Serunai.co
Kolom

Bali Hampir Habis, Semenjana dan Tergantikan

pariwisata bali
Dansvoorstelling op Bali - KITLV 180253 - sekitar tahun 1935 (Foto; KITLV)

Benih industri pariwisata Bali dilahirkan dari rahim kolonial, dipupuk oleh kompos dari jasad ribuan nyawa yang dibantai, serta dirawat peradaban agraris dan keyakinan tirta (pengelolaan air) masyarakatnya. Setelah berbagai invasi militer ke tanah Bali disertai pertumpahan darah, kolonial mulai getol menjual Bali. Bali yang dulunya lebih dikenal sebagai pulau pemakan darah, gudang budak, dan masyarakatnya berpenyakit jiwa karena gandrung dengan tradisi kerasukan, pada 1920-1930-an mulai diubah citranya menjadi negeri para dewa, tanah mimpi, bahkan nirwana dari Timur.

Guna menyamarkan sekrup-sekrup kolonialisme, upaya mengubah citra Bali tak luput memunculkan beragam simbol seperti imaji perempuan-perempuan Bali bertelanjang dada. Usaha-usaha menjual Bali melalui jalur pariwisata pun diiringi pembentukan citra baru manusia Bali yang eksotis, artistik, otentik, damai – semuanya berfungsi menutupi masalah yang muncul akibat pengisapan kolonial.

Hingga beberapa dekade setelahnya, definisi manusia Bali selalu memicu perdebatan yang sering sejarahnya terus direntangkan ke belakang hingga era Majapahit atau bahkan lebih jauh dari itu. Perdebatan mengenai identitas manusia Bali mengingatkan saya pada dua pernyataan.

Pernyataan pertama saya dengar dalam sebuah diskusi di X (Twitter) Spaces yang diadakan BaleBengong tahun 2023, sebuah media independen yang banyak mengupas persoalan Bali. Seorang peserta diskusi, perempuan yang berdomisili di Jawa, menggerutu kesal. “Ketika di Bali, saya dibilang orang Jawa hanya karena lahir dan tumbuh di Jawa. Padahal kedua orang tua saya lahir di Bali dan kami masih memiliki rumah dan pura keluarga di Bali.”

Pernyataan kedua saya dengar pada acara diskusi di Taman Baca Kesiman Denpasar awal tahun 2024. Seorang teman mengatakan, “Saya masih sering dibilang nak Jawa (orang Jawa) padahal lahir dan tumbuh di Bali, juga memiliki rumah di Bali.”

Dari dua pernyataan di atas, kita bisa melihat tendensi bagaimana identitas sebagai manusia Bali seakan lebih menarik daripada identitas sebagai orang Jawa. Kecenderungan tersebut tentu bukan tanpa alasan. Menurut saya, alasan mengapa identitas manusia Bali terkesan lebih spesial tak terlepas dari akumulasi narasi industri pariwisata Bali serta narasi politik identitas yang sering dilontarkan sejumlah politisi untuk meraup suara.

Masa kemerdekaan dan revolusi serta meletusnya Gunung Agung pada Maret 1963 merupakan periode sulit bagi warga Bali yang kala itu belum sepenuhnya lepas dari praktik-praktik feodal. Pembagian hasil panen berdasarkan kesepakatan rakyat dengan keturunan ksatria/raja di Bali tidak mencukupi kebutuhan pangan rakyat Bali karena letusan Gunung Agung menyebabkan gagal panen.

Di waktu yang sama, Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui program “turun ke bawah” atau turba getol sekali mengorganisasi massa demi memperjuangkan pelaksanaan UU Pokok Agraria yang mengatur batas-batas hak warga negara atas kuasa tanah. Itulah salah satu alasan mengapa PKI dan sayap-sayapnya tumbuh pesat di kalangan masyarakat Bali. Warga menginginkan panen yang mampu mencukupi kebutuhan sekaligus merebut kuasa atas tanah yang selama ini didominasi keluarga raja.

Pada penghujung 1965 dan awal 1966, seiring prahara politik yang meletus di tanah Jawa, gubernur Bali pertama pascakemerdekaan Indonesia hilang tanpa jejak hingga detik ini, menyusul terjadinya pembantaian besar-besaran terhadap masyarakat Bali yang dituding terkait PKI. Kuburan massal tersebar di berbagai daerah. Akibatnya, upaya merebut kuasa atas tanah yang sejalan dengan UU Pokok Agraria tak pernah terdengar lagi sejak saat itu. Serupa tindakan kolonial pada masa lalu, pemerintah kemudian merekonstruksi ulang citra Bali dalam rangka “menjualnya” kembali.

Untuk menghilangkan jejak sejarah kelam, gubernur ketiga Bali yang bernama Ida Bagus Mantra (1978–1988) ditahbiskan oleh banyak kalangan sebagai nakhoda yang sukses membangkitkan kembali pariwisata Bali dengan slogan “pariwisata berkelanjutan berbasis pada kebudayaan”.

Ilusi “Era Emas” Pariwisata Bali

Periode emas industri pariwisata Bali diklaim terjadi sepanjang 1970-an hingga 2000-an awal. Slogan-slogan seperti Tri Hita Karana, “Desa Adat sebagai Benteng Tanah Bali”, “Bali Pulau Seribu Pura”, “Tanah Dewata”, Sapta Pesona, serta citra masyarakat Bali yang ramah berbudaya dengan segala macam ritual agungnya seolah melanjutkan narasi kolonial ketika mereka hendak menjual Bali.

Slogan-slogan yang didengungkan seiring pembangunan industri pariwisata besar-besaran yang berorientasi di kawasan selatan terkesan relevan, juga menghasilkan pundi-pundi yang bisa dirasakan langsung oleh berbagai lapisan masyarakat–terutama yang berdomisili di jalur pariwisata, juga mereka yang tergabung dalam komunitas adat yang sesungguhnya sudah terjamin kebutuhan primernya. Pengelola desa adat biasanya mendapat hak pakai, bahkan hak waris karang tanah adat.

Baca Juga:  Kegelisahan dalam Pias

Spirit suka-duka ditanggung bersama secara kolektif membuat warga Bali percaya bahwa merekalah pewaris atas segala milik leluhurnya yang telah dahsyat berbuat baik. Mereka pun merasa segala puja-puji memang layak dipersembahkan pada manusia Bali, bahwa ritual agama dan budaya perlu terus dirawat untuk pariwisata sekaligus pengukuhan identitas Bali sebagai pulau para Dewa.

Lahir di Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar, yang merupakan salah satu jalur utama pariwisata, saya tumbuh besar pada 1990-an dan sempat merasakan nikmatnya serpihan kue pariwisata masa-masa tersebut. Di mata saya dan teman-teman yang masih SD, wisatawan mancanegara itu bak sinterklas di film-film Natal. Kami akan mendekat dan berharap mereka menyodorkan kamera memotret kami atau kami menolong sekadarnya lalu mereka akan memberi coklat, permen, atau dolar.

Begitu pula kehidupan di desa saya. Nyaris tiap hari semarak oleh aktivitas kesenian, kerajinan, dan niaga barang atau jasa lainnya demi menyambut wisatawan. Seakan-akan apa pun bisa dipoles untuk meraup dolar. Artshop atau kios-kios milik warga lokal yang sudah terbiasa hidup kolektif juga berhasil menampilkan pertunjukan seni untuk wisata berbasis sekhaa (paguyuban).

Banyak tegalan di belakang rumah warga yang dulunya adalah kandang babi disulap menjadi homestay. Warga lokal juga sesekali diajak sanggar kesenian banjar untuk menari sebagai monyet anak buah Hanoman dalam lakon Ramayana di Nusa Dua atau Kuta. Saya menyaksikan sendiri menjamurnya bangunan mewah untuk mengakomodasi wisatawan yang terasa tidak asing. Taman berpohon kelapa dengan arsitektur Bali yang begitu kuat serta hiasan janur bunga kemboja dan gumitir persis seperti properti upacara di pura, hanya saja tersaji di hotel-hotel yang lekat dengan aroma parfum Barat.

Saya ingat jelas bagaimana kehidupan pariwisata pada tahun-tahun tersebut bergulir hangat. Tiap sudut Bali seakan menarik bagi wisatawan. Sebagai manusia beridentitas Bali, mencari uang dari pariwisata terasa cukup mudah.

Sayangnya, banyak masyarakat di desa saya tak pandai mengelola uang dalam jangka panjang. Daripada membeli aset dan investasi bisnis di luar pariwisata, atau investasi pendidikan untuk anak-cucu mereka, warga cenderung menghambur-hamburkan uang untuk pesta, meningkatkan kualitas upacara ritual, dan tentunya berjudi. Celoteh “uang seperti jenggot” yang hari ini dikuris namun besok tumbuh lagi diungkapkan dengan penuh keyakinan bahwa industri ini akan berkelanjutan karena budaya Bali tak pernah habis dijual.

Bahkan ketika krisis moneter 1997-1998 melanda dan disiarkan berbagai media nasional, rasanya seperti dongeng nun jauh di sana karena orang-orang di jalur pariwisata Bali malah sibuk membeli bir atau masak bersama. Melonjaknya nilai tukar dolar membuat warga seperti menang lotre dadakan. Simpanan dolar yang nilainya setara Rp2,500-an tiba-tiba meroket menjadi Rp16,000-an per satu dolar.

Hingar bingar pariwisata, kebiasaan menuai puja-puji tiada henti, dan hubungan akrab dengan mata uang asing akhirnya menyebabkan manusia Bali enggan mengerjakan pekerjaan di luar pariwisata. Para pendatang dari luar Bali yang warna kulitnya mirip langsung dijuluki “orang Jawa” sekalipun datang dari Sumatra, misalnya. Warga Bali menganggap mereka datang untuk bekerja dan berpikir lebih keras karena tidak memiliki hak dan kewajiban adat atas Pulau Bali. Tangan-tangan mereka dianggap tak mampu memancarkan kebudayaan adiluhung yang dapat menarik dolar.

Kesan diskriminasi terhadap wisatawan domestik yang datang ke Bali masa-masa itu terasa kuat. “Rombongan bebek” atau “rombongan Indonesia Raya” adalah celoteh yang sering saya dengar sepanjang 1990-an sebagai julukan bagi turis dalam negeri.

Untuk menonton pertunjukan seni di desa saya, tiket bagi wisatawan domestik dijual lebih murah namun mereka harus bersedia duduk berjajar di belakang wisatawan mancanegara. Kala itu, wisatawan domestik memang lebih sulit mengakses berbagai lokasi wisata. Setiap tindak kriminalitas atau pencurian pun selalu latah dikaitkan dengan orang Jawa. Warga Bali berpikir bahwa hidup mereka sudah lebih dari cukup sehingga tidak mungkin manusia Bali terpikir untuk mencuri.

Tak banyak yang sadar bahwa “masa keemasan pariwisata” itu seperti tambang mineral. Tanpa terasa, pariwisata pelan-pelan mengikis peradaban dan mengubah orientasi hidup manusia Bali. Pariwisata membuat manusia Bali dari satu generasi ke generasi selanjutnya makin jauh dari peradaban agraris dan esensi agama Hindu Bali tentang bagaimana seharusnya melihat tanah dan perjalanan air.

Baca Juga:  (Mengapa) Ada Jarak di Antara Kita

Tanah yang dahulu dianggap paling berharga dan sering kali dimiliki keluarga kerajaan adalah tanah yang paling dekat dengan sumber mata air atau sungai. Generasi kakek-nenek saya sering bertengkar masalah jatah air yang mengaliri sawah mereka. Kini, tanah yang paling berharga di Bali bukan lagi yang teraliri air tetapi yang lokasinya paling dekat dengan jalur pariwisata.

Industri pariwisata menjelma Dewa baru. Pelayanan terbaik harus disuguhkan sekalipun dengan berpura-pura. Barang siapa yang dekat dengannya akan diberikan kemudahan rezeki, kesejahteraan, dan terselamatkan. Pariwisata dianggap abadi dan akan berkelanjutan dengan segala puja-pujinya.

Terang saja banyak manusia Bali tak sadar bahwa pariwisata adalah industri yang sesungguhnya berdiri di atas pijakan yang sangat rapuh, yang kemudian terbukti ketika pulau ini dihajar rentetan serangan bom pada 2000-an dan dinamika perubahan ekonomi global yang memengaruhi kualitas serta kuantitas wisatawan yang datang.

Manusia Bali lantas kebakaran jenggot sampai dagunya mengalami luka bakar.

Bali Nyaris Habis

Jenggot tak lagi tumbuh lebat seperti sediakala. Banyak usaha lokal bangkrut karena para pelaku pariwisata Bali minim alternatif. Mereka pun terpaksa banting setir menjadi pekerja. Sekhaa atau paguyuban kolektif babak belur akibat kalah berkompetisi dengan para pemodal perorangan yang menerapkan praktik kapitalis tanpa memedulikan selera. Pelan-pelan, banyak orang Bali memilih menumbuhkan jenggot secara instan dengan menjual tanah warisan adat atau asetnya. Hingar bingar pariwisata yang perlahan pulih pascatragedi makin jauh dari cita rasa sebelumnya.

Ketika pasar menyempit karena kian banyak yang bisa berdagang, yang dilakukan bukannya menjaga atau meningkatkan kualitas tapi malah memperlebar ceruk pasar. Siapa saja bisa berdagang sehingga kualitas makin turun seiring harga barang dan jasa yang makin murah.

Pada titik inilah pariwisata Bali kini berada.

Hari-hari ini, slogan-slogan adiluhung tentang pulau ini kian terasa tak relevan. Konsep Tri Hita Karana atau “tiga hubungan baik sebagai manusia”, misalnya. Meski masih sering dikumandangkan politisi sebagai pemanis, konsep ini menjadi sangat kontradiktif dengan kenyataan Bali yang babak belur dihajar pembangunan tak terkendali. Kriminalitas pun jadi makanan sehari-hari.

Bali seolah tak lagi memiliki ruh, hanya benda mati yang dapat diubah menjadi apa pun sepanjang bisa menunjang keberlanjutan modal dan kekuasaan. Bayangkan betapa mualnya membaca butir-butir Sapta Pesona di tengah kemacetan lalu lintas Bali atau setelah melihat fasilitas umum di Bali.

Dalam kubangan pariwisata massal, pemodal makin terang-terangan menguasai hampir seluruh perputaran uang dan aset pulau ini. Perizinan tidak berpihak pada kepentingan alam maupun masyarakat lokal. Kemajuan Bali semata diukur dari jumlah kunjungan turis. 

Mau tak mau, harus diakui bahwa Bali seakan kembali ke pangkuan kolonial.

Nilai-nilai identitas manusia Bali kian semenjana. Siapa pun bisa berdagang, apa pun bisa dijual. Kode etik hanya berlaku pada penggunaan simbol-simbol yang itu pun hanya permukaan karena dapat dikenakan oleh siapa pun. Di media sosial, kerap kita lihat bagaimana warga negara asing sangat leluasa melakukan transaksi jual-beli tanah dan properti di Bali bermodalkan pakaian adat semata.

Desa adat yang bertahan cukup lama sebagai benteng pengaman adat dengan sejumlah privilese bagi manusia-manusia Bali juga kian terkikis, bahkan dipandang sebagai beban. Desa-desa adat telah habis dijual namun mewarisi tanggung jawab adat yang sama. Warisan adat tak memperhitungkan bagaimana jika generasi penerusnya terlalu mengandalkan industri pariwisata sehingga tak mampu bersaing dalam ranah industri lain yang tak begitu memerlukan kecakapan pelayanan.

Sejumlah anak muda Bali bahkan berceloteh bahwa pekerjaan di Bali tak lagi menjanjikan, sehingga mereka menargetkan pergi ke luar negeri demi pengalaman dan upah yang lebih baik. Generasi TikTok Bali pun tak lagi melihat turis mancanegara seperti Sinterklas atau Mister yang murah hati. Kejadian demi kejadian viral yang berseliweran di layar gawai mereka memperlihatkan perilaku serampangan turis asing. Alih-alih Sinterklas, turis asing lebih identik dengan para pembuat onar.

Ketika kaum terpelajar bertanya-tanya bagaimana masa depan Bali tanpa subak, saya melihatnya sebagai pertanyaan romantis yang tidak menapak tanah. Dua tahun dihantam pandemi Covid 19, subak atau apa pun yang dianggap sebagai akar pulau ini terbukti tak mampu menjadi alternatif.

Baca Juga:  Mengapa Kritik Musik Begitu-Begitu Saja?

Tanah, air, dan udara Bali tak lagi relevan dengan filosofi yang selama ini diagung-agungkan. Sepanjang pandemi Covid 19, doa warga Bali yang paling santer diucapkan di media sosial justru “kapan lalu lintas Bali akan macet lagi namun rezeki dan cicilan lancar?” Bagaimana kita bisa bicara mengenai keberlangsungan subak ketika kondisi tanah di Bali saja sudah compang-camping? Bagaimana kita bisa bicara mengenai akar kebudayaan Bali ketika kuasa ruang tak lagi kita miliki?

Sebagai bagian dari masyarakat desa adat di Bali, saya memperhatikan bahwa hampir semua simbol dalam upacara-upacara besar pada dasarnya adalah pengukuhan dan perayaan sebagai masyarakat agraris. Ironisnya, manusia Bali hari ini bukan lagi masyarakat agraris. Ketika kendali ruang dan akses masih di tangan orang-orang Bali, upacara-upacara ritual masih terasa relevan karena dapat dimaknai sebagai ungkapan syukur atas kehidupan yang baik, sekaligus daya tarik bagi wisatawan.

Menyudahi Romantisme

Di tengah ruang-ruang warisan yang menyempit namun tetap diikat tanggung jawab adat, generasi muda Bali akhirnya memaknai adat sebagai beban yang membuat mereka tak lagi bisa menikmati hidup, bahkan untuk sekadar tempat tinggal yang layak. Mereka harus menghadapi kenyataan pahit orang Bali harus membeli tanah di Bali dengan harga yang kian tak terjangkau.

Tingginya angka bunuh diri dan banyaknya masyarakat Bali yang menderita skizofrenia justru menunjukkan bahwa manusia Bali adalah manusia yang paling tidak bisa menikmati liburan. Jatah cuti pekerja kantoran habis oleh kegiatan ritual, sementara warga yang mengais nafkah di sektor pariwisata pun harus bergumul dengan waktu untuk memenuhi tanggung jawab sebagai manusia adat. Belum lagi bicara soal kemacetan dan kondisi fasilitas umum yang kian memprihatinkan.

Pertanyaannya, apakah cara-cara hidup, kegiatan ritual, dan budaya-budaya manusia Bali yang masih dipertahankan sampai hari ini benar-benar masih menjadi daya tarik wisatawan?

Di berbagai lokasi, bukankah ritual dan budaya Bali juga sudah kalah oleh musik disko, miras, dan kembang api di kelab-kelab malam? Apakah pundi-pundi masih mengalir pada manusia-manusia Bali yang menjalankan ritual, atau jangan-jangan ritual-ritual tersebut justru jadi tontonan gratis yang dianggap sebagai bonus demi kelangsungan bisnis? Apakah statistik kunjungan wisatawan benar-benar datang dari para turis atau justru pelaku gentrifikasi yang bersembunyi di balik topeng turis?

Saya rasa manusia Bali perlu menakar kembali kualitas ritual adat dengan hal yang benar-benar relevan dengan manusia Bali hari ini.

Manusia Bali perlu makin kritis dengan teori-teori pelestarian budaya yang hanya bertendensi menjaga “supply material” yang memaksa warga lokal mempertahankan praktik-praktik eksotis melelahkan yang sebenarnya sudah tidak relevan.

Patut disadari bahwa identitas manusia Bali hari ini tak lagi sama seperti masa keemasan pariwisata. Kita harus mengakui bahwa karma-karma kebaikan leluhur manusia Bali yang dahsyat itu sudah hampir habis. Tak ada lagi privilese atau keberuntungan semudah dulu. Manusia Bali yang telah mengambil hak-hak adatnya harus mulai berpikir bagaimana praktik-praktik tanggung jawab adat menjadi lebih relevan dengan kebutuhan hidup sehari-hari dan kepentingan bersama.

Ada baiknya manusia Bali mulai memahami identitasnya di luar kacamata takdir nan kekal melainkan bisa tergantikan kapan saja dan oleh siapa saja, bahwa manusia perlu belajar untuk memperjuangkan ruang-ruang hidup yang layak. Sebagai warga negara taat pajak, manusia Bali tentu berhak atas fasilitas umum yang memadai, jaminan sosial, dan pengelolaan ruang hidup bersama yang lebih baik. Kehidupan yang bermartabat bukan persoalan takdir tetapi perjuangan setiap hari untuk meraihnya.

Terakhir, puja-puji terhadap identitas manusia Bali yang sedari dulu masih kuat menggema dalam benak sebaiknya disimpan saja di laci bersama barang-barang masa lalu yang kurang berguna. Tanpa mengecilkan optimisme menjalankan kehidupan dan masa depan yang lebih baik, manusia Bali hari ini sangat perlu belajar banyak dari nyamuk yang bisa mati kapan saja hanya oleh satu tepuk jemari tangan.

Catatan Editor: Tulisan ini memiliki benang merah topik tentang “politik identitas” yang sama dengan tulisan “Seni Banyuwangi Dalam Pergulatan Identitas dan Kuasa” yang ditulis oleh Arif Wibowo.

Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggung jawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi serunai.co

Penulis: I Wayan Willyana

Editor: Aris Setyawan

Related posts

Turba

Aris Setyawan

Sebuah Ingatan tentang Banda Neira

Michael H.B. Raditya

Menjaga Musik Tradisi dengan Etnomusikologi

Aris Setyawan

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy