“Nanti sore makan bakso yuk?”
“Ah, bosen! Gimana kalau mi pangsit kuah aja? Atau yamin enak yang baru buka di seberang toko engkong gue. Lo mau coba nggak?
Perbincangan di atas mungkin terasa biasa-biasa saja sebagai sebuah percakapan di kalangan kaum urban Indonesia. Mi, yamin, bakso, dan pangsit adalah santapan sehari-hari yang sangat akrab dengan lidah kita. Bayangkan saja rasanya menyeruput semangkuk mi rebus hangat bertabur telur lumer di tengah cuaca dingin jelang malam atau hujan deras, ditemani segelas teh panas yang masih mengepul-ngepul. Wah! Nikmat dunia apalagi yang kaudustakan?
Jenis-jenis kuliner yang baru saya sebutkan tentunya terasa sangat khas Indonesia. Dari ujung barat hingga timur negeri ini, dari kawasan kaki lima hingga restoran bintang lima, siapa tak kenal mi dan bakso—walaupun mungkin modifikasi wujud dan rasanya berbeda satu sama lain? Tapi, pernahkah terlintas dalam benak kawan-kawan dari mana sebenarnya nama-nama makanan ini berasal?
“Mi dan bakso itu asalnya dari Cina, lho!” celetuk orang tua ketika saya masih bocah.
Ketika itu, saya benar-benar tak peduli apalagi sampai sengaja menelusuri kebenarannya. Apa gunanya? Pokoknya sedap di lidah dan nyaman di hati, sudah lebih dari cukup! Buat apa repot-repot dipikirkan? Bukankah semua orang Indonesia sudah familier dengan mi dan bakso?
Hingga akhirnya nasib membawa saya mempelajari Filologi Tiongkok (Chinese Philology), sebuah cabang ilmu yang spesifik mempelajari bahasa Mandarin kuno. Mengapa akhirnya saya tertarik menekuni bidang pengetahuan yang menurut banyak orang amat tak lazim dipelajari seorang Warga Negara Indonesia (WNI), itu cerita lainnya. Kali ini, saya akan memperlihatkan hasil penelitian saya terkait muasal nama-nama makanan yang sebenarnya sudah melekat erat dalam keseharian kita di tanah air.
Pertama-tama, tahukah kawan-kawan jika nama-nama makanan yang tadi saya sebutkan ternyata merupakan bahasa serapan yang berasal dari bahasa Hokkien, salah satu bahasa daerah di Tiongkok? Bahasa Hokkien mengandung banyak pelafalan yang berakar dari pelafalan Tiongkok kuno.
Patut diketahui bahwa hingga saat ini, masih cukup banyak penutur bahasa Hokkien di Indonesia mengingat leluhur orang Tionghoa yang kini menetap Indonesia (Tionghoa peranakan) kebanyakan berasal dari provinsi Fujian bagian selatan yang memang berbahasa Hokkien. Seiring waktu, istilah-istilah dalam bahasa Hokkien terserap secara alamiah dalam banyak kosakata bahasa Indonesia.
Menariknya, meski moyang Tionghoa peranakan yang akhirnya berlabuh di Indonesia tak cuma berasal dari Fujian melainkan juga daerah-daerah Tiongkok bagian selatan lainnya seperti Guangdong, bahasa Hokkien rupanya menjadi rumpun bahasa asal Tiongkok yang paling banyak terserap dalam bahasa Indonesia. Lebih spesifik lagi, dialek Hokkien yang dimaksud berasal dari daerah Quanzhou, Zhangzhou, dan Xiamen (atau lebih dikenal dengan sebutan “Amoi”).
Saya mencatat setidaknya 238 kata serapan bahasa Indonesia dari bahasa Hokkien. Bidangnya sungguh beragam! Selain makanan, ada sapaan, peralatan dapur, transportasi, perdagangan, dan masih banyak lagi. Mula-mula saya kumpulkan kandidat kata-kata dalam bahasa Indonesia yang tampak selaras dengan bahasa Hokkien, hingga akhirnya saya teliti lebih lanjut dari sisi linguistik.
Satu hal yang pasti, banyaknya jumlah kata serapan ini mencerminkan akulturasi budaya etnis Tionghoa zaman dulu dengan penduduk lokal yang juga sangat heterogen. Buktinya, penduduk lokal saat itu menerima, bahkan merangkul bahasa Hokkien sebagai istilah keseharian yang akhirnya menjelma menjadi bahasa Indonesia yang kita kenal hari ini—bahkan untuk urusan paling mendasar bagi keberlangsungan hidup seseorang, yakni pangan.
Perihal pangan, saya menemukan setidaknya 62 kosakata serapan dari bahasa Hokkien yang terdiri dari 3 kosakata terkait cara memasak dan 59 kosakata yang akhirnya menjadi nama makanan dan bumbu dapur dalam bahasa Indonesia. Kini saya ajak kawan-kawan menilik lebih lanjut muasal kata “mi”, “bakso”, “cuanki”, dan “pangsit” yang jadi favorit sejuta umat.
Mi dan Yamin

Dalam bahasa Mandarin standar, mi dibaca sebagai “miàn” (面). Namun, dalam dialek Hokkien daerah Xiamen, Zhangzhou, dan Quanzhou, kata tersebut dibaca “mi”, sama persis seperti bahasa Indonesia. Mi adalah makanan khas Tiongkok. Bila di negara asalnya mi banyak menggunakan kuah dari tulang dan daging babi, setiba di Nusantara, diganti menjadi tulang dan daging ayam. Kadang ditemukan juga mi berbahan dasar kaldu dan tulang sapi yang dikenal dengan mi kocok atau mi kikil.
Selain mi goreng dan mi kuah, tentu kita tak bisa melupakan varian lainnya yakni yamin yang terkenal sebagai mi dari Bandung. Orang Bandung sering menyebutnya mi yamin meskipun “yamin” sendiri artinya “mi yang sudah dibumbui”. Dari karakter huruf penyusunnya, yamin sebenarnya berasal dari bahasa Hakka yang dituturkan orang-orang Meizhou di provinsi Guangdong. Bahasa Mandarinnya dibaca yanmian (掩面) sementara bahasa Hakka-nya iammian. Dalam dialek Hakka, iam artinya metode memasak yang ditaburi dengan cuka, garam, gula, dan bumbu-bumbu lainnya.
Meskipun mi disajikan kering, tetap ada kuah yang dituang dalam mangkuk terpisah. Di Tiongkok, kuah yamin biasanya berisi daging dan jeroan babi. Namun ketika masuk Nusantara, topping yamin diganti menjadi daging ayam, kemudian kuahnya diisi dengan bakso, pangsit, atau babat.
Saya menduga perubahan kata “iammian” menjadi “yamin” terjadi karena bahasa Melayu saat itu tidak mengenal pelafalan iam maupun ian. Menyesuaikan diri dengan dialek setempat, terciptalah kata “yamin”. Selain itu, yamin punya beragam rasa dan tampilan. Yamin asin berwarna putih pucat sementara yamin manis berwarna kecokelatan karena unsur kecap manis. Di Guangdong, ada juga yamin berwarna kecokelatan tapi bukan karena kecap manis melainkan kecap asin.
Bakso dan Bakso Tahu

Eksistensi mi tentunya tak bisa lepas dari bakso yang juga merupakan jenis makanan dari Tiongkok. Bakso dalam bahasa Mandarin standar adalah “ròusu” (肉酥). Menggunakan dialek Hokkien dari kawasan Xiamen dan Zhanghou, “ròu” (肉) dibaca “bah” sedangkan “su” (酥) dibaca “so”. Senada dengan dialek Hokkien, bahasa Indonesia mengenalnya sebagai “bakso”.
Uniknya, bakso yang kita kenal di Indonesia saat ini merupakan hasil modifikasi dari daerah asalnya. Kita mengenal bakso sebagai daging yang dicampur tepung sagu atau tapioka sehingga lebih kenyal. Di Tiongkok, bakso identik dengan bola daging yang terbuat dari daging yang dicincang hingga halus. Itu sebabnya orang Tiongkok saat ini lebih mengenalnya sebagai “ròuwan” (肉丸) atau bola daging.
Jika dalam bahasa aslinya bakso berarti “daging yang dicincang hingga menjadi sangat halus”, lantas mengapa di Indonesia bakso kemudian dibuat menggunakan campuran tepung? Saya rasa ini sangat terkait dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat di Nusantara yang membuat dan memakannya. Saat itu, harga daging masih menjulang tinggi sehingga untuk menekan biaya sekaligus memberi rasa kenyang, tepung yang kaya karbohidrat pun dipilih sebagai bahan campuran bakso.
Bahan baku dagingnya tentu berbeda. Bila masyarakat Tiongkok menggunakan babi, masyarakat di Nusantara biasanya menggunakan sapi. Meskipun tidak sepopuler bakso sapi, orang Indonesia juga mengenal bakso ayam dan bakso ikan. Pemilihan jenis daging ini pun sangat menarik karena mereka kemudian berevolusi menjadi berbagai jenis makanan lainnya.
Daging ikan bisa diolah menjadi pempek beserta turunannya.
Daging yang dioles di atas tahu dan kemudian dikukus menjadi bakso tahu.
Bakso tahu ditambah bakso rebus, bakso goreng, dan pangsit menjadi cuanki.
Bakso tahu yang digoreng dan dilumuri bumbu kacang dan kecap plus jeruk nipis menjadi batagor.
Kreativitas sajian macam ini biasanya hanya ditemukan di kalangan masyarakat Tionghoa peranakan. Walaupun di Tiongkok sendiri ada bakso dan tahu, keduanya tak pernah disatukan.
Di kota kediaman saya, Bandung, bakso tahu yang dibuat oleh orang Tionghoa biasanya sedikit berbeda dengan bakso tahu buatan non-Tionghoa. Perbedaan tersebut khususnya terletak pada racikan baksonya. Jika bakso buatan orang Tionghoa masih terasa kentara daging cincangnya, bakso buatan warga non-Tionghoa biasanya lebih kenyal karena lebih banyak kandungan tepungnya.
Pempek dan Cuanki

Lalu mengapa pempek yang adonannya serupa bakso, yakni daging ikan yang dihancurkan dan kemudian dicampur tepung, kemudian disebut sebagai “pempek”? Konon ada seorang paman paruh baya—di kalangan Tionghoa disapa “empek”—yang tiap hari berjualan makanan serupa pempek yang kita kenal hari ini. Makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai “pempek”.
Lahirnya pempek bisa dibaca sebagai pengalaman bersejarah orang-orang Tionghoa perantauan yang berusaha mengadaptasikan pangan nenek moyangnya dengan kultur lokal sekaligus memodifikasinya sebisa mungkin sesuai ketersediaan bahan baku yang ada di lingkungan baru mereka. Maka betapa miris jika olahan pangan kita saat ini lebih banyak mengandalkan bahan baku hasil impor.
Asal usul cuanki pun menarik. Meski belum dapat dipastikan kebenarannya seiring banyaknya versi yang beredar, saya sempat mendengar dari ayah saya bahwa cuanki sebenarnya nama orang yang pertama kali menjualnya, hingga identik sebagai nama sajian perpaduan bakso, pangsit, bakso tahu, dan terkadang potongan siomai. Semua itu lantas dituang kuah. Jika kisah ini benar, pempek maupun cuanki merupakan contoh pangan yang berasal dari kata sapaan atau bahkan nama seseorang.
Dan tahukah kawan-kawan bahwa mangkuk ayam yang biasanya digunakan sebagai wadah mi bakso dan cuanki pun sesungguhnya berasal dari Tiongkok? Ya, mangkuk ayam pertama kali dibuat pada era Dinasti Ming. Gambar ayam melambangkan semangat bangun pagi sebelum terbitnya mentari. Sebuah pengingat supaya masyarakat selalu giat bekerja setiap hari, tidak bermalas-malasan.
Mangkuk ayam mulanya populer di kalangan masyarakat Tiongkok bagian selatan seperti Guangdong dan Fujian. Sayangnya, saya belum menemukan catatan kapan persisnya mangkuk ayam pertama kali masuk ke Nusantara. Kemungkinan besar mangkuk ayam jadi populer di sini karena para Tionghoa perantauan turut mengamini spirit pentingnya bekerja keras hingga sukses.
Pangsit dan Batagor

Dalam bahasa Mandarin standar, pangsit dibaca sebagai “biǎnshi” (扁食) sedangkan bahasa Hokkien dialek Xiamen, Quanzhou, dan Zhangzhou mengenalnya sebagai “pian sit”. Bahasa Indonesia pun akhirnya menggunakan kata “pangsit”.
Apa jadinya batagor tanpa kehadiran pangsit? Tentu ada yang terasa kurang…………. KRIUK! Ya, batagor adalah contoh terbaik sajian akulturasi yang mengombinasikan semua elemen makanan yang telah saya sebutkan pada bagian sebelumnya. “Gong”-nya tentu saja karena semua itu digoreng. Ini sungguh menarik karena mayoritas sajian peranakan Tionghoa biasanya dikukus.
Saya menduga modifikasi terjadi karena masyarakat lokal sangat senang dengan makanan yang diolah dengan cara digoreng—apalagi ditaburi bumbu kacang, kecap, dan cabai pedas. Menariknya, kecap yang digunakan di Indonesia pun kebanyakan kecap manis, bukan asin seperti di Tiongkok.
Dalam bahasa Mandarin, kecap dibaca “guīzhī” (鲑汁). Dalam bahasa Hokkien dialek Xiamen, Zhangzhou, dan Quanzhou, “guī” (鲑) menjadi “ke” atau “kue” sementara “zhī” (汁) dibaca “tsip” atau “tsap”. Pengertiannya adalah saus berbahan dasar ikan yang telah difermentasi. Di Tiongkok, rasa kecap sebenarnya asin, bukan manis. Karena mungkin kurang cocok dengan lidah lokal atau bahan bakunya sulit didapat, kecap di Nusantara diolah dari kedelai hitam yang difermentasi, ditambah bahan campuran dari gula merah dan rempah seperti ketumbar, kemiri, dan jintan.
Kita tahu bahwa kecap manis merupakan bagian tak terpisahkan dari kuliner Nusantara, bahkan menjadi penanda dominan yang membedakan nasi goreng dan mi goreng Indonesia dengan negara lainnya. Makan apa pun ditambah kecap manis jadi terasa nikmat bagi lidah orang Indonesia.
Harmoni Makanan Rakyat
Menariknya, semua jenis sajian yang sedari tadi saya ulas merupakan makanan rakyat yang mudah ditemukan di gerobak pinggir jalan, warung, dan rumah makan sederhana—walau kini resto fancy dan hotel bintang lima pun turut menyajikannya dengan label “sajian tradisional”. Setelah membaca tulisan ini, mungkin kawan-kawan jadi paham mengapa label tersebut bisa memicu perdebatan panjang.
Makanan-makanan ini rupanya berakar dari bahasa Hokkien yang kemudian dimodifikasi sedemikian rupa sehingga akrab sebagai comfort food yang menghangatkan di kala cuaca—dan suasana hati—sedang dingin. Seperti halnya otak, saya percaya lidah juga mampu menyimpan memori kolektif. Sebuah memori yang mengingatkan kita bahwa semangkuk mi bakso adalah cermin paling nyata hubungan persaudaraan Tionghoa dan non-Tionghoa yang kental dan manis seperti kecap.
Berbagai istilah makanan memang tak begitu saja muncul tiba-tiba dalam konteks masyarakat di Nusantara melainkan terhubung erat dengan berbagai peristiwa sejarah yang melibatkan etnis Tionghoa. Artinya, istilah-istilah makanan bukan sekadar nama-nama abstrak tapi kaya narasi sejarah dalam tiap elemennya—yang tentu akan lebih akurat jika disampaikan oleh para sejarawan.
Jika selama ini rasanya tak mudah membuktikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam realita keseharian masyarakat yang seolah mudah diadu domba, ternyata tak terlalu sulit menemukannya dalam semangkuk makanan. Seperti musik, makanan adalah medium perekat perbedaan tanpa memungkiri ciri dasarnya. Seperti pendengaran, indra pengecap dan penciuman kita cenderung menikmati “gado-gado” suku, ras, etnis, dan kepercayaan tanpa mempermasalahkannya.
Bahkan, sebenarnya kita sudah sedari dulu familier dengan pepatah “segala sesuatunya bisa diselesaikan di meja makan”, sebuah metafora bahwa makan bersama bisa meluruhkan selisih opini bahkan emosi terpanas. Saling mengantar makanan atau bertukar elemen bumbu masakan pun kerap jadi simbol tulusnya persahabatan yang mencerminkan sikap saling memberi perhatian.
Bisakah kawan-kawan bayangkan betapa riskannya saling bertukar makanan tanpa didasari rasa saling percaya? Apalagi pada zaman kolonial yang aktif memecahbelah harmoni antar-ras. Salah-salah, kita bisa mati keracunan jika sembarang menyantap makanan pemberian orang lain.
Nyatanya, yang terjadi justru sebaliknya. Makanan-makanan Tionghoa diterima dengan baik oleh penduduk lokal. Modifikasi pun dilakukan untuk menyesuaikan dengan kultur atau kepercayaan lokal, misalnya mengganti daging babi dengan sapi, ayam, atau udang serta racikan-racikan lainnya supaya lebih mudah diterima segala kalangan hingga akhirnya menjadi menu keseharian masyarakat yang tak lagi terasa asing. Ada juga Tionghoa yang akhirnya membuka kedai bagi warga lokal.
Banyaknya adaptasi makanan peranakan Tionghoa sebagai sajian khas Indonesia bahkan tak lepas dari pernikahan lintas etnis. Jangan lupakan pepatah “dari perut turun ke hati”. Pakar kuliner Indonesia, William Wongso, pernah bertutur bahwa dapur dapat memberikan pengalaman menakjubkan penuh emosi sentimental yang akan terus terpatri dalam memori kita sepanjang hidup.
Penyerapan kosakata makanan dari bahasa Hokkien yang bertahan hingga kini membuktikan bahwa memori tersebut bahkan terpatri lintas generasi dan etnis. Saya percaya masih banyak faktor lainnya yang menyebabkan makanan-makanan Tionghoa diterima dengan ramah oleh segala kalangan, dari segi rasa maupun harga. Lahirnya mi instan buatan pabrik berbahan baku impor yang kemudian menjelma sebagai “makanan pokok” merupakan perkara lain yang patut kita kritisi.
Saya akhiri tulisan ini dengan refleksi bahwa peran bahasa dalam melahirkan sebuah istilah atau kosakata tak pernah lahir dari ruang hampa melainkan selalu terhubung erat dengan konteks yang mengiringi kelahirannya—entah situasi sosial, politik, budaya, maupun ekonomi. Konteks-konteks inilah yang menentukan munculnya kosakata tertentu dalam bidang tertentu yang sekaligus menjadi penanda utama dinamika interaksi masyarakat lintas identitas.
Banyaknya kosakata bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Hokkien dalam berbagai bidang—bukan hanya makanan—adalah cermin gamblang solidaritas jangka panjang antara Tionghoa dan non-Tionghoa, yang seharusnya jadi pengingat penting bahwa adu domba adalah taktik kuno kolonial yang parno dengan solidnya Tionghoa dan non-Tionghoa bahu-membahu melawan kolonialisme.
Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggung jawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi serunai.co
Penulis: Elizabeth Citra Utami Tedja
Editor: Sylvie Tanaga