Serunai.co
Ulasan

Sunyi di Kamar Gelap: Lustrum Ketiga Album Kamar Gelap Efek Rumah Kaca

Efek Rumah Kaca - Kamar Gelap

Pertemuan saya dengan musik Efek Rumah Kaca (ERK) dan album Kamar Gelap agak tidak semenggah sebenarnya kalau diingat. Waktu itu akhir tahun 2012 saya baru lulus SMP dan baru saja masuk SMA beberapa bulan. Pengaruh internet yang masif dan waktu itu biasa saya akses lewat warung internet (warnet) begitu mencandukan, hanya saja semenjak di SMA ada fasilitas internet gratis dengan akses 24 jam bagi siswa-siswa yang mau menginap di sekolah. Akhirnya saya lambat laun melupakan warnet dan menemukan jalan surga untuk menuju dunia maya secara gratis dengan mengganti tempat tidur saya di Joglo (nama bangunan terbuka di tengah sekolah saya yang bentuknya menyerupai joglo rumah adat gaya Jawa Tengah).

Di tahun pertama SMA hampir tiap hari saya menginap di sekolah bersama penjaga sekolah, satpam yang bergiliran piket dan beberapa teman yang bernasib sama miskinnya dengan saya yang menyayangkan untuk membuang uang ke warnet, lagi pula tahun itu warnet sudah menipis di kota kecil saya, hanya tersisa warnet khusus untuk bermain gim.

Suatu ketika saya kangen warnetan dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke warnet dekat kos, lalu seperti biasa, di sana saya mengakses banyak sekali informasi lewat menonton youtube, membaca blog, dan tidak ketinggalan mendengarkan musik. Tapi dasar masih remaja dengan libido yang sedang bergejolak, seperti kebanyakan orang, saya tentu memberanikan diri untuk mencoba mengakses visual-visual pornografi. Namun, tololnya, saya bukan mencari lewat situs yang biasa orang akses, jelas karena keterbatasan informasi dan rasa takut, dengan polosnya saya memasukkan kata kunci saru di tab pencarian youtube, tentu saja youtube tahun itu sudah terfilter dengan baik dan tidak seperti awal-awal dirilis, yang muncul bukan video yang saya inginkan melainkan keluku yang visualnya tipuan belaka dengan isi videonya.

Waktu itu entah bagaimana algoritma youtube bekerja, baris keempat atau kelima dari hasil pencarian saya terdapat judul “Efek Rumah Kaca – Kenakalan Remaja di Era Informatika [ERK]”, tentu dengan rasa penasaran saya klik dan nikmati, yang kemudian baru saya sadari itu adalah video musik dari sebuah band yang bernama Efek Rumah Kaca, bukannya menonton bokep saya malah mendengarkan lagu yang baru saya dengar dari band yang juga baru saya ketahui namanya. Kok ada nama band seperti subjudul di BAB Pemanasan Global dan Perubahan Iklim mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, pikir saya.

Yang lebih mengejutkan, di video musik itu terdapat potongan berita salah satunya memotret kasus video pornografi anak sekolah di kabupaten tempat saya tinggal, yang sialnya pula saya juga merasa pernah menontonnya di tahun-tahun sebelumnya dari pemberian teman lewat bluetooth antar gawai. Mati lah saya, “Oh, Tuhan!”. Waktu kejadian saya benar-benar ketakutan dengan kegiatan kepuberan sembrono itu, “memang benar Tuhan ada di mana-mana!” gumam saya. Dari kejadian itu saya selalu mengingat 3 hal, “Kenakalan Remaja di Era Informatika sebagai judul lagu,” Efek Rumah Kaca sebagai nama band, dan Anggun Priambodo sebagai sutradara video musik tersebut. Kebetulan yang gila betul.

Baca Juga:  Mengitari ArtJog 2024, Memaknai Ramalan Dijelang

Pengantar yang agak kepanjangan sebenarnya. Tapi saya perlu menjelaskan itu semua karena album Kamar Gelap itu akhirnya menemani banyak perjalanan hidup saya setelahnya dan setelahnya, setidaknya sampai akhirnya album Sinestesia dirilis dan berebut peran dengannya.

Setelah kejadian horor di warnet itu, malam harinya saya kembali memulai aktivitas rutin ke sekolah dan mencari tahu band macam apa itu ERK, yang berakhir dengan mendengarkan kedua albumnya, Self-Titled dan Kamar Gelap, karena kebetulan ‘meet cute’ saya dengan ERK adalah laguKenakalan Remaja di Era Informatika” yang mana masuk di album kedua, saya lebih fokus dan sering mendengarkan album kedua dari ERK.

Trio –waktu itu masih bertiga, Cholil, Adrian, dan Akbar– ERK dalam kemunculannya pertama kali dengan album perdana memang sudah mencuri perhatian, terlebih bagi para penikmat musik independen, dan tentu saja yang bersangkar di kawasan Jakarta dan sekitarnya dan segera meluas di kota-kota besar di Indonesia, orang seperti saya yang tinggal di udik wajar saja telat mengetahuinya, karena kultur pop di tahun-tahun itu sedang gencar memproduksi musik melayu, tentu saja saya terpapar hal yang sama, dan kemudian disindir habis-habisan oleh ERK lewat nomor “Cinta Melulu” dari album pertamanya, “/ Oh-oh / Lagu cinta melulu / Kita memang benar-benar melayu / Suka mendayu-dayu /.” Kedatangan ERK dalam skena musik waktu itu serasa telaga segar yang mengguyur tenggorokan-tenggorokan penuh cengkokan.

Usaha Cholil, Adrian, Akbar, dan dua orang temannya –yang kemudian keluar jauh sebelum menelurkan debut album– bertahun-tahun latihan sejak 2001 tanpa pernah manggung membuat mereka memiliki banyak tabungan lagu-lagu, hasilnya perilisan album pertama Self-Titled (2007) dan album kedua Kamar Gelap (2008) hanya berselang satu tahun, berbeda dengan perilisan album ketiga Sinestesia (2015) yang terpaut 7 tahun dengan album sebelumnya. Sehingga warna musik mereka di album pertama dan kedua tidak jauh berbeda.

Di album Kamar Gelap ada satu lagu yang paling terdengar amburadul secara tempo maupun komposisi, tetapi kalau didengarkan lebih jeli, kita serasa diajak melewati terowongan yang melingkar dan tak ada ujungnya, karena jalan masuk adalah jalan keluar itu sendiri, lagu itu adalah “Menjadi Indonesia”, judul yang disadur dari sebuah buku berjudul sama karya Parakitri T. Simbolon itu pada intro lagu terdengar biasa saja dengan gebukan tom-tom drum Akbar yang khas berpadu dengan genjrengan gitar Cholil, lalu dilanjutkan permainan jari Cholil memetik gitar sekaligusnya hilangnya suara drum Akbar, kemudian diikuti bait “/ Ada yang memar, kagum banggaku / Malu membelenggu.”

Lalu ketika memasuki verse kedua kita akan mendengarkan pukulan drum Akbar kembali dengan tempo yang rapi tapi sekaligusnya bertabrakan dengan nada lagu yang dinyanyikan Cholil, pun berdesak-desakan dengan petikan gitar yang sama, sehingga terdengar berantakan, tapi kemudian kita akan dipertemukan perpaduan yang pas dari semua instrumen yang dimainkan di tengah-tengahnya, lalu melingkar lagi dengan suara-suara yang bertabrakan dan begitu sampai lagu berakhir, seperti tak berujung. Namun, lagu ini secara keseluruhan menjadi terdengar harmoni yang unik alih alih seperti benang kusut karena isian bass Adrian yang mampu memisahkan keruwetan tersebut.

Baca Juga:  Membongkar Asosiasi Musik Metal dan Stigma Kekerasan dalam Metal Lords

Ibarat album Kamar Gelap ini tata surya kita, lagu “Menjadi Indonesia adalah Planet Pluto yang bentuk orbitnya melenceng sendiri tapi tetap sama-sama berputar mengelilingi bintang yang sama, walaupun kita tahu, sekarang Pluto sudah didepak dari tatanan tata surya kita oleh International Astronomical Union (IAU) dan dikelompokkan dengan para planet katai. Tapi “Menjadi Indonesia” tetap menjadi bagian dari Kamar Gelap yang tak mungkin dipisahkan.

Walaupun dalam kesempatan yang lain lagu tersebut pernah dibawakan secara live di stasiun televisi tanpa Cholil, dengan vokalis Adrian sekaligus memegang gitar akustik, Poppie –yang dalam perjalannya menggantikan posisi Adrian– memegang bass, dan Akbar seperti biasa tidak pernah lepas dari drum, di sana Akbar hanya menghadapi snare-drum minimalis, dengan set akustik tersebut “Menjadi Indonesia” lebih terdengar ringan namun rapi sekaligus sopan di telinga.

Kita juga mendengar “Menjadi Indonesia” digubah di album Daur Baur (2013) oleh unit keluarga ERK yang lain Pandai Besi dengan komposisi yang lebih menonjolkan instumental yang manis, yang kemudian rumusan yang sama akan banyak kita dengarkan di lagu-lagu album Sinestesia. Pada residensi ERK di Gudskul, Jagakarsa, Jakarta Selatan pada 12 Juli 2022 masing-masing personel ERK bercerita bahwa memainkan lagu ini secara live agar sama komposisinya dengan yang ada di rekaman adalah sebuah tantangan tersendir. Ya bisa kita pahami sih.

Di album ini juga ERK sangat menawan dalam memadukan petikan gitar akustik yang dimainkan secara tekstural mengikuti nada lagunya bersama distorsi gitar elektronik untuk menjadi perpaduan yang pas, seperti terdengar di lagu “Balerina”. Gaya petikan gitar yang seakan dimainkan seperti pemain piano pemula yang menggunakan dua jari telunjuknya ini hampir menjadi bagian dari semua lagu di album Kamar Gelap seperti lagu “Tubuhmu Membiru…Tragis,” kemudian kita juga akan mendengarkannya di lagu “Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa,” “Mosi Tidak Percaya,” dan “Jangan Bakar Buku.” Lalu ada komposisi permainan gitar akustik yang termaktub di nomor “Lagu Kesepian” dengan intro yang sangat khas seperti lagu “Desember” di album sebelumnya.

Dominasi instrumental di album ini yang paling kentara ada di lagu “Hujan Jangan Marah,” lagu yang isian liriknya ditulis Adrian dan jumlah katanya paling sedikit setelah lagu “Kamar Gelap” ini akan mengingatkan kita bahwa album ERK setelahnya ternyata telah memiliki embrio yang ditanam di album ini terlebih dulu pada lagu “Hujan Jangan Marah.” Saya pernah mendengungkan lagu “Hujan Jangan Marah” di sepanjang pendakian naik Gunung Semeru pada tahun 2018, bagi saya waktu itu semacam kepercayaan mantra pawang hujan agar tetesan air dari awan tidak jadi turun ke bumi, walaupun itu tentu kegiatan yang sia-sia, toh pada akhirnya saya tetap basah kuyub menuju shelter di Ranu Kumbolo. Tapi melantunkannya di sepanjang perjalanan menapaki tanah basah bukan hal yang mengecewakan.

Setelah permainan manis instrumental di tengah lagu, selanjutnya genjrengan gitar Cholil akan mengawali klimaks eargasm di lagu “Hujan Jangan Marah,” puncaknya Cholil meneriakkan “/ Hujan, hujan jangan marah /” yang dilantunkan dengan lambat. Kita akan otomatis membayangkan visual slow motion, diikuti backing vokal yang menambah kesyahduan lagu ini. Ketika bagian itu mengalun, visual saya selalu mengarah pada lukisan karya F. Sigit Santoso berjudul Moksa Menuju ke Surga yang terpajang di rumah sekaligusnya koleksi pribadi Butet Kartaredjasa, menggambarkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang telanjang dada, berkopiah hitam dengan lambang malaikat di atasnya yang seakan-akan melayang dan terbang diantara awan-awan menuju tempat tak terbatas.

Baca Juga:  Membaca Setelah Boombox Usai Menyalak

Lagu ini juga selalu mengingatkan saya dengan lagu “Merintih Perih” milik Sore di album Ports of Lima yang kebetulan sama-sama dirilis tahun 2008, apalagi video musik lagu tersebut juga kebetulan divisualisasikan di saat hujan dengan kelima personel Sore memakai ponco hitam sembari seolah-olah bermain alat musik.

Pada nomor “Laki-Laki Pemalu” yang keyboardnya diisi Mondo Gascaro juga menjadi ciri khas lagu itu. Kalau kata pentolan band Sore Ade Paloh, “Mondo itu sentuhannya memiliki sifat kelam yang punya energi terang yang biasa disematkan pada karya-karya Sore dan itu juga sedikit dicipratkan di lagu “Laki-Laki Pemalu,” sehingga perpaduan lagu itu menjadi semakin magis dengan nada-nada minor dan melodis yang sendu ditambah lirik yang deskriptif tapi tidak lugas membuat khayalan kita ke mana-mana.”

Lagu “Banyak Asap di Sana” secara tegas mengkritisi urbanisasi pemuda-pemuda desa yang fomo pergi ke kota untuk mengejar hidup yang layak, namun bukan hal manis yang dipetik, justru mereka akan berjibaku dengan probematika kota tentang ketimpangan dan polusi yang tidak menjawab mimpi-mimpi mereka. ERK seakan ingin berkata “Kota bukanlah jawaban, ya, Lhe, Nduk!”.

Penampilan Efek Rumah Kaca di konser Rimpang. Lagu-lagu dari Kamar Gelap juga dibawakan di konser ini.
Penampilan Efek Rumah Kaca di Konser Rimpang. (Foto: Kebo)

Perkenalan saya dengan ERK memang bukan dengan nomor-nomor hitsnya seperti “Desember” atau “Cinta Melulu” atau “Di Udara”, tapi dari lagu “Kenakalan Remaja di Era Informatika” yang mengingat judulnya saja bikin pening. Tetapi lagu itu yang selalu membekas dan tidak pernah akan saya lupakan, dan penampilan ERK akhir-akhir ini –saya 2 bulan terakhir menonton 2 kali penampilan ERK di Yogya– setlist yang dibawakan selalu memuat lagu “Kenakalan Remaja di Era Informatika” yang bisa dibilang lagu itu sangat jarang dibawakan di panggung-panggung reguler mereka, karena itulah ingatan saya tersepak ke belakang mengingat hal-hal pertama kali saya bersentuhan dengan ERK.

ERK Kabarnya akan hiatus sampai pertengahan tahun depan. Mungkin mereka memang perlu rehat sejenak dari keriuhan dan rutinitas panggung, dan mungkin karena alasan yang berulang, Cholil akan meninggalkan Indonesia lagi (?). Entah apapun itu alasannya, kita para pendengar saatnya bisa merayakan Kamar Gelap di usianya ke 15 tahun tidak dengan gemerlap. Seperti judul albumnya, di kamar gelap, dengan kesunyian, dalam kesendirian, pada jiwa-jiwa kesepian, dan tentu saja sedikit dibalut tangisan tidak apa-apa, “/ Biar tubuhmu berkelanan, lalui kegelisahan / Mencari keseimbangan, mengisi ketiadaan / Di kepala dan di dada /.”

Selamat Lustrum ketiga Kamar Gelap.

Penulis: Restu Aka

Editor: Aris Setyawan

Related posts

Wong (Nom) Dermayu Ngomong: Bagaimana Ketercerabutan Dicatat oleh Tangan Pertama

Galih Nugraha Su

Don’t Look Up: Ilustrasi Apokaliptik yang Rasional

Villarian

Jazz dan Basis Komunitas: Catatan dari Jazz Camp 2024

Amos Ursia

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy