Berbeda dengan silat lazimnya yang kerap dilakukan di lapangan olahraga, malam itu beragam gerak silat seperti gerak memukul, menendang, bertahan hingga posisi kuda-kuda, dipergelarkan di arena pertunjukan.
Sebuah pertunjukan dalam bingkai tari kontemporer bertajuk Pesona Silat Jawa Minang dihelat di empat tempat, yakni: Gedung Hoeriyah Adam ISI Padang Panjang pada 12 Agustus 2016, Taman Budaya Surakarta Jawa Tengah pada 6 September 2016, Auditorium Universitas Muria Kudus pada 8 September 2016, dan NuArt Sculpture Park Bandung pada 10 September 2016. Mempertemukan dua repertoar yang berjudul “Tonggak Raso” dari koreografer Minang, Ali Sukri, dan “Tra.jec.to.ry” dari koreografer Surakarta, Eko Supriyanto alias Eko Pece, pertunjukkan itu memberi warna baru pada silat dan inovasinya dalam seni tari.
Selasa malam itu (6/9), saya beruntung dapat menyaksikan salah satu pertunjukan tari kontemporer dengan basis manifestasi tradisi yang tegas, yakni silat. Sebuah seni pertahanan diri yang tidak hanya sebatas tubuh bergerak, baik untuk menyerang ataupun bertahan (olah raga), tetapi juga turut mementingkan pengaturan emosi (olah rasa).
Silat telah berkembang sesuai dengan rentetan trayektori (lintasan) yang tidak sebentar, terlihat dari kembangan silat-silat lainnya dari olahraga ini. Berkenaan dengan hal ini, Alexander, Howard, Chamber, dan Draeger dalam buku Pentjak Silat The Indonesian Fighting Art yang diterbitkan Kodansha Internatioal LTD pada 1970 menyatakan bahwa pencak silat telah berkembang sejak era kerajaan Majapahit, bahkan sebelumnya. Jika trayektori itu dirunut, maka silat di Indonesia telah bertahan di pelbagai era, antara lain era kerajaan, era kolonialisasi, dan era kemerdekaan. Keberadaan silat di pelbagai era ini bisa menjadi pijakan dalam melihat kesenian dengan basis silat serta interpretasinya dalam seni kontemporer.
Terkait dengan seni berbasis silat, sebenarnya kesenian semacam ini bukanlah hal baru di trayektori kesenian Indonesia. Kesenian Kuntulan di Jawa Tengah, Randai di Minangkabau, Palang Pintu di Betawi, serta pelbagai kesenian lain turut menggunakan silat sebagai dasar dari gerak tarinya. Dalam jagad tari kontemporer pun, silat telah malang-melintang sebagai akar kekaryaan para seniman. Sebut saja Ery Mefri dari kelompok tari Nan Jombang Dance Company yang konsisten mencipta karya dengan basis silek (silat Minangkabau). Selain itu ada karya tari yang berjudul “In Between”, sebuah karya kolaborasi dari Katia Angel dan Benny Krisnawardi pada Indonesian Dance Festival 2014 silam. Tak hanya sebagai inspirasi dalam karya tari, silat turut digunakan pada instalasi dalam seni rupa, misalnya karya Pang Warman dan Fajar Suharno berjudul “Fajar Menolak Gerhana” di Pameran Seni Rupa Duh Gusti pada 2015 di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM.
Bertolak dari pelbagai contoh di atas, kendati silat bukanlah hal baru dalam karya tari, hal yang menarik dari kedua repertoar dalam Pesona Silat Jawa Minang ini adalah interpretasi kedua koreografer dalam memaknai dan memperlakukan silat di dalam karyanya. Dalam bingkai tari kontemporer ini memungkinkan daya kreativitas para seniman dapat diakomodasi secara lebih bebas, terbuka, juga beralasan.
Satu panggung
Pada pertunjukan di Taman Budaya Surakarta, Jawa Tengah, repertoar karya Ali menjadi nomor pembuka. Urutan repertoar rupanya berubah-ubah di tiap kota. Saat tampil di Padang Panjang, misalnya, repertoar Eko lebih dahulu dipentaskan. Cara ini agaknya dipilih untuk bisa menampilkan dua repertoar pada empat kali pertunjukan secara seimbang, tanpa menitikberatkan pada salah seorang koreografer.
Mengawali pertunjukan, Ali menampilkan beberapa jurus dari silek yang telah dikombinasikan dengan pelbagai gerak. Alih-alih gerakan layaknya silek tuo sebagai pertahanan diri, gerak silek justru ia gunakan sebagai pondasi dari tiap formasinya saja, seperti: kuda-kuda, posisi menyerang, bertahan. Pondasi gerak itulah yang ia gunakan sebagai dasar pengembangan gerak-gerak sisipan lainnya, seperti melompat, hingga akrobat.
Beberapa menit berselang setelah Ali melakukan beberapa jurus pembuka, samar-samar tampak enam penari telah duduk saling berhadapan dengan sebuah cermin yang berkaki di setiap sudutnya. Perlahan musik dengan irama yang monoton mulai terdengar, tanda para penari mulai bergerak. Tidak secara serempak, satu per satu penari mulai menarik cerminnya masing-masing dan berjalan ke tiap sudut yang berbeda. Mereka mulai melakukan gerak di depan cermin : memukul, menendang, melompat, hingga berguling, seakan sedang berkelahi dengan dirinya sendiri.
Sepanjang repertoar, beragam gerak pun turut berkembang, dari gerak silat sebagai pondasi, hingga gerak silat yang hanya menjadi isi—di mana pondasi gerak adalah gerak yang bukan silat, seperti: duduk di sudut cermin layaknya orang tertekan dan sesekali memukul atau menendang. Ali tidak hanya memfungsikan cermin sebagai properti semata, namun menjadi artistik panggung yang menyatu dengan tarian. Cermin-cermin tersebut dapat mereka perlakukan semaunya : ditelentangkan, hingga disusun menjulang ke atas.
Bersamaan dengan variasi penggunaan cermin tersebutlah para penari dapat bergerak secara bebas. Cermin dapat mereka perlakukan semena-mena dengan meninggalkannya di sisi yang lain, sementara mereka membentuk interaksi gerak yang lebih memanjakan mata di sisi lainnya. Di dalam repertoar ini, Ali turut mempertunjukan gerak-gerak silat dan kesulitannya secara detil, terlihat dari pelbagai gerak perlahan—layaknya slow motion—tetapi tetap menyimpan unsur tegas.
Di akhir pertunjukan, Ali kembali masuk ke dalam panggung untuk mempertunjukan lagi gerak silek dan akrobatik di antara cermin-cermin yang tersusun sejajar. Ia berjalan dan melompat di antara cermin, lalu membiarkan tubuhnya berayun di antara cermin-cermin yang terpasang. Masuknya Ali dalam panggung seakan menyiratkan bahwa pertunjukan telah menuju klimaks, terlebih ketika Ali melakukan gerak di antara cermin yang mengelilinginya. Keenam penari lainnya maju mundur mencondongkan cermin ke arah Ali sehingga menambah efek dramatis pada pertunjukan, seakan menyiratkan tubuh yang terdistorsi dengan pelbagai hal namun menyimpan semangat untuk tetap terjaga. Dari sinilah Ali meletakkan silat sebagai tonggak dalam menghadapi pelbagai perubahan—layaknya judul dalam repertoar tersebut, “Tonggak Raso”.
Di dalam repertoar ini, Ali memang ingin merespons perkembangan kebudayaan terkini dengan menggunakan silat sebagai representasi tonggak pertahanan dari berbagai pengaruh luar. Hal ini terlihat dari bentuk tarian Ali yang tidak meninggalkan beragam gerak dari silek. Namun, Ali melakukan stilisasi—bagi kritikus senior Sal Murgiyanto (2016), stilisasi merujuk pada kejelasan bentuk dan kaitan dengan citra yang hendak diwujudkan, singkat kata berubah dan berbeda dari gerak asli—pada pelbagai gerak silek dan memadukannya dengan ragam gerak melompat dan akrobatik.
Repertoar Ali ini terasa ramai, dengan beragam gerak, juga beragam interaksi dari enam penari di panggung. Mulai dari gerak individu hingga gerak rampak silat yang dilakukan secara serentak. Bertolak dari repertoar ini, Ali ingin menunjukan kompleksitas tubuh di dalam budaya, yang tersirat pada beragam gerak dengan durasi pertunjukan yang tidak sebentar.
Tak berselang lama setelah usai repertoar pertama, dalam cahaya padam yang perlahan menerang, terlihat sesosok tubuh tengah melakukan gerak kuda-kuda yang sesekali ia sisipi dengan pukulan dan tendangan. Eko Pece, sesosok tubuh itu, memulai repertoar “Tra.jec.to.ry” dengan melakukan beberapa gerak pencak silat. Gerak-gerak dalam pencak tersebut adalah dasar yang menginspirasi Eko dalam mencipta karya. Selain gerak pencak, ia juga menunjukan sejauh mana gerak tersebut dapat berkelindan dengan gerak lainnya. Ia melompat ke beberapa sisi secara perlahan dengan dihiasi gerak-gerak menggeliat dan melompat layaknya gerak lompatan dalam balet. Ditemani dentingan piano, Eko menunjukkan eksplorasi atas gerak pencak hingga cahaya panggung kembali memudar.
Dalam cahaya pudar nan samar, seorang penari memasuki panggung secara perlahan. Alih-alih melakukan jurus, penari tersebut menggelinding, rol depan dan rol belakang, memutari sisi panggung dengan durasi hingga lima menit. Beberapa menit setelahnya, para penari dari pelbagai sisi, seperti dari pintu masuk, bangku penonton, dan bagian belakang panggung bermunculan lalu berkumpul di tengah panggung. Penari yang tadi bergelindingan menghentikan gerakannya untuk berdiri bersama kelima penari lainnya.
Perlahan terdengar iringan musik electronic dance music (EDM) yang menghentak namun tetap terkesan monoton, menimbulkan kesan repertoar yang berbeda dengan iringan dan konotasi silat pada umumnya. Tanpa gerak wantah silat, mereka mulai bergerak seirama dan serentak dengan gerak yang sederhana. Terinspirasi dari gerak kuda-kuda silat, mereka mulai bergerak dengan tangan mengepal dan formasi kaki yang beragam, lalu bersamaan maju ke depan, mundur ke belakang, hingga serong ke kiri dan ke kanan. Setelahnya mereka mulai mengangkat sehelai kain dengan panjang sekitar 90 sentimeter lalu merentangkannya di atas kepala masing-masing. Mereka berputar ke arah yang berlainan, membuat gerak semakin beragam. Formasi kaki pun kembali mereka pertunjukan dengan kain yang mereka sengaja putar, membuat gerak semakin berwarna.
Kendati gerak yang dipertunjukan sederhana, gerak kaki yang dilakukan secara bersamaan ini justru memesona. Gerak ini tidak mereka perlakukan seragam di seluruh repertoar. Di tengah pertunjukan, mereka berganti-ganti melakukan gerak kaki seperti di awal pertunjukan, lalu melakukan gerak memutar mengelilingi arena pertunjukan. Di akhir repertoar, seorang penari melakukan gerak berputar di tempat tanpa henti, layaknya tarian sufi, hingga cahaya memudar perlahan, menandakan bahwa pertunjukan telah usai.
Bertolak dari repertoar “Tra.jec.to.ry”, Eko yang memiliki dasar silat dari pergurusan silat BIMA tidak secara wantah menggunakan basis pencak itu di dalam repertoarnya. Ia lebih memilih menggali lebih mendalam, menelusuri secara filosofis, dan menginterpretasikannya dengan pelbagai gerak yang justru memperkuat identitas silat itu sendiri. Kecerdikan dan kecermatan Eko melihat nilai dari tiap gerak silat telah membuatnya menciptakan gerak yang berbeda namun mempunyai semangat yang sama dengan silat. Namun, hal tersebut tidak ia dapatkan secara praktis. Kecermatannya justru terbentuk berdasarkan pengalaman Eko dengan praktik silat yang ia dapatkan sedari kecil. Dari sinilah refleksi yang mendalam di dalam karyanya tercipta. Akhirnya bukan lagi persoalan bentuk silat yang ditampilkan, dalam “Tre.jec.to.ry” Eko memilih mengangkat semangat dan nafas dari silat. Kendati tidak terlampau banyak jurus atau gerak yang digunakan, konotasi maskulin dari tiap penari Eko masih sangat kental terasa. Peluh yang bercucuran di antara gerak lompatan atau memutar membuktikan adanya intensitas gerak konsisten di dalam karya Eko, yang tidak kalah dengan silat sebenarnya.
Silat dalam dua koreografi
Inilah jadinya ketika suatu hal yang berkonotasi tradisi masuk dalam ruang kontemporer, yakni ruang yang memungkinkan tiap hal terwujud, tiap kreativitas terlaksana, dan tiap interpretasi dapat dipertunjukkan. Bagi sebagian kalangan, nomor-nomor seperti ini bisa jadi dianggap menjemukan. Namun, jika semua kalangan melihat tarian ini secara menyeluruh, kiranya sebuah pesan dan interpretasi penting dapat dipetik sebagai refleksi terhadap konteks kehidupan saat ini.
Tari kontemporer di Indonesia—yang memang berbeda dengan akar pembentukan tari kontemporer di Barat, di mana di Indonesia tradisi menjadi akar dari kontemporer—justru dapat menginterpretasikan kembali tradisi serta mengimplementaskannya pada generasi X dan Y kini yang sudah tidak peduli dengan hal-hal semacam itu. Hal ini menandakan bahwa inovasi adalah bagian dari tradisi yang tidak bisa dikhianati keberadaannya.
Semangat inilah yang tercermin dari dua karya koreografer dengan usia matang, Eko Pece dan Ali Sukri di dalam karyanya “Tonggak Raso” dan “Tra.jec.to.ry” telah menjadi bukti keberhasilan interpretasi koreografer atas silat dengan basis budayanya masing-masing. Ali Sukri menggunakan silek sebagai perumpamaan kontestasi budaya dan pengaruh eksternal lainnya, sehingga gerak silek masih dapat disaksikan di sepanjang repertoarnya. Sedangkan Eko Pece menginterpretasikan silat sebagai semangat dan nilai filosofis, yang kabur dalam gerak ansih silat, tetapi tegas dalam semangat dan kesan.
Dari situ kita dapat melihat bahwa tarikan kontemporer dapat dilakukan hingga batas yang tidak terkira, namun tetap terejawantahkan dalam visual karya (tersurat) dan kesan pertunjukan (tersirat). Lantas kedua hal ini membentuk, baik disadari ataupun sebaliknya, sebuah pengalaman yang berbeda untuk penonton.
Dua koreografi itu pun tidak lagi merujuk pada tari tradisi lazimnya yang menggunakan cerita atau epos tertentu sebagai landasan karya, namun lebih mengutamakan daya kreativitas dan intuisi penciptaan yang berasal dari diri sang koreografer itu sendiri—yang dalam hal ini kerap disebut ‘post-dramatic’ [merujuk pakar teater Jerman, Hans Thies Lehman via Murgiyanto (2016)]. Namun, koreografi post-dramatic tidak semata-mata bersifat eksperimental dan ‘seenaknya’. Koreografi dalam kategori karya ini pun turut membutuhkan kualitas stamina, endurance, konsistensi, konsentrasi dan penjiwaan dari para penari yang telah berlatih jauh hari sebelum pentas—persis dengan latihan tari pada umumnya, demi tersampaikannya pesan yang disematkan oleh koreografer.
Maka penonton memetik pesan yang disematkan koreografer ketika repertoar ditampilkan. Penonton diajak untuk mendapatkan ‘kejutan-kejutan’ pertunjukan dan menginterpretasikan kembali makna dari koreografi yang divisualkan para penari, baik secara parsial maupun utuh. Syukur-syukur tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi refleksi untuk para penonton—khususnya para generasi millennial kini—dalam bermasyarakat dan berbudaya.