Serunai.co
Narasi

Jakarta Whispers: Jalan Memahami Seismograf Bisikan Kota

jakarta whispers
Pasar Tumpah di Jakarta (Foto: Aghnia)

Pameran virtual Norient City Sounds: Jakarta Whispers membawa pendekatan baru dalam membaca Jakarta melalui suara yang hidup di dalamnya. Lewat berbagai media karya, kita diajak menelusuri suara dan narasi yang tumbuh di keseharian dan pengalaman hidup warganya.

Malam jatuh di Jakarta. Ketika malam, suara-suara bisa didengar lebih jelas dibanding siang. Setiap hari kota ini begitu berisik melebihi daerah-daerah mana pun di Indonesia. Kita bisa meniru berbagai onomotope lanskap bunyi Jakarta yang spektrumnya merentang begitu luas. Suara yang diproduksi ada-ada saja, dari yang nyaring sampai yang berbisik. Ada suara “krek, krek, krek” kipas angin tua yang bergerak tolah-toleh kepayahan di sebuah kos buruh sempit yang panas, “tut, tut, tut, gejes, gejes, gejesjingle khas kereta di stasiun commuter line yang dinanti para manusia ulang-alik dari kota-kota satelit, “ngeng, ngeng, ngeng” suara knalpot dari geng motor yang berseliweran, hingga “shhshshshst” bisikan gosip warga Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, yang jadwal tidurnya harus shift-shiftan karena ruang rumah sempit dan dihuni banyak anggota keluarga. Semua suara hadir di Jakarta, dari yang berbobot ideologis (seperti pidato politik, seruan perlawanan, dan ekspresi identitas), sampai remah-remah kitsch limbah konsumerisme (hiruk pikuk iklan, musik dari kafe-kafe, atau potongan lagu yang viral tanpa makna).

Ya, stok kenyataan Jakarta dengan soundscape seperti itulah yang coba saya tangkap dari kehidupan sehari-hari. Lewat pengalaman mendengarkan bunyi juga, saya ingin menginterpretasi pameran virtual bertajuk Jakarta Whispers yang digelar oleh Norient City Sounds (NCS) dan diluncurkan pada tanggal 27 Agustus 2025. Pameran ini menampilkan berbagai karya dengan banyak media untuk merespons suara-suara di Jakarta, dari esai, film pendek, serial foto, playlist, dan siniar yang bisa disaksikan di situs web norient.com/jakarta-whispers. Situs web ini juga menjadi platform bagi penelitian musik lintas benua dan sub-benua yang menghubungkan berbagai kota-kota di dunia. Jakarta menjadi seri kota kelima yang diangkat, setelah seri sebelumnya mengangkat Nairobi (Kenya), Beirut (Lebanon), Delhi (India), dan Bogotá (Kolombia). Sekilas, tampak bahwa kolaborasi yang kaya ini mencoba menangkap kondisi kota-kota—terutama di negara-negara di wilayah Global South—melalui lensa soundscape masing-masing wilayah dengan segenap problematikanya yang khas. Global South di sini tidak netral, karena menyiratkan relasi kuasa dalam produksi pengetahuan dan representasi budaya. Ia menandai dikotomi lama Global North dan Global South. Dalam konteks Jakarta Whispers, pameran ini menghadirkan suara-suara dari selatan dunia bukan sebagai objek, tapi sebagai subjek yang berbicara atas dirinya sendiri.

Di Nairobi Conscious misalnya, duo kurator, Raphael Kariuki dan Kamwangi Njue menghadirkan berbagai karya untuk menangkap suara-suara yang muncul ketika tekanan politik dan sosial di Kenya meningkat pada tahun 2022, seiring dengan hiruk pikuk pemilu yang dekat. Pada tahun itu, harga pangan melambung tinggi tak sepadan dengan kenaikan pendapatan, krisis biaya hidup terjadi. Tak jauh berbeda, di Beirut, kurator Rayya Badran mengeksplorasi keadaan kota yang terus mengalami krisis ekonomi yang parah di tengah kerusuhan politik dan sosial. Karya-karya yang tergabung dalam Beirut Adrift coba membangkitkan kondisi disorientasi hingga fenomena massa mengambang melalui suara-suara musikal baru yang muncul. Fenomena ini merujuk pada golongan masyarakat yang tidak memiliki keterikatan ideologis, politik, atau sosial yang kuat terhadap nilai tertentu. Golongan yang mudah terbawa oleh arus opini/kekuasaan yang dominan.

Sementara itu, di edisi ketiga NCS, penulis sekaligus peneliti Suvani Suri mengkuratori Delhi Sensate yang menyingkap ragam dunia dan karakter suara yang membentuk ibu kota negara dengan jumlah penduduk terpadat di dunia—posisinya menggeser China. Dari pameran virtual ini, kita bisa merasakan sonikitas (sonicities) Delhi lewat beragam narasi sejarah, kisah, ritme, hingga hasrat yang saling bertabrakan. Pun dalam Bogotá Voices  yang dikuratori oleh Luisa Fernanda Uribe, pameran ini menyelami keragaman suara-suara kota dengan cara menjelajahi wilayah-wilayah pinggiran, perebutan kembali ruang publik, hingga semarak kehidupan malam yang menembus batas.

jakarta whispers
Ibu-Ibu Pengajian Naik Truk (Foto: Maezara)

Di tahun kelima, NCS menyambangi Jakarta dengan tajuk Jakarta Whispers. Pameran ini dikuratori oleh jurnalis dan musikus pentolan band asal Yogyakarta Seahoarse, Gisela Swaragita atau kerap disapa Gisa (menarik, karena saya perhatikan, 4 dari 5 NCS dikuratori oleh perempuan). Gisa yang sejak kecil sudah membuat mixtape-nya sendiri dari rekaman radio ini mengatakan, Jakarta diisi oleh orang-orang yang saling berlomba-lomba untuk menjadi yang paling didengar, dilihat, dan dikenal. Ada ironi seolah yang paling keraslah yang akan bertahan, selaras dengan konsep “survival of the fittest” yang dicetuskan oleh Herbert Spencer. Teori evolusi yang memaklumkan bahwa yang terkuatlah yang layak sukses, dan yang lemah memang pantas gagal. Pameran ini seolah memberi kita alternatif lain tentang Jakarta, bahwa bukan hanya para elite dominan yang menentukan arah kehidupan kota, tapi juga komunitas-komunitas kecil, seniman independen, dan warga yang dengan caranya sendiri menciptakan kreativitas di tengah keterbatasan.  Melalui pameran ini, Jakarta dimarinasi dengan banyak wajah, yang keras sekaligus lembut, yang gaduh sekaligus yang intim, yang cepat sekaligus yang lamban.

Gisa dalam artikelnya “Mengejar Bisik-Bisik Jakarta” menceritakan refleksinya menjalani proyek NCS: Jakarta Whispers, khususnya saat dia meresapi ritual lari sorenya di Taman Margasatwa Ragunan. Dia menyebut, Norient adalah sebuah entitas di kota Bern, Swiss, yang punya fokus pada musik, suara, dan pergerakan manusia yang berhubungan dengannya. Persinggungan Gisa dengan Norient terjadi saat tahun-tahun pandemi COVID-19 sekitar 2020-2023 silam, ketika Norient mencari jurnalis musik dua bahasa dari Indonesia. Pada 2020, Gisa juga berkontribusi pada beberapa tulisan untuk proyek lokakarya dan buku. Lalu, pada 2025, Gisa dihubungi oleh kurator NCS: Delhi Sensate, Suvani Suri (India). Suvani Suri menyatakan bahwa ia akan membimbing kurator berikutnya di NCS, untuk menggarap edisi 2025.

NCS menjadi seri multimedia berisi pameran virtual dan publikasi digital dengan fokus mengeksplorasi musik di berbagai kota dunia. Kota-kota yang dipilih disikapi sebagai “kawah candradimuka” terkait kelindan kegiatan warga membentuk suara-suara khas, dengan pusparagam musik uniknya sendiri. Tugas kurator seperti Gisa adalah merenungkan tema besar yang akan dibuat. Gisa lalu memilih tema Jakarta Whispers (Bisik-Bisik Jakarta). Dia membayangkan sebuah metafora terkait suara-suara Jakarta sebagai fasad metropolitan. Dari ritual lari itu, dia menghubungi beberapa teman dan menceritakan ide impulsifnya, semisal pada Nyon (desainer grafis) untuk mengambil inspirasi visual kunci. Visual itu terinspirasi dari toponimi Jakarta yang rata-rata mengambil nama-nama flora, seperti pete, cabe, kelapa, duren, jeruk, labu, cempaka, melati, dan lain-lain.

Gisa juga merekrut kawan-kawan, seperti Mar Galo (pentolan band Jirapah) sebagai penata suara, juga public relation manager bernama Maya yang sebelumnya sering bekerja sama dengan Gisa untuk liputan-liputan konser. Gisa membagi kontribusi dalam dua bagian: perihal kota dan perihal panggung. Di perihal kota ada Kathleen Malay, Rugun Sirait, dan Maezara. Sementara di kategori panggung ada Dymussaga, Saifulhaq, Aghnia, Peter G. Y. Rumondor, dan Anida. Selain itu ada juga Dania Joedo dan Bin Idris. Keseluruhan ada 14 karya yang menjadi ekstraksi dari berbagai komunitas gorong-gorong di sudut Jakarta. Tesis yang ingin diserukan oleh para kontributor NCS: sebagai gerakan komunitas musik, Jakarta Whispers bisa menjadi perwujudan resistensi.

Percakapan tentang Norient dan Jakarta

Sejak awal, saya penasaran dengan bagaimana Norient City Sounds (NCS) akhirnya bersinggungan dengan Indonesia, khususnya Jakarta. Pertanyaan ini saya ajukan langsung kepada Gisa. Ia memulai dengan menjelaskan tentang Norient itu sendiri, yaitu sebuah kolektif yang berbasis di Bern, Swiss, dengan fokus pada musik, suara, dan pergerakan manusia. Bisa dibilang, Norient berfokus pada antropologi musik. Norient digagas oleh Thomas Burkhalter, seorang antropolog, seniman multidisipliner, sekaligus penulis asal Bern. Visi singkat mereka tertera dalam situs web Norient yang menyebutkan:

“Norient adalah galeri audiovisual dan komunitas (praktik) untuk suara dunia: untuk musik kontemporer, jurnalisme berkualitas, riset mutakhir, proyek, dan acara seperti Festival Norient (Pemenang Penghargaan Khusus Musik 2025 di Swiss Music Prizes). Norient menganggap musik, suara, dan kebisingan sebagai seismograf zaman kita, menyediakan ruang dan tempat bagi para pemikir dan seniman dari enam puluh negara yang saat ini berkarya untuk menceritakan kisah-kisah baru dan berbeda tentang masa kini dan masa depan. Tujuannya adalah untuk mendukung keberagaman (sub)budaya, memperluas wawasan, dan membuka dialog lintas individu, benua, dan disiplin ilmu.”

Thomas sendiri pernah menulis buku Local Music Scenes and Globalization: Transnational Platforms in Beirut (Routledge, 2013). Buku ini adalah studi mendalamnya terkait kancah musik eksperimental di Beirut (rap, rock, death metal, jazz, elektro-akustik, improvisasi bebas). Dia mempelajari bagaimana generasi musisi yang lahir pada awal Perang Saudara di ibu kota Lebanon, serta meneliti pemahaman baru yang muncul kemudian di tengah dominasi musik pop yang dimediasi massa dan propaganda. Thomas juga mengeksplorasi bagaimana musisi di Beirut menyelenggarakan konser mereka sendiri, mendirikan label musik, hingga membangun jejaring dengan musisi di luar Beirut. Buku ini sekaligus menawarkan cara pandang baru dalam memahami modernitas dalam musik secara transnasional. Penelitian ini saya pikir juga menjadi salah satu fondasi intelektual bagi Thomas yang kemudian hari membangun program-program di dalam Norient untuk merayakan keberagaman subkultur musik dan memperluas wawasan yang cenderung “Baratsentris” menjadi lebih inklusif dan mampu mewadahi wawasan non-Barat.

Saya juga berkesempatan mengontak Thomas lewat email. Darinya, saya mendapat alasan mengapa akhirnya Jakarta yang terpilih di antara banyak kota dunia lainnya. Thomas menjelaskan, di Norient mereka berupaya menyerahkan proses kurasi serta catatan editorial dan publikasi kepada pihak yang lebih tepat, karena kolaborasi lintas negara dianggap sebagai cara yang paling efektif dan berhasil. Pendekatan-pendekatan yang diambil juga perlu selaras dengan panduan buku yang diterbitkan oleh Norient berjudul Politics of Curatorship. Buku ini diterbitkan pada 2023 dalam rangka 20 tahun Norient, dan mempertanyakan seperti apa kurator ketika ia terbebas dari konsep elitisnya? Buku ini memuat esai, artikel akademis, puisi, wawancara, serta esai foto dari 33 kontributor. Di dalamnya juga ditawarkan pemahaman kurator sebagai praktik yang bisa bersifat queer, non-biner, ataupun sekadar aktivitas individual keseharian yang dianggap biasa. Dari cerita Thomas, saya berpandangan jika Jakarta terpilih karena memiliki dinamika sosial, budaya, dan musiknya yang kompleks. Jakarta menawarkan beragam subkultur musik, komunitas kreatif, dan ruang eksperimen, yang menampilkan suara-suara yang cenderung dibungkam atau ditutupi.

Politik kuratorial NCS berpihak pada cara pandang yang menolak label eksotisme terhadap negara-negara Timur. Menurut Thomas, keputusan kuratorial tidak seharusnya selalu datang dari Barat sebagaimana di masa lalu. Karena itu, Norient berupaya menampilkan potret kota dari perspektif lokal—bukan semata melalui kacamata internasional—sebab suara dari luar Barat justru penting untuk membentuk pandangan yang lebih seimbang. Thomas sepertinya memiliki kecintaan tersendiri pada genre-genre niche dalam musik. Saya sendiri sejujurnya kesulitan menemukan arti dari nama Norient, karena tidak saya temukan di kamus bahasa Inggris, saya sempat berpikir kata ini agak punya kesamaan dengan kata “notoriety”, meskipun setelah saya pikir-pikir sangat jauh secara pemaknaan. Setelah bertanya pada Thomas, saya mendapat penjelasan jika Norient merupakan permainan kata “No-Orientalism” (tanpa orientalisme). Norient terinspirasi dari buku terkenal karya penulis dan perintis kajian pascakolonial yang berasal dari Yerusalem (Palestina), Edward Said, berjudul Orientalism yang mengkritik cara Barat memandang Timur.

Norient is a word-play. It means to us No-Orientalism. It means looking at music and places far away not through exotic eyes and through difference first. It means trying to go close to phenomena,” jelas Thomas.

jakarta whispers
Di Suatu Jalan di Jakarta (Foto: Maezara)

NCS merupakan salah satu proyek tahunan Norient, sebuah seri kuratorial terkait suara-suara kota. Untuk seri NCS, mereka bekerja sama dengan orang-orang yang pernah bekerja dengan Norient sebelumnya, karena Thomas memaklumi, mengurasi publikasi di NCS membutuhkan banyak tanggung jawab, waktu, dan pekerjaan. Norient telah bekerja dengan Gisa sejak masa pandemi dengan berbagai proyek. Dari rekam jejak tersebut, Norient akhirnya merasa Gisa adalah orang yang tepat untuk mengurasi NCS: Jakarta. Norient sendiri telah tertarik dengan Jakarta selama beberapa tahun. Thomas mencontohkan penerbitan artikel tentang musik rock dan metal di Jakarta oleh Etnomusikolog Jeremy Wallach berjudul “Rock Music in Indonesia”. Tulisan yang terbit pada 1997 ini menunjukkan bagaimana musik rock bawah tanah—punk, hardcore, metal, hingga alternatif—memainkan peran penting dalam mengkritik rezim Orde Baru dan mendorong arah perubahan menuju demokrasi.

Thomas juga mencantumkan referensi buku Out of the Absurdity of Life. Buku ini berisi kumpulan tulisan yang mengulas ragam cara bermusik dan menjadi semacam refleksi pemberontakan musikal dari suara yang kita dengar sehari-hari. Referensi ini diambil dari absurditas kehidupan sehari-hari. Sepertinya, Norient mengamini bahwa kemajuan musikal hanya dapat diharapkan dari negara berkembang atau negara Non-Barat, selaras dengan gagasan kritikus musik asal Inggris, Simon Reynolds dalam bukunya Retromania: Pop Culture’s Addiction to Its Own Past (2010). Reynolds memprediksi jika Afrika, Asia, dan Amerika Latin tidak melulu soal musik etnis, tapi para musisinya juga beroperasi secara transnasional dan internasional yang menembus musik global, apalagi di zaman internet sekarang yang tidak mengenal batas. Penciptaan musik global bisa jadi hanya sekadar copy-paste yang bersifat hedonistik, di mana yang orisinal dan plagiat makin susah dibedakan.

Baca Juga:  Sungai yang Tak Kehilangan Hantu-hantunya

Gisa juga pernah menulis di Norient terkait transformasinya dalam memandang “noise” (suara kebisingan), dari yang awalnya mengganggu menjadi elemen estetis yang bisa dinikmati dalam tulisan berjudul “The Poetry of Noises”. Dia menggambarkan pengalaman kesehariannya mendengarkan berbagai lanskap suara di kampung padat di Yogyakarta, dari bayi menangis, penjual bakso, hingga ketukan sendok dalam mangkuk keramik. Awalnya Gisa merasa kebisingan itu “mencekik”. Namun, pandangan Gisa berubah setelah komunitas musik noise di Yogyakarta mengajarinya pemahaman terkait suara-suara baru. Gisa mengubah metode, dari awalnya “sekadar mendengar” menjadi “mendengarkan”. Hingga dia berkesimpulan bahwa dunia di sekitar kita terdiri dari berbagai lapisan suara yang bisa diresapi, seolah kita bisa menemukan “puisi suara” di mana saja.

Apa yang dijelaskan Thomas selaras dengan yang disampaikan Gisa saat saya mewawancarainya pada hari Minggu (28/09). Gisa bercerita bahwa saat ia diminta menjadi kurator Jakarta Whispers kala pandemi COVID-19 melanda, ia merasa belum percaya diri, sekaligus masih kesulitan membagi waktu dengan pekerjaan.

“Aku kerja di dua tempat pada waktu itu, jadi aku merasa tidak sanggup melakukan itu. Nah, tapi di tahun 2025 ini, mereka menghubungi aku lagi, terus aku kayak, ini kesempatan yang cukup oke untuk aku coba. Sebuah tantangan karena aku belum pernah menjadi kurator sebelumnya,” kata Gisa.

Gisa kemudian mengenang masa-masa ketika masih di Yogyakarta. Teman-temannya sempat menyematkan label kurator padanya saat dia dan teman-temannya membuat acara yang disebut Lelagu. Waktu itu, Gisa yang menentukan siapa yang tampil di acara tersebut. Namun, menurutnya proses tersebut masih bersifat “kurator-kuratoran”, bukan proses kurasi yang sesungguhnya. Alias Gisa sekadar mencoba-coba, belum memahami sepenuhnya tanggung jawab profesional kurator dalam membingkai narasi, konteks, hingga pengalaman audiens. Baginya, proyek bersama NCS adalah pengalaman kurasi yang nyata. Sebab, di NCS, Gisa melakukan kerja-kerja kuratorial sesungguhnya dengan riset mendalam, dialog lintas disiplin dalam menampilkan suara dan representasi kota.

Terkait pemilihan kota yang dipilih oleh NCS, Gisa mengaku tidak mengetahui kriteria kota yang dipilih memiliki indikator seperti apa. Pilihan ini murni dari pihak NCS yang berbasis di negeri Pegunungan Alpen tersebut, yang di Indonesia citranya sering kita nikmati dalam sebuah kartu pos. Jawaban dari pertanyaan ini sudah terjelaskan dari penjelasan Thomas terkait politik kuratorial NCS di atas. Selain itu, jika dilihat dari pengantar NCS, Gisa memberikan interpretasi lain, proyek NCS merupakan turunan dari COVID-19. Norient ingin melakukan jalan-jalan virtual ke kota-kota tersebut, sementara pada waktu itu ada pembatasan COVID-19 yang membuat warga dunia tidak bisa bebas bepergian. Ini yang menurutnya menjadi concern NCS, mengapa mereka pergi secara digital ke kota-kota yang jauh ini.

“Aku dihubungi sama Norient, di awal tahun ini, kira-kira pada bulan Februari-Maret lah, bikinin dong pameran virtual, publikasi digital gitu namanya buat Norient City Sounds. Kamu pikirin nih konsepnya apa. Kamu kudu pikirin judul sama hashtag-nya, gitu-gitu,” ungkapnya.

Konsep Jakarta Whispers yang dipilih Gisa tentu tidak berangkat dari ruang hampa. Dari kesehariannya tinggal di Jakarta, hal yang paling ia pikirkan adalah polusi suara. Namun, entah mengapa ketika dirinya mencari-cari penelitian terkait polusi suara, tidak ada penelitian yang sesuai dengan apa yang dia inginkan. Penelitian terkait polusi suara justru menyoal polusi  suara di bawah air, seperti “sonic pollution in the ocean” yang mengganggu ekosistem makhluk hidup di bawah air. Namun, Gisa tetap bersikeras untuk berbicara terkait dengan polusi suara berdasarkan versi autentiknya sendiri.

“Nah, yang aku renungi adalah Jakarta itu tempat di mana orang-orang itu harus saling teriak, harus selalu lantang, semakin bising kamu semakin survive. Semakin nyaring kamu semakin selamat. Terus aku membayangkan sebuah metafora bahwa yang nyaring-nyaring, yang bising-bising, ini adalah fasad komersialnya Jakarta,” jelasnya.

Sebagai seorang pendatang yang berasal dari Yogyakarta dan menetap di Jakarta sejak Oktober 2017, Gisa tidak pernah merasa menjadi warga asli Jakarta. Menurut Gisa, rerata warga Jakarta yang terdiri dari para pendatang memiliki karakternya sendiri yang khas. Perasaan ini dibagikan oleh banyak orang bahwa diri mereka adalah pendatang dan tidak terbiasa dengan polusi suara tersebut. Bahkan ada pihak-pihak yang merasa sangat tidak nyaman dengan polusi suara tersebut.

Cerita Gisa ini tiba-tiba mengingatkan saya dengan kisah seorang teman yang pada waktu-waktu tertentu merasa frustasi, juga telinganya menjadi sakit dan tak bisa tidur karena di samping kosnya ada hajatan kawinan dari siang hingga malam dengan sound horeg yang sangat keras. Dalam istilah kesehatan, ada istilah fonofobia (takut terhadap suara keras) atau mishophonia (kebencian terhadap suara-suara tertentu), dan ini yang saya kira dialami oleh teman saya. Selain itu juga saya teringat dengan novel Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie berjudul Jakarta Sebelum Pagi. Di dalam buku itu ada tokoh bernama Abel Fergani yang orang tuanya tewas di Perang Kemerdekaan Aljazair. Abel memiliki fobia terhadap suara, ukuran desibel suara tertentu bisa sangat memekakkan bagi telinganya, meskipun itu biasa saja bagi telinga orang normal.

Kalau membayangkan Jakarta, apalagi kalau kita berasal dari daerah di luar Jakarta, Gisa menyebut Jakarta sebagai kota megapolitan. Dia juga mengkritik pola-pola Jakarta yang transaksional yang semuanya mahal dan harus dibeli dengan uang. Baginya, fenomena ini adalah fasad Jakarta yang lantang dan nyaring. Namun, yang membuat Jakarta seru dan bikin betah ditinggali baginya adalah bisikan-bisikannya. Bisikan-bisikan tersebut adalah metafora yang dibuat oleh Gisa yang tercermin dalam komunitas-komunitas bawah tanah, independen, dan aneka gerakan-gerakan kolektif yang berlangsung di Jakarta. Mereka tidak perlu nyaring, tapi masih terus bertahan di sudut-sudut kota Jakarta. Ini yang membuatnya kemudian menamai pameran virtual ini sebagai Jakarta Whispers.

Dia juga menjelaskan, para peserta yang mengikuti pameran Jakarta Whsipers, baik itu musisi, peneliti, penulis, fotografer, dan lainnya, tidak dipilih berdasarkan panggilan terbuka (open call), tetapi dari jejaring perkawanan yang sudah akrab dengan Gisa. Dia memilih pihak-pihak yang secara ruang dan waktu telah membuktikan diri memiliki rekam jejak (track record) yang baik. Adapun NCS sendiri juga mewajibkan beberapa kriteria kontribusi wajib dalam bentuk teks/esai, film pendek, foto, dan siniar (podcast). Jumlahnya sendiri tergantung pada Gisa. Dia berpikir siapa dari teman-temannya yang tepat untuk terlibat dalam proyek tersebut. Hal pertama yang dilakukan Gisa adalah menggali-gali kontak, lalu mencocokkan tugas dari satu seniman ke seniman lain.

“Orang-orang yang aku ajak di sini adalah orang-orang yang paling dekat dengan aku, yang aku tahu latar belakangnya kayak gimana, yang aku tahu kerja-kerjanya kayak gimana, yang bisa dengan gampang aku cari latar belakang mereka ‘aman atau enggak’. Aman dalam pengertian kelakuannya oke, terus mereka tidak pernah terlibat dalam kasus-kasus pelecehan seksual, mereka punya pandangan politis yang oke, yang pro-Palestine, yang gak kena cancel-lah,” tegasnya.

Setelah menghubungi para peserta pameran yang terlibat, kemudian masing-masing partisipan menyetorkan karya kepada Gisa. Dia juga melakukan brainstorming dengan para peserta terkait karya tersebut baiknya seperti apa. Semisal, pada karya esai, penulis memberikan draf, kemudian tulisan disunting, lalu mereka mengobrol baiknya seperti apa di tahap revisi. Pun dengan foto dan karya-karya yang dipamerkan lainnya memiliki metode kurasi yang serupa dengan konteks khasnya masing-masing.

Sementara itu, Gisa menjelaskan, target audiensnya adalah warga Jakarta—serta masyarakat Indonesia secara umum—yang menyukai musik independen, terhubung dengan komunitas underground, dan tertarik pada wacana tentang bagaimana suara memengaruhi kehidupan manusia serta lingkungannya. Suara ini yang kemudian dikeluarkan dalam lanskap ruang.

“Sebenarnya target audiens, karena ini ekshibisinya macem-macem bentuknya, jadi kuharap bisa kena ke banyak kalangan, mungkin ada yang suka baca, jadi bisa baca esainya. Kalau yang suka sama musik mungkin bisa dengerin playlist-nya, gitu-gitu,” imbuhnya.

jakarta whispers
Foto Karya Peter GY Rumondor

Terkait playlist di Jakarta Whispers, Gisa menjelaskan ada tiga playlist yang ditampilkan di NCS, masing-masing Whispers 1, Whispers 2, dan Whispers 3. Whispers 1 dibuat oleh Gisa sendiri. Playlist ini terdiri dari 11 lagu, dari Santamonica, Jirapah, hingga Bin Idris. Di sini Gisa ingin menyikapi musik atau playlist sebagai sebuah mesin waktu yang ketika kita mendengarkan musik, akan mengingatkan kita dengan masa-masa ketika musik tersebut diperdengarkan. Gisa mengumpulkan beberapa lagu yang dia dengarkan dalam beberapa babak hidupnya, khususnya yang berhubungan dengan Jakarta. Pada babak pertama merupakan lagu-lagu yang dia dengarkan ketika dirinya masih kecil hingga remaja, yang baginya sangat mewakili Jakarta. Kala itu, citra Jakarta yang ditangkap oleh Gisa adalah sebatas apa yang ditampilkan oleh layar televisi dan suara radio.

“Aku merasa bahwa lagu-lagu ini itu, oh band-band Jakarta kayak gini nih, jadi aku merasa itu adalah suara-suara band Jakarta. Padahal aku salah pada waktu masih kecil itu. Aku kira, Rock N Roll Mafia dan Minoru itu dari Jakarta, tapi ternyata mereka band Bandung,” tuturnya.

Babak kedua berisi band-band yang bernaung di haribaan Kolibri Records, yang mewakili fase saat dirinya sudah dewasa dan mulai jadi anak band. Dia merasa band-band yang dia sebutkan di sana mewakili suara terbaik Jakarta. Lalu, babak ketiga berbicara masa ketika dirinya sudah benar-benar pindah ke Jakarta dan betul-betul menjadi pekerja. Baginya lagu-lagu tersebut mewakili berbagai kisah hidupnya selama tinggal di Jakarta. Lagu-lagu itu ia dengarkan ketika dirinya mengalami emosi yang sangat berat dan besar.

Berlanjut pada playlist Whispers 2 yang dibuat dan dikurasi oleh Saifulhaq, seorang musikus punk dan metal. Playlist dari Saifulhaq ini berisi performance band-band yang ia suka dan pernah manggung di Jakarta, di sana ada lagu-lagu dari Milisi Kecoa (band hardcore punk asal Bandung), Exhumation (band death metal asal Yogyakarta), Framtid (band hardcore crust asal Jepang), SIAL (Singapura), dan beberapa band metal lain. Termasuk di dalamnya adalah Masakre, band Ipul yang memainkan genre metal punk dan menggarap tema-tema dengan lirik sosial-politik dan alunan metal straight-forward yang solid. Di Masakre Ipul berperan sebagai drummer.

Terakhir, Whispers 3 dikuratori oleh an emerging anthropologist Amelia Rugun Sirait. Playlist ini memuat kompilasi band-band yang sangat maskulin, band-band yang cenderung didominasi laki-laki baik dalam hal produksi, ruang tampil, maupun atmosfer yang diciptakan, tetapi itu sangat mewakili Jakarta yang penuh dengan deru mesin kendaraan. Menariknya, kebanyakan band-band di sini merupakan band-band IKJ (Institut Kesenian Jakarta) tahun 2000-an, seperti Morfem, The Upstairs, dan The Sastro. Termasuk juga Naif, band pop-rock Indonesia yang terbentuk tahun 1995 di IKJ dengan gaya retro yang stereotipikal. Playlist Rugun ini yang paling relate dengan saya pribadi, karena saya suka mendengarkan musik-musik seperguruan jebolan IKJ lain, seperti The Adams dan Rumahsakit. Rugun juga menaruh di nomor pertama playlist-nya lagu dari Sir Dandy berjudul “Jakarta Motor City”, dengan liriknya yang unik terkait sejarah permotoran di dunia dan Jakarta serta kondisi lalu lintasnya. pada 2019, Sir Dandy juga meluncurkan single bertajuk “MRT” untuk merayakan lahirnya moda transportasi baru Jakarta.

Rugun dalam pameran virtual Jakarta Whispers juga berkontribusi untuk esai berjudul “Jakarta Keras”. Artikel ini mengontemplasikan diksi “keras” yang memiliki makna berlapis, tapi secara umum diartikan sebagai kota yang penuh tekanan dan tuntutan, dengan biaya hidup yang tinggi. Kerasnya Jakarta juga tampak pada karakter masyarakatnya, yang saya pikir bisa hidup di banyak kondisi. Saya pernah berasumsi, kalau kamu kuat tinggal di Jakarta, hidup di kota-kota lain di Indonesia mudah-mudah saja bagimu. Rugun di esai ini juga bercerita tentang ritual para pekerja di Jakarta dengan suara-suara yang dihadirkannya, dari suara lalu lintas jalanan, suara “ting-ting-ting” yang tercipta dari sendok yang dipukul ringan ke mangkuk oleh penjual bubur, suara penjual ketoprak dan tahu, suara jalan tol, hingga situasi absurd tukang bakso menendang bajaj di tengah kerumunan lalu situasi normal kembali. Di tengah hiruk pikuk seperti ini, diam dan tenang menjadi suatu kemewahan tersendiri.

Baik di Whispers 1 dan 3, menariknya, Gisa dan Rugun sama-sama melampirkan lagu “Texpack – Gadog ft. Edo Wallad”. Single “Gadog” ini merupakan bagian dari album Spin Your Wheels oleh Texpack yang rilis tahun 2019. Lagu berdurasi 3 menit 14 detik ini merupakan hasil kolaborasi Texpack dengan penulis cum musikus Edo Wallad yang mengisi vokal. Edo membacakan puisi berjudul “Bersin, Makan Ketoprak, dan Menulis” dari buku Pesta Sebelum Kiamat (2018). Puisi ini ditulis beberapa bulan usai ayah Edo meninggal dan menceritakan rasa penat seseorang yang hidup di daerah metropolis dengan beragam profesi yang mengelilingnya, serta fenomena masyarakat urban yang lekat dengan hal-hal materialis. Perhatikan saja liriknya: “Pagi / Makan ketoprak di Gadog / Dengan puluhan orang-orang yang sekejap menjadi mandor / Menjadi kuli / Menjadi kolektor / Menjadi tukang ojek / Menjadi tukang gorengan / Menjadi tukang listrik / Dan selalu menjadi santri…”

Gisa selanjutnya bercerita terkait departemen foto, yang dikreasikan oleh Maezara, Peter G.Y. Rumondor, dan Aghnia. Maezara dalam karya bertajuk “Life on a Merry-Go-Round” memberikan arsip koleksi foto yang diambil dari sekitar kota, foto yang diberikan sekitar 100 foto, Gisa memilih beberapa puluh dengan kriteria yang dia suka, yang menurutnya poetic dan soft, dan cukup mewakili pribadi Maezara (yang juga Gisa kenal sebagai sosok yang ramah dan approachable). Peter G.Y. Rumondor dalam karya “The Weightless Fight” juga memberikan banyak foto hasil jepretannya selama bertahun-tahun menjadi fotografer panggung. Dia memilih foto-foto yang poetic dan seru.

Baca Juga:  Mengapa Jason Ranti Ada Baiknya Rilis Single Bertajuk "Bahaya Populisme"

Sementara untuk Aghnia Amalia dengan karyanya “Echoing Imprints” lumayan Gisa arahkan, karena Aghnia pernah memiliki proyek di Instagram terkait muka toko yang menurutnya sangat lucu. Aghnia memotret fasad toko-toko yang jadul dan vintage, untuk kemudian ditaruhnya di Instagram. Gisa ingin Aghnia melakukan hal yang sama, tetapi dengan venue-venue yang ada di Jakarta. Gisa meminta Aghnia untuk mengabadikan tempat dan ruang di Jakarta yang berhubungan dengan musik. Aghnia pun pergi ke venue eperti TobaDream Jakarta atau Rossi Musik, untuk memotret fasadnya. Kemudian Aghnia juga pergi ke pasar-pasar untuk membeli koleksi vinyl dan kaset.

Potret Toba Dream (Foto: Aghnia)

Ada juga film pendek favorit saya karya dari Kathleen Malay berjudul “Anywhere You Wander”. Video berdurasi 05.33 ini berkisah tentang berbagai bebunyian di Jakarta dari suara-suara pedagang kaki lima di gang-gang Jakarta, suara ayat-ayat Al-Quran di megaphone masjid, suara pengajian Gus Baha, suara motor-motor jalanan, suara pasar malam, suara anak-anak bermain dan berlari-lari, suara orang menyapu, gemercik hujan, hingga suara eskalator di sebuah mall di Jakarta. Video tersebut sebagian besar berangkat dari pengalamannya berjalan kaki, menemui suara yang berasal dari kekacauan satu ke kekacauan lain, hingga dia menyadari jika “Setiap suara adalah tanda bahwa sebuah kehidupan sedang berlangsung.”

Seniman lainnya, Anida Bajumi menciptakan karyanya bersama Dymussaga, Robonggo, Gisela Swaragita, dan Dania Joedo berjudul “The Weeds Are in Bloom”. Di karya ini Anida menyetor video-video konser yang direkam melalui ponselnya. Kontribusi Anida adalah mengumpulkan berbagai video dari gigs yang dia hadiri. Footage-footage yang berasal dari handphone Anida itu kemudian diedit oleh Robby Wahyudi Onggo (Robonggo), seniman visual lintas media yang berfokus pada fotografi, motion design, dan visual story-telling. Ada juga suara-suara yang dibuat oleh Mar Galo untuk merespons karya-karya dari seniman yang berkontribusi dalam Jakarta Whispers.

Menurut Gisa, Anida orang yang paling kelihatan ada di mana-mana terkait skena di Jakarta. Ketika seseorang menonton skena apa pun di Jakarta, ada Anida. “Pasti isi hapenya seru banget, makanya aku ajakin dia untuk nyetor video itu. Terus Robonggo itu juga orang PCS (Paguyuban Crowd Surf), videografer yang oke, kurasa dia ngertilah cara ngedit video itu jadi bagus,” terangnya.

Gisa menambahkan, kritik yang disampaikan dalam Jakarta Whispers banyak tergantung dari masing-masing kontributor yang terlibat. Semisal kontribusi dari Dymussaga (Aga) dengan esainya berjudul “Blooming Through Concrete” yang mengkritisi infrastruktur Jakarta yang tidak ramah perempuan. Di esai itu Aga menarasikan kisahnya turun dari MRT kemudian berjalan ke Rossi Musik Fatmawati. Dalam perjalanan itu, infrastruktur dirasakannya tidak ramah perempuan dan dia merasa tidak aman. Aga juga mengkritisi ruang kolektif independen yang kadang-kadang juga tidak ramah perempuan dan queer. “Perjalanan kita sebagai perempuan di ruang mana pun ya, kadang-kadang itu sering kali adalah perjalanan untuk mencari ruang aman,” tambah Gisa.

Kemudian, esai berjudul “Sons of Betawi and Their Cultural Paradox” adalah kisah perjalanan karier Bin Idris (moniker dari musikus dan frontman band Sigmun bernama asli Haikal Azizi) yang mengalami paradoks. Meskipun dia lahir dan tumbuh dalam identitas Betawi yang religius, ia merasakan ada jarak antara nilai tradisional yang diterapkan di keluarga dan praktik  hidupnya sebagai musisi kontemporer. Estetika dari musik Haikal dibentuk oleh latar belakang suara-suara keagamaan, seperti azan, tilawah Quran, dan nasyid; juga oleh kehidupan urban modern, urbanisasi, dan perubahan-perubahan lain.

Selanjutnya di Jakarta Whispers juga ada siniar (podcast )yang dibuat oleh Gisa dan Dania Joedo yang mengangkat topik bagaimana mencari ruang aman sebagai seorang queer. Tadinya Dania bergabung dengan kolektif independen di Yogyakarta sebagai laki-laki (cis hetero sexual) dengan nama Danang. Kemudian Danang come out menjadi Dania sebagai transpuan. Dania bercerita tentang bagaimana ia berjuang agar tetap bisa terlibat dalam musik di komunitas. Siniar ini diberi judul “Soulmate is a Safe Space”. Dania menggambarkan “jodoh” sebagai ruang aman. Dania menarasikan transisinya bergulat—untuk memahami dan mengenal diri sendiri—menjadi transpuan, bagaimana juga dia bergulat dengan queerfobic dan keluarga besar. Dania bercerita, berada di ruang yang mau menerima itu sudah sangat menyenangkan.

Perjalanan hidup Dania dengan perkembangan karakter yang dialaminya, dari awalnya berada di skena di Yogyakarta hingga menjadi aktivis transpuan menjadi refleksi yang menarik untuk didengarkan. Di siniar ini, Dania—yang juga personel grup musik Tashoora—banyak bercerita perjalanannya mencari ruang aman, meraba-raba hidup sebagai transpuan, termasuk perjalanannya bermain musik bersama bandnya yang pernah cuma dibayar nasi goreng dan es teh saat manggung. Siniar ini juga menceritakan musik yang mengantarkannya menjadi Dania, tahu mana yang kawan dan lawan, serta caranya berstrategi menjadi transpuan di ruang publik. Bagi Dania penting untuk memberikan microphone bagi kelompok minoritas, alangkah baik jika semua orang bersama-sama membangun ruang yang aman.

“Kalau Podcast, aku sama Dania ngobrol aja, sih. Ini juga yang aku pilih adalah indikator kenapa aku milih Dania adalah dia teman lama gitu, ya, jadi aku ngerasa obrolanku sama dia lumayan deep di Podcast ini,” ungkap Gisa.

Tujuan penyelenggaraan NCS: Jakarta Whispers, kata Gisa, bukan untuk mengenkapsulasi atau mewakili Jakarta secara utuh. Tentu saja ini entitasnya dari Norient yang berbasis di Eropa, seperti halnya saat dirinya menjadi wartawan, yang dia pikirkan adalah pembacanya siapa. Bagaimana Gisa harus berbicara dengan pembaca secara jelas. Hal dasar yang dia kerjakan juga adalah bagaimana isu-isu yang ditulisnya bisa sampai ke orang-orang Eropa—sehingga naskahnya berbahasa Inggris. Bagaimana mereka yang tidak mengerti dan tidak pernah datang ke Jakarta bisa mengerti Jakarta seperti apa.

“Tapi aku gak bisa juga mengklaim bahwa aku berhasil mengenkapsulasi representasi Jakarta secara keseluruhan. Jadi Jakarta yang kuhadirkan dalam NCS: Jakarta Whispers ini, Jakarta menurut POV aku, menurut sudut pandangku saja, gak bisa aku bilang bahwa ini adalah Jakarta, tidak. Jakarta itu punya wajah yang banyak, Jakarta itu punya suara yang banyak, dan ini adalah Jakarta yang aku lihat,” pungkasnya.

Tidak berhenti pada tayangan layar, Jakarta Whispers juga menggelar peluncurannya secara langsung di Kios Ojo Keos. Berikut pengalaman yang hendak saya ceritakan.

Release Party “NCS: Jakarta Whispers”

27 September 2025. Hari itu adalah Sabtu yang cerah. Ada dua jadwal yang sudah tertulis dalam agenda saya: (1) Diskusi panjang secara daring dengan seorang musikus balada yang berdomisili di Bandung untuk sebuah proyek tulisan yang entah jadi kapan, (2) Menghadiri acara NCS: Jakarta Whispers di selatan Jakarta. Saya berkesempatan hadir di acara tersebut dari tempat tinggal saya di daerah Jakarta Pusat, dengan menggunakan transportasi sepeda motor. Jaraknya sekitar 20 kilometer, saya berangkat setelah Magrib sekitar pukul 18.15 WIB dan sampai di Kios Ojo Keos sekitar pukul 19.10 WIB. Kemacetan malam itu berkategori sedang. Sepanjang jalan, dengan rasa sentimentalnya tersendiri, saya mendengarkan album dari Jalan Pulang bervolume ringan, sembari masih mendengarkan klakson-klakson jalan yang tak sabaran.

Usai tiba, saya parkirkan motor Mio merah seri 2008 saya di depan Kios Ojo Keos yang terletak di kompleks Bona Indah Plaza bersama jejeran motor lainnya yang sekilas mirip pola sisir rambut. Kafe buku yang kalau siang papan plang birunya bisa dilihat dengan jelas itu menggelap, bukan saja karena malam, tapi juga karena para pengunjung yang sudah banyak datang dan rerata berpakaian hitam. Cahaya remang kekuningan mengguyuri venue yang didirikan oleh band Efek Rumah Kaca tersebut. Di depannya, ada sebuah meja persegi panjang, yang di atasnya ada zine “NORIENT CITY SOUNDS: JAKARTA WHISPERS” yang ditata dengan rapi. Di sebelah zine, ada dagangan merchandise dari band asal Yogyakarta Rabu, yang juga hendak menuju pendengar dan penikmat potensialnya.

Di balik meja itu, saya melihat Gisela Swaragita, yang hampir setahun ini bertungkus lumus dengan Jakarta Whispers. Saya mengenal namanya jauh sebelum dia merantau di Jakarta, saat saya masih menjadi mahasiswi Fisika di Yogyakarta circa tahun 2015. Wajahnya tidak asing, karena kerap saya jumpai di acara-acara bertema kebudayaan. Suatu hari, yang saya lupa titi mangsanya, saya pernah menonton band-nya Summer in Vienna di Jogja National Museum. Lagu mereka berjudul “Squirrels” dan “Have a Nice Day” adalah dua favorit saya. Mendengarkan lagu-lagu Summer in Vienna adalah shortcut yang bisa membuat saya happy mendadak. Gisa seorang pemain bass, dari POV saya, dia adalah sesosok perempuan yang terlihat asyik, cantik, eksentrik, unik, dan autentik. Saya juga beberapa kali menikmati tulisan di blog pribadinya Baobab is a Big Tree. Saya suka kisah personalnya tentang bass berwarna merah terang bernama Cherry yang dibelinya di Gramedia pas kelas 3 SMA—sampai akhirnya dia beralih ke bass lain bernama Butterscotch. Saya pikir, tak banyak sosok perempuan yang berjiwa bebas, berdaya, dan bisa menjadi dirinya sendiri seperti Gisa di dunia yang sempit ini. Gisa adalah teladan sesama perempuan.

Berjumpa lagi dengan Gisa di Jakarta sekaligus berkenalan secara langsung tentunya membuat saya senang. Malam itu kurator Jakarta Whispers tersebut mengenakan midi dress warna hitam. Wajah ramah dan murah senyumnya menyapa para pengunjung yang datang. Saya mengambil satu zine dan masuk ke dalam ruang acara. Ruangan itu tampak gelap, karena lampu dimatikan. Hanya bagian panggung saja yang diberi cahaya sebagai focal point, di sana tampak jelas dekorasi bendera Palestina dengan buku-buku progresif anggitan penulis-penulis Tanah Air. Para penonton sudah penuh sampai bagian belakang mendekati pintu. Mereka duduk lesehan. Saya pun memfokuskan mata saya mencari celah tempat yang masih kosong, maju di depan dekat dengan panggung. Dapat!

Acara dimulai tepat waktu. Gisa memandu sesi artist talk pertama bertema, “Creating Safe Space for Women and Queers in Music Events”. Diskusi ini menghadirkan tiga pembicara, Anida Bajumi, Dymussaga (Aga), dan Diedra Cavina (Nyon). Ketiganya memasak zine Tender Loving Care (TLC) dengan judul “Panduan Keamanan Kekerasan Seksual di Acara Musik”. Zine tersebut juga dibagikan gratis kepada peserta yang hadir. Zine dengan atribusi creative commons (CC-BY-NC) tersebut bebas diperbanyak dan disebarkan untuk kepentingan non-komersial. Secara umum, diskusi ini membahas bagaimana membangun ruang aman agar terbebas dari pelaku tindak kekerasan seksual di acara-acara konser. Di zine TLC ini juga tersedia kontak-kontak penting yang bisa dihubungi jika kasus pelecehan seksual terjadi.

Diskusi sesi pertama Jakarta Whispers (Foto: Isma Swastiningrum)

Diskusi pun berlangsung. Nyon menganggap forum ini cukup aneh karena tema kekerasan seksual di konser atau skena musik secara lebih luas ini jarang dibicarakan secara formal. Tema ini cenderung hanya dibicarakan secara desas-desus belaka. Topik kemudian berkembang pelan-pelan menjadi diskusi tentang hal yang kerap luput dibicarakan di skena musik: kekerasan seksual di konser dan bagaimana kita harus meresponsnya. Zine TLC juga pernah memikirkan hal-hal serupa—misalnya membuat posko khusus atau melakukan briefing bagi band-band yang tampil. Nyon dan rekan-rekannya punya perhatian khusus pada penanganan kasus pelecehan seksual di acara musik, sebab mereka melihat mekanisme yang ada selama ini belum benar-benar melindungi korban. Hal yang paling penting adalah menghargai korban dan menjaga kesehatan mental korban.

Nyon menceritakan latar belakang penerbitan zine TLC. Pada tahun 2018, Gisa sempat mau bikin artikel di The Jakarta Post tentang SOS (sinyal darurat internasional) terkait isu kekerasan seksual yang terjadi dalam acara musik. Saat itu konteksnya, ada acara .Feast/Hindia di tempat lumayan besar dan ternyata terjadi pelecehan. Kemudian, vokalis Baskara Putra berinisiatif membuat isyarat SOS untuk ditampilkan jika terjadi sesuatu. Namun, setelah dipikirkan, jika hanya membuat SOS tanpa konteks akan membuat orang semakin bingung—misalnya apakah SOS itu merujuk pada copet, keributan, atau hal lain. Kekhawatiran terbesar saat itu adalah jika ada penyintas pelecehan seksual yang memberi sinyal SOS di tengah kerumunan, justru akan semakin menarik perhatian massa. Korban malah bisa merasa makin tidak aman. Selain itu, sinyal SOS juga dianggap tidak efektif, sebab bisa muncul justru di tengah performa musisi dan membuat situasi semakin rumit. Karena Gisa hendak membuat artikel tersebut, Nyon dan kawan-kawan berdiskusi lebih lanjut terkait SOS.

Baca Juga:  Hindia Album Kedua: Merayakan Kiamat Tanpa Juru Selamat (Bagian 3/ Habis)

Aga melanjutkan, inisiatif menciptakan ruang aman seharusnya tidak hanya datang dari penyelenggara, tetapi juga semua pihak yang terlibat. Sebab selama ini pelecehan seksual sering hanya dianggap sebagai ‘gogon’ (gosip-gosip underground), yang seolah menuntut korban jadi korban yang sempurna (perfect victim) yang dianggap bersih, lugu, dan hanya pasif menerima begitu saja. Menurut Aga, ruang aman berarti bukan hanya tidak ada perasaan takut—terutama bagi perempuan dan queer—untuk berekspresi apa pun, tapi juga tidak takut bertemu pelaku. Sebab sangat sering terjadi korban menghindari acara karena ada pelaku di sana, baik itu organizer, penonton, hingga penampilnya langsung. Jika ada yang tidak nyaman, menurut Aga, pasti ada yang salah. “Ketika perasaan-perasaan takut gak ada, itu harusnya yang disebut safe place,” imbuhnya.

Aga menambahkan, bentuk pelecehan sangat beragam, mulai dari verbal hingga fisik. Dari kegelisahan itulah, mereka mulai mencari berbagai referensi terkait isu tersebut. Di sejumlah negara lain persoalan ini ditangani dengan serius, bahkan mitigasinya dilakukan secara sangat terorganisir. Dari situ, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik, lalu disesuaikan dengan konteks Indonesia, khususnya Jakarta. TLC berusaha tidak kebanyakan “was-wes-wos” alias menghindari terlalu banyak cincong, hanya ingin menampilkan poin paling utama, seperti apa itu kekerasan seksual, batasan apa saja, kultur apa yang melanggengkan, apa yang bisa dilakukan penyelenggara acara, apa yang bisa dilakukan penonton, dan lainnya. Budaya penting di antaranya adalah tidak mencari identitas korban (seperti nama dan latar belakang), serta tidak mewajarkan budaya yang jelas-jelas merugikan korban.

“Mabuk juga bukan jadi alasan, ‘sorry, kemarin gak ingat’. Gak bisa gitu juga. Misalnya, yang bikin kami concern itu ketika ada pelaku pelecehan seksual di acara, biasanya korbannya yang jadi takut, jadi melipir. Padahal seharusnya bukan korban yang ngumpet, harusnya pelakunya yang gak dikasih ruang, bukan sebaliknya,” jelas Aga.

Anida sendiri mempunyai band metal bernama Amerta dengan posisi sebagai pemain bass. Suatu hari, ketika ingin membuat showcase, dia kepikiran membuat sebuah posko di venue, di mana ketika amit-amit terjadi sesuatu, pihaknya bisa tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana penanganannya. Dia melanjutkan, safe place juga bisa dimulai dengan mendidik diri sendiri agar tidak bersikap cabul, termasuk berhenti mewajarkan candaan yang menyudutkan fisik seseorang. Banyak candaan di tongkrongan yang sebenarnya masuk kategori pelecehan, namun dianggap lumrah hanya karena dilakukan sesama teman. Ia juga menyoroti bahwa di Jakarta masih jarang ada organizer musik yang dijalankan oleh perempuan. Dari pengalamannya, ketika ruang dikelola perempuan, kasus pelecehan justru lebih mudah terfilter dengan sendirinya. Audiens yang hadir pun banyak dari kalangan perempuan, bahkan komunitas queer juga merasa lebih aman untuk datang. “Hawanya juga tidak kelewat ‘bro’, tapi entah kenapa terjadi secara natural. Mungkin harus lebih banyak perempuan yang bikin acara,” ungkapnya.

Aga bercerita tentang esai yang ia tulis berjudul “Blooming Through Concrete”. Dalam tulisan itu, ia mengisahkan pengalamannya sebagai penonton yang gemar menghadiri gigs. Salah satunya ketika ia datang ke acara Rossi Musik yang dikelola Anida—yang juga mengelola label Ordo Nocturno. Di situ hadir pula Nyon, seniman yang kerap membuat zine, stiker, hingga poster. Pengalaman pergi ke Rossi memberinya kesan tersendiri tentang pentingnya ruang aman. Dari pengalaman itu pula, Aga melihat sisi lain dari ekosistem konser musik. Ia menyadari bagaimana hubungan parasosial kerap membuka celah manipulasi: penonton maupun pendengar bisa dimanfaatkan, dan penampil sendiri bisa menjadi pelaku sekaligus korban. Penyelenggara acara menurut Aga juga perlu tidak memberi ruang pada pelaku yang punya sejarah kekerasan seksual, tidak usah diundang maupun tidak perlu ditonton.

“Oh ini, organizer ini dia kebiasaan korban disepelein. Ada yang pernah melapor tapi terus disepelein. Terus kita jadi nandain lagi kayaknya gak usah dipikir kalau mau datang ke acara. Dari penonton, penampil, terus organizer itu juga mulai bisa metain,” tambahnya.

Para pemasak TLC berharap semua orang memiliki niat baik untuk membangun safe space. Namun, setelah niat itu terucap, muncul pertanyaan berikutnya: setelah itu, apa langkah konkretnya? Harapannya, zine TLC bisa menjadi titik awal bagi ruang-ruang, komunitas, atau skena di luar kota untuk mengadaptasi panduan ini. Panduan tersebut tidak dimaksudkan sebagai aturan yang kaku, melainkan kumpulan poin yang bisa diolah ulang sesuai kondisi masing-masing lingkungan. Sebab, tiap tongkrongan memiliki dinamika yang berbeda-beda. “Supaya nanti bisa didaur ulang sama teman-teman di kota-kota lain, di tongkrongan-tongkrongan lain,” jelas Aga.

Penampilan Rabu (Foto: Isma Swastiningrum)

Diskusi berat menyingkap sisi gelap dalam ruang musik itu perlahan bergeser. Malam itu di Jakarta Whispers,  musik kembali berekspresi dengan caranya sendiri. Diskusi usai, lampu panggung tetap menyala, dan giliran band Rabu membawakan sejumlah karya mereka. Rabu bersenandung membawakan lagu-lagu yang saya catat: “Potret Akhir yang Kusam”, “Semayam”, “Hilangnya Kehangatan”, “Doa Renjana”, “Metamorfosa”, “Dukun Sekti”, dan “Kemarau, Bunda, dan Iblis” (featuring Talitha Neysa). Band “folk gelap” yang lahir dan besar di Yogyakarta ini dikenal unik karena memiliki harmonisasi nada dan aura mistisnya tersendiri. Tema-tema klenik yang digarap Rabu bukan parsial permukaan soal persinggungannya dengan dunia “hantu” saja, tapi lebih dalam dari itu juga potret muram kehilangan pekerjaan, keluhan kelaparan suatu keluarga, amblasnya saldo rekening, hingga struktur keterasingan manusia dan kemiskinan yang jamak kita temukan sehari-hari.

Setelah Rabu tampil, acara dilanjutkan dengan artist talk kedua bertema, “A Guideline for Organizing Underground Touring Bands in Jakarta” oleh Saifulhaq (Ipul) yang dipandu Januar Kristianto. Ipul menjelaskan, dia mengaku tidak memiliki basis menulis. Gisa mengarahkannya untuk menulis tentang perjalanan musik band. Dia mencoba membuat poin-poinnya, kemudian menulis, hingga bisa berdiskusi dan mengedit. Meskipun bagi Ipul ceritanya tidak penting, tapi bagi Gisa pengalaman Ipul penting, karena tidak semua orang tahu. Dari panduan itu, harapannya semua orang sebenarnya bisa membuat konser gigs-nya sendiri.

Ipul memulai jadi event organizer sejak tahun 2007, semua berawal saat bandnya Grave Dancers hendak melakukan debut demo pertama kali. Awalnya dia hendak mengorganisir sendiri show tersebut kepada para pendengar yang potensial. Suatu hari, Ipul dikontak oleh Hafiz, koleganya di Singapura sekaligus personel band neo crust, Pazahora, untuk keperluan touring band. Dari sana, timnya juga mengontak beberapa band di Asia Tenggara lain yang hendak tampil di Jakarta. Akhirnya, terciptalah pertunjukan yang diinisiasi oleh Grave Dancers, dengan menghadirkan 15 penampil: 11 band Jakarta, 1 band Kalimantan, 2 band Singapura, dan 1 band Malaysia.

Diskusi sesi kedua (Foto: Isma Swastiningrum)

Kisah Ipul ini juga menjadi bagian dari pameran NCS: Jakarta Whispers, khususnya di departemen esai. Ipul dan Gisa menulis artikel berjudul, “Connecting Jakarta: A Complete Guide to Host Independent Touring Bands”. Artikel ini secara detail mengulas bagaimana suatu pertunjukan touring bands dilaksanakan, baik sebelum, saat, dan setelah acara. Prosesi itu mulai dari perencanaan, setting ekspektasi, penggalangan dana, penjadwalan, pengaturan venue, promosi, kolaborasi, tiket, peralatan dan panggung, akomodasi serta hospitality. Termasuk juga mengajak para line up rekreasi ke tempat-tempat ikonik di Jakarta, sekaligus menikmati makanan lokal di kedai-kedai khas Jakarta, dari Pecel Boma, Soto Babon, sampai makan nasi padang Pagi Sore. Bagi saya, apa yang diceritakan Ipul merupakan pengetahuan baru yang sangat berguna bagi pihak-pihak yang ingin mengadakan acara serupa. Saya juga tertarik dengan sub-bab akhir tulisan itu terkait dengan koneksi:

Organizing a DIY show is not a great way to make money. In fact, you will almost always lose money and breaking even is a rare feat. It is not impossible to gain monetary profit from this activity, but it almost never happens and you should not have your hopes too high on that front. However, the real profit is the precious connection you will have with the international underground music scene.”

Selepas penampilan Rabu dan diskusi terkait panduan mengorganisir touring bands, acara malam itu mencapai puncaknya dengan kehadiran Bin Idris. Ia menutup acara dengan suguhan penuh energi, membawakan nomor-nomor lagu yang meninggalkan gema mendalam di ruang pertunjukan. Mengenakan pakaian minimalis bernuansa hitam sembari membawa gitar elektriknya, Haikal memasuki panggung. Alunan musik lambat dan teduh terdengar, memberi kesan intens sekaligus puitis. Haikal memainkan gitar dengan pelan tapi tajam. Beberapa lagu yang saya kenal dimainkan, ada “Kembali ke Tempat Semula”, “Merak”, “Salt Water”, “Semayam”, “Calm Water”, “Rebahan”, hingga ditutup oleh lagu “Temaram”. Ya, alih-alih energi shoegaze ala skena, suara yang muncul di pikiran saya lebih didominasi atmosfer yang khusyuk. Lagu penutup hari yang sempurna, yang membuat saya berdoa: “Ya Tuhan, jauhkan saya dari keinginan bodoh untuk menyelamatkan dunia sendirian. Terlalu berat Tuhan, saya tidak kuat.”

“Di antara belantara rasa

Kan kusemai dengan segala rupa

Kelopaknya pancarkan cahaya

Menjadi lampu yang selalu menyala”

Epilog

Foto Karya Peter GY Rumondor

Dunia telah berubah, pun dalam hal berpameran. Terlepas dari substansi yang ingin dihadirkan, media yang digunakan NCS sangat relevan dengan kebutuhan dunia hari ini yang serba digital: dunia ada dalam genggaman. NCS membuka demokratisasi akses yang menembus batas ideologi, sosial, dan demografi. Masyarakat bisa menonton tanpa harus hadir ke suatu ruang tertentu. Di tengah beragam narasi yang awalnya terkungkung di dalam galeri atau museum elite, NCS menciptakan interaksi dan pemahaman baru yang lebih cair. Meskipun ada kemungkinan jebakan baru, seperti potensi karya hanya sekadar data visual, serta memperkuat hierarki jenis baru terkait siapa yang memiliki teknologi yang lebih canggih dan platform yang lebih besar.

Selain itu, semakin lama saya mendalami karya pameran Jakarta Whispers ini satu per satu, saya malah berkecenderungan untuk tidak ingin menilai. Saya lebih ingin menikmati suara itu sebagaimana adanya, membiarkan suara itu berbicara dengan caranya sendiri. Di sisi lain, karena pameran ini juga, saya sempatkan ulang membuka buku Orientalisme karya Edward Said terbitan Penerbit Pustaka Bandung (1985). Di buku itu, Said mengutip dua tokoh, pertama Karl Marx yang menyebut, “Mereka tidak bisa tampil sendiri; mereka harus ditampilkan”; dan Benjamin Disraeli yang mengatakan, “Timur adalah karier.”

Dalam buku itu, Said mengkritik bagaimana Barat menciptakan citra “Timur” bukan sebagaimana adanya, tapi sebagai representasi dari hasil konstruksi imajinasi kolonial yang eksotis, terbelakang, dan pasif. Dari pameran ini saya justru menangkap, jika Marx berkata “mereka harus ditampilkan”, justru pameran ini memperlihatkan posisi yang melampaui itu, bahwa “mereka sudah tampil, mereka sudah berbicara, mereka hidup, kita hanya perlu mendengarkan.” NCS juga merupakan upaya kita memahami kota, mendengarkan tanpa mengatur. Barangkali, ini juga bentuk kecil perlawanan, kota bisa bicara tanpa harus dijadikan “karier” sebagaimana yang disebut Disraeli.

Saya juga bertanya terkait kritik Thomas pada “suara-suara” yang muncul di dunia saat ini, terutama di kawasan Global South, seperti Indonesia. Thomas mewakili Norient menjawab pertanyaan saya tersebut dengan ungkapan:

We feel that it is very important that artists and thinkers are being heard today, and we fear that these voices become silenced, partly by authoritarian politicians, partly by the algorithms of social media, partly by platform capitalism (from global companies like Spotify),” katanya.

Menurut Thomas, seniman dan seni memiliki antena yang sensitif, di mana mereka menjadi “seismograf” bagi dunia saat ini. Seismograf merupakan alat untuk merekam getaran bumi, sekecil apa pun itu. Sebagai metafora, Thomas menyebut seniman merupakan pihak yang peka terhadap getaran sosial, politik, budaya, dan emosional yang tengah berlangsung di masyarakat. Seniman bisa mendeteksi perubahan halus, bahkan jika fenomena itu belum terlihat jelas, yang tak disadari banyak orang. Thomas menambahkan, jika kita menganggap serius seni mereka, jika kita mengamati perjuangan mereka, baik itu kemunduran dan kesuksesan mereka di pasar; kita akan mendapat wawasan mendalam tentang kemungkinan dan keterbatasan sosial, tentang kontradiksi, mimpi, visi, dan trauma. Selaras dengan seni, dunia jurnalisme dan akademik juga punya peran penting dalam menjadi seismograf.

With Norient, we try to fight that these voices still have a platform and are getting heard. Artists, scholars, and journalists need independent platforms more urgently than ever. Especially in these times of disorientation, the voices that stand up for humanity and culture must be heard,” pungkas Thomas.

Baginya, musik dan budaya bukanlah kemewahan. Keduanya adalah jiwa masyarakat kita. Keduanya menunjukkan ke mana dunia sedang menuju, ke mana ia bisa pergi, dan ke mana ia tidak boleh pergi. Keseluruhan, saya sangat menikmati pameran visual Jakarta Whispers, bagi saya, kegiatan ini menjadi oase baru yang memperingan jalan saya ketika menghadapi berbagai suara-suara yang datang di kemudian hari, dengan memaknainya sebagai kehidupan-kehidupan lain yang menuntut dipahami. Akhir kata, terima kasih NCS: Jakarta Whispers.[]

Penulis: Isma Swastiningrum

Editor: Aris Setyawan

Related posts

Kabar dari Akar Rumput: Metal Hari Ini

Wiman Rizkidarajat

Hindia Album Kedua: Merayakan Kiamat Tanpa Juru Selamat (Bagian 2)

Tim Liputan LHAB

Melukis Nada dan Lirik Bersama Andra Semesta

Isma Swastiningrum

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy