Serunai.co
Narasi

Mukti Mukti dan Mimpi Esok Pagi Revolusi

Memahami mata yang kau pejamkan / Adalah pulau yang jauh / Di ufuk timur, matahari / Kita yang masih bertani / Berdiri menatap matahari / Menitip mati, melumat sepi / Esok pagi revolusi.

(Mukti Mukti – Menitip Mati/Revolution Is)

Jika ada musikus idealis dari awal karier sampai meninggalnya, tak teracuni dan masuk angin oleh rantai industri dan komersialisme, saya akan menyebut satu nama: Mukti Mukti. Namun, kabar duka saya dengar beberapa hari yang lalu, musikus asal Bandung tersebut meninggal karena sakit pada Senin, 15 Agustus 2022 di Rumah Sakit Borromeus Kota Bandung. Ia meninggal pada usia 53 tahun. Kabar itu saya terima melalui status Instagram seorang kawan pada subuh hari sehari kemudian. Hari di mana jasadnya akan menjalani proses pengebumian di Dusun Pasirlaja RT. 02/RW. 12 Desa Cijeruk, Kecamatan Pamulihan, Sumedang atau di Rumah Konser Mukti-Mukti. Ada perasaan duka dan sedih mendalam langsung saya rasakan.

Saya mengingat sekitar tujuh tahun yang lalu, lagu berjudul “Menitip Mati” bergema dari ruang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Arena saat saya menjalani masa-masa menyenangkan sebagai mahasiswa. Kawan Arena saya bernama Sabiq dari Garut sering menyetel lagunya di beberapa kesempatan melalui PC dan perangkat audio Arena yang sebenarnya bobrok, tapi masih bisa berfungsi. Koleksi lagu Mukti Mukti disimpan Sabiq di folder MUSIC bersama dengan musisi balada, folk, alternative, dan progressive lainnya.

Tiap kali lagunya yang berbicara terkait sosial kemasyarakatan disetel, ada perasaan magis yang membuat saya ingin mengikuti lirik yang disampaikan. Meski secara jujur saya termasuk orang yang ‘lama’ menyerap lagu-lagu Mukti yang kala itu di kepala saya sulit dicerna, dan di telinga saya yang terlanjur ngepop kala itu susah menjangkau nada-nada gitar Mukti, karena masih berada di radar incognito saya. Sebab seringnya lagu Mukti disetel Sabiq, akhirnya telinga saya jadi bisa belajar menerima.

Mendengar kematian Mukti, Selasa (16/8/2022) pagi, entah mengapa saya punya intuisi dan punya tekad kuat untuk bertakziah. Pagi itu, saya langsung membeli tiket Pulang Pergi (PP) Jakarta-Bandung. Seusai menjalani rutinitas harian sebagai pekerja, saya berangkat dari Stasiun Senen pukul 17.55 WIB menggunakan kereta kelas ekonomi dan tiba di Stasiun Bandung pukul 22.05 WIB. Usai mengganjal perut atau makan malam di pinggir jalan, saya memesan ojek online (ojol) untuk menuju rumah Mukti di Jalan Permata Batu I No. 11D Margacinta, Bandung. Malam itu gerbang kompleks tutup dan abang ojol membantu mencarikan pintu masuk hingga akhirnya saya tiba di lokasi tujuan.

Saya tiba sekitar jam 11 malam lebih. Meskipun hari telah larut malam, saya masih bisa melihat deretan karangan bunga yang berjejer di depan dan samping rumahnya. Karangan bunga itu saya baca ada dari LBH Bandung, Walhi Jawa Barat, Selasar Sunaryo Art Space, Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI), Perkumpulan Warna Alam Indonesia, Jaringan Radio Komunitas Indonesia, FISIP Unpad Bandung, Civitas Akademika FSRD ITB, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), hingga Serikat Petani Pasundan (SPP). Tentu karangan bunga ini bukan sekadar ‘pajangan indah’ saja, melainkan menunjukkan seberapa aktif Mukti terlibat dalam organisasi-organisasi yang bergerak di sektor seni, alam, pendidikan, dan kerakyatan.

Malam itu dengan tubuh yang gugup karena datang larut malam, saya memberanikan diri untuk mengetuk pintu ke rumah duka. Saya disambut oleh sekitar empat orang (tiga laki-laki dan satu perempuan) dari pihak keluarga tengah bermain kartu. Salah satu dari empat orang itu adalah adik bungsunya bernama Isa Barmawi Susetra. Isa bekerja sebagai guru musik non-formal di sekolah kejar paket A, B, dan C. Setelah memperkenalkan diri dan mengungkapkan tujuan saya untuk bertakziah serta ingin mengenal sosok Mukti lebih dalam, bersama Isa, kisah terkait pribadi Mukti saya coba rangkai secara lebih dekat hingga jam berubah dini dan hari berganti.

Latar Belakang Kekritisan Mukti Mukti

Mukti Mukti memiliki nama asli Hidayat Mukti. Dia lahir di Bandung, 15 Oktober 1968, pada zaman Orde Baru (Orba) yang dipimpin oleh Soeharto. Orangtua keduanya adalah guru dan sama-sama menyukai musik. Ayahnya Kayat Susetra juga seorang musikus tradisional Sunda (kedaerahan) yang memainkan seruling Sunda, harmonika, dan senang menyanyi. Sementara, ibunya, Ida Haryani, seorang sinden yang suka menyinden. Bakat seni dari orang tua ini mengalir ke semua anak, tak terkecuali Mukti Mukti.

Isa mengenal Mukti sebagai kakak yang perhatian dengan adik dan saudara-saudaranya yang lain meski terkadang tidak bisa ia ucapkan. Keluarga menjadi hal utama yang menjadi pikiran Mukti sebagai orang yang penyayang, berhati lembut, humoris, dan tidak memikirkan diri sendiri. Hal ini bisa dilihat dari saat dia mengobrol, dari mata hingga gestur tubuh terhubung dengan mata saudaranya yang lain. Mukti juga dari kecil dikenal sebagai orang yang sederhana, produktif berkarya, dan produktif berorganisasi di bidang sosial kemasyarakatan. Ia peduli terhadap petani, buruh, dan kaum marginal yang terekam dari lagu-lagu yang dia nyanyikan.

Selain itu, sebagai manusia biasa yang memiliki karakter baik dan buruk, Isa mengingat Mukti sebagai orang yang keras kepala, terkadang egois, terutama akan prinsip dan keyakinan hidup yang dia pilih. Ketika Mukti memiliki pikiran tertentu, dia akan selalu mempertahankan itu. Seperti karier yang sepanjang hidupnya dia fokuskan di jalur musik. Karyanya berjumlah ratusan. Apa yang menginspirasi dia, apa yang mengusik dia, apa yang dia lihat dan harus disikapi, maka akan menjadi lagu.

Isa menyebut Mukti sebagai orang baik sejak dalam niat dan pikiran. Mukti bisa mengelola hati dengan baik, dalam arti dirinya tidak memiliki niatan yang tidak bagus. Hal-hal seperti itu yang menjadi modal Mukti bisa menciptakan dan menggubah lagu. “Gak mungkin orang bisa menciptakan lagu sebanyak itu kalau memang hatinya tidak ter-manage. Dalam seni kalau hati sudah kotor sedikit, atau pikirannya negatif ya susah. Seni tidak serumah dengan hal-hal seperti itu,” jelas Isa.

Semenjak kecil Mukti telah menunjukkan bakat bermusiknya. Segala aliran musik ia dengarkan dari musik daerah, blues, rock, hingga pop. Saat SMP dia belajar gitar secara autodidak, padahal masa itu, untuk sekadar memperoleh gitar susahnya minta ampun dan dia berjuang mendapatkan gitar. Ia juga aktif bermain band bersama teman-temannya. Hobi bermain band ini berlanjut hingga SMA. Bahkan saat SMA, di bidang keorganisasian, Mukti pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Perwakilan Kelas (MPK), organisasi ini setingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam struktur pemerintahan. Jiwa kepemimpinannya secara alami dari masa sekolah telah terasah.

Baca Juga:  “Keluar Dari Jakarta”, Menyimak Pengalaman Orang-Orang Desa Soal Corona

Lalu beralih ke zaman perkuliahan pada tahun 80-an akhir dan awal 90-an, Mukti awalnya menempuh pendidikan sarjana di jurusan Sastra Sunda Universitas Padjajaran (Unpad) meski kemudian memutuskan pindah ke jurusan Sastra Prancis. Perpindahan jurusan ini secara detail tidak diketahui alasannya. Isa mengira-ira kepindahan tersebut dilatarbelakangi, setelah berjalannya waktu ada ketertarikan terhadap Sastra Prancis.

Alasan lain yang mendasari, barangkali juga ada faktor historis atau sejarah Prancis yang menginspirasinya, macam Revolusi Prancis dan negeri Voltaire itu juga banyak memiliki pemikir-pemikir, filsuf, serta sastrawan yang revolusioner. Maka tak heran, di lagu-lagu Mukti banyak disisipkan diksi-diksi Prancis atau ada lagu yang full menggunakan bahasa Prancis. Salah satunya lagu Revolution Is yang diterjemahkan dan dinyanyikan dalam bahasa Prancis. Juga lagu “Les Chansons Pour Nelson Mandela”, lagu yang diperuntukkan bagi revolusioner antiapartheid dari Afrika Selatan, Nelson Mandela.

Meski berkuliah di Sastra Prancis, Mukti memutuskan dengan pilihan bebas untuk tidak menyelesaikan kuliahnya hingga akhir. Ia pernah mengeluarkan pernyataan verbal, “Saya lebih memilih tidak melanjutkan kuliah.” Sikap ini ia ambil bukan karena dirinya tidak bisa atau lari dari perkuliahan, melainkan sebagai bentuk protes terhadap kebijakan di zaman Orba. Kekritisannya dilatarbelakangi dengan adanya kondisi saat itu, saat mahasiswa menjadi pihak yang melakukan “kontrol sistem dari parlemen jalanan”. Semangat yang sampai saat ini masih dijaga marwahnya oleh mahasiswa-mahasiswa kritis yang sering aksi dan turun ke jalanan.

Saat masih mahasiswa, ia kerap kali turun ke jalan dan bisa menjadi “kompor”, dalam artian dia bisa membangun semangat-semangat kawan-kawannya yang turun ke jalan. Baik melalui lagu maupun interaksinya dengan sesama kawan membangun solidaritas. Masa Mukti kuliah di tahun 80-an dan awal 90-an, kekuasaan Orba tengah kuat-kuatnya. Salah satu kebijakan yang mendapat kritik keras adalah pelegalan judi oleh negara. Judi tak hanya dilegalkan, tapi juga diregulasi. Ini dibuktikan dengan adanya Pekan Olah Raga dan Ketangkasan (Porkas), Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB), dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) yang berlaku di Indonesia circa tahun 1985-1993. Di mana yang ‘pasang judi’ atau semacam lotre itu adalah ‘orang-orang kecil’ seperti tukang becak, buruh-buruh kecil, petani, dll.

Menyanyi Adalah Doa

Rumah Mukti dan istri secara keseluruhan berwarna dominan putih dua lantai. Di depannya ditumbuhi pohon kersen, pohon mangga, pohon bunga kamboja, hingga pohon pakis kelabang. Juga terdapat berbagai macam bunga seperti bunga mawar, bunga kertas, saya mendapati pula bunga yang seperti kembang morning glory. Tak ketinggalan pula tanaman apotek hidup dan umbi-umbian menggantung dan berdiri tegak di antara tanaman-tanaman perdu. Saya melihat ada tanaman pandan, sirih, talas, gelombang cinta, dan lain sebagainya. Di samping kiri depan rumah juga terdapat mata air atau sendang yang berisi ikan. Rumah ini saya rasakan memiliki suasana yang teduh, hijau, dan damai.

Mengingat rumah ini, saya langsung teringat dengan lagu “Surat Kepada D”. Dalam lagu itu Mukti bercerita tengah membangun sebuah rumah, dengan beranda terbuka, sungai kecil mengalir sepanjang musim, dan matahari pagi-petang menuangkan cahayanya. Memasuki pintu, lantai yang terbuat dari kayu berwarna coklat terasa hangat di telapak kaki, berbeda temperatur dengan suhu sekitar yang terasa dingin. Tembok yang beraksen batu bata gaya industrial serasa menyatu dan terlihat unik di mata. Pianonya yang terbuat dari kayu kelas I menyambut saat pertama kali memasuki pintu. Tak lupa, gitar-gitar koleksinya saling berjejer, mereka saksi benda-benda kesayangan yang setia pada Mukti hingga akhir hayat.

Malam hari setelah wawancara dengan Isa, saya memutuskan menginap di rumah Mukti. Pagi itu usai bangun tidur dan cuci muka, saya berkesempatan untuk berbincang dengan istrinya yang bernama Dian Widiawati. Teka-teki lagu “Surat Kepada D” terjawab sudah, yang dimaksud Mukti “D” dalam lagu itu adalah Dian. Meski Dian mengklarifikasi dan menjelaskan, jika awal pemilihan judul lagu itu dibuat oleh Budhi “Godot” Supriatna sebagai penulis syair. Sebenarnya lagu ini tidak spesifik dimaksudkan untuk dirinya, tetapi juga untuk “D” yang lain. Mukti pernah menyampaikan, “D” yang dia maksud adalah “Dia” sang pencipta.

Pagi itu, saya disuguhi teh hangat dan aneka penganan khas Bandung. Di sisi lain, obrolan bahasa Sunda yang tidak saya mengerti saling bersahut antarsesama keluarga, rasanya begitu guyub. Dian mengenakan pakaian kasual dan berkerudung warna peach. Latar belakang Dian yaitu sebagai pengajar atau dosen Studi Kriya di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB). Dian bercerita singkat, perkenalannya dengan suaminya berawal dari pesantren. Keluarga ini dikaruniai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan.

Bagi Dian, sepanjang membersamai hidup dan jatuh-bangun suaminya, Mukti adalah orang yang idealis. Ya, bagi saya, idealis yang sulit dicari kembarannya. Dian pun menceritakan proses kreatif Mukti. Dalam membuat suatu karya, Mukti tidak hanya memotret yang ada di luar, tapi dia juga mengalami sehingga menciptakan spirit yang dalam karena tak berhenti di permukaan. Lebih jauh lagi, orang bisa menangkap getar karena nilai-nilai lagu yang disampaikan digelutinya sendiri. Mukti dekat dan berbaur, selain itu, dari banyak permasalahan sosial di luar, Mukti ikut memperjuangkan.

Contohnya di sektor pertanian. Latar belakang Mukti berpihak pada petani dalam lagu-lagunya, karena dia bersama-sama para petani di berbagai pelosok memperjuangkan hak atas tanah mereka, mendampingi, menyemangati, menyayangi para petani. Mukti juga pernah memiliki tanah dan dia melakukan proses pertanian sendiri, dari mencangkul hingga menanam tanaman segala macam. Mukti menggarap tanah secara langsung sehingga dia tahu bagaimana rasanya menjadi petani. Mukti juga pernah mendirikan Serikat Petani Jawa Barat (SPJB) dan menjadi ketuanya. SPJB didirikan di Bandung pada 2 Maret 1991. Dalam mukadimah SPJB disebutkan, “Bahwa seharusnya pembangunan yang dilaksanakan merupakan pembangunan yang seimbang antara material dan spiritual serta antara Pertanian dan Maritim sebagai landasan bagi terjaminnya peningkatan ekonomi rakyat yang sehat dan mampu meningkatkan harkat, derajat ekonomi rakyat tani.”

Mukti juga tak segan untuk mengkritik kawannya sendiri dengan cara unik saat kawan itu sudah melenceng dari garis-garis awal yang diperjuangkan, seperti dalam kasus di sektor pertanian/agraria. Di samping itu, sejak masih kuliah, Mukti juga aktif menyuarakan reformasi agraria dengan memakai kaos putih, celana jeans, dan tubuh kerempeng saat aksi bersama teman-temannya di Unpad. Mukti pernah menulis dalam obrolan bersama temannya, “Bahan yang saya selalu bawa selama membangun ilmu terapan ke petani dari sejak zaman dulu hanya 2: UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dan gitar.”

Baca Juga:  Demotivasi Hindia Album Kedua: Merayakan Kiamat Tanpa Juru Selamat (Bagian 2)

Proses kreatif penciptaan karya-karya Mukti berasal dari pergulatan, pemikiran, dan perasaan yang dia alami melalui orang-orang dan pihak-pihak yang terhubung dengannya, dari SPJB, KPA, Walhi, dan berbagai organisasi lain. Menariknya pula, Mukti tak mau disebut aktivis. “Saya bukan aktivis, saya demonstran,” kata Dian meniru perkataan suaminya. Kemudian soal proses kreatif Mukti, dalam membuat lagu dia bisa terinspirasi dari mana saja. Baik saat dia ngobrol, bertemu dengan kawan-kawan, maupun hasil interaksi dengan teman-teman. Ini membuat Mukti kenal betul dengan apa yang dia tulis dalam lirik lagu. Dia punya kemampuan pula bisa membuat lagu dengan cepat.

Mukti sering mengadakan workshop terkait menggubah lagu yang menjadi fokusnya. Audience dari anak TK sampai orang dewasa diajari. Proses membuat lirik dimulai dari apa yang orang lain lihat dan orang lain rasakan kemudian ditulis. Jika anak TK yang diajari, Mukti akan mengajak anak-anak itu berjalan lebih dulu, kemudian kata demi kata yang muncul dari anak-anak itu sendiri coba dirangkai menjadi bait-bait syair lagu dan ditulis di papan tulis. Mukti bisa masuk dalam frekuensi tertentu lalu dia terjemahkan menjadi sebuah nada, maka jadilah lagu-lagu. Berkat hal itu, orang yang diajari jadi termotivasi. Hal tersebut tentu adalah panggilan jiwa, bukan sesuatu yang bisa dinilai dengan uang.

Terdapat lagu khusus yang dibuat Mukti untuk Dian dan ketika Dian mendengarnya, dia menangis. Sayangnya lagu spesial tersebut belum dipublikasikan. Salah satu lagu yang berkesan pula berjudul “Pojok Kanayakan”. Syair lagu tersebut ditulis oleh sahabat dekat Mukti bernama Miranda Risang Ayu. Kolaborasi mereka pertama kali dilakukan saat kuliah. Pojok Kanayakan sebenarnya adalah tempat kost Miranda, syair lagu itu diawali dengan kalimat: “Pucuk bambu, sentuh biru, tak terbatas di dadaku…” Lagu ini sering dibawakan oleh para sahabat-sahabat lainnya. Yang mengharukan, awal penciptaan mereka diawali kata “pucuk bambu” dan akhir perjumpaan mereka juga “pucuk bambu” atau pohon bambu yang secara nyata menaungi makam Mukti.

“Kalimat pertamanya ‘pucuk bambu’. Di atas kuburan (Mukti), di atasnya ada hutan bambu. Ternyata saya juga baru tahu kemarin,” tutur Dian.

Lagu berkesan lainnya berjudul “Menitip Mati” yang banyak didengar oleh mahasiswa-mahasiswa pergerakan. Lagu yang mengobarkan semangat teman-teman saat melakukan demo, singkat dan nadanya familiar. Dian bercerita, ternyata lagu itu dibuat Mukti saat di dapur.

Saya bertanya pada Dian, “Apakah pernah Pak Mukti ditawari untuk masuk industri musik?” Dian menjawab pernah. Saat itu, dia diminta untuk membuat soundtrack film dan tawaran-tawaran lain yang berkelas, tapi ditolak. Alasannya, Mukti bukan berarti anti dengan industri, tapi dia tak tertarik. Mukti menganggap menyanyi adalah doa. Value ini tak bisa dinilai dengan mata uang karena terlalu berarti. Meskipun sebagai musisi, sebagaimana cerita Isa, Mukti sangat tidak keberatan jika ada yang meminta izin menggunakan lagu Mukti untuk keperluan tertentu. Mudah saja bagi dia, karena orangnya yang dermawan. “Buat Mukti hal seperti itu tak sulit, ringan, kasih ya kasih saja. Ringan dan tak tertutup dalam masalah karya,” ujar Isa.

Mengambil Pelajaran dari Mukti Mukti

Sebagai musikus yang dikenal publik berada dalam aliran musik balada, balada Mukti disebut sebagai balada progresif. Balada sendiri merupakan musik yang syairnya menceritakan tentang jalanan, atau musik ballad. Musik ini berkembang di Inggris dari abad pertengahan hingga abad 19 ke seluruh Eropa dan dunia. Ciri-ciri dari musik balada memiliki tempo yang lambat, sedang, serta bervariasi sesuai dengan kebutuhan lirik. Musik balada biasanya berisi kritik, sindiran, dan kehidupan. Indonesia tak sedikit memiliki musisi balada yang sebagian memilih jalan sunyi. Menyebut beberapa nama, seperti Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Sawung Jabo (Sirkus Barock), Franky Sahilatua, Ary Juliyant, Ferry Curtis, Deugalih, Bagus Dwi Danto, hingga musisi perempuan seperti Rita Rubby Hartland dan Ully Sigar Rusady.

Aris Setyawan dalam bukunya Aubade: Kumpulan Tulisan Musik, pada halaman 132-147, pernah melakukan wawancara cukup panjang dengan Ary Juliyant, kawan dekat Mukti Mukti. Wawancara itu secara garis besar mengatakan terkait musik gerilya, yang saya pikir dilakukan juga oleh Mukti. Musik gerilya juga sebagai bentuk kritik dari indie yang sudah tidak indie lagi karena dikerdilkan maknanya di depan industri. Dalam wawancara itu Ary bercerita, dalam suatu konser bersama Mukti Mukti, Ary pernah mengadakan “kongres” dengan Mukti pada tahun 2004-2005. Jika lazimnya kongres banyak orang, kongres ini hanya Ary dan Mukti saja. Saat itu, Mukti memiliki inisiasi, dirinya menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) indie, sementara Ary menjadi Presiden Indie.

Guyonan itu ternyata dikutip oleh wartawan, dan hingga kini Presiden Indie masih menjadi julukan bagi Ary Juliyant. “Saya pikir, satu sisi ya guyonan, tapi ya kita memang bersungguh-sungguh maksudnya dalam artian tentang presiden atau sekjennya. Kita ingin menyemangati diri sendiri dengan pergerakan yang kita lakukan begitu saja,” kutip Ary yang juga melakukan gerakan musik gerilya di Lombok itu. Dalam kacamata Ary, yang disebut indie adalah independen, be yourself. Menjadi diri kita sendiri, tuan bagi diri kita sendiri.

“Saya lihat penting untuk melihat gerilya ini bukan hanya sebagai cara atau metode, tapi sebagai cara pandang atau bersikap, atau ideologi. Bukan cara yang dilakukan untuk agar bisa terkenal. Itu sudah saya tinggalkan. Yang saya capai sekarang adalah saya ingin ini menjadi sikap saya. Indie, atau gerilya adalah sikap yang akan saya bawa sampai mati,” tandasnya seperti tanpa kompromi.

Tak seperti mimpi kebanyakan musisi yang memilih panggung gemerlap dengan lagu yang terdengar di mana-mana, menjadi terkenal, dan digandrungi banyak fans, Mukti memilih sebaliknya. Mukti menciptakan panggungnya sendiri yang tak selalu penuh penonton, yang tak selalu didengar; Mukti jika dilihat-lihat juga sangat tidak mengejar nama dan gemerlap ketenaran apalagi fans. Jika ada yang menggoda dia untuk menjadi terkenal, dia akan bertanya, “Memang saya siapa?” Barangkali benar seloroh lamat-lamat yang saya dengar, jika menjadi terkenal, berarti dia gagal. Dengan daya independensi ini, Mukti bisa berkarier di bidang musik dengan totalitas. Dia menjadi milik orang-orang yang dicintainya, tak hanya keluarga, tapi juga pendengar militannya.

Baca Juga:  Melukis Nada dan Lirik Bersama Andra Semesta

Sejak tahun 1995, Mukti membuat panggung sendiri yang diberi nama “Konser Cinta Mukti Mukti”. Dia memulai konser itu di Centre Culturel Français (CCF) yang sekarang berubah menjadi IFI Prancis di Jalan Purnawarman Bandung. Kemudian, dari tahun ke tahun, Mukti melakukan konser cinta itu secara konsisten, di samping jam terbangnya yang tinggi mengisi event musik dari acara ke acara, kampus ke kampus, atau daerah ke daerah.

Konser Cinta Mukti Mukti bukanlah konser besar. Konser tidak menggunakan publikasi yang heboh, melainkan biasa-biasa saja dari mulut ke mulut dan poster, Mukti sudah senang. Biasanya konser digelar antara tanggal 23 hingga 26 di bulan-bulan akhir tahun seperti September, Oktober, atau Desember. Konsep yang Mukti usung bukan sesuatu yang komersil, melainkan kerinduan atau mengobati kerinduan. Konser menjadi tempat silaturahmi antara seniman dan masyarakat untuk bertegur sapa dan berkumpul.

Sampai dengan meninggalnya, diskografi yang terdiri dari ratusan lagu karya ciptaannya, sebagian besar masih disimpan sendiri di dalam laptop. Mukti Mukti juga berjalan di jalur indie yang sebenar-benarnya indie dalam memproduksi musiknya. Dia merekam lagu lewat kaset kemudian dibagikan ke temannya. Dari temannya kemudian direkam kembali hingga berulang terus, sampai suatu hari Mukti mendengarnya lagi dalam keadaan noise karena berasal dari rekaman ke sekian. Ada yang menganggap Mukti sebagai musikus yang “durhaka” karena keengganannya masuk rumah rekaman. Dia lebih memilih memproduksi sendiri lagunya dan dibagikan sendiri ke petani, buruh, dan kawan-kawan. Karena dia aktif dan memiliki jejaring yang banyak, karyanya diperdengarkan oleh orang lain.

Pelajaran berharga lain yang saya ambil dari kunjungan saya ke rumah Mukti hari itu dari cerita saudara-saudaranya yang lain adalah, Mukti lebih memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri. Terlebih pada orang-orang tua. Suatu hari diceritakan, ada aki-aki (kakek-kakek) yang selama hidup tidak pernah merasakan ice cream, kemudian dibelikan oleh Mukti. Di kesempatan yang lain, ada orang yang tidak memiliki sepatu tapi Mukti tidak ada uang, lalu dia telepon keluarganya yang dirasa mampu untuk membelikan. Lalu, setiap kali ada penjual, baik kakek-kakek atau nenek-nenek, lewat di depan rumah, pasti disuruh beli meski makanan banyak. Usai Mukti beli, makanan itu diberikan kepada orang lain. Hal-hal semacam itu menjadikan saudara-saudara yang jauh jadi semakin dekat.

Salah satu lagu Mukti Mukti yang berkesan bagi saya secara pribadi selain “Menitip Mati” adalah dalam lagu “Maesaroh”, Mukti menyuarakan perlawanan seperti orang yang sudah capek dengan marah-marah. Tanpa maksud berkhotbah, Mukti berkisah tentang hidup Maesaroh, perempuan perantauan di kota yang dirindukan kepulangannya oleh orang tuanya di desa. Orang tua Maesaroh ingin anaknya membantu mereka meladang di tanah yang sedah diperjuangkan dari tangan-tangan setan desa. Bapak Maesaroh yang petani dipukuli kemudian ditangkap polisi, dan lagu ini meminta dengan halus Maesaroh pulang, “Kampung lebih membutuhkan air matamu daripada kota…”

Lagu lain, berjudul “Aku Simpan Air Mata” dengan lirik puitis yang sesak di dada. Bagaimana bisa orang menyimpan air mata di di jemari tangan kiri, biar baur di buku-buku gitar untuk menawar sedihnya? Lagu ini serasa berkelindan dengan lagu “Aku Hanya Ingin” membuat saya menitikkan air mata sambil mengingat kisah hidup saya sendiri. Lagu yang sangat jujur dan dibuat dari hati, Mukti bernyanyi: “Aku hanya ingin mencintai-Mu, seperti kisah syair kecil, mendekap nyanyian jiwa. Aku hanya ingin merindukan-Mu, seperti saat menangis, meraba malam pencarian atas segala jumpa.”

Dian bercerita, lagu “Aku Hanya Ingin” dibuat Mukti saat berada di kamar rawat inap. Ketika Mukti harus menjalani opname circa tahun 2011. Dia meminta temannya Awan (Lutier Gitar) membawa gitarnya yang baru jadi ke kamarnya. Menggenjrenglah Mukti dan terciptalah sebuah lagu. Momen itu bagi Dian bersejarah, dalam kondisi seperti itu, Mukti masih semangat dan produktif. Lagu itu juga disukai kawan-kawan dia dan menjadi salah satu lagu Mukti yang sering dinyanyikan.

Pelajaran lain terkait persahabatan. Persahabatan dengan kawan selalu ia jaga. Mukti memiliki teman dekat yang suka bermain ke rumah dan menjadi inspirasinya bermain gitar bernama Cepi Kurniawan (Amy) yang saat ini dikenal sebagai pemain biola. Mukti bersama Amy, dan almarhum Miko (Widyatmiko Nugroho) yang pernah menjadi vokalis band bernama Protonema pernah membuat grup bermana Mukti and Komunitas Fragment.

Saya menemukan sebuah video di YouTube bertarikh 30 Desember 2008 terkait komunitas tersebut. Mukti menyanyikan lagu berjudul “Sistem” yang menyampaikan suara orang lemah tapi sadar akan peristiwa yang menjeratnya dalam sebuah sistem besar. Orang lemah ini diibaratkan seperti angin lalu dengan kecewa yang tak pernah putus, sementara sistem semacam gunung besar yang menutup telinga. Atau juga menjadi nyanyiannya karena ditinggalkan kawan seperjuangan yang berganti arah ke partai politik dan menjadi boneka-boneka oportunistik di depan birokrasi.

Berdasarkan cerita kawan saya pula yang bernama Anisatul Ummah, saat dia menjadi jurnalis di salah satu media nasional pernah membuat feature dan berkunjung ke rumah Mukti. Nisa bercerita pada saya, dalam lawatannya itu dia disuguhi satu meja penuh makanan yang sengaja Mukti siapkan sendiri. Makanan itu dari pisang goreng, ketela goreng, martabak, cilok, direng, dan lain-lainnya. Sebab Nisa tak sanggup menghabiskan, akhirnya Mukti bungkuskan untuk dimakan kemudian sebagai cemilan. “Dia sangat menghargai tamu, siapa pun. Bahkan cuma aku, anak ingusan yang baru lulus kuliah sok-sokan wawancara soal gitar,” ujar Nisa.

Nisa bercerita lagi, Mukti membuat gitar sendiri dari bahan serbuk kayu, eceng gondok (juga dari informasi Dian, gitar dari gedebok pisang dan gitar dari keramik). Nisa juga sempat dinyanyikan beberapa lagu. Ceritanya lagi, meja di ruang tamu Mukti adalah meja bekas kebakaran rumah teman yang dimanfaatkan, kemudian Mukti ambil dicat ulang dan bekas kebakarannya justru menjadi lebih estetik daripada aslinya. Nisa menyoroti pula gemericik suara air dari sumber mata air di depan rumah yang baginya mirip dengan surga yang digambarkan dalam buku-buku.

Mimpi Mukti, kata Nisa, ingin mengadakan konser di rumahnya sendiri. Dari cerita Dian dan saudara-saudara Mukti yang saya jumpai, mimpi itu dapat terwujud, meski Mukti saat menyanyi di rumah sambil memakai kateter atau tabung kecil yang ada pipa panjang fleksibel digunakan untuk membantu mengosongkan kandung kemih. Bahkan sehari sebelum meninggal, dirinya masih melakukan latihan musik bersama kawan-kawannya. Dengan tubuh yang semakin ringkih dan sakit, ia masih memiliki energi hidup bagi dirinya dan sekelilingnya.

Kini, Mukti Mukti telah tiba dalam rumah kesendirian yang akan ditempati oleh siapa saja. Mimpi Mukti dalam lagu “Revolution Is” terkait “esok pagi revolusi” bukanlah jargon-jargon besar yang overload di mulut-mulut aktivis. Buat saya sendiri, lebih pada sikap diri setiap hari untuk menjadi lebih baik setiap paginya. Revolusi bukan hanya suatu sejarah besar yang dinanti seperti kapan turunnya Ratu Adil, tapi juga revolusi adalah perilaku mikro keseharian yang kita lakukan. Terakhir, saya ingin menulis, yang membedakan Mukti dengan musisi seangkatannya adalah tingkat kekritisan dan keras kepala akan jalur sunyi idealis yang dipilihnya hingga napas terakhir. Suatu integritas yang begitu langka.

Penulis: Isma Swastiningrum

Editor: Aris Setyawan

Related posts

Tambang Panas di Pasar Seni

Redaksi Serunai

Kabar dari Akar Rumput: Metal Hari Ini

Wiman Rizkidarajat

Demotivasi Hindia Album Kedua: Merayakan Kiamat Tanpa Juru Selamat (Bagian 1)

Tim Liputan LHAB

1 komentar

Fu 7 Oktober 2023 at 00:57

terima kasih. membaca tulisannya sembari mengenang kang Mukti. lagu the revolution is, sejak pertama kali didengarkan, sampai hari ini, selalu membuat hati bergetar dan cirambay. al-fatihah

Reply

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy