Bangunan berarsitektur industrial menyapa saya saat berkunjung ke Semesta’s Gallery di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Tampak suasana rindang dan hijau seperti membawa saya di suatu tempat yang “bukan Jakarta” karena waktu melambat saya rasakan, kepadatan, bising dan kemacetan juga tak saya dengar. Orang menggelar alas piknik di bawah pohon, suasana damai memenuhi kalbu saya. Almarhum Ahmad Djuhara, yang juga Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) periode 2018-2021 menjadi sosok yang mendesain bangunan galeri tiga lantai tersebut. Karya-karya Andra Semesta yang coba saya kulik dalam tulisan ini berada di lantai dua dan tiga galeri, sementara studio lukisnya berada di lantai paling atas.
Saya mengetuk pintu yang terbuat dari kaca pada hari Sabtu sore itu, 23 September 2023. Seorang pria berperawakan tinggi, berkacamata, dan berambut sebahu membukakan pintu sambil menyapa dengan senyum. Sebuah lagu Barat saya dengar ketika memasuki studio tersebut. Minimnya referensi musik yang saya punya membuat saya tak bisa mengidentifikasi siapa sang puan yang melagukannya.
Dia mempersilakan saya masuk ke studio yang diisi oleh kanvas, beberapa karya lukisan, sebuah meja, dan beberapa kursi. Pria itu bernama lengkap Ardiandra Achmadi Semesta, kelahiran Jakarta, 28 April 1991. Kaos warna hitam bertulis Kuntari dengan gambar seorang sufi dikenakannya, Kuntari merupakan proyek musik eksperimental yang dibuat oleh musisi Bandung, Tesla Manaf. Mendengarkan mode suaranya yang tergolong cepat, saya menyimak Andra Semesta bercerita terkait beberapa lukisan yang sudah dan tengah dia kerjakan. Kemudian saya mewawancarainya terkait proses kreatif yang ditempuhnya dalam berkarya.
Seni Meditatif Mandala ala Andra Semesta
Memperhatikan sebagian besar karya Andra, kanvas yang sering dia gambar berbentuk lingkaran atau Mandala. Di dalam bahasa Sansekerta, Mandala diartikan sebagai pola atau bentuk melingkar, bundar, orbs, sphere, yang semuanya merujuk pada lingkaran. Konsep ini tak asing dalam ajaran Hindu dan Buddha. Mandala bisa menjadi instrumen untuk memusatkan perhatian dan konsentrasi, lebih dalam lagi bisa membawa seseorang untuk terhubung dengan Tuhan.
Andra Semesta memulai ketertarikan pada konsep Mandala sejak SMA sekitar 2008-2009. Hobinya dalam membaca buku dan melihat pameran menariknya pada konsep Mandala, terutama Mandala yang bersifat spiritual. “Saya suka dengan bentuknya. Bentuk-bentuk karakternya. Kayak komposisinya yang lingkaran dan biasa ada sisinya, empat sisi atau delapan sisi. Ada sesuatu yang menarik saya,” ungkapnya.
Dari ketertarikan tersebut, Andra banyak membaca soal Mandala hingga akhirnya dia menemukan sisi psikologis Jungian dan spiritualis Buddhism dari konsep Mandala yang dia terapkan dalam karyanya. Mandala dalam bentuk berfungsi sebagai terapi seni (art therapy). Dia mafhum, ketika seseorang menggambar apa pun yang dirasakan di dalam lingkaran, lalu menggores bentuk dengan mengikuti nalar/rasa, maka akan bisa menghasilkan sisi-sisi terapis. Seseorang bisa merefleksikan apa-apa yang ada di pikirannya. Prinsip itulah yang tercermin dalam karya-karya yang diberi judul besar, Music Mandala Paintings.
Semangat spiritual-psikologi dari Mandala itulah yang membuatnya tekun dalam menggambar. Dia bisa mengeluarkan berbagai perasaan dan pikiran yang tengah menggelayutinya. Apalagi saat zaman-zaman SMA berbagai emosi perlu dikeluarkan, baik itu rasa sedih, marah, bahagia, hingga perasaan terinspirasi. Gambarnya mendeskripsikan hal-hal yang ia hadapi pada masa itu. Sejak muda ia menciptakan keindahan baru melalui seni rupa.
“Rutin aja gitu, bisa setiap hari saya menggambar lingkaran di kertas, lalu menggambar apa yang ada di isi hati saya. Sampai sekarang juga masih,” ujar Andra sambil menunjukkan kepada saya buku lukis yang berisi gambar-gambar di dalam lingkaran, “Ini sudah practice dari bertahun-tahun yang lalu,” tegasnya yang secara tidak langsung menekankan pada saya jika pengulangan-pengulangan autodidak tanpa henti dalam menggambar Mandala telah membuatnya berada di keahlian yang levelnya seperti sekarang. Apalagi sejak kecil, Andra hobi membuat komik dan menggambar doodle.
Sebagai bentuk artistik dan komposisi, dia merasa cocok dengan lingkaran. Dia menjabarkan lingkaran memiliki sisi yang tak terhingga tapi memiliki pusat. Rasa tak terhingga itu diibaratkannya sebagai kebebasan, sementara pusat diibaratkan sebagai suatu hal yang terfokus—yang saya artikan sebagai sisi Ilahi atau tujuan tertentu yang hendak dicapai.
Ketertarikan pada Musik
Musik menjadi ketertarikan lain yang sangat digandrungi oleh Andra. Kala dia menjalani proses menggambar, dia juga sekaligus mendengarkan berbagai lagu-lagu dari album yang dia senangi. Tahun 2010 ketika dia memasuki dunia perkuliahan, kemudian dia menggabungkan konsep Mandala yang memiliki muatan psikologi-spiritual dengan musik. Sepanjang pengalamannya, menggambar dengan mengikuti musik lebih memberinya bebas.
“Sampai sekarang itu menjadi sesuatu yang konstan, paling natural. Saya ada enjoyment dan sebagai art therapy sendiri itu sambil menyalakan musik atau album yang lagi saya rasakan. Atau album yang mau saya lihat kira-kira bentuknya bakal jadi bagaimana itu saya lukiskan di dalam kanvas,” jelasnya.
Andra melanjutkan, dia memilih genre musik alternatif dan eksperimental, yang cenderung ke folk dan rock dengan alasan tipe tersebut banyak diisi oleh musisi yang idealis dan secara artistik lebih inspiratif. Musisi di genre itu melagukan musik dan menciptakan seni yang menurutnya lebih indah, karena visi yang diusung pun jelas. Jika dia mendengar ketukan atau konsep lirik yang membuat pikirannya terpusat pada sesuatu, hal itu akan membawanya membuat pola unik tertentu.
Hal-hal seperti itu juga dia dapat dari gigs-gigs musisi lokal. “Selain melodi dan ritme musik, lirik juga membawa feeling saya juga. Makanya kalau Anda melihat lukisannya lebih folky, itu karena lirik, storytelling, dan puisinya yang dalam bisa membawa saya untuk coretannya lebih tajam, atau imajinasi saya terbawa untuk membuat bentuk yang lebih berbeda dari biasanya,” Jelas Andra.
Musisi yang sangat menginspirasi Andra, dia menyebut Bright Eyes. Band itu memiliki dasar folk dengan unsur eksperimental dan alternatif rock. Tak hanya itu, band ini menurutnya mempunyai dasar lirik yang kuat. Dari zaman SMP dan SMA, dirinya menilai lirik Bright Eyes bisa mengungkapkan keindahan dari kesedihan yang dialami oleh si musisi, diperkuat dengan aura puitis dari lirik yang mendukung. Di sana Andra menemukan kebebasan dalam berkreasi dalam bentuk yang baru. Pergolakan emosi yang susah dijelaskan dengan kata bisa Andra nikmati dari band asal Amerika Serikat tersebut.
“Frontman-nya, Conor Oberst itu salah satu inspirasi saya, bukan hanya dalam musik, tapi juga dalam seni lainnya,” tuturnya.
Lalu untuk musisi dari Indonesia, dia mengatakan menyukai karya dari Jimi Multhazam, penggawa dari grup band The Upstairs dan Morfem. Dia menyukai lirik dan musik yang diciptakan oleh Jimi. Selain dari pemusik lainnya seperti Iwan Fals, Frau hingga Senyawa. “Saya kagum juga dengan orang-orang kayak Rully Shabara,” papar Andra.
Album-album lain yang dia sukai seperti Highway 61 Revisited (Bob Dylan), The Piper at The Gates of Dawn (Pink Floyd), Kid A (Radiohead), In The Aeroplane Over The Sea (Neutral Milk Hotel), Blackstar (David Bowie), Currents (Tame Impala), dan tentu favoritnya The People’s Key (Bright Eyes). Album-album lainnya bisa dilihat di media sosial Instagram @andrasemesta atau @musicmandalas.
Mengawinkan Seni Rupa dan Seni Musik
Terus terang, dari observasi saya ketika mengelilingi karya Andra Semesta di lantai 2 dan 3 galeri, salah satu karya yang saya suka adalah lukisan yang terinspirasi dari album Dosa, Kota, dan Kenangan karya duo musikus Surabaya, Silampukau. Album ini pernah menjadi bagian dari hidup saya yang tak terlupakan ketika tinggal di Semarang. Refleksi kehidupan urban di album ini saya rasakan sangat kuat, dan di lukisan Andra tersebut saya melihat ada arus atau pola-pola yang cepat sebagai suatu gambaran kehidupan urban. Abstraksinya membawa saya semacam traveling ke masa lalu.
Sebagai orang yang awam akan konsep ilmiah warna suara, ketika ada nada tertentu akan menghasilkan warna tertentu, kemudian saya bertanya pada Andra konsep tersebut. Sontak ketika membicarakan hal ini, saya langsung teringat dengan album Sinestesia yang dirilis Efek Rumah Kaca (ERK) pada tahun 2015 lalu. Enam lagu di dalam album ini diberi judul warna: “Putih”, “Biru”. “Jingga”, Merah”, “Kuning”, dan “Hijau”.
Selain itu, Andra menceritakan para kurator juga sering menyebut karyanya merupakan wujud dari sinestesia. Secara ilmiah, mengutip Halodoc, sinestesia merupakan “kondisi ketika seseorang bisa melihat atau merasakan warna tertentu saat mendengarkan musik.” Tak hanya warna, tapi juga bentuk. Orang yang memiliki kemampuan ini dianggap mempunyai kecerdasan dan memori yang lebih baik. Dia punya minat kuat akan seni visual atau musik.
Sementara dalam majas, sinestesia adalah proses perubahan makna yang diakibatkan adanya pertukaran antara dua indra berbeda. Semisal, (1) kata-kata bosnya sangat ‘pedas’ membuatnya merasa tersindir, (2) suara penyanyi itu ‘terang’. membuatku tak henti mendengarkannya. Dalam konteks Andra, kombinasinya adalah antara indra penglihatan dan pendengaran. Kombinasi beberapa indra dalam kiasan sinestesia inilah yang lebih sering diterapkan Andra. Dia bisa melihat warna musik seperti rasa yang melankolis atau terang benderang. Meski dengan halus dia menolak sebutan itu.
“Diartikan secara literal, di mana dibilang sinestesia, orang bisa melihat suara dan mendengar warna itu saya tidak sampai segitunya. Sinestesia ada banyak tingkatannya, saya pribadi gak [sic] sampai segitunya melihat musik dan mendengarkan warna,” ujarnya.
Saat mendengarkan melodi tertentu, dia akan kepikiran suatu warna yang langsung dia tumpahkan dalam gambar. Dia mengikuti alam bawah sadar (subsconcious), yang sering tidak dipikirkan dan membiarkan dirinya terbawa oleh musik. Musik itu baik yang dia setel dari music player bawaan aplikasi maupun pertunjukan musik secara langsung melalui live show. Pikirannya terfokus tidak memikirkan apa pun kecuali apa yang dia dengar pada musik itu dan apa yang dia tuangkan dalam kanvas.
Pernah menempuh pendidikan jurusan Psikologi di Universitas Adelphi, New York, serta jurusan seni dari Bellerbys di Brighton dan fine arts dari Wimbledon College of Arts, UK, Andra Semesta mengaku pendidikan juga cukup banyak memengaruhinya. Khususnya ketika dirinya berkuliah di London, lecture dari universitas seperti history of art telah membantunya. Hal lain, ada berbagai metode yang dia pelajari dalam rangka mengekspresikan sesuatu. Kemudian si dosen setelah meminta mahasiswa menggambar, akan melihat lukisannya dan memberikan penilaian. Si dosen tak jarang berkata pada Andra, “Gayamu ini mengingatkan saya dengan seniman-seniman ini.” Dosennya kemudian memberi rekomendasi lebih lanjut untuk diriset.
Andra memperhatikan, dukungan ekosistem di London terhadap seniman misalnya ditunjukkan dengan lengkapnya publikasi terkait list acara-acara seni, bahkan sampai surat kabar biasa memberikan dukungan. “Kota London dan Kota Brighton itu sangat menginspirasi saya dengan karya-karyanya, dan di situ juga dunia art-nya. Walaupun pas pulang ke sini, Indonesia makin berkembang terus keseniannya, tetapi kalau di sana memang ada sesuatu yang support art-nya besar banget,” ujar Andra.
Beberapa pelukis tertentu yang menjadi inspirasi bagi Andra di antaranya, di tataran internasional dia suka dengan karya-karya dari Vincent van Gogh, William Blake, dan Wassily Kandinsky. Sementara di Indonesia, Andra menyukai coret-coretan khas Affandi dan karya-karya Eko Nugroho. Termasuk yang menginspirasinya adalah Pokémon, hal yang dia sukai sejak kecil, di sana dia menemukan peleburan antara budaya pop dan kesenian.
“Ini lebih ke ekspresi energi keindahan kesenian. Dari apa yang saya rasakan itu saya endapkan menjadi suatu bentuk keindahan yang bisa dinikmati orang. Belum tentu apa yang dirasakan itu sama dengan apa yang diutarakan, tapi saya akan sangat senang kalau apa yang saya ekspresikan bisa mendorong orang untuk ikut terinspirasi membuat sesuatu yang lain lagi,” pungkasnya.
Penulis: Isma Swastiningrum
Editor: Aris Setyawan.