Bersama sejumlah musisi muda, paduan suara Dialita menghidupkan kembali lagu-lagu bisu dari masa lalu.
Di atas panggung di bawah naungan pohon beringin, lagu-lagu yang pernah dibisukan itu melantun satu per satu dalam konser peluncuran album perdana Paduan Suara Dialita yang berlangsung selama sekitar dua jam. Dunia Milik Kita. Album itu diluncurkan tepat pada 1 Oktober, di malam minggu yang basah seusai hujan di area Beringin Soekarno, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Leilani Hermiasih yang dikenal dengan nama panggung Frau menjadi pembuka. Sambil memainkan keyboard, ia menyanyikan dua nomor lagu ciptaannya sendiri. Seusai lagu kedua, ia berdiri untuk menyambut bintang utama malam itu: paduan suara Dialita.
Personel Dialita pun muncul dari balik panggung. Melihat mereka mulai menapaki tangga naik panggung, penonton menyambut dengan tepuk tangan. Mengenakan kebaya bernuansa hijau tosca yang dipadankan dengan kain batik cokelat dan selop hitam, 17 perempuan Dialita tampak berseri-seri. Tata rambut mereka beragam. Ada yang disanggul, ada yang mengenakan kerudung, menegaskan identitas mereka yang juga beragam.
Panggung terbuka malam itu sengaja dibuat bertingkat. Panggung yang posisinya lebih tinggi diperuntukkan bagi Dialita, kelompok vokal yang sebagian besar anggotanya berusia di atas 50 tahun. Sejumlah kursi tampak sengaja disiapkan di sana guna menopang tubuh anggota Dialita yang mungkin tidak kuat berdiri lama. Sedangkan panggung yang lebih rendah menjadi ruang bagi para musisi muda.
Di panggung rendah itu, kini Leilani berperan sebagai musisi pengiring. Ia mengiringi lagu Ujian yang liriknya ditulis Siti Jus Djubariah semasa berada di penjara Bukit Duri, Jakarta. Lalu bersama Bagus Dwi Danto, Ragipta Utama dan Lintang Raditya, ia mengiringi lagu “Di Kaki-Kaki Tangkuban Perahu.” Lagu yang diciptakan M. Karatem pada awal tahun 1960-an, dengan lirik oleh Putu Oka Sukanta, itu adalah single pertama yang dirilis dari album Dialita.
Setelahnya, lagu-lagu lain mengisi panggung. Ibu-ibu Paduan Suara Dialita naik dan turun panggung mengikuti alur konser. Para musisi bergantian menjadi pengiring. Selain empat musisi di sesi pertama, ada Nadya Hatta, Prihatmoko Moki, Stephani Putri dan komunitas Keroncongan Agawe Santosa di sesi lainnya. Hampir seluruh musisi yang dilibatkan dalam proses rekaman album Dialita turut tampil. Sebelum mendapat jatah sebagai musisi pengiring, mereka menampilkan karya masing-masing, antara satu hingga dua lagu. Satu-satunya musisi yang berhalangan hadir adalah Cholil Mahmud, personel band Efek Rumah Kaca, yang sedang berada di luar negeri.
Konser itu berlangsung dalam suasana hangat dengan sekitar 400an penonton. Sebagian besar adalah penonton muda. Di jeda pertunjukan, penonton bisa menukarkan tiketnya dengan minuman dan kudapan yang disiapkan oleh kelompok studi makanan Bakudapan.
Ada sepuluh lagu yang dinyanyikan malam itu, yakni “Ujian”, “Salam Harapan”, “Di Kaki-Kaki Tangkuban Perahu”, “Padi untuk India”, “Taman Bunga Plantungan”, “Viva Ganefo”, “Lagu untuk Anakku”, “Kupandang Langit”, “Dunia Milik Kita” dan “Asia Afrika Bersatu”. Seluruhnya ada dalam album Dialita. Lalu ada bonus satu lagu yang diiringi permainan keyboard Martin Lampanguli, dirigen malam itu.
Lagu-lagu itu, terang Uchikowati, salah satu personel sekaligus juru bicara Dialita, berasal dari tiga periode: lagu yang diciptakan sebelum peristiwa 1965, lagu yang diciptakan selama di penjara, dan lagu yang diciptakan di seputar masa reformasi 1998.
“Sesuatu yang tidak pernah terjadi, tiga generasi berbeda sejarah, berbeda waktu, bertemu dalam satu album. Dan karya ini disebut Dunia Milik Kita,” katanya, disambut gemuruh tepuk tangan penonton.
***
Sebelas bulan sebelumnya, tepatnya pada 1 November 2015, Biennale XIII Yogyakarta yang berlangsung di kompleks Jogja National Museum dibuka. Paduan suara Dialita ikut tampil di panggung pembukaan, bergantian dengan pengisi lainnya, yakni Senyawa yang berkolaborasi dengan Lifepatch, Orkes Nusa Permai dan Punkasila. Itulah kali pertama Dialita tampil di hadapan publik Yogyakarta sebagai bagian dari acara museum bergerak yang masuk dalam fringe event Biennale.
Malam itu pula, Woto Wibowo alias Wok The Rock atau Wowok yang menjadi kurator Biennale melihat Dialita untuk pertama kalinya. Penampilan selama sekitar 30 menit itu rupanya membekas di ingatannya.
Sebelum menjadi kurator Biennale yang lebih lekat dengan dunia seni rupa, Wowok sudah lama aktif di dunia musik independen dengan label rekaman berbasis internet miliknya bernama Yes No Wave. Di bawah label ini, ia merilis puluhan album musisi independen dari berbagai wilayah di Indonesia.
Saya menemui Wowok beberapa hari usai konser peluncuran album Dialita di tempat tinggalnya. Ia mengaku tertarik untuk merekam dan merilis album Dialita karena melihat karakter mereka. “Sejak awal 2013, aku ingin mengangkat musik sekolahan di jalur indie, musik yang ada komposisinya gitu, dari situ terpikir paduan suara. Apalagi paduan suara punya sub kultur sendiri, dan di industri tidak mainstream,” katanya.
Saat bertemu Dialita dalam pembukaan Biennale, ia mendapat informasi bahwa paduan suara itu belum memiliki album. Ia segera teringat pada rencananya merilis album paduan suara. “Kupikir kan masak belum ada, padahal ada Prison Songs (album yang dirilis pada 2015, berisi lagu-lagu yang dibungkam pascaperistiwa 1965 di Bali—Red.). Kupikir pasti ada yang tertarik merekam mereka di scene art activism. Ternyata belum,” tambahnya.
Beberapa hari pascapembukaan Biennale, ia pun mengutarakan idenya untuk merekam lagu-lagu Dialita kepada Ita F. Nadia yang selama ini menjadi pendukung Dialita. Alasannya, lagu-lagu itu perlu didokumentasikan. Selain itu, ia ingin memberi warna baru bagi musik rilisan Yes No Wave. “Waktunya tepat, Dialita baru tiga tahun waktu itu, jadi gek ndang direkam ndak kesuwen (buruan direkam jangan kelamaan),” terangnya.
Wowok menuturkan, Ita punya juga punya pertimbangan lain saat mendukung gagasan pembuatan album Dialita. Tahun itu adalah momen 50 tahun peristiwa 1965.
Ternyata Dialita juga sudah punya rencana merekam album, khususnya album untuk lagu-lagu yang diciptakan para ibu selama di penjara. Namun, rencana itu selalu tertunda karena berbagai alasan. Maka ketika Wowok menawarkan rekaman melalui label Yes No Wave, ia tak perlu waktu lama untuk mendapat jawaban iya.
Sejumlah lagu Paduan Suara Dialita sebenarnya sudah pernah direkam sebelumnya dengan diiringi keyboard. Namun, Wowok menilai hasilnya kurang bagus. Ia mengibaratkan hasil rekaman dengan iringan keyboard itu seperti musik karaoke. Enak didengar, tetapi cepat bikin bosan. Dari situlah ia berniat melibatkan musisi muda, khususnya mereka yang terbiasa berkarya di jalur independen.
Semula mengingat keterbatasan dana, ia berencana membuat rekaman amatir. Ibu-ibu hendak diajak rekaman live di studio rumahan dengan biaya murah. “Tapi Bu Ita bilang eman-eman (sayang), ingin yang bagus sekalian,” katanya.
Ita lantas menanyakan biaya rekaman yang dibutuhkan untuk membuat album dengan kualitas yang bagus. Menjawab pertanyaan itu, Wowok mengajukan angka Rp 50 juta. “Wah kalau segitu enggak ada,” jelas Wowok menirukan Ita.
Wowok lalu bertemu Agung Kurniawan, pemilik Kedai Kebun Forum, sebuah ruang seni di Yogyakarta. Agung mendukung rencananya dengan bertindak sebagai pencari dana. Ia berniat mencari sumbangan ke sejumlah nama. Lalu saat berkunjung ke Jakarta, Agung bertemu temannya yang bekerja di lembaga donor asing Ford Foundation. Dari situlah Wowok bisa lega karena telah mendapat dukungan dana untuk merekam album Dialita.
Setelah mendapat kepastian dana, Wowok dan Agung membentuk tim kecil yang dirancang bisa bekerja efektif dan efisien. Agung menjadi produser eksekutif, sementara Wowok menjadi produser musik. Mereka lantas mengajak Venti Wijayanti sebagai manajer produksi dan Adi Adriandi sebagai asisten produser.
Jadwal segera disusun. Proses rekaman ditargetkan bisa selesai Desember tahun itu, sehingga hasilnya bisa diluncurkan pada Februari 2016 bertepatan dengan momentum hari kasih sayang. Namun, aturan administrasi dari Ford Foundation, serta kebutuhan personel Dialita maupun para musisi untuk beradaptasi dengan lagu, membuat proses rekaman ditunda.
Sebelum proses rekaman dimulai, Wowok memilih tim musisi. Sejak awal, dia telah melibatkan Leilani. Perempuan inilah yang pertama menyanyikan seluruh lagu bernotasi angka kiriman Dialita. Rekaman nyanyiannya itu menjadi dasar aransemen lagu bagi musisi lain yang terlibat.
Ihwal pemilihan musisi, Wowok punya pertimbangan tersendiri. Pertama, ia memilih mereka yang dinilainya sudah memahami isu 1965. Kedua, ia memilih musisi yang tidak rewel, alias siap bergotong royong, mengingat proyek ini tidak didukung dana besar. Ketiga, ia memilih musisi yang sudah punya follower atau penggemar. Tentu saja, ia juga mempertimbangkan musik mereka. Pilihannya adalah musik sederhana dengan peralatan yang sederhana, karena musik mereka nanti hanyalah pengiring bagi paduan suara.
Frau dengan keyboard-nya dipilih untuk menghadirkan suasana syahdu. Cholil Mahmud dipilih karena Wowok ingin ada nuansa Indie Art Wedding dalam aransemennya. Indie Art Wedding adalah proyek berisi lagu-lagu berirama manis garapan Cholil bersama istrinya yang diniatkan sebagai suvenir pernikahan. Lalu saat mengajak Sisir Tanah, Wowok ingin menghadirkan gaya folk yang puitis. Nadya Hatta diajak untuk mendapat nuansa mars yang post rock. Nadya membutuhkan perkusi, maka Wowok mengajak Prihatmoko Moki. Lalu Lintang Praditya diajak untuk menghadirkan nuansa elektronik.
Yang agak berbeda barangkali adalah pelibatan kelompok keroncong dengan segenap personel dan peralatannya yang tidak sederhana. Ini dilakukan karena memang ada lagu keroncong yang harus dinyanyikan. Untuk itu, Wowok menghubungi Erie Setiawan, pentolan komunitas Keroncongan Agawe Santosa. “Kalau sama mereka jelas cepat, sudah jago, nglothok, jadi proses bisa cepat dan efisien,” terangnya.
Semua musisi yang ia hubungi menyanggupi terlibat dalam proyek ini. Ia membebaskan mereka mengaransemen lagu sesuai gaya masing-masing. Catatannya, mereka tidak boleh mengutak-atik cara bernyanyi Dialita. Musisi hanya boleh berimprovisasi di bagian intro, interlude dan outro. Hasil aransemen itu kemudian direkam sebagai bahan latihan vokal bagi Dialita.
***
Baru beberapa hari kembali ke rumahnya di Jakarta usai tampil dalam pembukaan Biennale Yogyakarta 2015, Uchikowati menerima panggilan dari Adi Adriandi alias Gufi. Panggilan itu membawanya kembali ke Yogyakarta.
“Di situ ngobrol, ada Gufi, Lani, Wowok dan Mas Agung. Mereka bicara, tertarik untuk membuat album Dialita. Terus bagaimana, kita kan enggak ngerti. Kata mereka, ibu nyantai aja, nyanyi biasa aja, bu,” tutur Uchi.
Sejak saat itulah personel Dialita disibukkan dengan rencana rekaman. Tahapnya dimulai dengan mengirimkan 20 lagu beserta not angkanya ke Yogyakarta.
Sebelum bergabung sebagai paduan suara, Uchi dan ibu-ibu lainnya bergiat di komunitas Keluarga Dalam Sejarah 65 (KDS 65), yakni keluarga penyintas peristiwa 1965. Dalam komunitas itu, mereka banyak melakukan kegiatan sosial, misalnya menjenguk teman yang sakit, membantu yang susah, dan lain-lain. Karena keterbatasan dana, mereka berinisiatif mengumpulkan barang bekas untuk dijual kembali. Mereka biasanya menghabiskan waktu untuk menyortir barang sebelum dijual. Untuk mengusir jemu saat menyortir barang, mereka menyanyi. Dari situlah muncul ide untuk membentuk paduan suara.
Menurut Uchi, semua anggota memang suka menyanyi, meski tak semuanya bersuara bagus. Pada 5 Desember 2011, mereka pun mengikrarkan kesepakatan untuk membentuk Dialita, singkatan dari Di Atas Lima Puluh Tahun, ketika sedang mengadakan bakti sosial di sebuah kampung di Bogor, Jawa Barat.
Saat ini, anggota Dialita berjumlah sekitar 20 orang. Jumlahnya tak pernah pasti karena anggotanya datang dan pergi. Rentang usia mereka mulai dari 20 hingga 70 tahun, meski sebagian besar memang di atas 50 tahun. Tidak semuanya pernah dipenjara, namun mereka berbagi asa yang sama. Dengan berkumpul, menyanyi dan berbagi, mereka merasa lebih percaya diri. “Ini trauma healing, pengobatan untuk diri sendiri dan lingkup terdekat,” ungkap Uchi.
Pentas pertama Paduan Suara Dialita dilakukan pada peluncuran buku karya Hersri Setiawan, salah satu sastrawan penyintas 65, di Jakarta pada 2011. Pentas kedua diadakan di Kedai Cikini, Jakarta, di acara Rabu Seru yang diadakan Komite Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Mereka menyanyi untuk menggalang dana. Hasilnya diserahkan ke ibu Kartiti, seorang rekan penyintas yang mendapat musibah kebakaran rumah di Yogyakarta.
Namun, sebelum Dialita terbentuk, pengumpulan lagu sudah dilakukan sejak awal 2000, terutama oleh Utati Koesalah dan Uchi. Oleh karena itu, Utati merasa bahwa bisa saja ada lirik lagu yang berubah dari versi awal karena memang tidak ada dokumen tertulisnya. Masih ada lagu-lagu lain yang mereka telusuri. “Tujuannya mencatat, kami kumpulkan, sukur suatu saat ada anak muda yang menemukan. Waktu itu belum ada pikiran untuk menyanyikan sendiri,” terang Utati.
Uchi merasa lagu-lagu yang diciptakan dalam penjara memiliki lirik sederhana. Meski demikian, maknanya kuat. Itulah mengapa lagu-lagu itu perlu didokumentasikan. Ia lantas mengutip sepenggal lirik lagu “Kupandang Langit” yang diciptakan Koesalah Subagyo Toer semasa ditahan di rumah tahanan Salemba Jakarta : Meskipun badan terkurung // kami tetap bertarung.
***
Mengingat posisi ibu-ibu Dialita di Jakarta, sementara sebagian besar musisi ada di Yogyakarta, maka proses latihan dilakukan terpisah. Hasil aransemen musik dari para musisi dikirim ke Jakarta untuk dijadikan sebagai pemandu latihan.
Ternyata, anggota Dialita kesulitan menerima musik aransemen sejumah musisi muda itu. Ada sejumlah komposisi musik yang dirasa terlalu sulit untuk dinyanyikan, sehingga mereka harus berjuang untuk melakukannya.
“Semua heboh, angel, ora iso, elek (susah, tidak bisa, jelek) dan seterusnya. Tapi kita bilang, kita coba, kalau ini berhasil, berarti kita bisa melewati masa sulit, dan menyanyi dengan aransemen anak muda. Kita harus belajar. Ternyata dengan segala udur (debat) itu, akhirnya bisa,” terang Uchi.
Salah satu komposisi tersulit bagi ibu-ibu ada di lagu “Ujian” yang dibuat Leilani. Bagian pembukanya terdengar bergulung-gulung. Biasanya, mereka menyanyikannya dengan irama yang lebih cepat dan bersemangat. Sementara versi Leilani terdengar pelan, kelam dan nglangut. Mereka kesulitan menandai kapan saatnya mulai bernyanyi. Perasaan nglangut dari lagu tersebut juga sempat membuat mereka bercucuran air mata karena teringat masa lalu.
Setelah berlatih selama sekitar delapan minggu, jadwal rekaman akhirnya terealisasi pada awal Maret 2016. Sepuluh personel Dialita berangkat ke Yogyakarta untuk rekaman. Proses rekaman diputuskan dilakukan di Yogyakarta terutama karena pertimbangan biaya. Mendatangkan sepuluh orang ke Yogyakarta dan mengurus akomodasi mereka selama sepekan dinilai lebih murah ketimbang harus rekaman di Jakarta.
Rekaman berlangsung di Studio Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Bantul. Studio ini dipilih karena ruangannya cukup besar untuk menampung sekelompok paduan suara. Selain itu, ada potongan harga untuk mixing dan mastering hasil rekaman.
Manajer Dialita, Irawati Atmosukarto menjelaskan, tidak semua personel Dialita bisa ikut rekaman. Martin Lampanguli, pelatih dan dirigen Dialita, misalnya, berhalangan hadir karena sakit. “Ya kondisinya macam-macam ya, karena sudah banyak yang nenek-nenek, jadi ada yang sakit, ada yang momong cucu,” ujarnya.
Utati juga berhalangan hadir saat rekaman karena mesti menunggui suaminya, Koesalah, adik sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang tengah sakit. Kebetulan lagu karya Koesalah berjudul “Kupandang Langit” itu juga direkam dengan aransemen dari Leilani dan Lintang.
Beberapa hari usai rekaman, Koesalah mengembuskan nafas terakhirnya. Uchi yang baru datang dari Yogyakarta bergegas ke rumah duka dan berinisiatif membawa rekaman lagu Kupandang Langit versi awal yang dinyanyikan Leilani. Lagu itu diperdengarkan kepada para pelayat dan mengantar Koesalah hingga ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
***
Tim Yogyakarta dan Dialita di Jakarta terus berkorespondensi untuk menyepakati bunyi rekaman. Wowok bercerita, ketidakhadiran Martin saat rekaman membawa pengaruh besar. Ada banyak nada yang fals, ada banyak komposisi yang terdengar tidak pas. Setelah melalui proses mixing dan revisi hingga tiga kali, barulah mereka mencapai titik sepakat.
“Aku kan juga enggak familiar dengan lagunya, juga enggak ngerti musik banget lah. Saat rekaman, yang ngerti musik kayak Lani dan Erie juga sedang sibuk, jadi ya begitulah hasilnya,” terangnya.
Meski demikian, Wowok meyakini bahwa Paduan Suara Dialita tidak akan dinilai dari caranya bernyanyi. Mereka memiliki kekayaan yang lebih besar dari sekadar bisa bernyanyi dengan baik.
Sebagai produser musik, Wowok menugasi dirinya menentukan nuansa di setiap lagu. Selain itu, ia juga menggarap konsep visual album, termasuk bahasa publikasinya.
Untuk urusan visual, Wowok berpegang pada hasil diskusinya dengan Agung Kurniawan. Ia sepakat bahwa saat ini, membicarakan peristiwa 1965 berarti membicarakan korban.
“Korban bukan tapol-tapol ini lagi (saja). Korban adalah siapapun yang tidak tahu sejarah 1965. Ini hanya salah satu contoh kasus dari kekerasan struktural. Ini enggak bicara komunisme atau politik lagi,” terangnya.
Siapa yang tidak tahu sejarah 1965? Anak muda. Album ini ditujukan buat anak muda. Dari situ, ia memilih menghadirkan nuansa vintage yang menurut penilaiannya sedang digandrungi anak muda.
Lagipula, ia menilai lagu-lagu yang diciptakan ibu-ibu selama berada di penjara tidak berbicara politik. Lagu seperti “Ujian”, “Kupandang Langit”, “Lagu untuk Anakku”, juga “Salam Harapan” bicara soal kerinduan dan harapan dengan lirik yang puitis. Khusus untuk album pertama ini, Wowok mengaku lebih memilih lagu-lagu dengan nuansa puitis itu ketimbang sejumlah lagu lain yang diajukan ibu-ibu Dialita.
Selanjutnya, untuk menunjukkan nasib yang dialami para ibu-ibu penyintas, ia memilih membuat metafora. Ia teringat pada genjer, tanaman air yang menjadi lagu kontroversial itu. Ia lalu ingat ada Mantasa, komunitas penggiat pangan liar di Surabaya. “Pangan liar cocok untuk menggambarkan itu, terasing tetapi memiliki sesuatu yang berguna,” paparnya.
Ia lalu mengajak Wedhar Riyadi untuk menyiapkan ilustrasi sampul album dengan berpatokan pada foto-foto tanaman liar dari Mantasa. Untuk karakter ilustrasinya, ia meminta Wedhar meniru karakter gambar tanaman tahun 1960-an. Karakter gambar yang sama bisa kita temui di buku-buku karya para naturalis seperti Alfred Russel Wallace.
Dialita menyetujui bahasa visual yang digagas Wowok. “Saya bilang, cocok banget, ada genjer dan lain-lain. Memang benar karena genjer, kita itu pada masuk penjara,” kata Utati disambut riuh komentar anggota Dialita lainnya.
“Dari tahanan Salemba, saya dibuang ke Plantungan. Makanlah segalanya. Segala rerumputan dan dedaunan dimakan. Kalau perlu bekicot, kadal, yuyu (kepiting) juga,” tambah Mudjiati, anggota Dialita.
Maka, demikianlah. Sepuluh lagu telah direkam, sampul album telah siap. Pada 17 Agustus 2016, Yes No Wave merilis album tersebut. Semua orang bisa mengunduhnya di situs Yes No Wave.
Ini adalah rilis album yang ke-83 dalam sejarah Yes No Wave. Dalam waktu dua hari pascapeluncuran, ada sekitar 1.200 pengunduh. Ini rekor baru yang mengungguli album-album lainnya.
Namun, kerja belum selesai. Tim kembali bersiap untuk meluncurkan album fisiknya. Lagi-lagi, biaya menjadi kendala. Dukungan dari Ford Foundation hanya cukup untuk membiayai proses rekaman hingga pendistribusian album. Peluncuran adalah urusan lain.
Sempat galau antara Jakarta atau Yogyakarta, tim akhirnya sepakat memilih Yogyakarta, yakni di kampus Universitas Sanata Dharma (USD). Bagaimanapun, infrastruktur yang dibutuhkan lebih mudah dinegosiasikan di kota ini. Pihak USD memberikan dukungan ruang. Dengan metode bantingan dan meminta potongan harga ke pihak penyedia peralatan dan perlengkapan panggung, konser hangat malam itu berjalan lancar.
Tanggapan publik pun luar biasa. Dalam waktu empat hari, 350 tiket pertunjukan yang dibanderol Rp 25.000 per lembar ludes. Uang penjualan tiket cukup untuk membayar kebutuhan panggung dan membiayai ibu-ibu naik kereta api Jakarta – Yogyakarta pergi pulang.
Sepuluh lagu yang dinyanyikan malam itu dituangkan dalam CD yang dikemas apik: sebuah buku kecil dengan sampul hijau tosca bergambar sulur-sulur bunga dan dedaunan yang berisi lirik, notasi angka dan sejarah singkat setiap lagu. Selain itu, ada bonus resep masakan dengan bahan tanaman yang selama ini dianggap liar dari Bakudapan.
***
Sehari seusai konser, personel Dialita berkumpul di sebuah rumah di kawasan Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Tumpeng kuning dan aneka kudapan tampak dihidangkan di atas meja. Minggu siang itu, mereka mengungkapkan syukur sekaligus melakukan refleksi atas sepenggal perjalanan yang terlewati.
Canda tawa mewarnai pertemuan itu. Pahitnya pengalaman rupanya tak menghapus humor. Mereka justru tampak sangat senang bercanda dan saling ejek. Termasuk saat mengomentari penampilan dalam konser.
“Sebelahku itu sakit, jadi dia nge-blank. Makanya aku nyanyi keras-keras karena sebelahku enggak ada suaranya. Ada juga yang turun panggung langsung nyangking (melepas lalu menenteng) sandal,” ujar Mudjiati sambil melirik Uchi.
“Semalam itu kakiku sakit banget, soalnya selopnya itu keras. Itu beli di Pasar Beringharjo, harganya Rp 40.000,” timpal Uchi.
Pertemuan siang itu juga dihadiri sejumlah pendukung Dialita dan anak muda penggiat film dokumenter yang sejak awal turut terlibat dalam proses rekaman. Para tamu yang hadir diminta membagikan kesannya terhadap penampilan Dialita.
Ibu-ibu Dialita tampak antusias melihat reaksi anak muda terhadap penampilan mereka. Bagaimanapun, mereka sangat senang karena konser semalam dihadiri banyak anak muda. Jika dalam konser Dialita menyampaikan banyak cerita, siang itu mereka ganti menjadi pendengar.
Mereka memahami bahwa nyanyian dan rekaman album yang telah mereka jalani adalah upaya untuk menyampaikan sejarah. Ini bukan lagi tentang mereka, melainkan tentang generasi setelah mereka. Maka setelah semua hal yang mereka alami, dengan gembira mereka membagikan lagu-lagu bisu itu untuk sebuah dunia yang dicitakan. Dunia milik kita.