Perkembangan seni dan budaya di Banyuwangi, Jawa Timur, erat kaitannya dengan identitas budaya Using/Osing yang berakar kuat dalam masyarakatnya. Pemerintah Daerah Banyuwangi pun kerap menjadikannya identitas lokal yang mendukung sektor pariwisata. Namun, tanpa ruang untuk berdialog dengan realitas modern, seni yang terlalu terikat pakem tradisional dapat terjebak konservatisme yang menghambat inovasi. Sejarah yang dipengaruhi latar historis etnis Jawa dan Bali serta kolonialisme turut berperan membentuk identitas seni dan budaya Banyuwangi. Orde Baru lantas mengonstruksi identitas ini dengan mengontrol seni dan budaya untuk kepentingan negara, termasuk menekan ekspresi yang dianggap berbahaya secara politis – terutama pasca1965.
Pascareformasi, sejumlah seniman muda Banyuwangi mulai bergeliat mendobrak seni dan budaya hasil konstruksi negara dengan menghadirkan praktik seni yang lebih reflektif dan kritis terhadap isu-isu sosial. Mereka menggunakan berbagai medium seperti musik, film, dan seni pertunjukan untuk membahas tema-tema kontemporer seperti ketimpangan sosial, gender, dan dampak teknologi terhadap masyarakat. Gerakan ini menawarkan alternatif seni yang selama ini lebih berorientasi pariwisata berbasis kebanggaan identitas daerah. Tak sekadar instrumen kepentingan ekonomi-politik penguasa, seni terbukti dapat memfasilitasi ruang bagi masyarakat untuk memahami realitas sosial dan sejarahnya secara lebih mendalam serta membangun kesadaran kolektif yang lebih luas.
Banyuwangi di Ruang Antara
Sejarah panjang Banyuwangi terhubung dengan Kerajaan Blambangan, sebuah kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang menjadi ruang adu hegemoni antara Jawa (Kerajaan Mataram Islam) dan Bali. Belanda tentu turut andil dalam tarung kuasa ini. Kerajaan Blambangan menjadi vasal yang selalu bergolak dan tetap berdiri sebagai kerajaan Hindu hingga berakhirnya Majapahit. Namun, kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan pusat pemerintahan terus berpindah-pindah hingga terdesak ke timur dan berakhir di Banyuwangi hari ini. Akhir abad 17 hingga pertengahan abad 18, Kerajaan Blambangan pun tak luput dari hegemoni Bali yang diperebutkan Kerajaan Buleleng dan Mengwi.
Berlayar di antara arus kebudayaan besar Jawa (Islam) dan Bali (Hindu) yang kemudian menjadi tujuan migrasi orang-orang Madura seiring pembukaan perkebunan tebu, tembakau, dan kopi oleh pemerintah kolonial pada abad 19, kebudayaan hibrid pun berkembang luas di Banyuwangi. Selain Jawa dan Madura, suku-suku lain seperti Mandar, Bugis, Arab, dan Tionghoa turut membentuk karakter budaya yang kosmopolit sebagaimana kota-kota maritim lainnya di Nusantara.
Komunitas yang dianggap paling awal mendiami kawasan ujung timur inilah yang kemudian menjadi cikal bakal masyarakat yang kini dikenal sebagai masyarakat Using. Istilah Using dilahirkan komunitas Jawa migran di Banyuwangi dari kata “sing” yang berarti “tidak” – diksi yang juga digunakan dalam bahasa Bali yang berbeda dengan bahasa Jawa modern. Identifikasi etnis Using sebenarnya telah dijalankan para pejabat birokrat dan sarjana Belanda, maupun bangsawan Jawa yang berkelana di Banyuwangi abad 19 hingga 20. Karakter Using kentara berbeda dengan etnis lain terutama dalam hal ekspresi bahasa serta ritus dan keseniannya. Hingga detik ini, kehidupan masyarakat Using masih dalam proses “menjadi” seiring pemaknaan identitas yang terus bergulir dinamis seturut zaman.
Kebudayaan Using yang unik nampak dari ragam ritus komunal seperti kebo-keboan dan seblang yang berkaitan dengan ritus kesuburan – hingga kesenian rakyat seperti Gandrung, Barong, Angklung Caruk, Kuntulan, dan Damarwulan/Janger. Para aktor budaya setempat pun menjadikan identitas Using sebagai kekuatan penyangga dinamika kebudayaan Banyuwangi yang bertahan hingga saat ini. Letak geografis Banyuwangi turut berperan dalam proses kebudayaan. Kelompok etnis terbesar yakni Jawa, Bali, dan Madura pun saling terhubung dan memengaruhi. Besar kemungkinan kebudayaan Using juga hasil akulturasi/asimilasi dengan kebudayaan etnis-etnis lainnya di Banyuwangi.
Identitas Using sebagai penyangga utama wacana kebudayaan juga memengaruhi wacana seni yang berkembang di Banyuwangi. Sebagian besar praktik seni para seniman Banyuwangi berpijak pada tradisi Using mulai dari sastra, seni pertunjukan, tari, hingga musik. Fenomena ini berlangsung sejak 1970-an, sejalan dengan proyek kebudayaan nasional Orde Baru yang hendak mengusung kembali kebudayaan-kebudayaan daerah dalam rangka mendukung agenda pembangunan pemerintah pusat.
Tradisionalisasi dan Jebakan Kolonialisme
Seperti halnya budaya Bali, proses rekonstruksi budaya Using di Banyuwangi juga menjadi wacana gerakan kebudayaan yang mencuat pada periode 1970-an semasa pemerintahan Orde Baru. Identitas kultural Using mulanya dilegitimasi Pemerintah Daerah Banyuwangi lewat penyusunan buku Selayang-pandang Blambangan (1976) yang digagas Bupati Banyuwangi Djoko Supaat Slamet. Buku tersebut menegaskan bahwa bahasa Using bukanlah dialek Jawa tetapi bahasa tersendiri.
Esais dan kritikus sastra Banyuwangi Dwi Pranoto mengindikasikan bahwa kemunculan identitas Using dan upaya pembakuan segala produk budayanya, termasuk bahasa, tak terlepas dari kebijakan kultural Orde Baru yang menganggap anak-anak muda Indonesia terlalu terpengaruh budaya Barat sehingga berperilaku menyimpang. Proyek tradisionalisasi budaya ini tentu bagian dari agenda mensterilkan kesenian dari pengaruh “kiri” yang sebelumnya cukup dominan di Banyuwangi.
Para budayawan dalam lingkar pemerintahan mulai aktif mengampanyekan bahasa Using dan ragam produk budayanya. Sastra Using kerap diusung melalui lagu-lagu daerah, sandiwara, dan siaran radio berbahasa Using yang disebarluaskan melalui Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) serta radio-radio swasta. Begitu pula seni pertunjukan melalui seni tari dan teater rakyat.
Era Orde Baru juga diwarnai kemunculan media baru berupa kaset pita sebagai teknologi rekam yang turut menyuburkan industri musik Banyuwangi, ditandai dengan lahirnya genre musik Kendang Kempul. Seni musik dan pertunjukan berbasis tradisi seperti Gandrung, Barong, Angklung Caruk, Kuntulan, dan Damarwulan/Janger akhirnya tak luput menjelma komoditas industri yang dapat dikonsumsi masyarakat melalui kaset-kaset yang dijual secara komersial. Distribusi rekaman-rekaman ini tentu saja melalui proses sensor alias kontrol ketat negara melalui Dinas Penerangan.
Periode 1970-an hingga hari ini lebih dikenal dengan periode Usingisasi. Dalam kajian mengenai studi Using sebagai identitas etno-linguistik, profesor bahasa dan kebudayaan Indonesia dan Jawa dari Universitas Leiden, Ben Arps, menyatakan bahwa pembentukan identitas Using disemai dan dipupuk melalui penciptaan dan penyebaran atmosfer di tengah masyarakat. Penciptaan atmosfer Using sebagai tema-tema kedaerahan dimunculkan simultan melalui paparan audio, visual, audio-visual, dan pengecapan. Atmosfer identitas Using turut membentuk citra fisik Banyuwangi melalui kehadiran simbol-simbol visual seperti ornamen, monumen, dan patung di sudut-sudut kota.
Pascareformasi, tepatnya semasa pemerintahan Bupati Samsul Hadi (2000-2005), politik identitas menguat seiring menjamurnya berbagai atribut Using di ruang-ruang publik – termasuk slogan berbahasa Using Banyuwangi Jenggirat Tangi (Banyuwangi Bangkit). Satu dekade terakhir pemerintahan Bupati Abdullah Azwar Anas, wajah Banyuwangi semarak dengan gaya arsitektur yang identik dengan rumah tradisional Using. Fasilitas publik seperti Bandara Blimbingsari memelopori arsitektur khas Banyuwangi yang mengadopsi model atap rumah tradisional Using, disusul bangunan lainnya milik pemerintah maupun swasta. Budaya Using mendapatkan panggung di mana-mana.
Di sisi lain, seperti halnya Bali, pilihan pejabat setempat menjadikan Using sebagai identitas kultural Banyuwangi tak luput dari perdebatan. Seniman dan budayawan Banyuwangi yang mengalami getirnya era penjajahan, Endro Wilis, menyatakan pandangan kritisnya terhadap istilah Using dalam catatan berjudul “Istilah Using adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa” (2002). Menurut Endro, istilah “Using” merupakan warisan kolonial yang tak henti mengeksploitasi kekayaan alam dan budaya masyarakat Banyuwangi. Labelisasi “Using” merupakan strategi jitu penjajah memicu rasa rendah diri yang bertujuan melumpuhkan jiwa dan melemahkan perjuangan masyarakat Blambangan.
Proses konstruksi identitas budaya Bali dan Banyuwangi memiliki kemiripan pola.
Kedua budaya tersebut tumbuh di tengah arus kepentingan ekonomi-politik kolonial. Walaupun identitas Using di Banyuwangi lahir setelah kemerdekaan, watak kolonialisme yang dilanggengkan Orde Baru melahirkan sebuah paradoks. Dari perspektif tradisi lampau, masyarakat Using dipercaya sebagai pewaris sah peradaban Kerajaan Blambangan. Di satu sisi, perspektif ini melahirkan kebanggaan. Di sisi lain, identitas Using kerap dihadirkan dalam konteks kekuasaan yang koersif, yang mendisiplinkan masyarakatnya dari ide-ide yang tak dikehendaki penguasa.
Faktanya, tak satu pun sumber sejarah tertulis yang sezaman dengan Kerajaan Blambangan menyebut istilah Using. Wacana kebudayaan khas kolonial yang diadopsi Orde Baru cenderung menonjolkan keunikan etnisitas, tradisi, dan kebudayaan otentik yang sejalan dengan pandangan Edward Said dalam wacana Orientalisme-nya. Dalam konteks Banyuwangi, masyarakat dipandang sebagai Timur (Orient) yang wacananya dibentuk ulang dan didominasi kekuasaan yang mengadopsi gaya kolonial Barat (Occident). Banyuwangi dan identitas Using-nya sekadar ditampilkan sebagai obyek eksotis, identik dengan tradisi dan kebudayaan yang keasliannya dinilai masih terjaga.
Kebijakan semacam itu membentuk mentalitas masyarakat yang bangga berlebihan terhadap identitas budayanya. Mentalitas ini akhirnya melahirkan sikap eksklusif yang lekat dengan sikap primitif-primodial berbasis etnisitas dengan meliyankan identitas lain yang berbeda. Kebanggaan berlebihan ini membuat para seniman Using terbuai dan terkungkung paradigma kedaerahan sempit tanpa pijakan kritis dan reflektif terhadap realitas kontemporer. Kesenian Banyuwangi hari ini akhirnya hanya menjadi atraksi pemuas hasrat individu serta pemenuh target festival turisme dalam bingkai eksotisasi alam, masyarakat, dan tradisinya yang serupa spirit Mooi Indie ala kolonial.
Sejarah Seni Rakyat Banyuwangi yang Dilupakan
Seiring lenyapnya budaya keraton setelah keruntuhan Kerajaan Blambangan, kesenian rakyat menjadi napas keseharian masyarakat Banyuwangi. Karakter masyarakat yang egaliter dan terbuka memungkinkan lahirnya kebudayaan hibrid mulai dari ritual hingga keseniannya. Gambaran kesenian masyarakat Banyuwangi masa lalu misalnya dapat dibaca pada tulisan saya tentang ritus Seblang Bakungan, ritus tahunan bersih desa masyarakat Desa Bakungan di mana seorang penari perempuan setengah baya menari dalam keadaan dirasuki oleh roh leluhur desa.
Sepanjang pemerintahan Sukarno, kesenian-kesenian di Banyuwangi tak luput dijadikan alat propaganda politik oleh lembaga-lembaga kebudayaan di bawah partai politik. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), dan Lembaga Seniman Kebudayaan Muslimin Indonesia (Lesbumi) masing-masing berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Nahdlatul Ulama (NU).
Dengan haluan ideologi yang saling berbeda, ketiganya tetap sejalan dengan gagasan politik Sukarno “Nasakom” (Nasionalis, Agama, dan Komunisme) yang saat itu mewarnai lanskap politik Indonesia.
Ketiga lembaga kebudayaan tersebut diberi ruang dan kesempatan saling berkontestasi membangun wacana kebudayaan dan mengekspresikannya dalam berbagai medium kesenian hingga tingkat daerah seperti Banyuwangi. Tak banyak catatan tentang corak kesenian LKN dan Lesbumi di Banyuwangi. Jurnalis dan pemerhati budaya Hasan Sentot menjelaskan bagaimana LKN banyak mengembangkan kesenian bercorak Jawa seperti gamelan Jawa. Lesbumi mengembangkan seni bernuansa Islam seperti pertunjukan drama yang mengusung kisah-kisah Islam-Melayu-Timur Tengah, sedangkan Lekra cukup progresif merangkul berbagai macam seni kerakyatan di desa-desa.
Di kalangan akar rumput, Lekra menjadi yang terdepan dalam membangun kebudayaan dan kesenian Banyuwangi. Seni rakyat yang sudah mengakar seperti tabuhan angklung dikembangkan lebih lanjut menjadi musik pengiring lagu-lagu ciptaan para seniman Lekra. Lagu-lagu berbahasa Banyuwangi atau bahasa Using menjadi medium penciptaan sastra Banyuwangi modern. Sastrawan Lekra di Banyuwangi tampaknya memilih syair lagu sebagai bentuk karya sastra karena memang format ini tak asing dengan realita masyarakat Banyuwangi yang gemar menikmati lagu-lagu yang dinyanyikan para penari Gandrung. Selain itu, syair lagu jauh lebih mudah diakses masyarakat desa dibandingkan prosa yang hanya dapat dinikmati segelintir masyarakat terdidik di lingkungan perkotaan.
Lekra pun berkembang sangat masif hingga melahirkan sejumlah budayawan dan seniman berpengaruh di Banyuwangi. Sebut saja Muhammad Arief yang menciptakan lagu “Genjer-Genjer”, juga sederet nama lainnya seperti Endro Wilis, Basir Noerdian, Mahfud, dan Andang Chatib Yusuf yang merupakan para seniman pelopor tradisi lagu-lagu Banyuwangian. Sebelumnya, masyarakat hanya mengenal lagu-lagu anonim yang berakar dari kesenian tradisi Seblang dan Gandrung.
Lekra: “Rakjat adalah Satu2nja Pentipta Kebudajaan”
Sebelum 1965, para seniman Lekra mengusung modernisasi kesenian di Banyuwangi. Modernisasi di sini merujuk pada penciptaan seni yang awalnya anonim menjadi karya individu, juga medium penyampai gagasan kontekstual yang lebih dari sekadar fungsi estetika dan ritual. Di bawah Lekra, seni menjadi alat aktivisme politik pembebasan dan solidaritas bagi masyarakat Indonesia yang berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang kolonialisme dan feodalisme penyebab ketimpangan sosial. Estetika realisme sosial menjadi praktik berkesenian yang terwujud melalui “turba” atau “turun ke bawah”. Dalam berkarya, seniman wajib melakukan riset dengan hidup bersama rakyat.
Jejak praktik kreatif seniman Banyuwangi Muhammad Arief dan kawan-kawan seperjuangannya dapat disandingkan dengan praktik artistik sejumlah kelompok angklung yang tersebar di desa-desa, salah satunya Srimuda (Seni Rakyat Indonesia Muda). Sebuah kelompok angklung setidaknya terdiri dari dua instrumen angklung, juga alat musik lainnya seperti kendang, kethuk, keluncing, gong, dan suling. Angklung Banyuwangi mirip dengan angklung Bali yang dimainkan dengan cara ditabuh.
Angklung awalnya dimainkan para petani sebagai musik hiburan saat melepas lelah di persawahan. Alat musik ini dimainkan di atas gubuk bambu bernama paglak setinggi 3-10 meter, sehingga disebut Angklung Paglak. Angklung sebagai kesenian yang membumi bagi orang Banyuwangi ini kemudian menjadi instrumen utama dalam seni musik yang lebih modern sesuai kebutuhan penyampaian gagasan yang merespons realita sosial. Tanpa mencerabut akar tradisinya, para seniman kiri kala itu mengembangkan angklung sebagai musik progresif untuk membangun kesadaran kolektif.
Dari kelompok-kelompok angklung inilah tradisi sastra tumbuh melalui syair-syair lagu berbahasa Using. Jika sebelumnya masyarakat Banyuwangi mengenal lagu-lagu dari kesenian Gandrung, selama periode revolusi hingga 1965 mereka juga akrab dengan lagu-lagu bertema solidaritas sosial tanpa terpenjara kentalnya ciri-ciri kedaerahan. Melalui syair-syair lagu inilah seni dan aktivisme bekerjasama mendistribusikan pengetahuan untuk membangun kesadaran kritis masyarakat.
Para pencipta lagu Banyuwangi kala itu meramu komposisi berbasis pengetahuan seni berskala lokal, nasional, maupun global – terutama bagi negara-negara dunia ketiga yang baru lepas dari penjajah.
Lagu “Rantag” misalnya, diciptakan Muhammad Arief untuk merespons Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung 1955. Lagu ini mengajak para pemuda guyub membangun dunia baru. Ia juga menciptakan lagu berjudul “Emas-Emas” yang menceritakan kehidupan petani yang miskin namun menyempatkan diri berjuang untuk kepentingan bersama. Begitu pula Endro Wilis yang menciptakan lagu “Segara”. Syair lagu “Segara” mengisahkan kerasnya kehidupan para nelayan di tengah samudera dan sekaligus harus berhadapan dengan ketimpangan penghasilan dengan para juragan.
Produktivitas para seniman kiri Banyuwangi sebelum 1965 memang menonjol. Hampir semua lagu berbahasa Using yang mereka ciptakan menjadi tonggak sastra modern Banyuwangi.
Seniman koreografi Selamet Abdul Rajad atau Selamet Menur yang sezaman dengan para seniman Banyuwangi angkatan pertama Lekra amat tekun menyimpan syair-syair tulisan tangan seniornya. Pada 2008, ia merekam ulang lagu-lagu tersebut secara mandiri dalam format VCD. Bertajuk Layar Kumendung, album tersebut antara lain berisi lagu “Angklung Soren” (Endro Wilis/BS Noerdian), “Cep Menenga” (M. Arief), “Sekolah” (M. Arief), “Angen-angen Wong Tuwek” (Fatrah Abal, MF Hariyanto), “Padha Nginang” (Endro Wilis/BS Noerdian), Rantag (M. Arief), “Emas-emas” (M. Arief), Adik Aja Nangis (Endro Wilis/MF. Hariyanto), serta dua lagu ciptaan Nasta berjudul “Ngadepi Tantangan” dan “Banjir”.
Album ini menjadi penyambung memori kolektif masyarakat Banyuwangi pada lagu-lagu sebelum 1965 karya seniman kiri setelah lebih dari tiga dekade dipaksa tiarap. Layar Kumendung pun memiliki arti mendalam bagi saya. Keingintahuan terhadap wacana-wacana kebudayaan khas Banyuwangi yang muncul sejak saya masih SMA terjawab sudah. Upaya Selamet Menur menyelamatkan lagu-lagu yang dilarang Suharto memang perlu mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya.
Sayangnya, tak banyak jejak dokumentasi fisik dalam bidang seni pertunjukan, khususnya seni tari. Menurut Selamet Menur, seni tari yang berkembang sebelum 1965 lebih dilatari respons terhadap seni angklung dan lagu-lagu ciptaan para seniman kiri, misalnya repertoar Tari Genjer-Genjer, Tari Nelayan, dan Tari Nandur Jagung yang merupakan tarian pelengkap musik dan lagu. Gerak dasar tari-tarian ini terinspirasi gerak keseharian masyarakat seperti menanam, berjalan di atas pematang, memanen, dan sebagainya. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian diterjemahkan dalam tarian.
Orba dan Lenyapnya Tradisi Kritis Seni Akar Rumput
Tragedi 1965 menciptakan pengalaman yang sangat traumatik bagi bangsa Indonesia, termasuk masyarakat Banyuwangi. Mereka yang mengalami langsung peristiwa tersebut umumnya enggan mengingat apalagi membicarakannya. Pun demikian lagu “Genjer-Genjer” yang sangat ditakuti sehingga tak diapresiasi sebagaimana mestinya di tanah kelahirannya sendiri. Propaganda anti komunisme selama 32 tahun berhasil menorehkan stigma negatif yang akut terhadap lagu ini. Muhammad Arief dan sejumlah seniman kiri dihilangkan jejaknya sementara Endro Wilis harus mendekam di penjara Lowokwaru, Malang. Beberapa seniman yang selamat diinsyafkan dan setelahnya tetap diberi ruang berkesenian dengan syarat mengikuti aturan main di bawah kontrol ketat rezim penguasa.
Kemenangan Orde Baru melalui tragedi 1965 merupakan puncak kulminasi Perang Dingin antara blok Barat dan Timur. Kekuatan politik dan kebudayaan pro-Barat yang disokong Amerika Serikat (AS) berupaya menciptakan medan pertempuran ideologis untuk menantang komunisme di Indonesia. Gagasan kebudayaan sebagai alat propaganda melawan komunisme merupakan bagian dari kebijakan politik luar negeri AS yang awalnya difokuskan untuk negara-negara di Eropa, sebelum akhirnya diperluas ke Afrika, Amerika Latin, dan Asia – termasuk Indonesia.
Dalam buku Who Paid the Piper: The CIA and the Cultural Cold War (1999), Frances Stonor Saunders menyebut pertarungan ini sebagai Perang Dingin Kebudayaan. Hegemoni AS di Indonesia melalui Orde Baru dilatari kepentingan ekonomi-politik. Selain mewaspadai kekuatan PKI sejak 1950-an yang dipandang sebagai partai komunis terbesar dunia di luar Tiongkok, AS sadar bahwa kekayaan alam Indonesia sangat strategis bagi negaranya. Yang jelas, pertarungan sengit geopolitik global saat itu memengaruhi arah kebudayaan di Indonesia, pada tingkat lokal seperti Banyuwangi sekalipun.
Beberapa tahun usai meletusnya tragedi 1965, kesenian Banyuwangi perlahan bangkit kembali. Sejalan dengan arah kebijakan kebudayaan nasional, Bupati Djoko Supaat Slamet (1966-1978) merancang ulang peta jalan kebudayaan daerah Banyuwangi untuk mendukung pembangunan nasional. Identitas kultural Using pun dinobatkan sebagai identitas pilihan yang merepresentasikan kebudayaan Banyuwangi. Inilah titik awal kebangkitan Using sebagai identitas etno-kultural.
Jika pada masa Sukarno ekspresi kebudayaan Banyuwangi hadir untuk memompa semangat pembebasan sebagai negara baru yang lepas dari kolonialisme melalui kekuatan spirit solidaritas, Orde Baru menjadikan kebudayaan sebagai bahan bakar pembangunan nasional yang tentu saja bertujuan membangun aliansi gerakan ideologi anti komunisme sembari mengelap-ngelap kebudayaan lawas – meminjam istilah Sutan Takdir Alisjahbana dalam Polemik Kebudayaan.
Kunjungan Presiden Suharto pada 26 Juli 1970 di Desa Tapanrejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, menjadi momentum penting perjalanan kebudayaan Banyuwangi. Kunjungan tersebut disambut secara seremonial dengan tari-tarian dan angklung Banyuwangi. Pada malam hari, selain penampilan musik angklung dengan instrumen Giro, turut pula ditampilkan pertunjukan Tari Gandrung yang menampilkan seorang penari Gandrung bernama Ratminah dari Desa Wonosobo (Hendratha, 2021).
Suharto puas dengan hiburan kesenian Banyuwangi dan menyarankan untuk melestarikan dan mengembangkannya. Bupati pun membisiki sang Presiden bahwa kesenian angklung Banyuwangi pernah dijadikan alat propaganda PKI. Suharto lantas memerintahkan Bupati mengembalikan kesenian ini pada kondisi semula sebelum terkena pengaruh politik (Sentot, 1993). Percakapan Soeharto dengan Bupati Djoko Supaat Slamet dimaknai sebagai restu kehadiran kembali angklung dan seni tari Banyuwangi ke tengah masyarakat, termasuk Tari Gandrung.
Kunjungan tersebut akhirnya membuahkan kebijakan kebudayaan melalui penerbitan sejumlah Surat Keputusan (SK) Bupati terkait pelestarian dan pengembangan kebudayaan Banyuwangi. Beberapa SK lebih tepat dibaca sebagai alat kontrol terhadap para mantan seniman Lekra sekaligus respons atas pesatnya pertumbuhan industri rekaman. Sensor karya-karya seni dilakukan ketat dengan melibatkan instrumen lembaga negara seperti Dinas Kesejahteraan Rakyat, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Inter dari Kodim 0825 Banyuwangi, serta para elite kebudayaan yang menjadi mediator antara pemerintah dan seniman seperti Hasan Ali dan Hasnan Singodiyaman (Hendratha, 2021).
Mantan seniman Lekra seperti Endro Wilis, BS. Noerdian, Andang CY, dan Mahfud berkarya di bawah kontrol ketat yang mengubah drastis pilihan estetika mereka dari sastra realisme sosial menjadi romantisme. Syair-syair lagu Banyuwangi mengarah pada identitas etno-kultural yang menekankan spirit heroisme dan patriotisme leluhur, misalnya “Umbul-Umbul Blambangan” yang menjadi mars kebanggaan masyarakat Banyuwangi hingga hari ini. Dipicu popularitas dangdut, Kendang Kempul mendorong pesatnya pertumbuhan industri rekaman, menjadikannya kultur pop lokal yang membius para pendengar lewat tema-tema percintaan yang berkelindan dengan logika kapitalistik industri.
Lanskap seni pertunjukan di Banyuwangi pun berubah. Seniman tari yang lahir dan tumbuh dari seni kerakyatan di desa-desa direkrut lembaga pemerintah sebagai seniman dan pengajar tari di sekolah-sekolah. Sumitro Hadi, misalnya. Ia adalah seniman tari rakyat yang berkontribusi mengembangkan seni tari semasa Orde Baru. Dari kreativitasnya, Tari Jejer Gandrung lahir sebagai tari penyambutan resmi Kabupaten Banyuwangi. Tari berdurasi kurang lebih 10 menit tersebut akhirnya menjadi tarian maskot yang terinspirasi kesenian rakyat Gandrung yang biasanya ditampilkan semalam suntuk.
Sebagai maestro tari Banyuwangi, Sumitro Hadi telah menciptakan 130 judul karya tari Banyuwangi, di antaranya Jejer Jaran Dawuk, Gandrung Dor,dan Rodat Syi’ran. Ia juga koreografer utama tahun-tahun awal Festival Gandrung Sewu di bawah rezim Bupati Abdullah Azwar Anas. Selain itu, Sumitro turut mengembangkan tari-tari khas Using yang lantas diajarkan di berbagai sekolah dan sanggar. Tema-tema yang hadir dalam karyanya tentu saja segaris dengan kepentingan stabilitas nasional seperti heroisme, percintaan, hingga feminin magis yang melukiskan kemolekan perempuan Using. Ia juga turut melahirkan sederet seniman koreografi seperti Sayun Sisiyanto, Sabar Harianto, Subari Sofyan, Jajulaidi yang karya-karyanya telah mewarnai lanskap seni tari di Banyuwangi.
Pendokumentasian tari-tarian banyak dilakukan seniman dan budayawan di bawah kendali negara. Kodifikasi dan penamaan gerak menggunakan bahasa Using pun dicatat. Selanjutnya, dilakukan pembakuan dan standardisasi gerak dan teknik tari sesuai nilai-nilai ideal dan kepantasan yang dianut negara, yang kemudian diajarkan ulang pada masyarakat melalui sanggar dan sekolah.
Rachmi Diyah Larasati dalam buku Menari di Atas Kuburan Masal: Rekonstruksi Budaya Indonesia Pasca Genosida (2022) mengemukakan bahwa praktik tersebut serupa dengan tindakan kolonial. Proses standardisasi dan pengembangan berbagai bentuk tari yang mulanya dilakukan etnografer kolonial digantikan para pegawai negeri lokal. Berangkat dari kebijakan kebudayaan yang terpusat, pihak eksternal yang ditunjuk sebagai pelatih dan pembina mengekstrak dan menata ulang seni akar rumput yang sebenarnya telah menubuh pada rakyat agar sejalan dengan agenda pemerintah pusat.
Hasil penataan ulang ini kemudian distandardisasi menjadi gerakan baku menggunakan kerangka simbol, makna, dan mitos tertentu yang sudah mapan. Melalui proses kurasi yang telah diselaraskan dengan kepentingan negara inilah rezim kekuasaan mengambil alih kebudayaan rakyat menjadi kebudayaan bangsa yang resmi. Standardisasi teknik dan gerakan sebagai pilihan estetika mengabaikan bahkan menghilangkan pengalaman sosial-politik yang telah menubuh, menjadikannya agenda nasional yang wajib ditaati warga negara tanpa kecuali. Interpretasi lain yang menyajikan alternatif ditutup rapat-rapat, tak sedikit pun dibiarkan berkembang luas.
Penempatan seniman abdi negara, pejabat, maupun para tokoh yang terafiliasi dengan kekuasaan sebagai pembina kelompok seni rakyat dilakukan secara sistematis hingga ke desa-desa. Mereka berperan menyebarkan praktik seni yang telah ditetapkan negara.
Pendisiplinan ini tak hanya berhenti pada level estetika melainkan level interpretasi ideologis yang sudah dibersihkan dari gagasan politik kritis (kiri). Hingga kini, kelompok teater rakyat yang sangat populer di Banyuwangi yaitu Damarwulan/Janger selalu mengawali pertunjukan dengan menyebut nama pembina yang berperan sebagai pelindung. Pada babak akhir pertunjukan, mereka biasanya mengumandangkan lagu berbahasa Using “Perjuangan ‘45” tentang semangat kepahlawanan yang sarat doktrinasi asas ideologi tunggal Pancasila versi Orde Baru.
Bentuk kontrol ekstrem negara lainnya terjadi pada seni teater rakyat Barong yang masih tersisa hingga kini di Desa Kemiren. Sebelum terdeteksi otoritas, teater yang umumnya dipanggungkan semalam suntuk ini selalu mengangkat cerita “Lakon Tani” hingga 1980-an. Namun, lakon tersebut akhirnya dilarang tanpa alasan jelas sehingga lama-kelamaan hilang begitu saja dalam memori kolektif masyarakat Kemiren dan sekitarnya. Saya menduga negara memandang cerita bertopik “tani” sebagai ancaman membahayakan karena mengarah pada haluan politik kiri.
Depolitisasi seni akar rumput telah menjadi gerakan sistematis yang dilakukan Orde Baru hingga ke desa-desa di Banyuwangi. Rezim ini mereduksi makna propaganda politik sebagai praktik kotor yang mengancam stabilitas kekuasaan. Akibatnya, banyak masyarakat hari ini tidak lagi memiliki kesadaran kritis sehingga hak-haknya sebagai warga negara mudah direnggut tanpa menuai protes.
Festival kebudayaan melalui B-Fest (Banyuwangi Festival) yang diselenggarakan satu dekade terakhir turut melanggengkan kemapanan wacana kebudayaan Banyuwangi tanpa munculnya alternatif tandingan. Di tengah kuatnya hegemoni otoritas yang mengendalikan kelompok seni, praktik seni di tingkat lokal tak leluasa berkembang sehingga akses terhadap pengetahuan semakin timpang. Para seniman pun tak memiliki jejaring alternatif selain dengan pemerintah sehingga makin menebalkan resistensi mereka terhadap kebaruan dan pertukaran pengetahuan antar budaya.
Jika sebelum 1965 para seniman rakyat mampu mengimajinasikan kebudayaan masa depan bangsa melampaui sekat-sekat identitas etno-kultural, bagaimana dengan praktik kesenian masa depan di tengah dunia yang kian tak menentu ini? Apakah mereka masih meributkan sekat-sekat identitas dan orisinalitas tradisi yang melahirkan kebudayaan dan kesenian Banyuwangi di bawah panji-panji kebanggaan semu Isun Lare Using yang melayani hasrat kekuasaan dan politik pariwisata?
Seniman Muda Banyuwangi Melawan Arus
Di tengah hiruk pikuk perkembangan seni Banyuwangi hari ini, tiga kelompok seniman muda melakukan praktik berkesenian di luar arus utama. Mereka datang dengan gagasan alternatif yang memecah stagnasi wacana budaya dan kesenian dengan tetap berpijak pada realitas sehari-hari. Tak melulu menekankan aspek estetika dan ritual tradisi, para seniman yang berupaya membangkitkan nalar kritis masyarakat ini benar-benar mengembuskan secercah harapan. Kehadiran mereka di kalangan akar rumput menawarkan perubahan lanskap seni kontemporer Banyuwangi.
Ketiga kelompok seniman tersebut adalah M. Pungki Hartono (Munsing), Faisal Riza (Desa Kalang Kabut), dan Abi M. Latif/Dayu Prisma (Studio Klampisan). Keragaman gagasan dan praktik seni pertunjukan ketiga kelompok ini bersifat lintas disiplin. Keberanian mereka memecah kebekuan praktik arus utama terlihat dari kegigihan menjalin interaksi antarseniman maupun masyarakatnya. Seni tak lagi milik eksklusif atau hak otoritas seniman profesional semata melainkan dapat dinikmati bersama masyarakat sebagai bagian dari praktik sosial. Pendekatan ini dapat dilihat sebagai sebuah eksperimen yang merekonstruksi praktik budaya yang selama ini dihegemoni kekuasaan.
YouTube dan berbagai kanal media sosial lainnya sebagai panggung atau medium pertunjukan yang dipilih ketiga seniman ini menunjukkan bagaimana mereka cekatan mendayagunakan teknologi informasi yang jauh lebih mudah diakses masyarakat luas sebagai upaya alternatif merebut ruang-ruang publik yang selama ini masih kental dikuasai narasi-narasi arus utama.
Kelompok seni Munsing (Musik Nada Osing) didirikan oleh seniman M. Pungki Hartono setelah ia menamatkan studi di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Melalui Munsing, Pungki menjalankan praktik sosial sebagai warga sekaligus seniman musik di kampung halamannya sendiri di Desa Aliyan, Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi. Sebagai situs budaya, Desa Aliyan kaya dengan latar historis dan tradisi yang diwariskan turun-temurun. Pungki membaca geliat sosial menggunakan musik tradisi yang akrab dengan masyarakat desa. Karya-karyanya seperti Dampak Corona, Melaku, dan Wandu merupakan respons atas keseharian warga alih-alih terjebak tema tradisi konservatif.
Dampak Corona berangkat dari keresahan Pungki menghadapi pandemi Covid berkepanjangan yang membatasi ruang geraknya. Melaku (Memengane Lare Kuna) lahir dari pengamatan Pungki terhadap fenomena ketergantungan anak-anak masa kini pada gawai. Gawai merenggut ruang-ruang bermain di dunia nyata sehingga menciptakan keterisolasian sosial. Pungki mengamati kohesi sosial anak-anak masa kini yang berbeda dengan zaman dulu sebelum gawai menyerbu. Melalui Wandu, Pungki berani menyuarakan keragaman ekspresi gender. Wandu adalah terminologi berbahasa Jawa yang mengacu pada transgender. Repertoar yang menghadirkan komunitas waria sebagai pemusik dan penampil ini menyuguhkan narasi kesetaraan kedudukan sosial kelompok minoritas gender di Desa Aliyan.
Begitu pula Faisal Riza, seorang seniman film, teater, pendidik, dan aktivis sosial di Banyuwangi. Melalui film berformat sketsa komedi, ia mencoba membongkar realitas sosial masyarakat perdesaan Banyuwangi melalui cerita-cerita jenaka di sebuah desa imajinatif bernama Desa Kalang Kabut. Dalam film tersebut, Faisal menghadirkan karakter Pak Ustad yang konservatif, suami-istri bernama Dulah dan Markonah yang hidup dalam kemiskinan, tokoh Ja’i yang cerdik nan licik, dan Pak Lurah.
Para pemeran film seri ini terdiri dari masyarakat setempat tanpa latar seni panggung yang memadai. Namun, Faisal berhasil menampilkan pertunjukan seni peran yang sangat layak diapresiasi. Menggunakan bahasa Using, film ini mendapat sambutan meriah dari masyarakat penuturnya. Film komedi ini diproduksi swadaya dan didistribusikan melalui YouTube sejak 2020. Faisal berperan sebagai inisiator sekaligus sutradara dan kameramen. Sayangnya, produksi film yang sudah mencapai lebih dari seratus seri ini terhenti pada pertengahan 2024 karena keterbatasan manajemen.
Di tengah segala keterbatasannya, film seri komedi karya Faizal ini telah mewarnai praktik seni kontemporer Banyuwangi dengan aktif memotret realitas kehidupan desa secara kritis alih-alih sekadar meromantisasinya. Kesadaran semacam inilah yang sesungguhnya perlu dihadirkan segenap seniman sebagai tanggung jawab sosialnya untuk menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat melalui berbagai medium populer, bahasa, serta kosakata artistik yang akrab dengan masyarakat.
Pasangan seniman Abi M. Latif dan Dayu Prisma melalui Studio Klampisan mengenalkan praktik seni lintas disiplin sebagai laku kebudayaan bersama warga. Tak melulu praktik artistik kontemporer yang eksklusif namun juga menjadi ruang pertemuan eksperimental warga tanpa sekat. Bercita-cita mewujudkan laboratorium kewargaan, Studio Klampisan menempatkan diri sebagai fasilitator yang mempertemukan warga dengan seniman lintas disiplin untuk memproduksi pengetahuan bersama. Proyek-proyek seni yang telah dijalankan antara lain Ulupampang Menanam (2020) dan Dapur Imajinasi Mama (2022). Praktik seni Abi dan Dayu juga menawarkan keragaman model berkesenian akar rumput yang membuka peluang pertukaran pengetahuan antarseniman lokal dan global.
Meminjam perspektif Judith Butler, para seniman muda Banyuwangi tersebut telah berupaya menggerakkan percakapan kritis di tengah wacana kebudayaan yang masih didominasi kekuasaan. Perfomatifitas sebagai kerangka konseptual Butler dapat membongkar konstruksi sosial yang mendisiplinkan sekaligus mentransformasi tubuh untuk melawan norma-norma hegemonik tersebut. Pungki, Faisal, dan Abi/Dayu mempraktikkan seni sebagai ekspresi estetiko-politik dalam konteks demokratisasi yang lebih luas. Dalam hal ini, seni turut mengamplifikasi suara-suara kaum marjinal. Alih-alih berjarak dengan masyarakatnya, seni justru menjadi medium sekaligus ruang penyadaran bersama di tengah peliknya kompleksitas dunia dewasa ini yang didominasi logika kapitalisme.
Epilog
Sebagai individu yang tumbuh dalam kultur masyarakat Using Banyuwangi yang kemudian hidup dalam kultur Bali pada konteks ruang dan waktu kontemporer, akhirnya saya sadar bahwa pengalaman post-colonial effect hadir melalui perjalanan dan perjumpaan yang terus berlangsung.
Budaya Using maupun Bali sama-sama mengalami kolonialisme sehingga identitas kultural yang terbentuk merupakan hasil konstruksi kolonial. Masalahnya, identitas hasil konstruksi inilah yang justru dibanggakan dan dirayakan masyarakatnya. Masyarakat terjajah memang perlu identitas otentik untuk merangsang kesadaran baru di tengah modernitas. Namun, identitas yang otentik ini berpotensi memunculkan nativisme atau kepercayaan bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Nativisme sangat berisiko meminggirkan kelompok minoritas lainnya.
Jika identitas kultural yang autentik disalahgunakan untuk agenda kekuasaan alih-alih pengikat solidaritas sosial, yang justru tercipta adalah langgengnya mentalitas kolonial. Oleh karena itu, kebudayaan berbasis kewargaan penting dihadirkan melalui medium seni yang memadukan praktik artistik yang dapat mengurai dampak akut kolonialisme yang masih diamini banyak masyarakat. Setelah kemerdekaan, Indonesia sebagai sebuah negara baru hanya memiliki jeda dua dekade untuk merekonstruksi budayanya sebelum akhirnya mengalami kemunduran hebat tatkala rezim Orde Baru naik takhta dengan menahbiskan diri sebagai pemegang hegemoni kebudayaan yang tunggal.
Lebih dari tiga dekade kehidupan masyarakat dikontrol dengan pendisiplinan dan pembungkaman segala bentuk tradisi kritis. Banyuwangi dan Bali tentu hanya segelintir wilayah yang masyarakatnya mengalami trauma getir pasca-kolonial yang dilanggengkan Orde Baru. Maka, sudah saatnya kita merebut ruang-ruang demokrasi dan mengembalikan kembali kebudayaan ke pangkuan warganya – selaras dengan pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam buku Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (2001). Gus Dur menegaskan dengan gamblang bahwa “kebudayaan adalah milik warga masyarakat, bukan milik kelompok dominan seperti negara, agama, atau modal”.
*Tulisan ini merupakan seri tulisan terakhir dari rangkaian program Arts Equator Fellowship 2024
Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggung jawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi serunai.co
Penulis: Arif Wibowo
Editor: Sylvie Tanaga