Serunai.co
Ulasan

Membongkar Asosiasi Musik Metal dan Stigma Kekerasan dalam Metal Lords

There is something inside me. And I know it’s good, I am not evil. Just misunderstood”

(Arch Enemy – You’ll know my name)

Tahun 2017 adalah tahun terakhir saya mengunjungi festival metal terbesar se-Asia Tenggara, Hammersonic, sebelum wabah coronavirus melanda. Saya sengaja datang sebab ingin sekali menonton band favorit saya Asking Alexandria yang baru saja mengeluarkan album The Black dengan vokalis baru mereka.

Sebagaimana layaknya festival musik metal di seluruh dunia, berbondong-bondong orang berkaos hitam mendatangi Ancol. Kaos hitam menjadi atribut pameran identitas yang diwakili oleh goresan gambar nama atau album dari band kesukaan.

Pada tiga hari berturut-turut itu, kepala yang tidak berhenti mengangguk selama musik keras dimainkan. Memang hari berikutnya leher saya jadi pegal sekali, beberapa teman saya juga mengalami lebam-lebam pasca-melakukan wall of death (sebuah tarian di dalam moshing pit ketika penonton terbagi dalam dua bagian lalu saling menabrakkan diri satu sama lain). Tetapi kami sangat puas menonton band yang kami sukai, melepaskan semua energi dan kemarahan pada hidup sehari-hari ke dalam sebuah budaya populer yang dinikmati bersama-sama.

Musik keras dan penampilan penuh simbol kekerasan seringkali disalahartikan menjadi tindakan kriminal. Dalam film Netflix terbaru Metal Lords (2022) kita dapat melihat bahwa asumsi-asumsi masyarakat tentang musik metal dan kekerasan tidak sejalan. Metalhead adalah orang biasa yang kebetulan menyukai musik yang kompleks dan menjadikan musik keras sebagai sarana untuk katarsis emosi, alih-alih melakukan kekerasan sesungguhnya di masyarakat.

Metal dan Budaya Kekerasan

Buat saya pergi ke konser musik rock dan metal adalah ibadah, sebab saya merasa khidmat ketika mendengar harmonisasi rumit antara benturan pedal ganda, distorsi gitar dan instrumen suara manusia. Bagi masyarakat pada umumnya, perpaduan musik yang rumit seperti itu tidak ramah didengar. Karena rumit dan agak sulit diterima masyarakat, musik metal tidak pernah menjadi bagian dari masyarakat populer melainkan hanya sub-kultur saja.

Baca Juga:  (Hasrat) Yang Kini Terbaring

Musik metal sangat dipengaruhi oleh aksi panggung para band-band besar dan lirik-lirik yang mereka sajikan. Asumsi kebanyakan orang tentang metalhead sebagai pemuja setan, kriminal dan penuh kekerasan tidak bisa dilepaskan oleh pengaruh Ozzy Osbourne sebagai salah satu ikon musik metal dengan bandnya Black Sabbath. Penampilan panggung Ozzy Osbourne pada 20 Januari 1982 ketika ia menggigit kepala kelelawar sampai putus menjadi justifikasi kekerasan dan sadisme dalam budaya metal.

Aksi panggung ini didukung oleh lirik-lirik band metal yang umumnya bertema pembunuhan, kurban, darah, perang dan kekuasaan. Sebagaimana musik pop, jazz dan rock yang memiliki banyak jenis dan aliran. Musik metal juga bermacam-macam, penggolongan musik metal biasanya dilakukan oleh para kritikus musik untuk mendeskripsikan musik yang dibuat oleh para musisi.

Heaven Shall Burn, band metal asal Jerman baru-baru ini dikategorikan sebagai environmentalism metalcore setelah peluncuran lagu “My Heart and The Ocean” pada 2020. Sebelumnya mereka menyandang gelar sebagai melodic metal. Benar bahwasanya Heaven Shall Burn menyuarakan tentang kekerasan, khususnya kekerasan manusia terhadap lingkungan hidup.

Begitu pula band metal super Arch Enemy. Lagu “Blood in the Water” adalah kisah nenek sang vokalis, Allisa White-Gulz, sebagai seorang Yahudi ketika mengalami penyiksaan dalam kamp konsentrasi Nazi. Kekerasan yang disuarakan dalam dua band metal ini adalah tentang tragedi kemanusiaan dan lingkungan hidup. Memainkan musik tentang kekerasan bukan berarti mendukung aksi kekerasan terhadap manusia dan subjek lain.

Emosi dan Asosiasi

Saya tidak menolak anggapan bahwa budaya musik metal sangat maskulin dan didominasi oleh orang-orang kulit putih dari Skandinavia. Tetapi saya menolak ketika kekerasan dan sadisme diasosiasikan dengan kriminalitas. Sifat musik metal yang partikular dalam masyarakat membuat orang-orang memberikan asumsi negatif bagi penggemar musik metal. Film Netflix Metal Lords dengan baik menjelaskan tentang agresi, kekerasan sebagai kultur musik metal dan stigma terhadap penggemar musik metal.

Baca Juga:  Sunyi di Kamar Gelap: Lustrum Ketiga Album Kamar Gelap Efek Rumah Kaca

Dalam film tersebut diperlihatkan karakteristik sesungguhnya tentang bagaimana seorang metalhead. Seorang remaja bernama Hunter yang mencoba mendapat perhatian dari orang tuanya melalui menyukai musik dan band metal. Hunter tidak merokok, tidak pakai narkoba, tidak minum alkohol ataupun melukai diri sendiri karena ia hanya tertarik pada musik metal.

Kawannya, Kevin, adalah remaja biasa yang menyukai musik kompleks dari mendengar musik metal. Remaja perempuan pemain cello bernama Emily digambarkan memang mengalami disabilitas mental tetapi ia berusaha untuk tidak melukai siapa pun. Dalam sebuah dialog ia berkata, “I feel good for not attacking and hurting people” (Saya merasa nyaman ketika saya tidak menyerang atau melukai orang lain).

Musik yang mereka dengarkan berkisah tentang kekerasan dan agresi, tetapi hal tersebut tidak membenarkan atau memengaruhi mereka untuk menjadi seorang kriminal. Hal ini bertentangan dengan anggapan umum bahwa mendengar musik metal bisa memengaruhi seorang anak menjadi seorang kriminal, pemuja setan ataupun pembunuh.

Lirik yang kadang bertema sadisme, saling membentur-benturkan badan dan musik yang kompleks selalu membuat metal sebagai subkultur disalahpahami. Ada dua hal yang alamiah dalam keberadaan manusia yakni emosi dan kecenderungan asosiasi. Dentuman drum yang cepat, nada gitar yang tinggi dan cepat serta suara manusia sebagai instrumen, alih-alih sebagai nyanyian membuat musik metal diasosiasikan dengan emosi marah. Sementara emosi marah selalu dilihat sebagai emosi negatif yang memancing dan menjustifikasi seseorang melakukan agresi. Padahal emosi dan tindakan adalah dua hal yang berbeda. Seseorang bisa mengalami suatu emosi, sedih misalnya tetapi tidak menangis atau seseorang bisa menjadi marah tanpa melakukan agresi (penyerangan terhadap orang lain).

Asosiasi terhadap kemarahan, agresi dan tindak kekerasan menjadi asal-muasal stigma penggemar musik metal di masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, asosiasi dan stigma ini menorehkan sejarah kepanikan moral yang terjadi pada industri musik di Amerika Serikat pada tahun 1985. Kelompok konservatif itu kemudian mendirikan Parents Music Resource Center (PMRC) pada April 1985 yang dengan getol melakukan sensor pada musik-musik yang mengandung unsur kekerasan seperti rock, metal dan rap. Moral panik ini berasumsi bahwa anak muda yang mendengarkan musik keras dan lirik lagu bertema kekerasan akan cenderung melakukan kekerasan. Sehingga remaja yang menjadi penggemar musik metal dianggap sebagai penyimpangan sosial dan layak untuk dimasukan ke panti rehabilitasi seperti Hunter dalam film Metal Lords.

Di kehidupan nyata, kejadian yang menimpa Hunter juga dialami oleh beberapa remaja yang tumbuh besar mendengar musik keras. Saya, misalnya. Saya juga berulang kali dirukyat karena saya menyukai musik rock dan metal. Namun, sebagaimana Hunter yang keluar karena memang ia tidak punya masalah penyimpangan sosial apapun, saya juga selalu lolos karena ternyata walaupun saya sering mendengar lagu tentang setan, nyatanya tidak ada setan di tubuh saya. Film Metal Lords membuat kita belajar tentang stigma sosial, emosi dan asosiasi terhadap kelompok-kelompok sosial. Karena kita tidak bisa lagi menyalahkan setan ataupun musik keras dalam menjustifikasi kekerasan dan kriminalitas di masyarakat. [NKM. Ed: AS]

Baca Juga:  Melawan Arus Para Pelawan Arus

Related posts

Menjelajahi Galaksi Rima Sakti

Aris Setyawan

Berakar dan Menjalar di Konser Rimpang: Membaca Muslihat Estetika Baru ala Efek Rumah Kaca

Pry S

Pesona Silat Jawa Minang

Michael H.B. Raditya

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy