Terima kasih, Ben K. C. Laksana, jika bukan karenamu, maka tulisan ini tak akan pernah terbuat. Pun terima kasih untuk hara dan frau alias Rara dan Lani yang membuka kesempatan kolaborasi seumur hidup. Inilah sebentuk kolaborasi dariku, respons atas lagu “Kabut Putih”.
Tak pernah terbayang sebelumnya jika “Kabut Putih” diinterpretasikan ulang oleh hara—nama panggung Rara Sekar—dan frau—nama panggung Leilani Hermiasih. Pasalnya lagu “Kabut Putih” ciptaan Ibu Zubaidah Nungtjik A.R. lima puluh tiga tahun silam ini, sudah begitu kuat ketika dinyanyikan oleh Paduan Suara Dialita. Pun maknanya mendalam, sembari mendengar seraya tenggelam. Padanan teknik unisono di beberapa bagian dan harmoni di bagian lainnya, telah berhasil menjalin kesan akan daya hidup walau dalam kabut putih sekalipun. Persis dengan bagaimana padanan lirik metaforis yang digambarkan Ibu Nungtjik di Plantungan akan bagaimana mereka bertahan, enggan tunduk, apalagi terpuruk.
Namun, ada perasaan yang berbeda ketika hara dan frau memperdengarkan “Kabut Putih” garapan mereka. Di mana bunyi-bunyi yang dipadu membawa kita ke dalam ruang haru. Padanan bunyi yang dipilih bak menyiratkan harap yang berlipat. Menyuarakan lagi daya tahan pada keadaan yang tak sepadan, menyuarakan kembali daya hidup yang penuh juang walau ‘dibuang’. Pun bagi saya tak berhenti sampai di situ, karena melalui garapan ini, hara dan frau turut menyisipi daya yang tak kalah penting, daya tumbuh.
***
Adalah 6 Oktober 2024, pukul 15.00 WIB sebagai waktu terjanji atas sebuah presentasi yang bertajuk sesi dengar: “Kabut Putih”, garapan dari hara dan frau. Sesi dengar ini digelar melalui Zoom, mengingat frau berada di Indonesia dan hara berada di Selandia Baru. Pun saya mensyukurinya, karena ruang daring turut memungkinkan siapa pun dan di mana pun untuk ikut serta, semisal saya yang berada di Melbourne, Australia.
Tidak hanya itu, momen sesi dengar ini menjadi menarik, karena turut mengajak pegiat seni dari pelbagai bidang untuk meresponsnya. Alhasil akan banyak sudut pandang dalam menyerap interpretasi terbaru lagu “Kabut Putih” ini. Yang lebih spesial, momen sesi dengar ini turut disaksikan langsung oleh Paduan Suara Dialita dan perwakilan dari ibu Nungtjik selaku pengarang lagu. Utuh rasanya!
Alih-alih terasa asing, sesi dengar ini justru terasa intim. Ibu-ibu Dialita dengan ekspresif saling bertukar kabar dengan hara, frau, serta partisipan lainnya. Pun hara dan frau menodong partisipan yang datang untuk juga menceritakan pengalaman singkat mereka akan Dialita. Sungguh menyenangkan dapat berinteraksi langsung dengan penggarap lagu “Kabut Putih” lintas generasi, dari Dialita hingga hara dan frau.
Tak menunggu lama, “Kabut Putih” diperdengarkan. Sambil terpejam mata saya mendengarkan. Saya tertegun, sudah sedari detik-detik awal. Terus terang saya telah mendengarkan lagu tersebut versi Dialita, sehingga memori atasnya—dari bagaimana dinyanyikan, hingga jenis alunan—terngiang di kepala. Sedangkan ketika mendengarkan garapan hara x frau, aransemennya terdengar begitu berbeda, tetapi uniknya masih menyiratkan emosi yang sama.
Saya tidak tahu pasti nama jenis suara apa yang hara dan frau pilih sebagai layer dasar pada intro lagu, tetapi dari bunyinya seperti gumaman, terkesan mencekam, memberi kesan dingin, asam, bak dalam kabut yang pekat. Di antaranya terdengar bunyi yang bersambut laiknya sebuah bel, “kling, kling, kling”, macam vibraphone, xylophone, atau glockenspiel. Nada tersebut seraya secercah cahaya yang bersusulan menembus pekatnya kabut putih, laiknya nuansa harap yang memberi hangat dalam dingin dan asingnya Plantungan.
Kemudian, suara hara dan frau saling bersambut menyanyikannya. Hal yang menarik, mereka ternyata tidak melakukan transpose nada, melainkan tetap mempertahankan pemilihan nada yang digunakan Paduan Suara Dialita. Kendati memiliki pemilihan nada yang tinggi—hara dan frau mengakuinya—, mengubahnya tentu bukan jalan keluar. Karena bagi hara dan frau, hal itu justru akan mengurangi rasa di dalam lagu. Pun benar adanya, karena dengan tetap menyanyikan di nada tinggi, mereka tidak hanya menjaga rasa, tetapi juga berhasil menebalkan kekhusyukan lagu.
Selain itu, bagi saya menarik ketika hara dan frau menyisipkan beberapa bagian senandung di bagian interlude dan ending lagu. Di mana pada versi Paduan Suara Dialita, bagian-bagian itu diisi dengan biola. Maka, senandung mereka berdua, yang lirih dan mengalun menambah kedalaman emosi di dalam lagu. Di titik ini jugalah emosi sekejap memuncak, setelah barisan lirik syahdu dilantunkan. Selaku pendengar, saya bak didekap dalam pelukan haru, buncah yang segera tuntas. Di sisi yang sama, kata magis terucap yang tak lama disusul dengan bulir air yang menepi di pelupuk mata.
Jujur saja, Saya hampir menyebut lagu ini menjadi milik mereka. Namun, anggapan tersebut segera urung tak lama setelahnya, ketika mereka justru turut menyematkan rekaman ibu-ibu Dialita yang agaknya bertemu dengan Ibu Titi Kamariah Subronto K. Atmodjo, Pendiri & Ketua Ansambel Tari dan Nyanyi Gembira. Yang saya ingat, begini percakapannya, “Ini dari teman-teman Dialita, juga ini hadiah ulang tahun buat tante, karena tak bisa datang. Ini tanda kasih ya tante, selalu ingat tante panutan”, mereka menutupnya dengan tawa. Tertanam rasa suka dan bahagia.
Di saat yang sama, sekejap saya membisu, kembali mempertanyakan apa esensi membawakan ulang lagu tertentu jika bukan soal berhasil ‘memilikinya’. Ternyata saya keliru, membawakan ulang lagu tidak sesederhana itu. Hara dan frau justru memilih untuk tidak membenamkan versi sebelumnya. Mereka justru menambah, menebalkan, melipatgandakan, sekaligus membersamai ibu-ibu Dialita dan ibu Nungtjik dalam menghidupkan lagu, “Kabut Putih”.
***
Sesi dengar “Kabut Putih” sungguh menjadi momen yang tak ternilai bagi saya. Pasalnya setelah mendengarkan lagu, saya berkesempatan mendengar langsung percakapan antara Hara, Frau, Ibu-ibu Dialita, dan cucu ibu Zubaidah. Mendengarkan mereka saling bertukar rasa melalui tanya dan sapa. Haru sekejap mendekap ketika ibu-ibu Dialita menanggapi lagu garapan baru ini dengan suka cita. Peluh air mata dengan suara bergetar kerap menghampiri di antaranya. Mereka saling memuji, entah melalui ucap ataupun senyum dan tangis haru. Suasana acap menjadi begitu hangat. Belum lagi ketika cucu Ibu Nungtjik, mengamini garapan hara dan frau dengan mengatakan, “mungkin suara nenek seperti suara Rara dan Lani, ya!” Bagi saya, di momen pertukaran itulah puncak haru menyelimuti kami.
Yang tak kalah menarik, hara dan frau turut mengajak semua untuk terlibat. Dinamainya “kesempatan kolaborasi seumur hidup”, sebagai ajakan tak terbatas dalam merespons (baca: membersamai) “Kabut Putih”. Menurut hemat saya, langkah ini menjadi sangat penting, karena ketika lagu ini menarasikan secercah harapan yang berlipat ganda, maka kesempatan kolaborasi ini menjadi ejawantah jika ia juga beresonansi dan tersebar. Ia melebarkan spektrum harap kabut putih, yang tidak hanya dimiliki segelintir orang saja, tetapi bisa ada pada saya, mungkin kamu, dan juga semua. Tak hanya itu, dari lagu ini saya menyemai pesan, di mana menjadikan karya “Kabut Putih” tumbuh bersama-sama, sebagaimana merawat asa ‘Untuk Dialita, kami selalu ingat’.
“Kabut Putih” gubahan hara dan frau dapat didengarkan di tautan berikut:
Penulis: Michael H.B. Raditya
Editor: Aris Setyawan