Serunai.co
Ulasan

Rehearsal yang Membangun Kesadaran: Mengamati Pertunjukan “Membaca Sanghyang” Seutuhnya

membaca sanghyang
Figure Poster Pertunjukan Membaca Sanghyang / Dok: Mulawali Institute

Di ujung desa, di antara rimbun kebun bambu berdiri Museum Sanghyang Dedari yang kala itu halamannya sedang menjadi tempat rehearsal Mulawali Institute dalam persiapan karya terbarunya bertajuk Membaca Sanghyang pada Sabtu (14/10/2023). Garapan ini merupakan proyek pertunjukan hasil penjaringan kurasi Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 yang tampil pada Sabtu lalu (21/10/2023) di Studio Produksi Film Negara, Jakarta. Dalam pertunjukan ini Wayan Sumahardika sebagai Sutradara mengambil studi kasus ritual Sanghyang dalam hubungannya dengan kehidupan pertanian di Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem, Bali

Jejak Suma, sapaan akrabnya, pada skena seni pertunjukan Bali kontemporer dewasa ini memang menunjukkan peran yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagai seniman muda, ia hadir memberikan perspektif dan pembacaan kritis terhadap situasi Bali saat ini dengan medium seni tari dan teater melalui riset repertoar arsip yang sangat dalam.

Sebelumnya, ia bersama kolektif Mulawali Institute juga telah melahirkan garapan seni pertunjukan yang berangkat dari tari Kebyar Duduk atau Igel Jongkok dengan tajuk (The Famous) Squatting Dance : Jung-jung te Jung yang mendapat apresiasi positif dari khalayak penikmat seni pertunjukan. Repertoar Pertunjukan “Membaca Sanghyang” ini menggandeng kolaborasi yang apik antara seniman muda di Bali seperti Wulan Dewi Saraswati dan Kevin Muliarta (performer), I Nyoman Subrata dan I Gede Artana (pelaku tamu), Yogi Sukawiadnyana (penata musik), Ingga Delia (manajer produksi), Amrita Dharma (Asisten manajer produksi dan dokumentasi), De Krisna Dwipayana (manajer panggung, penata kostum dan rias), Heri Windi Anggara (penata artistik dan cahaya), Manik Sukadana (penata visual) dan Agus Wiratama (produser).

Melihat Proses di Balik Layar Membaca Sanghyang

Temaram sorot lampu membuka pertunjukan. Seorang penari Sanghyang Jaran, Kevin secara ekpresif memecah kesunyian menciptakan panggung bernuanasa magis nan tegang. Melalui gerakan yang tak teratur bagai sosok kuda yang agresif hingga mencapai ekstase puncak. Kemudian ia memberhentikan gerak tariannya secara perlahan. Kemudian Pak Jero, Bendesa Adat itu melanjutkan pertunjukan dengan mengenalkan Desa Adat Geriana Kauh kepada khalayak. Dibantu dengan gambaran visual geografi desa pada layar, Ia membawa penonton sejenak membayangkan situasi desa.

Sementara itu, Wulan menyusul hadir menyunggi sebuah guci menggambarkan sosok perempuan Bali. Melalui monolognya, ia membagi pengalaman hidupnya tentang keberjarakannya dengan tanah leluhur yang telah memutus memorinya dari kultur pertanian. Ia baru mengingat kembali hubungan dengan kultur pertanian itu ketika besar dan hidup di Tabanan. Akhirnya memunculkan pertanyaan-pertanyaan subtil tentang peran perempuan Bali yang terpinggirkan haknya untuk merawat dan mendapatkan warisan tanah leluhurnya.

membaca sanghyang
Proses Rehearsal di Halaman Museum Sanghyang Dedari, Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem.

Tak lama berselang, seorang lelaki pun datang membawakan wadah nampan di atas kepalanya berisi batu-batu vulkanis. Material vulkanis berukuran genggaman orang dewasa itu puluhan tahun lalu menjadi petaka yang mengancam kehidupan warga desa. Kemudian ia menumpahkan batu-batu itu di atas topi yang ditadahkan oleh dua penampil Wulan dan Kevin. Lelaki bernama Bli Gede itu kemudian menjatuhkan batu itu di atas meja. Jatuhnya batu itu di atas meja pun ditangkap kamera sehingga penonton bisa merasakan efek visual hujan batu yang melanda desa itu akibat letusan Gunung Agung puluhan tahun silam. Ia pun menjelaskan kejadian letusan Gunung Agung yang berjarak 9 km dari desanya, sambil mengajak penonton membayangkan peristiwa itu.

Baca Juga:  Don’t Look Up: Ilustrasi Apokaliptik yang Rasional

Gambaran pertunjukan singkat di atas membawa kita memahami kepingan kisah yang ada di Desa Adat Geriana Kauh. Membaca Sanghyang menjadi tajuk pertunjukan ini sebagai upaya menelisik kembali dinamika ritus kesuburan yang cukup arkaik pada khasanah tradisi Bali. Pembacaan yang cukup jeli menghasilkan beberapa lapisan narasi realitas sosial kehidupan pertanian di desa itu. Bahkan juga mencerminkan saling silang realitas kekinian yang dihadapi oleh desa-desa di Bali pada umumnya.

Garapan ini menggunakan format pertunjukan lecture performance yang dieksperimentasi dengan partisipasi warga setempat sebagai penampil. Sebuah pilihan yang menantang dengan menampilkan kolaborasi individu yang tidak terbiasa bermain panggung seni pertunjukan. Bendesa adat, I Nyoman Subrata dan sosok petani muda, I Gede Artana hadir di atas panggung sebagai pemeran sekaligus narasumber.

membaca sanghyang
Pak Jero (I Nyoman Subrata)(kanan) dan Bli Gede (I Gede Artana)(kiri) saat rehearsal di IMXR Studio, Studio Film Produksi Negara, Jakarta / Dok : Amrita Dharma

Peran Bendesa Adat seperti Pak Jero pada pertunjukan ini menjadi bagian penting menggali pengetahuan untuk menelisik dinamika Ritual Sanghyang maupun gerak sosial warganya hingga pertiwa penting seperti bencana letusan Gunang Agung di Desa Geriana Kauh dari waktu ke waktu. Sebagai Bendesa Adat tentu beliau memliki peran sebagai tokoh kunci terhadap segala keputusan ada dan tidaknya ritual Sanghyang. Bendesa Adat memiliki peran yang sangat penting dalam struktur sosial masyarakat desa di Bali dalam menjalani kehidupan kolektifnya.

Begitu juga dengan kehadiran sosok petani. Secara tidak langsung, Bli Gede yang menjalani kesehariannya sebagai petani tentu tak bisa dilepaskan hubungannya dari ritual Sanghyang. Ia memang sosok petani yang cukup langka di tengah nihilnya generasi muda menjalani laku hidup sebagai petani. Kesehariannya, Bli Gede juga memiliki kesadaran untuk melestarikan pertanian organik dengan menanam bibit padi lokal sejak beberapa tahun belakangan. Bibit-bibit lokal yang beberapa dekade itu telah punah akibat program revolusi hijau yang dicanangkan rezim Orde Baru sejak tahun 70an.

Perubahan cara bertani padi dengan dikenalkannya bibit unggul melalui program Revolusi Hijau, telah mengakibatkan Ritual Sanghyang perlahan ditinggalkan dan dilupakan. Namun, setelah beberapa dekade kemudian, maraknya gagal panen yang dialami petani mengakibatkan masyarakat kembali mengingat Sanghyang. Upacara ritual tarian sakral itupun diadakan kembali dengan harapan kepada Tuhan agar panen melimpah kembali.

Di tengah perubahan kultur bertani itu, ketika Sanghyang sempat dilupakan, deru industri pariwisata hadir di tengah masyarakat. Insting pariwisata budaya yang merindukan eksotisme masyarakat tradisi menjadikan warisan masa lalu sebagai komoditas yang laku disuguhkan kepada wisatawan di hotel-hotel. Maka, Sanghyang Dedari pun akhirnya hadir di ruang profan sebagai pertunjukan yang menghibur sekaligus mewujud sebagai ungkapan kecintaan pada tradisi yang semu dari para penikmatnya.

Baca Juga:  Jalan Sunyi (Penulis) Musik

Salah satu gagasan yang disampaikan oleh pertunjukan ini mencoba untuk merenungkan ulang praktik estetika yang semata-mata mengekspos nilai-nilai tradisi secara dangkal dan enggan melihat konteks sosial masyarakat dan jejaring pengetahuan secara holistik. Ekspose elemen magis dan sakral kerap kali menjadi penebalan yang ditampilkan menjadi estetikanya. Pada titik ini, seniman pertunjukan kerap kali tergelincir pada aspek objektifikasi nilai sakral yang kemudian mengabaikan peran-peran penyangga ritual Sanghyang. Peran penyangga pada konteks yang lebih luas perlu dihadirkan karena memiliki peran penting dalam menjaga keberlangsungan sebuah tradisi.

Prosesi rehearsal ini menarik dicermati ketika Suma sebagai sutradara memegang kendali menjembatani gagasan penting yang perlu disampaikan kepada kedua tokoh desa ini. Seperti gagasan tentang sikap kritis terhadap praktik industri Pariwisata Bali. Dominasi tunggal wacana pariwisata kerap kali membuat masyarakat akar rumput mudah mengamininya.

Diskusi antara sutradara, penampil dan krus aat rehearsal di halaman Museum Sanghyang Dedari, Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem.

Bagi desa yang memiliki warisan tradisi seperti Geriana Kauh sebenernya cukup mudah untuk menarik kunjungan turis untuk datang ke desa ini dengan mengobjektifikasi tradisinya sebagai tontonan turis yang eksotis. Hal itu tercermin ketika Pak Jero membacakan dialog pada skenario pertunjukan. Ketika beliau sempat melontarkan dialog improvisasi yang mengajak khalayak untuk datang menikmati tradisi Sanghyang Dedari di desanya. Namun, dengan cara yang santun dan dialogis, Suma memberikan koreksi dan pemahaman tentang dampak praktik turisme semacam itu kepada Pak Jero.

Melalui garapan ini, akhirnya tidak semata-mata menghadirkan pertunjukan di atas panggung yang disajikan kepada publik di Jakarta. Namun, prosesnya juga melahirkan arsip ingatan warga perihal dinamika kehidupan Desa Adat Geriana Kauh. Mulai dari sejarah perkembangan Ritual Sanghyang Dedari, pertanian hingga peristiwa bencana alam meletusnya Gunung Agung yang mengakibatkan kerugian material dan imaterial di desa itu.

Tak hanya menyorot wacana lokal yang berkelindan pada dinamika Sanghyang dan Geriana Kauh, pertunjukan ini juga tak luput menyuarakan suara perempuan Bali mengenai hak waris tanah yang berkembang di Bali. Penampilan apik Wulan Saraswati menampilkan narasi-narasi monolog mengenai marjinalisasi hak perempuan atas tanah warisan leluhur layak diapresiasi. Pengalaman yang menubuh dalam dirinya membawa penjiwaan kuat di atas panggung.

Pertanian, tanah dan perempuan memang tak bisa dipisahkan. Tanah kerap kali disimbolkan sebagai ibu bumi dalam khasanah tradisi kita. Maka perempuan kerap hadir pada ragam laku dan ritus kesuburan baik dalam konteks sakral maupun profan. Dalam tradisi agraris yang berkembang di Bali, pada proses bercocok tanam sebenarnya tak mengenal pembagian peran berdasarkan gender. Entah laki-laki atau perempuan memiliki peran yang sama ketika bercocok tanam. Namun, mengapa hingga kini perempuan Bali tak berhak mendapat warisan untuk merawat dan memiliki sejengkal lahan? Sebuah pertanyaan kontemplatif yang patut didengar khalayak di Bali.

Baca Juga:  Metamorfosis Kuntari

Bermain Wacana dan Estetika Pertunjukan yang Berimbang

Berangkat dari tradisi di Bali yang penuh warna nan ekspresif telah menciptakan estetika yang khas dan kerap kali mudah mencuri perhatian dengan sekejap. Seperti karya yang sudah-sudah, Suma bersama Mulawali Institute-nya konsisten menghadirkan karya pertunjukan yang menggali khasanah lokal berbasis tradisi khususnya tari dan teater. Namun, di dalam Membaca Sanghyang, ia tak ingin terjebak pada kemapanan estetika yang telah ada. Melalui pembacaan dinamika kebudayaan yang kritis, karyanya selalu memberikan perspektif kekinian yang tajam mempertanyakan status quo pada konteks Bali yang kuat.

Penampil Wulan Dewi Saraswati dan Kevin Muliarta saat rehearsal di IMXR Studio, Studio Film Produksi Negara, Jakarta / Dok : Amrita Dharma

Pilihan Sang Sutradara menggunakan format Lecture Performance dalam menyampaikan gagasannya membuka berbagai kemungkinan pengembangan karya lintas disiplin yang lebih cair. Penyampaian isi gagasan dapat dengan mudah diterima penonton melalui medium-medium pertunjukan yang beragam dalam satu panggung. Penampil, setting audio-visual bahkan penonton pun turut serta memberikan peran partisipatif pada pertunjukan ini. Pada sesi diskusi misalnya, melalui narasumber Pak Jero dan Bli Gede dengan moderator Wulan, membuka percakapan dua arah seperti layaknya diskusi terbuka pada sebuah seminar.

Dukungan visual yang menarik pada layar dengan menampilkan situasi Desa Geriana Kauh, prosesi ritual Sanghyang Dedari dan Sanghyang Jaran, membantu penonton memahami konteks Sanghyang lebih dekat. Begitu juga dengan kehadiran Kevin Muliarta yang juga koreografer profesional membawakan tari Sanghyang Jaran telah mempertebal elemen tari yang hadir di atas panggung ditengah orkestrasi wacana dan penampilan dramatik baik itu adegan eksplisit maupun implisit. Elemen tari yang hadir di layar dan di panggung memperkuat citra estetik pertunjukan.

Di akhir pertunjukan Membaca Sanghyang, penonton diajak menyanyikan nyanyian mantra yang digunakan ritual Sanghyang Dedari. Sebait teks gending mantra berbahasa Bali yang ditampilkan pada layar itu seakan membawa penonton larut dalam suasana ritual yang sesungguhnya.

Asep Menyan

Cenana pengudang Dewa

Dewa turun, turun menyawat

Penyawate sereg sorogan

Memilah padi-padi masa (padi dari bibit lokal) yang dibudidayakan Bli Gede untuk persiapan pentas di Jakarta.

Sebagai sebuah proses penciptaan karya seni pertunjukan, rehearsal di halaman Museum Sanghyang Dedari itu mengingatkan kita pada praktik advokasi pertukaran gagasan dan pengetahuan antara kedua representasi warga (Pak Jero, Bli Made) dan seniman. Kedua belah pihak saling membangun simbiosis untuk memproduksi pengetahuan bersama membaca Sanghyang secara kontekstual. Warga dan seniman saling belajar membangun kesadaran bersama tentang Sanghyang, juga tentang desa dan pertaniannya.

Pun juga seniman, pendekatan artistik yang dilakukan oleh Suma bersama kolektifnya berusaha melepas belenggu cara pandang orientalis. Saat objektifikasi entitas budaya masyarakat tertentu hanya dilihat dari aspek eksotisme belaka seperti ekspose estetika visual dan sakralitas demi kepentingan segelintir pihak. Ia juga berani untuk melakukan dekolonisasi praktik artistik pertunjukan dengan menghadirkan warga setempat menjadi penampil di atas panggung. Pak Jero dan Bli Gede merupakan representasi warga desa sebagai “subjek” untuk menyuarakan gagasan di kepada khalayak luas di Ibu Kota. Maka, Membaca Sanghyang patut menjadi tontonan yang membawa kita melihat kembali sebuah alternatif pewarisan seni tradisi dengan cara pandang yang holistik dan kontekstual di tengah dominasi wacana tunggal yang dihadirkan oleh kuasa suprastruktur entah itu negara, sistem pengetahuan ataupun praktik estetik nan elitis itu yang kadang mudah mereduksi kepekaan kita.

Penulis: Arif Wibowo

Editor: Aris Setyawan

Related posts

Biennale Jogja 17 dan Titen: Sebuah Usaha untuk Mempertajam Kepekaan

Ismail Noer Surendra

Kesunyian Airportradio

Aris Setyawan

Autobiography: Rakib Anak Kandung Orde Baru

Permata Adinda

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy