“We are all born mad. Some remain so”
– Samuel Beckett
Pembacaan atas sebuah karya musik populer sebagai bagian dari kitsch –yang kerap dianggap seni rendahan– dibandingkan sebuah pertunjukan teater adiluhung, kisah sastra klasik atau karya lukisan maestro, terkadang selalu menyimpan kejutan bagi saya pribadi.
Terlebih lagi, musik pop sebanal apapun formatnya tidak pernah lahir dari ruang hampa. Produksi karya yang dilakoni sang musisi penciptanya, tentu selalu dibayang-bayangi alam sosial budaya ekonomi dan politik tempat ia hidup.
Musik pop menyimpan lebih banyak kejutan lagi ketika sang musisi mengembangkan strategi penciptaan karya sedemikian rupa seiring perjalanan karirnya, dengan kerumitan estetika tertentu baik untuk menyampaikan sebuah pesan, dan bahkan mendistorsinya dengan permainan simbol-simbol kreatif bermakna ganda.
Salah satu karya yang hendak ditinjau dalam rangka kemampuannya menghadirkan semuanya itu adalah Rimpang oleh Efek Rumah Kaca (ERK), karya anyar kugiran asal Jakarta yang comeback sejak kemunculan konser tunggal terakhirnya di Konser Sinestesia di 2016 silam.
Adapun wacana Rimpang di tulisan ini tidak hanya berpusat pada pendedahan karya album musik yang telah beredar sejak Januari lalu. Tapi juga hendak menyibak simbol-simbol sublim dalam konser pertunjukan bertajuk Konser Rimpang yang sukses dipadati hampir 4000 penonton pada 27 Juli kemarin di Tennis Indoor Senayan, Jakarta.
Album Baru Kejutan Baru
Sejak awal kemunculannya, Rimpang sebagai album studio penuh keempat ERK mencuri perhatian banyak pihak mengingat rentang waktu dengan album sebelumnya Sinestesia (2015) yang terpaut delapan tahun lamanya.
Rimpang lalu dilepas dalam bayang-bayang label magnum opus yang dilekatkan publik kepada Sinestesia sebagai album konsep terbaik ERK dengan durasi total 64:30 menit yang tiap-tiap judul tracknya yakni “Merah”, “Biru”, “Jingga”, “Hijau”, “Putih”, dan “Kuning” merupakan medley dari dua sampai tiga babak part lagu berbeda.
Sedangkan Rimpang sendiri berdurasi hanya 45 menit, berisi total 10 track saja masing-masing yakni “Fun Kaya Fun”, “Bergeming”, “Heroik”, “Tetaplah Terlelap”, “Sondang”, “Kita yang Purba”, “Ternak Digembala”, “Rimpang”, “Bersemi Sekebun”, dan “Manifesto”.
Membandingkan dari sisi form (bentuk), alih-alih mengeksplorasinya lebih jauh seperti penamaan konsep warna dan pembabakan lagu di Sinestesia, Rimpang justru banting setir kembali pada format lagu konvensional dan rumusan pop alternatif.
Bedanya, dalam penulisan lirik, Rimpang lebih kaya akan diksi, simbol dan narasi kecil yang belum pernah dilakukan ERK sebelumnya.
Sebut saja penamaan track “Ternak Digembala” dan “Bersemi Sekebun” sebagai frasa yang terdengar seperti judul karya cerpen eksistensialis milik Iwan Simatupang dan seangkatannya daripada sebuah judul lagu.. sungguh sebuah padu padan idiom nan asing sekaligus akrab di telinga.
“Fun Kaya Fun”, dalam beberapa hal mengingatkan saya pada strategi penulisan lirik Zeke Khaseli di debut solonya Salacca Zalacca (2010) yang cuek mengkombinasikan idiom slang kekinian dengan kata serapan bahasa asing menjadi makna baru yang eklektik:
Akhirnya bunyi-bunyi
termesinkan kini
Ekspresi emosi
ragawi rohani
Panggung yang gigantik
orang yang pragmatik
Kimia yang epik
apik namun robotik
Bahkan judul ‘Rimpang’ itu sendiri pun bukan kata yang biasa kita pakai sehari-hari. Sebagian besar penggemar ERK yang saya temui, paling tidak pernah satu dua kali merasa perlu mengetik kata kunci Rimpang di laman Google SERP dan Wikipedia sambil mendiskusikannya satu sama lain.
Berurat Akar di Sinestesia
Perihal penulisan lirik Rimpang nan multitafsir dengan kualitas sastrawi yang cukup mumpuni, saya berani berkelakar bahwa album ini adalah perpaduan sempurna antara sosok Nirwan Dewanto yang kerap diolok-olok karena kualitas karya puitisnya mengawang-awang jauh dari bumi, fusion dengan sosok Saut Situmorang dengan gaya sastrawi a la akar rumput dan menulis tanpa tedeng aling-aling. Siapa sangka polemik Lekra dan Manikebu puluhan tahun lalu mendapati sintesisnya di tangan seorang Cholil Mahmud sebagai penulis lirik utama.
Wajar bila pada sesi dengar (listening session) perilisan album di Ashta District 8, Jakarta, Garrin Faturrahman dalam Whiteboard Journal menulis betapa Rimpang merupakan jawaban dari penantian rindu akan musik-musik Efek Rumah Kaca: seperti bertemu kawan lama yang sudah banyak berubah, tapi tetap bisa dirasakan bahwa diri lamanya masih bergejolak di balik terminologi-terminologi baru yang banyak ia ucapkan.
Lebih lanjut, di Pop Hari Ini Wahyu Acum berpendapat bagaimana Sinestesia yang telah sukses akan menjadi basi jika puncak kreativitasnya direpetisi. Pasalnya, menurut Acum, hasilnya akan berbuah stagnasi. Atas alasan itulah ia menyatakan bahwa Rimpang sebetulnya sukses menjadi jalan keluar.
Dengan mengambil formula album 1 & 2, menggayung kompleksitas Sinestesia, diramu dengan tekstur yang lebih on point dan gagasan tentang kekinian, album ini berhasil menancap kuat, tandas Acum.
Dus, apapun yang dispekulasikan banyak pihak, ada fakta menarik yang dituturkan para personel ERK dalam wawancaranya dengan Yudhistira Agato di VICE.
Menjelang paragraf terakhir, Yudhistira mencatat bagaimana produksi album Rimpang jadi saksi perjalanan dan evolusi Efek Rumah Kaca selama beberapa tahun belakangan: mulai dari absennya campur tangan Adrian Yunan, hijrahnya Cholil ke New York, dan sulitnya menyiasati proses rekaman di masa-masa Pandemi.
Dalam praktik produksi penciptaan karya Rimpang, tak bisa diabaikan juga bagian kisah ketika semesta mempertemukan para personel dengan Poppie Airil yang kemudian dikukuhkan sebagai pemain bass tetap menggantikan Adrian Yunan, dan tentu saja peran Reza Ryan, sosok multi-instrumentalist yang sudah mencuri perhatian sejak proyek kuartetnya di I Know You Well Miss Clara mendedah bebunyian experimental progressive jazz-rock.
Dengan tambahan dynamic duo Poppie dan Reza, publik mulai menangkap perubahan biduk bermusik yang dulu lekat dengan imej ERK sebagai trio pop minimalis, menjadi kolektif musisi yang di atas panggung terbuka mengeksplorasi apa saja.
Tak pelak, Rimpang merupakan album penuh perdana untuk Poppie dan Reza yang kreativitasnya tumbuh natural dan berurat akar sejak era Sinestesia. Keduanya kelak jadi kontributor dominan penentu corak musikalitas Rimpang seperti yang kita dengar sekarang dengan memadukan jazz/pop/rock dalam balutan synthesizer. Strategi ini sukses membawa akor gitar tiga jurus a la ERK ke level berikutnya.
Konser Rimpang dan Beban Komersial
Setelah melewati intensitas mendengarkan secara penuh dan rangkaian pembacaan berbagai referensi seputar Rimpang, langit Jakarta di 27 Juli 2023 sore hari itu kemudian benar-benar mengantarkan saya pada momen pembuktian konser Rimpang yang bakal dihelat beberapa jam ke depan.
Bilangan kompleks Senayan yang cukup luas untuk ditempuh dengan berjalan kaki tak mengurangi ribuan Penerka (basis penggemar Efek Rumah Kaca) memadati Tennis Indoor Senayan pada kamis malam.
Tanpa banyak kesulitan melewati panjangnya antrean, selepas Magrib saya berhasil masuk ke area pertunjukan dengan tetap wangi dan tampan. Kesigapan para panitia hajat indie hari itu dibantu sebanyak 60-an personel di luar anggota Kepolisian, mampu mengelola massa penonton dengan cermat. Pasalnya sejak open gate pukul 18.30 WIB, masih banyak teman-teman Penerka yang betah nongkrong di luar gerbang meski tahu show akan segera dimulai dalam satu jam ke depan.
Mewakili Serunai, tiket Festival di tangan membawa saya ke pintu masuk jalur penonton di sebelah kanan. Entah aura baik yang sedang berpihak, dari balik kumpulan panitia penjaga saya melihat sosok hangat Ferry Darmawan, sang empunya acara yang mewakili nama organizer Plainsong Live malam itu.
Demi secuil bocoran informasi apa pun untuk melengkapi proses liputan, saya mendekati Ferry dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang kebanyakan dijawabnya cuma dengan bersinggung senyum. Pasalnya lewat sosial media, informasi penjualan tiket masih berlangsung di hari H.
Tanpa banyak keterangan, saya langsung mengerti makna sumringah di wajahnya: Konser Rimpang malam itu Sold Out sesuai target penyelenggara.
Kapasitas Tennis Indoor Senayan yang memuat kuota 4000 penonton plus 200 tamu undangan menjadi rekor baru bagi ERK menampilkan konser tunggal di hadapan publik, melampaui Konser Sinestesia di Teater Jakarta TIM yang berkapasitas 1500 penonton saja.
Statistik sederhana ini menandai kemenangan beban komersial Rimpang berhasil dicapai tepat sebelum konsernya dimulai.
Terpukau Muslihat Rubi Roesli
Waktu menunjukkan pukul 19.30 WIB saat musik dimainkan dari balik kegelapan panggung yang sontak membangkitkan riuh rendah sambutan penonton.
Seiring lighting panggung menyala lamat-lamat, para personel tampil mengenakan seragam terusan berwarna putih putih dengan khusyuk, layaknya hendak menjalankan ibadah kaum cult.
Yang kini tampak mencolok di atas panggung, adalah sajian instalasi yang memanjakan mata siapa saja yang melihatnya: Deretan tambang nylon putih transparan yang tersusun dan ditarik vertikal menggunakan sling setinggi 7 meter lebih.
String installation karya arsitek dan seniman instalasi Rubi Roesli itu dibentangkan melintang secara diagonal membelah panggung menjadi 4 zona seperti diagram berikut.
Fungsi string yang awalnya sekadar jadi background melintang tiga dimensi, menjadi hidup ketika ditembak proyektor dengan animasi visual yang melayang di antara posisi para personel dan berubah-ubah seturut lagu merespons segala bebunyian yang dihasilkan ERK dalam mendaras set list satu per satu.
Mulai dari riak serupa gelombang di nomor pembuka “Bergeming”, deretan kotak persegi yang melaju di nomor kedua “Heroik”, sampai gerakan aurora berwarna biru kuning dan jingga pada nomor “Fun Kaya Fun” yang mengundang koor massal.
Dalam sajian terfavorit versi saya di lagu ketujuh, lirik “Bersemi Sekebun” yang disuarakan Cholil dalam nyanyian, mendapatkan visualisasinya dalam wujud yang paling subtil berupa rangkaian kelopak bunga yang menipu mata seakan benar-benar terlihat jatuh berguguran dari atas kepala ke tengah panggung:
Bagaikan di taman
Kanon air melengkung di angkasa
Menghujam, memberai
Satu gugur
Bersemi sekebun
Belum habis muslihat disajikan, tepatnya setelah part spoken words Morgue Vanguard alias Ucok berkumandang.. rangkaian bunga yang gugur tadi seperti terpaut angin dan memusar di tengah sosok Cholil untuk kembali meruap ke atas cepat-cepat seturut lirik berikut:
Adalah bentuk keluhuran
Merongrong kuasa yang tiran
Di jalan bersama kalian
Doa orang tua terngiang..
Pemandangan semacam ini menghamparkan visualisasi artistik nan indah tak terkatakan, seperti tengah menaiki sebuah wahana dan merasakan sensasi baru dalam pengalaman empiris menonton Konser Rimpang.
Puncak jouissance saya malam itu dan wajib tercatat di sini adalah dengan mata kepala hati dan telinga sendiri menyaksikan nomor “Rimpang” sebagai benang merah utama dalam album dibawakan seiring wujud abstrak berupa guratan akar tumbuh merambat hingga ke sudut-sudut panggung dengan syahdu sampai ke penghabisan lagu.
Meski seperti menyaksikan sebuah tipu muslihat pandangan mata, malam itu saya merasa beruntung terpukau mengalami bentuk-bentuk estetika baru yang belum pernah saya lihat sebelumnya di sebuah konser panggung musik band lokal mana pun.
Terlepas dari berbagai kekurangan di sana-sini semisal sound system yang terdengar kurang merata dan maksimal, keterbatasan jarak pandang menyimak instalasi panggung, urutan set list tanpa dramaturgi di sesi dua dan lagu daur ulang beberapa kolaborator yang terdengar maksain, hingga greget encore yang dinilai antiklimaks beberapa penonton terpaksa harus saya abaikan karena signifikansinya.
Tanpa substance apa pun yang mengalir dalam darah, saya (dan mungkin ratusan penonton lain di front row) malam itu pulang dengan mabuk yang gemilang lewat kombinasi estetika baru perpaduan seni sastra (dalam penulisan lirik), seni musik (penemuan kembali jazz dan sound 80an) serta seni pertunjukan (kolaborasi dengan sederet musisi dan instalasi Rubi Roesli) yang sensasi persisnya mustahil dialami kembali lewat siaran ulang channel-channel di media sosial, sebagus apa pun media dan kamera yang kelak merekamnya.
Kritik Atas Rimpang
Bila di pemaparan sebelumnya kita sudah menyibak Rimpang sebagai teks dan proses berkarya ERK sebagai agen produksi teks, maka sebelum naskah ini berubah jadi kajian teoritis, izinkan saya membuat pemetaan berikut sebagai panduan penutup menuju bagian paling sulit dibahas tanpa melibatkan nomenclature.
Dihelat setengah tahun berselang sejak albumnya dirilis, Konser Rimpang kemarin menurut hemat saya mesti dilihat dalam konteksnya sebagai puncak penyebaran wacana dominan terhitung dari penulisan materi album yang mungkin telah dimulai sejak rezim pendahulu (SBY).
Dalam kurun waktu tersebut, kita ingat bagaimana alam sosio-kultural Rimpang dipengaruhi berbagai peristiwa semisal tarik ulur penyelesaian kasus Munir yang memasuki masa kedaluwarsa, pemecatan besar-besaran aktor kunci Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat Tes Wawasan Kebangsaan, atau paling akbar momen Undang-Undang Cipta Kerja yang memicu demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang pernah terjadi di bawah rezim Jokowi.
Alih-alih apolitis dan berasyik-masyuk dengan perkara ekonomi dan industri musik independen lokal sebagai anak kandung kapitalisme, lewat Rimpang ERK nyata-nyata terus menularkan bentuk kritisisme tertentu.
Rimpang bahkan secara vulgar memuat nomor berjudul “Sondang”, kisah terinspirasi dari sosok Sondang Hutagalung aktivis Universitas Bung Karno yang membakar dirinya saat demonstrasi di depan Istana Negara di bawah rezim SBY pada 2011 silam.
Meski sosoknya telah dilupakan orang dan banyak generasi muda pendengar ERK hari ini yang mungkin tak lagi mengenali namanya, ingatan kolektif kita atas penindasan, penderitaan dan kemarahan di tingkatan akar rumput menjadi abadi dalam torehan karya seni populer.
Seperti adagium Samuel Beckett di pembuka tulisan ini, Rimpang tak hanya menyimpan energi kemarahan yang sama seperti masa awal karier bermusik ERK, tapi energi itu juga berurat akar, berkembang biak dan terus menjalar.
Mengingat sejarah berkesenian sejak album self-titled dan Kamar Gelap, aktivisme ERK ini bukan tanpa sebab dan sekadar fashion. Pada 2022 lalu Dewan Kesenian Jakarta melalui Ade Darmawan secara progresif menerbitkan pidato kebudayaan 2022 bertajuk “Berakar dan Menjalar: Lumbung Sebagai Model Ekonomi dan Estetika Organisasi Seni.”
Dalam pidatonya, Ade menekankan ‘Lumbung’ adalah istilah yang pernah diurai oleh Prof. Melani Budianta dalam Pidato Kebudayaan DKJ 2020. Istilah ini sendiri dikembangkan dari praktik pertanian tradisional menjadi praktik kebudayaan kontemporer berwatak “commoning”.
Disebutkan juga selama empat tahun terakhir, Ade Darmawan juga terlibat dalam upaya menerapkan praktik Lumbung dalam perhelatan seni akbar melibatkan sekitar 1500 seniman di berbagai belahan dunia. Sebuah sistem dan ekosistem seni yang telah mapan mendominasi di dunia, kini telah ditantang, dibongkar, dan dijungkirkan.
Mengingat ERK sendiri banyak berjejaring dengan ‘lumbung-lumbung’ kesenian komunitas mulai dari Gudskul/Ruangrupa, Ojo Keos hingga Aksi Kamisan, kandungan Rimpang sejalan dengan gerakan tersebut dan hendak mengaplikasikan dalam konteks lokalnya sendiri di kalangan penikmat musik independen.
Masih mengutip Yudhistira di VICE tentang proses produksi Rimpang di tengah semua kegelisahan dan kekisruhan yang dialami personel ERK, ada kesadaran kolektif soal pentingnya memegang teguh harapan, dan tidak jatuh ke dalam lubang keputusasaan. Harapan-harapan ini nantinya bisa menumbuhkan harapan bagi orang lain.
Wacana inilah yang rupanya menyesap ke dalam Rimpang, malih rupa menjadi narasi kecil tentang pergerakan akar rumput baik di ranah seni budaya dan komunitas.
Tinjauan Praksis Penutup
Setelah kesuksesan Rimpang menjawab beban komersil dan beban estetik lewat pencapaian-pencapaian baru, ia kini dihadapkan pada beban ideologisnya ke tataran realita.
Pascakelahirannya, mampukah Rimpang menjalankan perannya sebagai meme budaya yang sejak awal diniatkan bisa ditularkan dan menjalar secara organik? Ini penting mengingat kompleksitas ERK hari ini butuh lebih dari 3 jurus untuk menyampaikan pesan dan karenanya harus rela kehilangan daya menohoknya.
Lantas bagaimana praktik estetis yang dikandungnya kelak mampu menggerakkan praksisnya secara politis, semisal menghadapi ancaman polarisasi dan politik identitas di Pesta Demokrasi tahun depan yang diramal bakal kembali meruncing dan patut diwaspadai?
Dalam rangka inilah, giliran tugas kita semua sebagai publik pendengar yang wajib ambil bagian memainkan perannya sebagai Penerka, mendaras ulang Rimpang dan mengisahkan ulang narasi-narasinya dalam kapasitas kita masing-masing.
Sebab hanya dengan cara tersebut lah, Rimpang memenuhi nubuatnya untuk bisa terus hidup, berakar dan menjalar.
[Teks: Pry S. | Editor: Aris Setyawan]
1 komentar
Sebuah karya tulis yang mendalam dan menarik. Agak sulit untuk mendistribusikan tulisan ini, terlebih bagi saya sebagai praktisi media mainstream. Namun, saya tetap nyaman membacanya, sukses selalu Serunai.