Beberapa karyanya bisa dilihat di profil instagramnya, @intrevald, dan akun khusus untuk ia menulis, @meliodya


Syarif Maulana, penulis dan pengajar di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan; mahasiswa doktor di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara; dan inisiator kelas belajar filsafat Kelas Isolasi. Menulis buku tiga seri Kumpulan Kalimat Demotivasi (2020 – 2022) dan Seni Berfilsafat Bersama Anak (2023), tulisan-tulisannya dapat dibaca di pophariini.com, indoprogress.com, jurno.id, antinomi.org dan syarifmaulana.id.


Anto Arief. Pemimpin redaksi pophariini. Suka membaca tentang musik dan subkultur anak muda. Pernah bermain gitar untuk Tulus nyaris sewindu, pernah juga bernyanyi/bermain gitar untuk 70sOC.


Editor:

aris setyawan

Aris Setyawan. Etnomusikolog dan musisi. Editor Serunai.

Related posts

Demotivasi Hindia Album Kedua: Merayakan Kiamat Tanpa Juru Selamat (Bagian 1)

Tim Liputan LHAB

Sungai yang Tak Kehilangan Hantu-hantunya

Wiman Rizkidarajat

Papua di Depan Mata

Hermitianta Putra

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy