Tanpa disadari, perjalanan hidup saya bersama musik-musik Mandarin sejak kecil rupanya merefleksikan proses negosiasi identitas diri sebagai Tionghoa-Indonesia yang selalu berkembang seiring dinamika perubahan kebijakan dan rezim yang berkuasa.
Saya seketika terhenyak ketika seorang rekan yang juga pengelola situs ini, Aris Setyawan, melontarkan satu saja pertanyaan singkat. Sebutkan tiga musisi atau tiga album musik favoritmu!
Wah! Meski pertanyaan Aris sebetulnya sederhana, saya ragu sekali menjawab bahwa yang terasa familier dan masih nyantol dalam benak hampir semuanya musik-musik Mandarin seperti Jay Chou, Richie Ren, David Tao, JJ Lin, Jackie Cheung, Wang Lee Hom, Coco Lee, dan seterusnya – serta klasik/jazz fusion perpaduan musik tradisional Tiongkok yang disajikan dengan gaya kontemporer.
Ya, sebagai seorang Tionghoa generasi ketiga di Indonesia, itulah musik-musik yang menemani masa kecil dan remaja saya di Bandung. Papa-mama lebih sering memutar musik-musik dari era lebih lawas macam Teresa Teng atau Fei Yu-Ching melalui kaset atau stasiun radio Mandarin. Saya pun terpapar lagu-lagu tersebut lewat kaset, radio, juga tayangan soundtrack di televisi yang menampilkan drama seri Tiongkok seperti Siluman Ular Putih, Sun Go Kong, Justice Pao, The Return of the Condor Heroes, hingga karya-karya almarhum Qiong Yao seperti Putri Huan Zhu dan Kabut Cinta.
Patut diketahui bahwa zaman itu, era 1990-an, Suharto masih memberlakukan berbagai kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia meski sudah tidak se-saklek era sebelumnya. Kebijakan diskriminatif yang sangat rasialis ini sedikit-banyak berdampak pada kapasitas Tionghoa mengakses seni dan kebudayaan yang menjadi identitas etnisnya, termasuk musik.
Ketetapan MPRS No. 32/1966 tentang “Pembinaan Pers” melarang penggunaan aksara dan bahasa Tionghoa untuk media massa dan nama toko/perusahaan, kecuali surat kabar Harian Indonesia. Sementara itu, salah satu poin dalam Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang “Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina” menekankan larangan merayakan adat istiadat Tionghoa di muka umum.
Ketika itu, saya tentu belum menyadari kaitan kebijakan diskriminatif ini dengan keterkejutan yang saya rasakan di sekolah setelah menyaksikan fakta bahwa ternyata lagu-lagu Mandarin bukanlah lagu-lagu populer anak muda Indonesia yang lazim diudarakan di depan publik. Bersekolah di sekolah swasta yang mengusung asimilasi, lagu-lagu yang beken saat itu di kalangan teman-teman saya adalah boyband dan girlband Barat, serta pop-rock macam Linkin Park, Limp Bizkit, dan Avril Lavigne.
Pada suatu study tour, saya pernah ditertawakan beberapa teman hanya karena sama sekali tak pernah mendengar Linkin Park dan Limp Bizkit. Makin ditertawakan setelah saya mengaku terganggu dengan vokal keras berdistorsi yang terasa tak nyaman di telinga selama mendengarkan lagu-lagu tersebut. Dampak psikologisnya sangat dahsyat tanpa saya sadari. Saya merasa amat sangat terisolir, merasa tak berhasil “masuk” dengan mudah dalam pergaulan dengan rekan-rekan sebaya lainnya.
Tanpa saya sadari pula keminderan itu terbawa hingga kini, momen ketika Aris menanyakan siapa musisi favorit saya. Segera timbul rasa enggan menyebutkan nama-nama musisi Mandarin secara spontan karena saya khawatir ditertawakan atau dianggap nyleneh. Menurut seorang rekan psikolog, itulah yang dinamakan “trauma intergenerasional”, yang juga banyak dialami Tionghoa lainnya. Trauma intergenerasional ini terjadi juga di bidang lain dan bisa dialami siapa pun yang pernah jadi korban sejarah.
Dampak lain kebijakan diskriminatif Orde Ba(r)u yang juga baru saya ngeh belakangan terkait musik adalah banyak sekali Tionghoa, termasuk saya, sangat hafal di luar kepala menyanyikan lagu-lagu berlirik Mandarin tanpa memahami artinya. Banyak yang fasih menyanyikan lagu “Tong Hua” (童話) Michael Wong hanya dengan membaca pinyin atau sistem romanisasi resmi yang dipakai Tiongkok, Singapura, dan Taiwan – bukan karakter hanzi nan njlimet yang tak lagi dikuasai para Tionghoa.
Kelihaian warga Tionghoa-Indonesia menyanyikan lagu-lagu Mandarin sungguhlah luar biasa, terlepas dari nada pengucapan yang kadang kurang pas. Nada tinggi hingga rendah, datar hingga meliuk-liuk heboh, rasanya tak pernah jadi masalah sedikit pun. Di ruang-ruang karaoke publik maupun keluarga hingga kondangan-kondangan Chindo, pita suara Tionghoa mendadak menjelma native speaker. Namun, jika ditanya artinya, jawaban paling banter adalah gelengan atau senyuman.
Pengalaman demi pengalaman ini membuat saya terus bertanya-tanya apakah musik Mandarin yang didengarkan Tionghoa di Indonesia diimpor sepenuhnya dari Taiwan dan Tiongkok? Tak adakah musik Tionghoa peranakan yang eksis sedari dulu? Apakah musik khas Tionghoa tak pernah jadi arus utama dalam khazanah musik Indonesia? Bagaimana dengan para musisi Tionghoa? Adakah musisi Tionghoa yang beken di tanah air namun tak pernah ragu mengusung identitas Tionghoanya?
Sama sekali tak mudah menelusurinya karena saya bukan seorang musikolog atau sejarawan. Syukurlah rasa penasaran terjawab perlahan seiring waktu, meski jauh dari sempurna apalagi mendalam. Dari sisi instrumental, misalnya, alat musik gesek seperti tehyan, kongahyan dan sukong yang kerap digunakan dalam kesenian Gambang Kromong rupanya terinspirasi dari instrumen tradisional gesek Tiongkok–selaras dengan namanya yang memang terdengar sangat Mandarin.
Dari paparan peneliti sejarah jazz Alfred D. Ticoalu, saya pun baru sadar bahwa sejarah jazz tanah air tak bisa dilepaskan dari peran Tionghoa. Sejak awal hadirnya jazz di Hindia Belanda pada medio 1920an, Tionghoa aktif ambil bagian sebagai musisi, produser rekaman, bahkan jurnalis dan kritikus jazz. Tak hanya berkarya, mereka pun membidani lahirnya para musisi jazz legendaris sekaligus membuka pintu interaksi dengan jazz global. Beberapa nama yang bisa disebut antara lain Gouw Pak Hong, Harry Lim, Max Lim, Didi Chia, dan tentunya Chen Brothers (Teddy Chen, Nico Chen, Jopie Chen, Bubi Chen).
Tak kalah mencengangkan, sejarawan Didi Kwartanada mengungkap bahwa media pertama yang berani memuat lirik dan notasi lagu “Indonesia Raya” hanya selang dua minggu setelah berakhirnya Kongres Pemuda II adalah Sin Po, media mingguan Melayu Tionghoa. Keputusan Sin Po mencetak versi lengkap lagu kebangsaan ini terbilang sangat berani karena berisiko dipandang sebagai tindak subversif – yang akhirnya benar-benar terjadi ketika Sin Po ditegur intel Belanda lewat telepon.
Masih terkait sejarah lagu kebangsaan, seorang Tionghoa bernama Yo Kim Tjan ternyata memegang piringan hitam rekaman lagu Indonesia Raya versi paling awal yakni tahun 1927, atau setahun sebelum Sumpah Pemuda II.
Yo Kim Tjan adalah sahabat W.R. Soepratman. Kala itu, Soepratman bekerja paruh waktu sebagai pemain biola di Orkes Populair yang tak lain dipimpin oleh Yo Kim Tjan sendiri. Selain memimpin orkes, Yo Kim Tjan juga memiliki perusahaan rekaman di Batavia. Tahun 1927, Soepratman menghubungi Yo Kim Tjan untuk merekam versi paling awal lagu Indonesia Raya yang ia ciptakan.
Hanya Yo Kim Tjan yang berani memenuhi permintaan Soepratman karena perusahaan rekaman lainnya takut diciduk Belanda yang saat itu sudah gencar mengendus gerakan bawah tanah pemuda-pemudi Indonesia. Yo Kim Tjan usul supaya rekaman dibuat dalam dua versi yakni versi asli yang dinyanyikan Soepratman sambil memainkan biola dan versi irama keroncong yang tak banyak diketahui masyarakat. Soepratman lantas memberi amanah pada Yo Kim Tjan untuk menyelamatkan master lagu tersebut agar bisa didengungkan kembali saat Indonesia sudah merdeka.
Setelah “Indonesia Raya” berkumandang perdana di depan publik pada 28 Oktober 1928, Belanda panik dan bergegas menyita semua piringan hitam versi keroncong, baik yang sudah sempat beredar maupun yang masih dalam perjalanan dari London ke Batavia. Belanda sama sekali tak menyangka jika lagu yang dimainkan Soepratman ternyata pernah direkam setahun sebelumnya.
Putri Yo Kim Tjan, Kartika Yo, memaparkan betapa ia dan keluarganya sepenuh hati menjaga rekaman master, membawanya ke mana pun mereka pergi. Tahun 1942 ketika Jepang menyerbu, Yo Kim Tjan membawa serta rekaman tersebut dan menjaga dengan nyawanya. “Papi saya bilang, (rekaman) ini mesti diselamatin buat nanti Indonesia. Saya yang bawa-bawa di dalam map. Dibawa ke mana-mana terus sampai ke Garut, sampai ke Margawati – waktu evakuasi zaman Jepang,” tutur Kartika Yo kepada Udaya Halim sebelum yang bersangkutan meninggal di usia 90 tahun.
Lantas mengapa nama-nama pelaku musik Tionghoa ini terasa tak familier, bahkan di kalangan Tionghoa-Indonesia sendiri? Tiada lain disebabkan upaya pelenyapan historiografi Tionghoa secara sangat sistematis oleh rezim Suharto. Yang dilenyapkan dalam buku sejarah tentu bukan hanya peran etnis Tionghoa dalam bidang seni-budaya tetapi semua bidang, khususnya sosial dan politik. Ironisnya, historiografi yang dilenyapkan itu belum sepenuhnya dikembalikan lagi hingga detik ini.
Lewat penghapusan historiografi secara sistematis, rezim Orde Baru tampaknya hendak melanggengkan persepsi kolonial yang memosisikan Tionghoa sebagai entitas asing tanpa secuil pun kontribusi pada tanah air yang kini mereka tinggali. Dampak dahsyat dari pelanggengan persepsi selama tiga dekade ini adalah awetnya stereotip yang menjadikan Tionghoa target kambing hitam paling potensial di segala era, terlepas dari fakta bahwa negara ini sebenarnya sudah melahirkan UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Seperti halnya nama individu, kita tahu bahwa musik tak pernah lepas dari aspek bahasa yang pada dasarnya mencerminkan akar identitas etnis Tionghoa. Identitas inilah yang dicerabut paksa oleh Orde Ba(r)u hingga ke akar-akarnya – yang tentu berdampak dahsyat pada kehidupan Tionghoa-Indonesia begenerasi-generasi setelahnya. Bagi saya, paling tidak menimbulkan krisis identitas dan rasa rendah diri yang terasa cukup traumatis. Indahnya alunan guzheng, erhu, dan pipa yang mestinya menghantar kebahagiaan ternyata memicu kenangan pahit sekaligus.
Tumbangnya Orde Ba(r)u pada 1998 dan keputusan pemerintah menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional membawa angin segar bagi Tionghoa. Sambil perlahan memulihkan diri dari luka, Tionghoa-Indonesia akhirnya punya kesempatan mengekspresikan identitas seni-budayanya dengan lebih leluasa, termasuk musik-musiknya. Pertunjukan musik bernuansa Tionghoa dan kumandang tambur barongsai-liong kian menjamur dan kian lazim dinyanyikan siapa pun di berbagai arena publik.
Tanpa sadar, saya meneteskan air mata menyaksikan sebuah postingan viral di media sosial yang memperlihatkan kemahiran guru dan siswa SMK 1 Pancasila, Ambulu, Jember–beberapa berhijab– melantunkan dengan sangat indah sebuah lagu Mandarin lawas favorit saya dan papa-mama yang berjudul 明天会更好 (Míngtiān Huì Gèng Hǎo). Dalam bahasa Indonesia, judul ini berarti “Besok Akan Lebih Baik”.
Penampilan singkat ini saja sudah sangat kuat mengamini makna di balik judul lagu tersebut.
Inilah keajaiban yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya, setelah bertahun-tahun saya lebih terbiasa menyaksikan Tionghoa dituntut menyanyikan lagu-lagu berbahasa Indonesia atas nama asimilasi. Penampilan ini sungguh mengembalikan kembali rasa bahagia saya mendengar melodi-melodi Mandarin tanpa beban – momen di mana saya berani merangkul identitas saya sendiri.
Selamat Imlek, semoga hari esok akan benar-benar lebih baik.
Gong xi fa cai! Semoga kita semua bahagia dan sejahtera!
Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggung jawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi serunai.co
Penulis: Sylvie Tanaga
Editor: Aris Setyawan