Hari ini metal adalah Revenge The Fate, dan Satria FU adalah tunggangan yang paling berkelas.
Urat leher Aldiz terlihat mengejang di panggung. Matanya melotot. Ucapannya di mikrofon tidak sesuai dengan lirik band yang tengah tampil di panggung. Ia jelas tidak sedang melakukan sing-a-long.
Segerombolan pemuda tanggung yang sepertinya salah gig rupanya menjadi pemicunya. Entah mengapa sepanjang gig mereka bukannya melakukan gerakan moshing atau two-steps yang kerap terlihat di gig metal melainkan gerakan a la pencak silat yang diperagakan Marc Dacascos dalam film “Only The Strong”.
“Nek arep pada gelut aja neng kene. Neng kene panggone nggolet sedulur (Kalau mau berkelahi bukan di sini tempatnya. Di sini tempatnya mencari saudara)!” kata Aldiz.
Sabtu (30/1) sore itu, saya menjadi saksi berdatangannya ribuan pemuda tanggung ke Gedung Olahraga Satria Purwokerto, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gor. Mereka datang untuk menyaksikan sebuah nama yang tengah naik daun di panggung metal: Revenge The Fate (RTF). Sore itu sekaligus menjadi momen untuk merealisasikan sesuatu yang telah lama saya simpan, yakni mengenal lebih jauh sepak terjang Aldiz.
RTF memang tengah naik daun di Indonesia. Di tengah carut marutnya definisi mengenai genre metal, mereka hadir dalam identitas symphonic deathcore yang menggabungkan agresivitas death metal, chugga-chugga beatdown milik slamming death metal, dan semangat khas hardcore beatdown. Nama mereka semakin berkibar lepas merilis album pertama yang bertitel “Redemption” pada 2014. Album tersebut menyelamatkan mereka dari tuduhan miring bahwa mereka sekadar band korban tren global, merujuk pada maraknya tren tersebut di metal global, dan menunjukan bahwa mereka adalah band yang serius berkarya.
Bibir panggung tempat RTF beraksi selalu menghadirkan pemandangan yang menarik. Baik karena terisi ribuan orang, atau karena hal yang terbilang kocak di dunia metal-metalan: berkibarnya bendera Colony, fan base mereka, dari daerah yang cukup mblusuk untuk ditempuh dari dan menuju Purwokerto.
Fan base dalam dunia metal-metalan pun sesungguhnya hal yang cukup asing. Kita mungkin akan maklum pada kemunculan Begundal Hellclub sebagai fans Burgerkill atau Hatred Creation milik Death Vomit mengingat usia dan kematangan mereka dalam berkarya. Tetapi Colony, fan base RTF, yang sudah terbentuk di usia RTF yang relatif muda merupakan pemandangan yang asing. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari usaha Aldiz selama hampir lima tahun belakangan.
Dalam gig yang sedemikian rapat dan berisik dengan suhu yang mampu mengubah telur menjadi mata sapi, Aldiz mengajak saya ke satu pojok di Gor yang membuat pembicaraan menjadi, paling tidak, lebih kondusif. Hal tersebut dilakukan karena rupanya ia bertekad menjawab pertanyaan saya sebaik-baiknya di sela kremod-kremod kepalanya.
Aldiz Melodic, begitu ia menamai dirinya di akun-akun sosial medianya, adalah seorang event organizer partikelir paling sibuk di Purwokerto hari ini. Agendanya dahsyat: satu bulan bisa ada enam – delapan gig yang digelarnya. Di sela kesibukannya, ia masih menyimpan rencana perilisan album penuh pertama bandnya, Metrotiot, me-ruqyah diri agar berminat kerja kantoran dan menunggu kelahiran anak pertama buah tiga tahun perkawinannya.
“Kalau aku jujur aja jiwanya punk, pak. Tapi dulu awal banget aku ngebandnya black metal karena setahuku underground ya black metal,” akunya sambil tersenyum kecil dengan suaranya yang khas.
Pada awal kemunculannya, akibat suaranya yang khas itu, ia dianggap tidak kredibel untuk menjadi event organizer maupun cah punk. Ia dianggap lebih pantas menjadi cadangan Nurhasanah, pengisi suara serial Doraemon.
Punk terbukti teguh di jiwanya. Secara musikalitas tak pernah dicobanya untuk jatuh cinta kepada genre lain. Tetapi hal itu tidak lantas membuatnya menjadi fanatik. Jiwa punk tidak berdiri sendiri dalam tubuhnya. Ia hidup beriringan dengan semangat avonturir yang kelak akan menjadi modalnya untuk membuat salah satu gig yang sukses memperluas massa penggemar metal di Purwokerto.
Avonturismenya dimulai sejak masih tinggal di kota kelahirannya, Mandiraja, Banjarnegara. Di sana ia berusaha sebisa mungkin untuk belajar dengan cara melakukan. Menyambangi setiap gig adalah jalan termudah untuk mengetahui yang perlu dilakukan untuk menarik penggemar musik metal.
Kultur metal yang telah terbangun di seputaran Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara sejak pertengahan 1990-an memiliki keunikan tersendiri, karena gig di daerah yang terbilang kecil itu terdikotomi secara tegas berdasarkan genre band yang berpartisipasi. Genre yang memiliki porsi massa terbesar secara berurutan adalah black metal, disusul death metal, dan kemudian hardcore beatdown belakangan ini. Masih sangat jarang berlangsung gig all genre yang mengakomodasi semua genre dalam kamus besar underground.
Selepas lulus SMA, Aldiz kuliah di Purwokerto. Di kota inilah ia menemukan jalannya. Menuruti jiwa punknya, ia bergabung dengan Pyrate Punk Purwokerto, sebuah kolektif punk yang mahzabnya dibawa oleh pentolan Krasskepala dari Bandung ke Purwokerto. Ia juga turut serta membentuk komunitas bernama Monzter Kids yang dikatakannya memiliki banyak anggota namun berwajah sama—merujuk pada gaya rambut a la personel Pee Wee Gaskins saat itu yang dijiplak oleh hampir seluruh anggotanya.
Monzter Kids mengakomodasi massa penggemar post-hardcore, screamo, dan deathcore : genre-genre yang belum memiliki gig khusus dan kerap dirundung dalam setiap gig yang berlangsung di Purwokerto. Perundungan pada mereka kerap dipicu alasan yang konyol, mulai dari penampilan yang terlalu berwarna-warni untuk datang ke gig underground hingga terlalu susah untuk dibedakan secara gender.
“Ya awalnya memang selalu dimusuhi sama anak punk, gak tau mungkin karena dandanan mereka atau karena dianggap gak pantes dateng di acara-acara underground,” jelas Aldiz.
Untuk menginisiasi eksistensinya, Monzter Kids menggelar gig bertajuk Screamortal Of Heaven pada tahun 2011. Gig tersebut menghadirkan RTF untuk pertama kalinya. Peran Aldiz dalam menyelenggarakan Screamortal Of Heaven dan membesarkan Monzter Kids memiliki pengaruh besar pada dua hal di Purwokerto. Pertama, ia menumbuhbesarkan Colony di Purwokerto. Kedua, dengan menggelar gig tersebut ia memunculkan massa baru dalam peta penggemar underground di Purwokerto. Massa yang tadinya terkonsentrasi hanya pada tiga genre menjadi terpecah lagi melalui genre screamo dan deathcore.
Selepas Screamortal Of Heaven, band bergenre screamo dan deathcore menjamur di Purwokerto. Ketegangan dengan anak-anak punk pun mereda karena anak-anak screamo sudah memiliki panggung undergroundnya sendiri.
2012 adalah tahun penanda bagi Aldiz untuk menjadi semakin dikenal sebagai seorang event organizer partikelir. Namun, ketika namanya mulai berkibar, ia tetap menyimpan mimpi yang luar biasa mulia: membuat gig yang mengikis batas antargenre di Purwokerto. Untuk mewujudkannya ia mengagas sebuah gig bertajuk Voice Hell.
Usahanya tidak semudah menyusun imaji yang sudah tersusun dalam otak. Menurutnya ada beberapa hal yang menjadikan Voice Hell tetap menjadi gig yang tersegmentasi.
“Yang jelas pertama karena aku lama main sama anak screamo, jadi dipikirnya Voice Hell itu acara screamo, post-hardcore, sama deathcore. Terus aku juga kelamaan menjadikan gig-ku jadi acara penampung band tour yang mainnya screamo atau deathcore. Terakhir aku terlalu sering ngundang RTF,” terangnya.
Voice Hell adalah sebuah penanda berubahnya sifat eksklusif metal di Banyumas menjadi lebih terbuka. Dalam tiga tahun terakhir, tipologi gig di Purwokerto berubah drastis. Tidak lagi berlomba untuk menjadi yang paling eksklusif, sekarang semua berorientasi pada sematan “terbesar” dan “teramai”. Tentu saja parameter ini datang dari segi kuantitas.
Apa yang terjadi di Banyumas dan sekitarnya tidak dapat dilepaskan dari merebaknya fenomena tersebut di kota-kota besar di Indonesia. Selama satu dekade belakangan, metal telah berhasil mengangkat derajatnya dari sekadar “milik orang tertentu” menjadi “hajat hidup orang banyak” lewat gig gigantik yang sebelumnya jarang ditemui.
Apa yang selama ini menjadi cita-cita Aldiz tentang gig underground all genre melalui Voice Hell memang belum tercapai. Tetapi ia tidak sepenuhnya gagal karena lewat gig tersebut ia malah menimbulkan akibat yang lebih besar di Banyumas dan sekitarnya.
Aldiz terlihat serius mencermati pernyataan yang saya kemukakan padanya di pertemuan kedua kami, tiga hari setelah kami bertemu di Gor, mengenai polarisasi dalam metal. Ia sepertinya tidak bisa langsung dapat menelan penjelasan saya. Meskipun demikian, ia adalah orang yang selalu antusias terhadap hal-hal yang baru.
*
Dua minggu setelah pertemuan terakhir yang membuatnya bingung, kami menjadwalkan sebuah pertemuan kembali di Ramsha kafe, tempat para Suyudian, kaum pengikut Aldiz, yang kerap dipanggil Suyud yang merupakan nama bapaknya, berkumpul entah untuk membahas apa.
Sepulang kerja saya sengaja ke sana tanpa mengabarinya akan datang pukul berapa karena ia hanya mengatakan sekitar jam 17.00. Berusaha tepat waktu di ibukota Banyumas, Purwokerto, belakangan menjadi hal yang sulit. Jargon “ke mana-mana terasa dekat” makin terkikis karena meningkatnya minat lulusan mahasiswa dari jurusan apa saja untuk jadi sales kendaraan bermotor, entah karena alasan apa.
Saya disambut pemandangan berupa puluhan pemuda tanggung yang tengah mencermati paparan Aldiz dengan wajah serius. Saya tidak terlibat dalam kumpulan tersebut dan sengaja menyingkir ke pojok kafe.
Rupanya Aldiz menangkap kehadiran saya. Ia menghentikan pembicaraan sejenak bersama kaum Suyudian untuk menyapa saya.
“Maksude bocah sing alay mbok, pak?” katanya sambil menghampiri lalu menyalami saya. Rupanya ia masih penasaran pada tema obrolan kami tempo hari.
Penjelasan saya yang membuatnya bingung adalah masalah polarisasi dalam metal. Namun, ia dengan cerdas mampu mengolah informasi yang mungkin sulit dipahaminya. Polarisasi itu diterjemahkannya dengan membedakan kelompok metal dalam dua kubu, yakni metal alay yang sekadar cari hiburan dan metal temenan (metal betulan) yang benar-benar mendalami metal sebagai ilmu pengetahuan.
Sayup-sayup motor yang knalpotnya dimodifikasi, alias blombongan, mendekat ke kafe. Pembicaraan kami berdua yang tengah menuju klimaks mengenai rencana-rencananya terpaksa dihentikan sejenak. Pada saat motor berknalpot supersonic concorde doom itu semakin dekat, entah mengapa raut muka kami memancarkan reaksi yang berbeda. Saya sudah pasti memancarkan rekasi bete, sedang Aldiz, berbeda dengan saya, memancarkan raut muka sumringah.
“Nah, kiye bocahe, pak (Nah, ini anaknya, pak)!” Serunya sambil terkekeh.
Aldiz kemudian menyelesaikan pembicaraannya dan membiarkan saya bercakap-cakap dengan narasumber yang dihadirkannya. Saya dan si pengendara motor doom bernama inisial W pun menyingkir beberapa meja dari rapat tersebut.
“Apakah kamu pernah bergabung dalam RTF Colony dan apa yang membuat kamu bergabung?” tanya saya kepadanya.
Pertanyaan pertama berhasil dijawabnya dengan baik. Ia mengaku tergabung dalam RTF Colony akibat menonton RTF di Screamortal Of Heaven dan selanjutnya tak pernah melewatkan penampilan mereka di Voice Hell.
Percakapan saya dan W selanjutnya berhasil mengungkap identitasnya pribadinya selain sebagai Colony. Ia adalah seorang pemuda putus sekolah berusia 18 tahun yang tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai penggemar musik metal karena masih menyempatkan untuk mendalami hal-hal lain yang jauh kaitannya dengan metal: berjualan sekaligus memelihara burung dan sehari-hari membuat tetangganya kesal akibat tak kunjung mendapat setting yang pas untuk suara motor Satria FU-nya. Dalam bahasa Banyumas yang kental, tiba-tiba ia seperti langsung menyudahi sesi wawancara saya dengan satu pernyataan: “Nek menurut inyong, metal ya RTF, terus motor paling sip ya Satria FU (Kalau menurut saya, metal (itu) ya RTF, lalu motor yang paling sip adalah Satria FU).”
Semua kriteria anak muda seusianya seperti dibuang olehnya, terutama dalam penggunaan teknologi informasi. Di saat pemuda seumurnya seperti mewajibkan diri berponsel pintar, ia justru sebaliknya. Namun, tanpa ponsel pintarpun ia masih memiliki akses terhadap lagu-lagu RTF. Ia menceritakan bahwa teman-teman bengkel dan ternak burungnya adalah penggemar RTF garis keras. Mereka tidak pernah melewatkan satu gig-pun di sekitar Purwokerto dan Purbalingga yang meletakkan RTF sebagai headliner. Mereka juga memiliki daftar putar lagu yang sama di ponsel mereka, yaitu lagu-lagu RTF yang mereka unduh secara ilegal plus serampangan di warnet, dan percaya tidak percaya mereka masih saling menukarkan lagu antar ponsel dengan teknologi gigi biru.
Baginya, RTF Colony sangat membantu karena ia hanya menjadikan diri sebagai penikmat RTF dan hura-hura Colony-nya saja, tidak kemudian mencoba memperluas cakupan musik metalnya.
Adzan maghrib menyalak dari sebuah masjid di jarak beberapa meter dari kafe. W sepertinya sudah harus pamit karena mengaku memiliki urusan lain. Sayapun demikian. Jawaban-jawaban W memberi saya petunjuk untuk menuju kepingan selanjutnya yang harus saya temui. Ia berpamitan dengan singkat sebelum memacu motor supersonic doom yang suaranya tak kunjung hilang dari telinga saya.
Malamnya saya sudah mendapatkan jawaban dari kepingan terakhir yang harus saya temui untuk menyelesaikan tulisan ini. Saya menemui R, seorang yang sudah lama saya kenal, dan bisa dimasukkan dalam kriteria Aldiz sebagai metal yang temenan. R menentukan tempat yang dipilihnya, sebuah kafe kelas menengah yang tengah marak di Purwokerto. Entah bagaimana kafe-kafe tersebut menjadi marak di Purwokerto.
Saya tidak membutuhkan banyak intro ketika bertanya kepada R karena kami sudah saling mengenal sejak lama. Sebelumnya saya menyampaikan alasan kenapa saya memilihnya. R adalah seorang maniak selancar di dunia maya. Cakupan musiknya sangat luas. Sama dengan W, ia juga pertama kali mengenal RTF lewat Screamortal of Heaven. Tetapi berbeda dengan W yang tidak menggali apapun, R adalah seorang yang telah dapat membaca bahwa apa yang dibawakan oleh RTF adalah copy-cat semata dari tren metal global di dunia.
Ia mengaku memiliki kecenderungan untuk meninggalkan sebuah tren demi beralih ke tren lainnya yang lebih cult. Selain berbicara mengenai RTF, ia juga menyampaikan kritiknya terhadap Voice Hell yang cenderung menjadi sesuatu yang besar saja tanpa memberikan edukasi yang baik terhadap basis massanya. Baginya hal tersebut memperluas massa metal yang hanya sekadar mengikuti tren saja.
Ketika saya dan R menyudahi pembicaraan, saya memutuskan untuk segera pulang, membayar apa yang sudah saya pesan di kasir, lalu sepanjang jalan meratapi harga yang harus saya bayar di kafe tersebut.
*
Aldiz mungkin belum berhasil menciptakan gigs underground all genre melalui Voice Hell, tapi ia memperoleh hasil yang lebih besar, memperluas massa penggemar metal. Sama pada seperti setiap perluasan terhadap apa saja, hal tersebut pasti menimbulkan sisi baik dan sisi buruk.
Sisi baiknya tentu saja ia berhasil membuat penggemar balapan liar cum peternak burung seperti W, maupun para penggemar capoeira yang kerap menimbulkan kerusuhan dalam gig, menjadi penggemar metal meskipun sifatnya musiman. Hal tersebut merupakan masukan yang sangat besar bagi dunia metal di Banyumas dan sekitarnya yang tengah terus menerus bersolek di hadapan industrialisasi. Namun, usaha Aldiz juga menciptakan polarisasi bagi penggemar-penggemar metal yang masih bertahan pada eksklusivitas mereka, sehingga akhirnya memunculkan kecenderungan snobisme seperti yang diidap oleh R.
Toh para snob tersebut tidak bisa menjadikan diri mereka sebagai suara yang mewakili metal hari ini. Suara para penggemar metal musiman yang lekat dengan sebutan alay jelas lebih mewakili metal hari ini. Kemampuan Aldiz yang sukses mengindustrikan metal pada kenyataannya tidak dicapai oleh satu snob pun di Banyumas yang mengkritik gig-nya.
Satu minggu setelah pertemuan kami di Ramsha kafe, selepas maghrib di ujung telepon Aldiz bersorak girang mengabarkan bahwa ia baru saja sukses membawa Seringai dan Killing Me Inside pada gelaran Road To Voice Hell 2016. Ia menyerocos tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan didapatnya ketika mengundang kedua band tersebut. Mulai dari keuntungan finansial, semakin meluasnya penonton yang datang, sampai kemungkinan menjadikan mimpinya nyata: menggelar gig underground all genre.
Saya hanya menjawab sekenanya sambil terus mendengarkan ceritanya. Karena terburu-buru dan harus mengabari pihak-pihak lain, Aldiz tak berlama-lama. Di akhir pembicaraan, ia mengatakan : “Alhamdulillah kayaknya gak perlu cari uang kolektifan sama minta sponsor, pak. Kita disupport sama Djarum Super…”(*)
4 komentar
keren mas, “ngena” banget pengetahuannya.
salam dari bandung
Ini para dedengkot metal di kancah nasional kalau baca tulisan ini gimana ya responnya? Mereka yang berada di menara gading dan jarang melirik metalhead di akar rumput.
Baguss.. Lebih lanjut saya jadi penasaran dengan bagaimana pandangan aldiz soal purist/metal tenanan, secara dari sisi kuantitas aldiz sudah mendapat hasil yg baik dari apa yg dikerjakannya selama ini, tinggal bagaimana sisi kualitasnya digenjot. Ketika di sisi lain para purist kvlt hanya memikirkan soal kualitas meski gigs mereka selalu sepi. Atau justru itu tidak jadi pertimbangan sama sekali?
Bagus banget tulisannya, mas. Salam dari Pontianak.