Melankolia secara sederhana dipahami sebagai kenangan atau keadaan yang muram, sedih, dan kelam. Penyebab melankolia sering kali tak jelas. Kesan murung inilah yang saya rasakan ketika mendengarkan album terbaru Jalan Pulang berjudul Dan Kisah-Kisah Lainnya. Album ini dirilis pada tanggal cantik, 22 Februari 2025, berisi 11 lagu dengan total durasi 54 menit 43 detik. Karya ini diluncurkan setelah album Jalan Pulang (2014) dan EP Variasi Pada Tema Pulang (2016).
Terinspirasi naskah drama, saya ingin membahas album ini dalam 11 babak berdasarkan jumlah lagu. Metode yang saya gunakan lebih mengacu pada analisis lirik dan interpretasi saya sendiri alih-alih mengomentari ‘an sich’ musikalitas band kelahiran Yogyakarta tahun 2010 berjenis pop-balada tersebut. Saya memosisikan diri sebagai pendengar album karya Irfan R. Darajat dan kawan-kawan.
Babak I – III: Sejumput Permulaan Getir
Babak I diawali dengan pengenalan (eksposisi). Sebagaimana secarik surat yang dimulai dengan “Yth. Bapak/Ibu”, nomor awal album ini pun dimulai dengan lagu berjudul “Kepada Ytc.” Mulanya, saya tak tahu siapa itu “Ytc”. Para pendengar pun tampaknya dibebaskan menduga-duga siapa sosok “Ytc”. Mungkin saja kepanjangan dari “Yang Terhormat Cinta”, “Your True Colors”, atau memang singkatan yang sudah sangat jarang dipakai: “Yang Tercinta”— saudara kandung “Yang Terhormat” (Yth.).
Namun, tak seromantis singkatannya, lagu ini bercerita tentang kisah sedih sepasang kekasih yang putus. Salah satu pihak meminta perpisahan ini menjadi sebuah perpisahan baik-baik. Menengok laman SoundCloud sang vokalis, Irfan R. Darajat, lagu ini sebenarnya sudah dirilis sekitar 10 tahun lalu.
Sesuai pengakuan Irfan, lagu ini terinspirasi cerpen berjudul “Perpisahan Baik-Baik” yang ditulis A.S. Laksana. Cerpen ini berkisah tentang Robi dan Ratri yang sudah berpacaran selama tujuh tahun, tapi terpaksa putus karena alasan pelik. Ratri tidak bisa memberikan keturunan ketika nanti menikah dengan Robi, sedangkan ibu Robi menginginkan cucu dari anak semata wayangnya itu.
“Bagaimana mungkin dua orang yang saling mencintai / Bisa mengakhiri cerita dengan baik-baik? / Bagaimana mungkin aku mendoakanmu / Agar kau temukan seseorang yang lebih baik dariku? / Dan bahagia selamanya?”
Beda orang beda interpretasi. Musikus Bagus Dwi Danto sempat bercerita pada Irfan jika lagu patah hati ini ia bayangkan sebagai perpisahan Papua dengan Indonesia. Liriknya dimaknai lebih politis, yaitu bagaimana dua pihak berdampingan yang seharusnya saling menghargai ternyata terbelit hubungan kompleks di mana salah satu pihak ingin menentukan nasibnya sendiri. Dua pihak yang saling terikat belum menemukan jalan keluar yang sama-sama adil.
Seperti masih melanjutkan kisah putus cinta “Ytc”, para pendengar disuguhkan lagu “Di Kota Ini Tak Ada Lagi Kamu” pada Babak II. Konflik yang terlalu cepat bergulir dalam Babak I membuat ‘aku’ sebagai tokoh utama melanjutkan kegalauannya dengan menikmati melankolia di ruang publik. ‘Aku’ merasa kehilangan rumah dan tempat yang nyaman untuk pulang.
Namun, lagu yang ditulis 11 tahun silam ini lebih dari sekadar urusan personal. Lagu ini merupakan bagian dari kerja sama Jalan Pulang x Kota untuk Manusia dalam merespons masalah-masalah yang muncul di perkotaan, khususnya Yogyakarta. Kosakata-kosakata kota terbata-bata dalam memberikan kesejahteraan, kenyamanan, dan keamanan bagi warganya.
“Katakanlah padaku / Di manakah, hangat pelukmu? / Tunjukkanlah padaku / Ke mana rindu harus bermuara / Pohon-pohon lupa di mana ia dilahirkan / Langkah-langkah kaki tersesat dalam keramaian / Kenangan-kenangan terhempas asap kendaraan / Tiada lagi yang tersisa dari rindu kita…”
Sengkarut kota yang bikin frustrasi berlanjut ke Babak III dengan lagu “Sif Malam”. Pertama membaca judulnya, pikiran saya langsung terhubung dengan para pekerja yang terpaksa lembur hingga larut malam—yang juga pernah saya alami. Lagunya terasa nyesek hingga saya berderai air mata. Lagu ini mengingatkan saya pada berbagai hal berat dalam hidup, yang tak bisa saya terjemahkan dengan baik. Saya seperti diajak mengenali luka yang sama akibat ketidakmampuan belajar dari masa lalu.
Lagu ini dituturkan menggunakan sudut pandang orang ketiga ‘dia’ dan ‘kau’, juga sudut pandang orang kedua ’-mu’ yang membuat narator lebih fleksibel bercerita. Ia seolah bilang bahwa marak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari orang yang melakukan coping luka dengan cara tak henti menenggelamkan diri dalam pekerjaan yang telah di-setting para kapitalis. Tokoh ‘dia’ dalam lagu ini menjebak diri dalam rutinitas, tertutup dan bungkam, juga tak mau menunjukkan sisi rentannya. Ia menolak terlihat cengeng apalagi sampai menangis dengan napas tersengal-sengal.
“Dia tak ingin bercerita atau berkeluh kesah / Dia hanya ingin terus bekerja dan melupakan semua.”
Puncak luka bisa kita rasakan pada bagian refrein di bawah ini.
“Dan pagi datang / Membawa semua luka yang sama / Membawa segala derita bahwa ada / Yang tak mungkin lagi untuk kembali….”
Sebuah keputusan yang tepat ketika Jalan Pulang dalam keterangan yang disampaikan lewat akun Instagram mereka (@jalanpulang_) mengatakan bahwa lagu “Sif Malam” merupakan single utama dalam album Dan Kisah-Kisah Lainnya (DKKL). Personifikasi “dan kesepian semakin mahir merawatmu” seperti menjelaskan bahwa kesepian itu hidup. Tak hanya hidup, kesepian juga ahli menjalankan tugasnya, bahkan dalam melakukan kerja-kerja perawatan. Kurang hebat apa? Sesekali ia mengejek kita: Akhhh, LEMAH!
Babak IV – VIII: Penjara Labirin Air Mata
Pada 2011, Nuri Bilge Ceylan menyutradarai film Once Upon a Time in Anatolia tentang perjalanan metafisik dan reflektif akan kehidupan, kematian, dan batas ketidaktahuan. Suatu hari, Irfan memuji film ini karena kualitas sinematografinya. Film tanpa scoring dengan menekankan soundscape yang suram dan sepi. Jika Irfan adalah suasana, mood seperti itulah yang cocok dengan kepribadiannya. Suasana muram serupa tergambar dalam Babak IV dalam lagu “Kartu Pos dari Moskow”.
Moskow adalah ibukota Rusia yang muram di sepanjang musim dingin, sebagaimana negara-negara Nordik lainnya. Winter mood inilah yang menginspirasi Irfan—tercermin dalam visualisasi lirik sendu yang tak hanya literal kata per kata tapi juga keseluruhan kisahnya. Metafora demi metafora lahir dari keterpukauan Irfan terhadap foto-foto kota yang mati dan yang tumbuh karena pepohonan.
“Kau ceritakan padaku tentang angin yang berhembus kencang / Dan matahari yang bersinar tak begitu terang / Abjad-abjad membeku sisa dari musim salju / Lalu kenangan menyusup di sela-sela huruf yang kau tulis.”
Lagu tersebut Irfan tulis berdasarkan pengalamannya bersama sang mantan kekasih yang bersekolah di Rusia. Ia merasa hubungan mereka berlangsung pelik. Meski terpisah jarak dan waktu yang sangat jauh, Irfan masih menerima surat-surat pos dari Moskow secara fisik.
“Ingatkah kau dengan pohon kesepian yang selalu kau gambar / Di sana ada diriku dan penantian yang usang / Dan cinta kita jauh lebih rumit dari hadirnya uang.”
Lagu ini termasuk salah satu lagu terbaik Jalan Pulang yang single-nya sering saya dengar sebelum masuk album. Mudah menghafal lirik, saya sangat ngeh saat larik “dan cinta kita jauh lebih sengit dari dinginnya perang” diganti dengan “dan cinta kita jauh lebih rumit dari hadirnya uang”. Saya kurang cocok dengan pergantian larik tersebut karena dinginnya perang dan hadirnya uang adalah dua hal yang berbeda. Lagu ini rasanya lebih cocok menggunakan “sengit dari dinginnya perang” yang lebih menggambarkan nuansa perang dingin.
Materi yang Irfan tulis dalam lagu ini juga terinspirasi puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka”. Dalam puisi tersebut, Sapardi menulis, “Ketika jari-jari terbuka / Mendadak terasa: betapa sengit / cinta kita.” Bagi Irfan puisi ini aneh. Meski judulnya terkesan positif dengan perlambang bunga-bunga yang terbuka, suasana yang dibangun sungguhlah rumit.
Memasuki Babak V dengan “Gambar Tuhan di Punggungmu”, lagu ini seperti titik tengah, oasis, serta katarsis dari berbagai masalah duniawi yang muncul di sepanjang album. Ia melontarkan pertanyaan besar, “who am I?” dalam jalan menuju “pulang”. Lagu dengan judul yang berpretensi menjadi religius ini secara intertekstual mengingatkan saya pada lagu-lagu religi yang dilantunkan Chrisye.
Saya masih memiliki pertanyaan atas lagu ini. Pertama, bagaimana Jalan Pulang menggambar Tuhan? Dalam tradisi Muslim, Tuhan tak bisa digambar meski dalam Kekristenan Tuhan kerap digambarkan sebagai Yesus yang berambut gondrong dan berwajah teduh penuh kasih. Kedua, apakah gambar tersebut serupa tato di punggung? Ketiga, apakah menggambar Tuhan hanyalah sebuah metafora? Apakah Tuhan dalam hal ini adalah sebuah kesadaran murni di mana punggung mencerminkan banyaknya orang yang telah membelakangi dan mengacuhkan Tuhan?
“Terbangun di tepi malam / Menanti lamunan pulang / Dan ingatan yang tersesat / Ke tempat yang semestinya tak kujamah / Adakah waktu sembuhkan / Semua sesal yang sia-sia / Jadi labirin air mata / Gambar Tuhan yang telantar di punggungmu.”
Memperhatikan keseluruhan lirik, saya menangkap kesan lagu ini adalah tentang pertobatan yang muncul pada larik, “Berikan aku satu kesempatan, tuk diam-diam menangisimu.” Tapi bisa saja saya salah. Bisa saja yang dimaksud adalah tuhan-tuhan kecil yang mewujud dalam diri orang-orang yang kita cintai. Mereka yang kerap luput dari perhatian karena kita lebih tertarik menyambangi tempat-tempat yang tak perlu dijamah. Entahlah. Hari-hari ini, batas antara maksiat dan taat semakin kabur.
Pada Babak VI, “Kisah Cinta dalam Lagu Pop”, ingatan saya melayang pada kisah Nabi Nuh yang hendak menyelamatkan diri menggunakan bahtera sebelum Tuhan menenggelamkan dunia.
“Bangunlah / Kemasi pakaianmu / Sebelum pagi membangun dunia / Dan penyesalan membenamkan seluruh kota / Lekaslah / Ucapkan perpisahan / Kepada mereka yang pernah mengasihimu / Kepada semua yang akan mengenangmu.”
Tentu saja lagu ini bukan tentang Nabi Nuh melainkan harapan akan akhir yang baik dalam kisah penuh melankolia yang tengah kita jalani. Caranya? Mengusahakan apa pun. Menulis puisi, tidak sembunyi, memberi ruang pada hal-hal sepele yang jarang disyukuri seperti hujan, lamunan, dan lagu-lagu. Ah, lama-lama jadi teringat #KaburAjaDulu, satir terkini tentang kondisi negeri yang selalu penuh drama – jauh lebih dramatis dari kisah-kisah dalam banyak lagu pop.
Narasi #KaburAjaDulu sangat terkait dengan Babak VII, “Hati-Hati Ada Pekerjaan”. Mendengar lagu yang ditulis dan dikomposisi Damar N. Sosodoro bersama Irfan R. Darajat ini, saya seketika ingat “Hari Berpisah dengan Cita-Cita” yang diperingati setiap 25 Februari, dilatari kisah ketika Ayah Nobita meninggalkan cita-citanya menjadi pelukis dan memilih menjadi pegawai kantor.
“Diam-diam kau menukar cita-citamu / Dengan sebait puisi / Di bawah meja sekolah / Diam-diam kau membuang masa mudamu / Demi kisah cinta yang asing / Yang selalu dia inginkan.”
Realita, keluarga, bahkan sosok yang dicinta menggiring manusia mengubah cita-citanya. Untuk itu, manusia menggadaikan waktu tidur, juga mematahkan dan mengeraskan hati dengan taburan demotivasi sana-sini: “jangan peluk rembulan”, “jangan terlena gemerlap lampu kota”, “jangan bersabar”. Jangan mimpi muluk-muluk! Seseorang jadi asing dengan dirinya sendiri. Lagu ini linier dengan “Sif Malam”, yaitu bagaimana struktur sosial tak memberi kita ruang menjadi manusia waras.
Pada Babak VIII, “Luka Ingatan”, memori saya langsung mengarah pada puisi “Bunga dan Tembok” karya Widji Thukul. Seumpama bunga / Kami adalah bunga yang / Dirontokkan di bumi kami sendiri / Jika kami bunga / engkau adalah tembok itu / Telah kami sebar biji-biji / Suatu saat kami akan tumbuh bersama.
Jalan Pulang memperkaya puisi Widji Thukul: “Mengapa bunga-bunga berkeras untuk terus tumbuh / Di celah trotoar yang nyaris remuk dan tak ada yang peduli.” Saya curiga penggalan lirik inilah yang menginspirasi Jalan Pulang memutuskan visualisasi sampul album DKKL. Visualisasi hitam-putih perihal rumah-rumah yang ditinggalkan penghuninya.
Saya memiliki kenangan yang lekat dengan lagu ini.
Suatu malam pada 2015, usai bersepeda keliling kota Solo, saya bersama seorang teman hendak mampir ke rumahnya yang berlokasi di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Dalam perjalanan, kami harus menghentikan sepeda di sebuah perlintasan, menunggu kereta yang hendak lewat. Hujan menyisakan gerimis. Saat itulah saya menyaksikan sekawanan burung berbaris di rentangan kabel-kabel lampu jalan raya. Tubuh-tubuh mereka tersorot lampu bercahaya keemasan. Itulah salah satu momen terindah dalam hidup saya, yang suasananya mirip dengan lirik yang ditulis Jalan Pulang.
“Mengapa burung-burung melamun di atas kabel yang bersengkarut / Mungkin mereka telah tersesat dan tak ingin pulang lagi / Pohon-pohon tak perlu berlomba dengan barisan papan iklan / Tentang siapa di antara mereka yang jauh lebih murung.”
Babak IX: Dialog di Pulau Laut
Saya punya kenangan panjang terkait lagu “Pulau Laut” sehingga menulisnya dalam bab tersendiri. Cerita bermula ketika saya masih berkuliah di Yogyakarta sekitar satu dekade silam. Ketika itu, saya menjabat pemimpin redaksi sebuah lembaga pers mahasiswa. Seorang anak magang tertarik menulis tentang musik dan ingin mewawancarai vokalis Jalan Pulang, Irfan R. Darajat. Karena tak pede, ia minta saya menemaninya. Saya sambut dengan senang hati karena bagi saya, reproduksi sosial yang terkait erat dengan kerja-kerja pendampingan dan perawatan tak kalah penting dibandingkan hasil akhir liputan.
Wawancara dengan Irfan berlangsung di sebuah warung kopi di Sorowajan, Yogyakarta. Itulah pertama kalinya saya mengenal Jalan Pulang. Obrolan demi obrolan mengalir deras. Saya tak ingat detailnya, namun Irfan mengesankan sosok yang hangat, cerdas, dan nyastra. Ia suka membaca puisi Subagio Sastrowardoyo, esai musik Remy Sylado, cerpen Budi Darma, dan novel Pramoedya Ananta Toer. Irfan adalah mantan aktivis kampus yang kini mengajar di Program Studi Kearsipan di Sekolah Vokasi UGM.
Singkat cerita, saya kembali mewawancarai Irfan pada 1 Mei 2021 lewat Zoom karena Covid-19 masih mewabah. Wawancara ini menjadi salah satu bahan tugas akhir Sekolah Urbanis 2021 yang diadakan Rujak Center for Urban Studies (RCUS). Kala itu, kepala sekolah Irwan Ahmett dan Tita Salina menugasi kami membuat karya seni setelah pelatihan selesai. Karena saya berlatar bidang penulisan, tugas akhir saya berupa cerpen sementara peserta lain membuat foto, video, dan instalasi seni.
Materi dasar cerpen saya berasal dari lagu “Pulau Laut” karya Jalan Pulang yang sering saya dengar lewat kanal YouTube, ditambah wawancara dengan metode etnografi di pantai selatan Yogyakarta. Bagi saya, lagu ini sangat keren dari sisi lirik, nada, makna, maupun vibes.
Para pendengar disuguhkan pada dialog dua orang yang uniknya disuarakan dalam satu vokal saja. Lagu ini seperti surat rindu bagi “ayah” yang bekerja di laut. Awalnya, saya kira diksi “Pulau Laut” lahir dari Irfan yang memang puitis. Saya berupaya mengimajinasikannya, sampai-sampai mengalami aphantasia atau kesulitan membayangkan gambaran mental sebuah bacaan—serupa orang yang kesulitan membayangkan 10 domba saat diminta menghitungnya sebelum tidur.
Setelah mewawancarai Irfan, saya baru ngeh kalau Pulau Laut ternyata nama sebuah tempat di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan—terpaut jarak sekitar 169 kilometer dari Banjarmasin. Pulau Laut ternyata menjadi tempat peristirahatan terakhir ayah salah seorang personel Jalan Pulang yang mengisi posisi drum, Indra Agung H.
Aku:
Entah bagaimana caranya
Kau menumbuhkan tangkai rindu
Pada reranting jemari, yang tak pernah kau genggam lagi
Jejak langkahmu yang tertinggal, tak sepenuhnya mampu kuikuti
Dia:
Di satu pagi yang sepi
Kulihat kau melangkah sendiri
Tiada jejakku menemani, perjalananmu yang berliku
Kutahu pasti, kau kan lelah dan terluka, tapi bukanlah kita semua begitu?
Saya menebalkan kata ‘aku’ dan ‘dia’ sebagai tanda bahwa walaupun lagu ini dinyanyikan dalam satu vokal yang sama, sebetulnya dialog dua orang yang berbeda—yaitu antara anak dan bapak.
Bagi Irfan, hubungan orang tua dan anak sangat beragam wujudnya. Selain kasih sayang, ketegangan pun bisa mencuat, misalnya sang anak bercita-cita jadi musisi sementara sang bapak ingin anaknya jadi dosen. Ketegangan-ketegangan ini melibatkan parade roda emosi (emotion wheel) yang kompleksitasnya berhasil ditangkap dengan baik oleh Irfan lewat frasa-frasa puitis seperti “tangkai rindu”, “melipat perahu”, “reranting jemari”, dan “jemari yang tak kau genggam lagi”.
Diksi “melipat perahu” diakui Irfan sedikit terpengaruh dari novel karya Dee Lestari, Perahu Kertas (2004). Inti sari lagu ini adalah tindakan sang anak mengirim doa pada ayahnya melalui metafora perahu kertas yang kemudian dilarung ke laut dengan harapan jawaban doa tersebut sampai pada sang ayah. Ada simbol agama di dalamnya. Irfan pun ingin liriknya berbentuk dialog.
Untuk membedakan tiap kalimat dialog, bisa saja Irfan memilih lagu tersebut dinyanyikan secara duet. Rupanya tidak. Satu vokal menjadi siasat Irfan yang lahir dari referensi lagu-lagu yang pernah ia dengar, khususnya saat ia menemukan lagu dialog yang dilahap dalam satu vokal. Meski nadanya lurus, liriknya ternyata berupa dialog. Ini menjadi jalan ninja Irfan mengusik para pendengarnya. “Ada pemaknaan yang berubah atau bertumbuh ketika dengerin dengan membaca liriknya,” ungkap Irfan.
Awalnya, saya mengartikan lagu ini sebagai cerita seorang anak yang ditinggal ayahnya. Sang ayah seorang nelayan yang tewas saat melaut. Saking rindunya, sang anak berdialog secara imajiner. Alangkah terkejutnya saya ketika Irfan menjelaskan bahwa lagu ini tidak ada hubungan sama sekali dengan nelayan. Jalan Pulang sengaja bermelankolia untuk hal-hal yang personal.
Pulau Laut pun muncul karena alasan personal.
Ceritanya, Irfan sedang mencari sebuah tema bagi ketiga personel Jalan Pulang yang ayahnya sudah meninggal. Lagu ini wujud simpati Irfan pada rekan-rekannya sekaligus proyek kolaborasi bersama para perupa seperti Gilang Nuari dan kawan-kawan. Model kolaborasi ini serupa dengan konsep Lelagu, ajang perpaduan seni musik dan seni rupa yang rutin digelar di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta. Para perupa biasanya memvisualisasikan musik-musik yang tengah dimainkan secara live.
Rumah Layar Maya lantas menggagas pembuatan video Pulau Laut melalui program mereka, “Meruang”. Irfan mengusulkan Gilang membuat karya baru tanpa mengandalkan lagu yang sudah ada. Kebetulan saat itu Irfan memikirkan tema relasi, namun bukan relasi kekasih (cinta lawan jenis) melainkan ayah dan anak. Irfan kemudian bermain metafora dengan membayangkan latar tempat. Yang kemudian muncul adalah imajinasi laut, tepi pantai, juga perahu untuk menggenapi keseluruhan visual. “Pulau Laut nama tempat, tapi sudah kayak judul puisi aja,” terang Irfan.
Proyek video Pulau Laut yang dikerjakan hingga enam bulan tersebut menghasilkan karya yang sungguh unik. Bernuansa merah dan biru yang menjadi karakter unik Gilang, mood dalam video klip tersebut menampakkan orang yang sedang gelisah menunggu, namun raut wajahnya tak terlihat. Menurut Irfan, ciri kegelisahan paling kentara tampak dari gestur kaki yang bergoyang-goyang, tidak nyaman, dan bergonta-ganti posisi. “Kalau gelisah, kakiku kayak orang sedang menjahit,” ujarnya.
Pesan yang ingin disampaikan Irfan dalam Pulau Laut adalah ketika anak rindu dengan orang tua, tidak masalah jika ia mengekspresikan kerinduan tersebut dengan memeluk dan mengungkapkan perasaan apa adanya. Meskipun sang anak sudah dewasa dengan pola pikir yang berbeda, pola pikir orang tua cenderung stagnan, yakni menganggap anaknya sebagai anak kecil yang mereka asuh dulu.
Irfan berujar bahwa dalam relasi ayah dan anak, pasti terdapat tegangan-tegangan, terlebih ketika mereka tidak ada, seperti kekhawatiran anak yang tak memenuhi harapan orang tua. Menurut Irfan, meski gagal, seseorang masih bisa memenuhi harapan dengan cara lain seperti hidup mandiri dan tidak meminta-minta, tidak jadi beban keluarga, dan tidak menjadi kriminal. Setidaknya itu cukup.
Selain itu, kata Irfan, “kalau kamu merasa lelah, capek, dan berat dengan hidupmu, ya sudah. Enggak apa-apa, karena kita semua mengalami hal itu. Enggak apa-apa, santai saja. Semua orang pernah gagal.” Pemikiran ini tertuang gamblang dalam lirik “Kutahu pasti, kau kan lelah dan terluka, tapi bukanlah kita semua begitu?” Ini ultimatum keras bagi orang-orang yang merasa masalahnya paling berat sedunia, atau sindiran bagi orang-orang yang sehabis kerja merasa paling capek sedunia.
Babak X dan XI: Melankolia yang Nyaris Sempurna

Salvador Dali pernah membuat lukisan surealis berjudul “The Persistence of Memory” (1931) tentang makna waktu yang telah kehilangan relevansinya dalam alam bawah sadar. Waktu menjadi konsep lembut sekaligus keras sebagaimana diceritakan Jalan Pulang pada Babak X dalam lagu “Lingkar Waktu”, sebuah lagu Sisifusian yang mengundang interpretasi yang tak bakal habis digali.
“Andaikata waktu adalah sebuah lingkaran / Yang terus mengitari dirinya sendiri / Yang tanpa henti mengulang dirinya / Setepat-tepatnya, selama-lamanya.”
Lagu ini mengingatkan saya pada buku Abidin Kusno bertajuk Melawan Waktu (Omah Library, 2020). Buku tersebut menjelaskan konsep melawan waktu dalam dunia arsitektur melalui sudut pandang yang berbeda, termasuk dari sisi lokalitas, ke-nusantara-an, pengotakan ‘Timur’ dan ‘Barat’, hingga Pascakolonial. Buku ini membuat saya berinterpretasi bahwa ketika seseorang tidak bisa mengendalikan waktu, akhirnya ia sendiri yang akan dipermainkan oleh waktu.
Jalan Pulang melukiskan makna waktu dengan lirik: seperti pagi yang mendesak orang untuk bekerja, seperti seorang pemimpi yang selalu kesiangan, dan seperti jalanan yang terus diperbaiki untuk kemudian digali kembali. Di sini, waktu dipandang sebagai sesuatu yang aktif, bukan pasif tanpa kuasa apa pun. Waktu jelas memiliki kuasa.
Sebagai penutup, Babak XI berjudul “Malam Nyaris Sempurna” terdengar seperti sekuel kisah dalam lagu “Rumah Dijual” pada album Jalan Pulang sebelumnya. Topik yang diusung lagu ini adalah berbagai persoalan rumah yang melibatkan ayah dan ibu, secara fisik maupun psikis.
“Ayah sibuk menitipkan puisi-puisi / Tentang musim kering pada angin / Yang sedari tadi gelisah / Ibu suntuk menanti / Bayang-bayang hatinya yang tersesat / Di antara ribuan kota tanpa nama.”
Begitu domestik dan personalnya lagu ini, jika mendengarnya sendirian di kamar menggunakan perangkat jemala (headset) dan meresapinya sambil menutup mata, mungkin kita tak sanggup menahan air mata. Terlebih ketika tiba pada lirik berikut ini.
“Dan huruf-huruf asing selalu menghantui dirinya / Seperti kegagalan saat mengeja tangis pertama anaknya / Di atas meja makan / Cemas menghidangkan diri / Piring-piring gelisah menanti / Dua kursi menagih cerita / Malam nyaris sempurna.”
Irfan meyakini yang personal itu politis. Jihad besarnya adalah bagaimana membuat puisi cinta yang menye-menye menjadi politis dan subversif. Irfan menjelaskan, hubungan laki-laki dan perempuan adalah hal politis karena menyangkut perkara kekuasaan. Misalnya seseorang yang diputus begitu saja karena hartanya sebagaimana dinyatakan kelompok musik NDX A.K.A sebagai kritik politik kelas.
“Kita perlu cara tutur lain untuk memprotes,” ucap Irfan. Menurutnya, protes tak melulu harus berupa poster dan demonstrasi. Irfan sadar jika yang personal merupakan akibat dari suatu sistem sehingga mempelajari politik dalam keseharian, meski terkesan remeh, merupakan hal yang penting. “Aku suka dengan hal yang dianggap rendahan, mau memainkan hal yang dianggap rendahan,” imbuh Irfan.
Selain terpengaruh lagu-lagu Iwan Fals dan musisi balada lain yang diperdengarkan ayahnya ketika ia masih kecil, Irfan juga tertarik dengan karya Acep Zamzam Noor yang punya kemampuan melukiskan pemandangan dan suasana pikiran dengan kata-kata, terlebih jenis sastra yang paling ia sukai adalah puisi. Menurutnya, puisi bisa berdiri sendiri sementara lirik lagu masih bisa ditopang instrumen musik. Artinya, sebuah lagu masih bisa dikatakan bagus bila melodinya bagus—sekalipun liriknya buruk.
“Aku harus gimana caranya membikin puisi menye-menye, atau cinta menye-menye itu politis dan subversif, aku memperjuangkan itu dulu,” pungkas Irfan pada saya sore itu melalui Zoom (2021). Ia tampaknya sungguh-sungguh mengupayakan lirik cinta menye-menye jadi lebih politis dan subversif. Saya pun mendukung jihadnya: menempatkan yang personal pada posisi lebih baik.
Informasi Album
Judul: Dan Kisah-Kisah Lainnya
Musisi: Jalan Pulang
Tahun: 2025
Produsen: Metafor Records
Penata Musik: Uya Cipriano
Mixing & Mastering: Hengga Tyasa
Desain & Tata Letak: Alwan Brilian
Foto album: Swandi Ranadila
PS: Album ini dapat didengarkan di Spotify, YouTube Music, Apple Music, dan YouTube.
Penulis: Isma Swastiningrum
Editor: Sylvie Tanaga