Di hadapan saya ada tumpukan kardus berisi nasi, sayur dan lauk pauk. Saya, tepatnya kami, masuk ke dalam ruangan berisi ratusan kardus makanan karena diminta menata kardus-kardus itu supaya mudah dibawa sebagai jamuan bagi tamu yang tengah berkumpul di rumah warga yang lain.
Mula-mula, kami diminta menumpuk kardus itu beberapa tingkat ke atas lalu mengikat rangkaiannya dengan tali rafia. Sejumlah tutup kardus sempat terbuka saat kami tata. Selain nasi, jenis sayur dan lauknya ternyata berbeda-beda. Ada yang berupa kering tempe dengan telur rebus, mie dengan telur rebus, sayur daun singkong dengan potongan daging ayam ataupun ikan goreng dan sebagainya. Belakangan, karena harus buru-buru dan mengingat minimnya persediaan tali rafia, kami diminta menyusun kardus-kardus itu ke dalam plastik. Setiap plastik berisi minimal lima kardus yang ditata sedemikian rupa supaya tidak mudah bergeser sehingga menumpahkan isinya.
Sembari memindahkan kardus yang sudah kami tata ke bak belakang sebuah mobil, salah seorang warga menjelaskan bahwa kardus-kardus itu dikumpulkan dari para petani. Ia tak menghitung berapa persisnya jumlah kardus yang terkumpul. Yang jelas, setiap keluarga petani membawa paling sedikit lima kardus makanan. Itu sekaligus menjelaskan mengapa jenis sayur dan lauk di dalam kardus berbeda-beda.
Ada 100 kardus yang sukses dipindahkan setelah kami susun sedemikian rupa dalam waktu sekitar sepuluh menit. Namun, walau sudah berkurang sejumlah 100, kardus yang tersisa masih bertumpuk-tumpuk. Kardus-kardus yang berada di posisi paling bawah bernasib agak mengenaskan. Penyok karena tak kuat menahan berat kardus lain yang menimpanya. Namun, itu bukan masalah besar mengingat masalah terbesar tim konsumsi acara peringatan hari lahir Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo, Yogyakarta, hari itu adalah memastikan ribuan perut peserta dan tamu mendapat cukup makan. Saya garis bawahi, ribuan orang. Dan mereka telah menangani masalah besar itu dengan sangat baik.
Sambil memandang tumpukan kardus, saya meresapi penjelasan tentang asal usul kardus-kardus berisi makanan itu, lalu sekonyong-konyong saya teringat ucapan seseorang entah siapa dan di mana : “Bersama petani, kita tidak perlu takut akan kelaparan.” Kalimat itu mungkin diucapkan beberapa mulut yang berbeda di waktu yang berbeda. Saya tidak ingat persis. Tetapi saya yakin pernah mendengarnya, dan pada detik itu tiba-tiba saya menjadi semakin memahami maksud dari kalimat itu.
Saya lalu ingat pengalaman serupa pada peristiwa yang berbeda di lokasi yang berbeda pula. Tahun lalu, pada sebuah acara syukuran petani di sebuah lapangan berumput yang basah oleh rintik hujan di Rembang, Jawa Tengah. Ratusan orang berkumpul memakan irisan ketupat dan sayur nangka berpiring daun jati. Seorang petani yang menjadi juru bicara petani-petani lainnya mengatakan bahwa seluruh makanan itu dikumpulkan dari para petani. Setiap keluarga membawa minimal 20 bungkus ketupat beserta sayur nangkanya. Tak kurang ada 3.000 bungkus ketupat yang berhasil dikumpulkan. Ketupat-ketupat itu kemudian disusun membentuk dua gunungan besar yang diarak keliling kampung dengan iringan barongsai sebelum dibongkar sebagai jamuan bagi para petani serta tamu yang datang.
Ingatan kemudian membawa saya ke pengalaman serupa pada peristiwa yang lain lagi. Pada suatu kunjungan lapangan yang diikuti jurnalis, mahasiswa, seniman dan bukan siapa-siapa termasuk saya, ke sebuah kampung yang hanya dihuni beberapa gelintir keluarga petani di Kalimantan Timur. Terik matahari dan udara yang terasa panas di luar sempat membuat diri enggan meninggalkan kesejukan buatan yang ditiupkan AC di dalam mobil. Namun, demi kesopanan, saya ikut turun di depan sebuah rumah yang agaknya memang menjadi salah satu tujuan utama kunjungan itu. Mula-mula saya yang tetap enggan masuk ke dalam rumah memilih duduk di salah satu anak tangga kayu rumah panggung itu. Tetapi, semua orang tampak masuk ke dalam rumah dengan antusias. Maka demi kesopanan pula saya beringsut menanggalkan sepatu supaya bisa masuk ke dalam.
Dua piring besar singkong rebus yang disajikan dengan sambal kacang, tiga piring kacang kulit rebus, ditambah satu galon minuman dingin yang diolah dari santan dan air kelapa ditambah irisan daging kelapa muda rupanya adalah alasan bagi antusiasme di siang terik itu. Semua itu sengaja disiapkan tuan rumah untuk para tamunya. Untuk kami.
Ingatan-ingatan lain menyusul bergantian sesudahnya. Di mulai ketika saya masih mahasiswa, hingga siang itu, ketika saya diminta menata kardus makanan di acara ulang tahun PPLP Kulonprogo yang ke-11. Tiba-tiba saya merasa semuanya memiliki pola yang jelas. Semuanya memang bisa disimpulkan dalam satu kalimat yang pernah saya dengar itu : “Bersama petani, kita tidak perlu takut akan kelaparan.”
Lalu ingatan liar saya tanpa dikomando memilih tulisan yang mempersoalkan kemampuan petani yang sempat muncul di timeline media sosial saya beberapa minggu terakhir. Ada sinisme saat mempertanyakan bagaimana mungkin petani bisa menolak rencana pembangunan ini itu dan tambang ini itu yang mengancam lahan pertaniannya secara terorganisir. Petani yang miskin itu, petani yang kelaparan itu, petani yang bodoh itu, bagaimana mungkin bisa punya cukup ide dan dana untuk bertahan menyatakan penolakannya selama bertahun-tahun? Lalu ujung dari pertanyaan dan pernyataan sinis itu adalah : pasti ada aktor intelektual yang punya kepentingan tertentu di belakangnya, atau pasti gerakan para petani itu didanai asing.
Sementara setiap kali mengetuk pintu rumah mereka, saya selalu dijamu dengan aneka makanan yang mereka hasilkan dari keringat mereka sendiri. Saya ingat, sesaat sebelum mendapat tugas menata kardus makanan, kami tertawa mendengar pengakuan seorang teman yang menginap di lokasi untuk mengikuti rangkaian acara PPLP. Rupanya, sejak bangun tidur hingga tengah hari, ia sudah makan sebanyak dua kali. Saat keluar dari ruang penataan kardus makanan, saya melihatnya sedang menikmati santapan yang ketiga. Tampak jelas baginya bahwa bersama petani, ia tidak perlu takut kelaparan.
Lalu setelah semua ingatan yang mengembara kesana kemari itu, saya terlonjak kecil saat menyadari kenyataan yang sangat sederhana. Sesuatu yang sangat sederhana sehingga kerap dilupakan oleh mereka yang pikirannya sudah dipenuhi oleh berbagai intrik politik dan kepentingan : petani dengan lahan garapan yang luasnya tak seberapa itu adalah mereka yang menjamin aroma harum di meja makan kita (atau meja makan di rumah makan yang kita datangi) setiap hari. Oleh karena itu, bersama mereka, kita tidak akan kelaparan.
Kali ini ingatan saya bergerak ke malam panggung musik yang menjadi rangkaian acara ulang tahun PPLP. Kelompok musik Kepal SPI pun merasa perlu mengingatkan perihal yang sederhana itu dalam lagunya : Lemah ilang petani ra iso mangan // Lemah ilang kowe ora iso mangan … (tanah hilang petani tidak bisa makan // tanah hilang kamu tidak bisa makan).
Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggungjawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi serunai.co