Sejak tembang dakwah Sunan Kalijaga diwariskan turun-temurun lima abad yang lalu lewat pentas wayang, kreativitas seniman meniru realita dan mengkreasikan ulang pengalaman khasnya kepada banyak orang selalu menarik diulas.
Hingga dinobatkannya Badai Pasti Berlalu jadi Album Terbaik Sepanjang Masa agar terus menginspirasi banyak orang, musik Nusantara dalam khazanah budaya populer diramu ‘tuk menyentuh human interest banyak orang lewat bait pengharapan baik dan komposisi melodi yang apik.
Posisi unik komponis sebagai pengampu karya juga kita elu-elukan karena kemahirannya memberi petuah bijak dan kaidah cinta lewat lagu. Dari sekadar hiburan, musik lantas kita angkat jadi sumber afirmasi yang membantu pendengarnya membuat perubahan signifikan dalam hidup.
Dalam posisi sebagai nabi barunya umat modern, musisi seakan punya tempat khusus dalam struktur kelas. Ia direpresentasikan untuk hadir sempurna ke hadapan audiens pendengarnya. Agar se-muluk apapun gombalan yang dilantunkan sang musisi idola, telinga pendengarnya bakal otomatis kompak mengamini dan bersetuju dalam gelombang massa.
Fenomena Linguistic Turn
Yang menarik, dalam kurun beberapa dekade terakhir ada semacam pergeseran diskusi dan diskursus dalam merespons dampak globalisasi dunia dan pasar bebas yang berdampak mengancam kultur lokal. Ditingkahi resistensi atas aksi kongkalikong negara dengan pelaku pasar, dalih kebijakan rezim demi rezim nyatanya masih mengorbankan kepentingan masyarakat adat dan terus mengancam kelestarian lingkungan.
Kita jadi semakin mudah mencontohkan musisi yang melek, melancarkan kritik radikal, mudah marah dan reaksioner, dengan sikap tak lagi santun lewat lirik lagu sebagai senjata.
Dengan strategi politik bahasa ini lah, fenomena linguistik turn hendak membinasakan janji-janji kaum modern yang kini tak lagi laku zaman.
Lewat politik bahasa, fenomena linguistik turn ini hendak membinasakan janji-janji kaum modern yang kini tak lagi laku zaman.
Gerbang nihilisme yang telah dibuka Kurt Cobain dan Seattle Sound 90-an lewat gelombang kemarahan Gen-X belasan ribu kilometer jauhnya, kini sampai dengan selamat dan paripurna ke Nusantara.
Musisi lokal pun ikut memamerkan kekecewaan, menebarkan protes, menyitir sindiran hingga menggelar aksi destruktif semisal menghancurkan alat musik sebagai sikap ikut menyuarakan anti terhadap apapun.
Tengok saja Koil yang membuka milenium baru di 2001 dengan mengejek paham nasionalisme lewat refrain di lagu “Kenyataan Dalam Dunia Fantasi:”
Nasionalisme untuk negara ini menuju kehancuran
Nasionalisme menuntun bangsa kami menuju kehancuran
…untuk lantas menyentil jidat pendengarnya sendiri dengan lirik-lirik anarkistis di penutup lagu nomor “Sistem Kepemilikan:”
Kamu dididik untuk bermimpi
Kamu terbiasa dibohongi
Kamu dihibur ikut bernyanyi
Kamu miskin bodoh dan sombong
Kalau ini belum cukup taji, simak juga demistifikasi cinta ala Efek Rumah Kaca lewat nada-nada falsetto di track “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja”, makian apolitis-nya Iksan Skuter di nomor “Partai Anjing”, atau anti materialis-nya Fourtwnty di single “Zona Nyaman”.
Sementara itu sebagian kecilnya lagi berasyik masyuk dengan narasi kecil main-main yang terjadi di ranah privat keluarga dan tongkrongan sepermainan hingga kelakuan hewan peliharaan, alih-alih bicara tentang ketakjuban dunia.
Simak saja celoteh Zeke Khaseli di “11.01” (Salacca Zalacca) perihal fobianya naik pesawat, atau curhat Danilla Riyadi di “Fel d 1” (Pop Seblay) soal alerginya terhadap kucing. Fenomena semacam ini kelak menjadi tanda aktual perubahan lanskap lokal ke arah gaya musikalitas yang berbeda dengan musisi angkatan sebelumnya.
Dalam rangka inilah, esai berikut hendak mengetengahkan karya solo musisi pendatang baru bernama Baskara Putra (Bas). Hadir perdana lewat debut Menari Dengan Bayangan (2019), publik tiba-tiba disuguhi racikan musik pop alternatif pada umumnya namun dengan praktik story telling yang tidak biasa.
Background Debut Hindia
Sebagai project moniker Bas menggunakan nama Hindia, album debut Menari Dengan Bayangan (MDB) tampil blak-blakan lewat bait-bait lirik yang mengisahkan personal life dengan segala keremehannya yang banal dan topik jam-jam overthinking kesendiriannya.
Alih-alih menawarkan obat pengharapan bagi problematika remaja 20+ seusianya, Bas sibuk menjadikan Hindia sarana mengenang cinta monyet, nama-nama mantan dan perempuan pujaan di hidupnya (“Rumah ke Rumah”), ruwetnya pengambilan keputusan budak korporat setiap hendak lunch (“Jam Makan Siang”), sambil menyusuri sepinya rumah dan mengajukan pertanyaan retoris akan hilangnya romantisisme dalam hubungan keluarga (“Untuk Apa/Untuk Apa?”).
Seraya menyebut nama seseorang tanpa rujukan konteks yang memadai (tak lain adalah teman Bas di real life-nya), Hindia juga mengumbar surem-nya masa depan (“Besok Mungkin Kita Sampai”), mengaduh galau ke 1000 Tuhan (“Evakuasi”), untuk kemudian mengakui secara terbuka kegagalan (“Secukupnya”). Semua itu dilakukan sambil mengajak pendengarnya merayakan kesedihan ini bersama-sama.
Bermodal 12 lagu + 3 rekaman voice note kiriman orang-orang terdekat, Bas merelakan debut album Hindia bak buku diary yang kehilangan privasinya.
Meski ada upaya keras menghindari false positivisme dan idiom-idiom yang mengandung harapan palsu, Bas tampak membiarkan dirinya hadir jadi tokoh sentral yang sedang curhat tentang dirinya tanpa diminta.
Metafiksi Baskara Putra
Lewat MDB, Bas menyulap musik sebagai inkubator kaca yang memudahkan publik menelanjanginya secara transparan. Alih-alih menyederhanakannya sebagai jebakan narsisisme seniman, MDB di naskah ini tetap harus dipandang sebagai karya seni yang merekam realita dan menceritakan ulang pengalaman khasnya dengan menciptakan tokoh meta fiksi bernama Baskara Putra sebagai musisi yang rapuh, bisa saja salah, penuh cela dan menyimpan trauma.
Kalaupun ia direpresentasikan hadir untuk menari dengan (bayangan) problematika hidupnya sendiri, strategi metafiksi MDB seperti demikian menurut penelusuran kami belum pernah dilakukan siapapun sebelumnya di lanskap musik Nusantara.
Wajar bila pasca-debut ini rilis, waktu yang singkat membuktikan bagaimana MDB diganjar kesuksesan statistik: angka 1 juta monthly listener di Spotify hanya dalam waktu kurang dari 1 tahun sejak single pertamanya dirilis pada 2019.
Dampak yang paling kentara tentu saja bagaimana engagement pendengarnya tumbuh secara organik dan menyulap kolom komentar sosial media Hindia jadi wadah konseling mental health warganet yang kompak saling menguatkan.
Hingga empat tahun berselang ke 2023, Hindia comeback dengan album kedua bertajuk Lagipula Hidup Akan Berakhir (LHAB). Album yang hendak diketengahkan dalam tulisan ini. Seperti laiknya album kedua musisi manapun yang menanggung beban kesuksesan album pertama, LHAB tak luput dari takdir yang sama.
Pertanyaan-pertanyaan seperti hits single apa lagi yang hendak diluncurkan, topik mental health macam mana lagi yang bakal ditontonkan, pengulangan tema formula lama seperti apa yang bisa dilacak, hingga dampak publik seperti apalagi yang sekiranya bakal muncul, semua jadi checklist menuju proses penilaian objektif ketika esai ini hendak digagas sebagai esai kritik seni.
Terlebih lagi, tokoh ‘Baskara Putra’ dengan lagu-lagunya di MDB kembali hadir di nomor terakhir LHAB berjudul “Nabi Palsu:”
Di sebuah kota, pinggir Jakarta
Ada seorang anak belajar dansa
Dengan bayangannya, dengan lukanya
Dibalut lagu, sedikit pas-pasan
Dan tanpa disangka, mimpinya jadi besar
Awalnya ia dambakan, ternyata merepotkan
Kuatnya kandungan metafiksi di atas, ketika Bas tengah menceritakan tentang dirinya sendiri, menandai LHAB sebagai babak baru dan beban takdir pascakesuksesan album pertama yang tak diduga-duga.
Batasan dan Kesulitan LHAB Milik Hindia
Namun, saat proses penulisan esai ini berjalan, kami menemui kesulitan muncul dari banyaknya materi. Pasalnya jumlah track dalam LHAB sendiri memuat 24 lagu + 4 skit (obrolan guyonan dalam lakon pendek) dengan durasi total hampir dua jam penuh. Artefak kreatif model begini kian langka dijumpai di era potongan musik generasi Tiktok 10 detik seperti sekarang.
Belum lagi dengan melebarnya kandungan tema khas metafiksi narasi kecil ala MDB, kini melibatkan obrolan serius soal dunia yang katanya akan segera berakhir. Ada apa gerangan?
Kehadiran personal note di situs web www.hindia1024.com yang memuat catatan pinggir LHAB juga cukup mengejutkan, seiring melimpahnya sumber primer berupa video lirik di channel Youtube dan simbol-simbol sinematografis di enam video klip yang dilepas sekaligus dengan format fisik album dalam package box set. Tak lupa tur konser album di empat kota dengan tajuk khas berbeda-beda yang berlangsung selama penulisan naskah ini dirampungkan.
Dalam batasan dan kesulitan-kesulitan tersebutlah esai ini digarap sesuai expertise kolaboratornya di bagiannya masing-masing. Karenanya, tidak semua ranah interpretasi di LHAB bisa kami garap.
Kolaborasi Penulis Serunai
Dalam hal ini, kami beruntung Redaksi Serunai mempertemukan project kolaborasi naskah ini dengan penulis lain secara organik yang punya minat sama terhadap kompleksnya LHAB.
Mereka yang masuk dalam Tim Liputan Hindia LHAB sebagai kolaborator adalah Pry S., penulis lepas dan programmer paruh waktu; Chasya Clementine, pelajar SMA dan pendengar berat Hindia yang tengah menekuni hobinya sebagai penulis pemula. Hadir pula Anto Arief, pemimpin redaksi situs web musik pophariini.
Sebagai pelengkap, esai ini juga akan memuat visualisasi data dengan bantuan Spotify API, Looker Studio Google, dan sejumlah kutipan Bas hasil wawancara tatap muka satu jam penuh dengan Tim Liputan di bilangan TPU Jeruk Purut pada 12 September 2023 lalu.