Tentang Barisan Nisan [20th Anniversary Revisited] karya Homicide, Neoliberalisme, dan kemungkinan membuat metode perlawanan baru.
“Setelah 20 tahun saya bisa menyimpulkan, tahun-tahun sesudahnya justru sama gelap dan depresifnya (jika tak bisa disebut lebih) dibanding era Orde Baru. (Herry Sutresna dalam Epilog Homicide vs Orde Baru)”
Ketika album Homicide, Barisan Nisan [20th Anniversary Revisited] dirilis, yang juga bertepatan dengan kematian Cak Munir, saya bergegas melihat kembali epilog yang pernah ditulis Herry “Ucok” Sutresna di buku Homicide vs Orde Baru. Ketika pertama kali tulisan tersebut dikirimkannya melalui surel, saya hanya menganggapnya sebagai kritik untuk tulisan saya. Ternyata intuisi Herry Sutresna lebih tajam untuk usianya, negara semakin lebih brutal kepada rakyat. Yang perlu saya akui adalah lirik-lirik Homicide dapat terus relevan melampaui waktu dan zamannya, hingga kini.
Lirik-lirik Homicide mengalami sedikit perubahan di beberapa treknya. Itu bisa Anda dengarkan sendiri pada trek-trek apa saja yang mengalami perubahan. Seolah Homicide ingin menyesuaikan dirinya dengan zaman. Selain itu album “peninjauan kembali” Barisan Nisan semakin menguatkan pendengar bahwa akan ada “kabut” yang lebih tebal di depan. Sehingga setiap treknya adalah “cara” Homicide mewartakan analisis sekaligus anti-tesisnya. Di samping liriknya yang demikian, perubahan signifikan juga terjadi pada seluruh beat dan ad-lib di dalam trek. Beat yang lebih suram, penuh amarah sekaligus membuat para pendengarnya muram dan terdesak di pojokan tembok kekuasaan. Namun, kita perlu keluar dari kerangka lirik dan beat yang metaforistik untuk dapat memahami apa yang sedang dibicarakan oleh Homicide.
Dunia sedang mengalami kehancurannya, mungkin ada benarnya dari apa yang disampaikan oleh Faris Dzaki di artikelnya mengenai Distopia yang diterbitkan Narasi. Kita bisa melihatnya dari rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia pada 2024 menurut OECD hanya sebesar 3,07%. Sementara negara-negara di Eropa dan Amerika pertumbuhan ekonominya tidak lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia. Sementara negara seperti China (4,94%), Indonesia (5,08%), dan India (6,59%) berhasil melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia. Mengapa tiga negara ini berhasil melakukannya?
Neoliberalisme yang dibicarakan di dalam album Barisan Nisan [20th Anniversary Revisited] milik Homicide lebih liar daripada jika kita hanya mengaitkan dengan neoliberalisme di zaman Orde Baru. Data dari Bank Dunia menyebutkan bahwa Indonesia negara tertinggi kedua dalam hal pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri yang nilainya lebih dari $50 triliun berubah menjadi banyak macamnya di Indonesia. Bisnis utang ini juga menjerat rakyat melalui KUR dan utang lunak lainnya.
Belum lagi jebakan utang China yang sulit terlacak karena tidak boleh dipublikasikan ke publik sebagai salah satu klausul kontraknya. Namun, salah satunya adalah proyek kereta cepat Bandung–Jakarta. Di samping itu China juga memiliki sekitar $30 juta surat utang dari berbagai negara seperti Brasil, Indonesia, Malaysia, Meksiko, Polandia, dan Afrika Selatan. Ekspor kapital dari negara-negara Imperialisme adalah satu kenyataan di dalam APBN negara kita.
Kini dana-dana segar tersebut telah menjelma menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN). Ditambah lagi watak korup dari negara melalui institusinya justru menambah kesengsaraan rakyat. Menurut PPATK setidaknya 36,81% dari total dana PSN “dimakan” PNS dan Politisi, dana tersebut masuk ke rekening-rekening subkontraktor. Foya-foya atas rekening kotor itu bisa kita saksikan dari hasil setiap tangkapan-tangkapan yang dilakukan oleh KPK dari nilai yang terkecil hingga yang fantastis dan juga kelakuan anggota keluarga oligarki yang semakin biadab.
Belum lagi porsi anggaran pembangunan IKN diperkirakan menghabiskan dana sekitar Rp 466 triliun. Artinya negara ini sedang tidak berfokus kepada rakyatnya, melainkan memudahkan investasi masuk untuk mengakomodir para oligarki. Lantas apakah rakyat tidak mendapatkan apa pun selain utang lunak dari proses kapital tersebut?
Rakyat akan “mendapatkan” polisi yang semakin kuat, termasuk militer, pemangkasan dana kesehatan dan pendidikan, bantuan sosial tambahan seperti makan siang gratis. Namun, sebenarnya bukan makan siang gratis yang benar-benar gratis. Fasilitas kesehatan yang disamaratakan setara kelas 3 bagi peserta BPJS, potongan Tapera, potongan untuk dana pensiun, penentuan harga BBM melalui mekanisme pasar, PPn naik menjadi 12%, adanya potongan THR, asuransi kendaraan bermotor bernama TPL (Third Party Liability), dan cukai naik 5% dari tarif sebelumnya. Semua beban-beban itu ada di pundak rakyat.
Bahkan sejumlah 9,48 juta kelas menengah turun kelas menjadi miskin atau rentan miskin. Ini belum seberapa, masih ada konflik agraria yang jumlahnya ribuan yang merampas jutaan tanah rakyat, jutaan buruh terkena PHK massal yang sampai sekarang belum terselesaikan, apalagi tindakan HAM berat negara terhadap rakyat, hingga nyaris 10 juta Gen Z di Indonesia pengangguran.
Melihat besarnya utang dan komposisi dari anggaran setiap kementerian, ditambah dengan konteks situasi ekonomi-politik-sosial yang sedang terjadi merupakan gejala-gejala kebijakan pengetatan (austerity policy). Kebijakan pengetatan ini biasanya karena posisi negara yang terdesak oleh rentan atau bahkan krisis sekalipun. Pengurangan anggaran sosial-budaya hingga pungutan negara yang lebih sering dan tinggi dari biasanya. Adanya penguatan di sisi keamanan karena situasi kapital yang sedang lemah. Ditambah situasi pergantian rezim biasanya membutuhkan biaya besar untuk melakukan “rekonsolidasi” di antara para oligarki.
Homicide memberikan respons dengan Barisan Nisan-nya, melalui artwork yang betul-betul menjelaskan ada monster yang siap menguburmu, akan banyak tanah yang berubah menjadi kuburan rakyat dengan nisan lebih banyak tersorot daripada artwork Barisan Nisan sebelumnya, ada juga serupa siluet jelaga asap di samping kanan dan kiri monster yang seolah ingin menceritakan “keberadaan industri ekstraksi yang merusak lingkungan-sosial-budaya-politik-ekonomi”.
Menggali Kembali “10 Nisan” di Barisan Nisan
Di suatu diskusi Ucok Homicide pernah menyampaikan bahwa seluruh isi Barisan Nisan merupakan sebuah jurnal atau catatan perjalanannya, yang sebenarnya hanya dikonsumi oleh dirinya ataupun teman-teman terdekatnya. Nyatanya, Homicide telah melampaui kondisi tersebut sejak seluruh rekamannya telah berhasil dinikmati pendengarnya.
Jika meminjam pandangan Pierre Bourdieu, Homicide merupakan agen yang telah berhasil menghasilkan produk kebudayaannya sendiri. Lebih jauh lagi, pada situasi seperti itu produk kebudayaan tidak lepas dari situasi pengalaman subjek. Tidak seperti gagasan para Kantian yang meletakkan produk kebudayaan sebagai sesuatu universal dan ideologi otonomi artistik budaya merupakan faktor eksternal. Padahal seluruh karya dapat dipastikan hasil dari kristalisasi pengalaman, dalam bahasa Bourdieu sebagai habitus, berisikan berbagai macam modal.
Modal ini dapat berupa modal simbolik, modal ekonomi, maupun modal pengetahuan. Homicide di awal adalah grup yang tertatih-tatih merangkai lirik rap berbahasa Indonesia, ini menurut Ucok Homicide. Homicide sebagai sekawanan karib yang besar di era 80-an, mereka tidak memiliki referensi tentang rap Indonesia, dengan otodidak mempelajarinya, ditambah berjalan bersamaan mengenal konsep-konsep kritis melalui gerakan rakyat pada waktu itu (baca: Partai Rakyat Demokratik alias PRD).
Meski liriknya baru selesai direkam pascaOrde Baru runtuh, tetapi liriknya tidak dapat dibendung selama kondisi sosial-ekonomi-politik-kebudayaan masih tetap sama, lirik-lirik Homicide masih terus relevan selama ia dapat direlevankan. Begitulah dahsyatnya sebuah produk kebudayaan yang tidak pernah terlepas dari kondisi di luar teks tersebut.
Brutalitas negara, situasi ekonomi dan politik yang akan dialami rakyat merupakan sebuah kepastian sejak negara ini menaruh fondasi Neo-liberalisme ketika disahkannya UU Penanaman Modal Asing. Kini kita menghadapi hal yang sama manakala UU Cipta Kerja menjadi suatu kekuatan hukum untuk memperlancar “sembelit” dari arus investasi.
Proyek Strategis Nasional (PSN) digenjot paksa habis-habisan demi sebuah “peningkatan ekonomi”. Di Brebes, Jawa Tengah salah satunya, kita semua akan melihat proyek industrialisasi terbesar bahkan lebih besar dari kawasan industri sebelumnya di Cikarang. Sawah-sawah akan dipangkas berganti beton-beton, begitu pula dengan tanah adat di Fakfak, Papua Barat. Di sana proyek pabrik pupuk akan “menelan” berhektare-hektare tanah adat. Rencananya justru di Fakfak tersebut, masyarakat sekitarnya hanya menjadi pekerja-pekerja non-strategis. Padahal tanah sebagai akar ekonomi, sosial, dan budaya suatu masyarakat dicaplok dan mereka sebagai adat akan kehilangan asalnya.
Ketika kalian mendengarkan kembali Barisan Nisan [20th Anniversary Revisited] karya Homicide sambil membaca berita situasi kita hari ini di Indonesia, seperti itulah kegelapan kematian masyarakat saat tubuhnya ada di bawah gundukan tanah. Mungkin jika boleh ditulis pada nisan Homicide kurang lebih begini; “di sini telah disemayamkan seluruh rakyat Indonesia karena negara…”. Anda bisa isi sendiri penyebab negara dengan apa yang kalian alami. Anda tak perlu tanya apa yang negara berikan, karena negara hanya bisa memberikan kenestapaan.
Menerima segala apa yang terjadi akan berimbas seperti yang disampaikan Homicide dalam track-nya yang berjudul “Wicirna Sahana.” Pengambilan judul yang sangat tepat, dengan arti kurang lebih “dikirim ke lembah sirna”. Ignasius Jaques Juru dalam tulisannya yang berjudul “Radikalisasi Pluralisme sebagai Usaha Pengarusutamaan Politik Agonistik,” menjelaskan bahwa asal-usul istilah tersebut diambil dari kitab Jawa Kuno Nagarakertagama. Arti bebasnya adalah suatu kondisi ketika tidak tunduk pada perintah maka perlu untuk dibumihanguskan.
Setidaknya liriknya memperlihatkan bagaimana kehancuran dan kematian perlawanan yang dimaksud Homicide. Perlawanan akan dihadapkan dengan reaksi para “pembela pundi-pundi menjadikan wajah-wajah yang berkosmetikkan luka dari popor senapan.” Di sisi lain bagaimana jika tidak melawan? Tentu saja anda dapat baca di dalam setiap rima yang ditawarkan Homicide.
Lantas apa yang akan terjadi lima tahun ke depan pascapemilu dengan terpilihnya Prabowo-Gibran? Yang jelas tidak mungkin hidup rakyat semakin membaik. Bisa jadi apa yang disampaikan oleh Homicide benar akan terjadi atau bahkan dapat lebih buruk dari yang mereka kira.
Homicide di beberapa atau salah satu liriknya juga menawarkan kritik terhadap metode perlawanan yang tersentral. Perlawanan yang semacam itu hanya menghasilkan cara yang tidak efektif untuk menumbangkan berbagai berhala yang disebutkan oleh Homicide.
Jika negara hari ini adalah negara yang telah menerapkan desentralisasi di tubuhnya, maka perlawanan juga perlu beradaptasi. Mengaktifkan kemarahan-kemarahan rakyat dari tempat dan konteks konfliknya masing-masing juga penting. Perkara kemudian menjadi satu aliansi rakyat besar adalah persoalan lain. Setidaknya setiap individu perlu menumbuhkan kesadaran melawan, menyebarkannya ke kawan sekitar di kanan-kirinya. Tidak ada cara lain, tidak ada cara kompromistis, apalagi berusaha mengubahnya dari dalam. Itu semua hanya omong kosong dari para aktivis sebelumnya yang direpresentasikan Homicide dalam perwujudan “sejak mulut Faisol Reza sudah sefasis pedang para GPK.”
Penulis: Biko Nabih Fikri Zufar
Editor: Aris Setyawan