Kemunculan Dewi Sri sempat membuat kaget sivitas akademik Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sosok yang seharusnya bernama Dewi Saraswati itu menjadi ikon sebuah merek beras. ISI sebagai pemilik “Sang Dewi” kabarnya akan bereaksi.
*
Good artists copy, great artists steal.
Tak ada yang baru di dunia ini, segala yang mengaku otentik adalah lelucon branding. Mungkin Pak Edi, penjual beras yang buru-buru, meyakini hal ini. Bisa jadi, Pak Edi hanya datang ke tukang sablon plastik dan minta dibuatkan logo untuk kantong berasnya. Ada salah paham di sini, Pak Edi menyebut berasnya dengan merek Dewi Sri, dan sang desainer gagal fokus. Alhasil, muncullah penampakan Dewi Saraswati yang entah sejak kapan mengurusi masalah pangan di karung beras Pak Edi. Atau sekenarionya seperti ini: Pak Edi berharap masalah pangan di negara kita diselesaikan dengan cerdas. Ia bermaksud menyindir menteri urusan pangan agar lebih berpendidikan. Siapa yang tahu maksud hati Pak Edi?
Logo adalah sebuah identitas, hadir untuk mewakili sebuah brand, institusi atau perusahaan. Logo Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI) dengan gambar Dewi Saraswati dimaksudkan untuk mewakili apa yang berlangsung di sana. Tapi bagaimana jika sebuah logo memiliki makna ganda? Bagaimana jika sebuah logo yang serupa digunakan untuk mewakili hal yang benar-benar berbeda? Misalnya, Swastika Nazi dengan spiritual timur, bagaimana kita harus menyikapi hal-hal semacam ini?
Untuk itu muncul hak cipta, hak atas kekayaan intelektual. Mulanya berfungsi sebagai upaya menghargai jerih payah seseorang atas temuannya, ciptaannya. Sejak Johannes Gutenberg menemukan alat ajaib untuk mencetak buku dengan masif, hak cipta digunakan agar orang tidak dapat sembarangan menyalin dan memperbanyak karya tulis seseorang.
Maka dari sini hak cipta mulai menuai dua efeknya yang berlainan. Di satu sisi ia bisa menunjang penemunya secara ekonomi dengan mematenkan karya ciptanya, namun di sisi lain apa yang ia ciptakan tidak bisa dengan mudah disebarkan begitu saja. Mudahnya, hak cipta justru membatasi penyebaran ilmu pengetahuan. John Locke, sebagai pemikir yang membela hak kepemilikan pribadi tentu tak mengalami era internet yang rumit dengan arus informasinya yang deras. Intinya, hak atas kekayaan intelektual ini bermaksud agar siapapun yang mampu menciptakan sebuah karya dapat dihargai secara moral dan ekonomi.
Tidak semua orang menyadari akan hal ini, dan tidak semua juga setuju dengan ini. Kita akan kembali pada cerita Pak Edi. Sebagai pedagang beras, apakah ia peduli dengan tetek bengek hak kekayaan intelektual? Sebut saja desain kantong beras Pak Edi sebagai desain vernakular, produk akar rumput yang tak menuruti teori desain atau tanpa riset target audience. Biasanya muncul dari selera hati yang subyektif, mitos yang dipercaya, atau datang seperti wangsit. Contoh lain desain vernakular adalah sign system tambal ban, aneka kios ahli kunci, spanduk tenda pedagang pecel lele, dan berbagai merek jajan pasar yang mulai mengenal kemasan plastik.
Pak Edi dan karung berasnya adalah salah satu fenomena vernakular. Bagaimana menyikapi Pak Edi dan tim desainnya? Pak Edi mungkin tak mengenal HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), ia mungkin tak pernah punya maksud jahat untuk memanfaatkan kepopuleran institusi seni itu. Nah, apakah kampus seni itu bisa legowo? Apakah ISI akan menuntut Pak Edi seperti HB Jassin menuntut Chairil Anwar?
Saya teringat guyon receh tentang HAKI, “Jika sebuah ide penciptaan dapat dipatenkan agar tak dicuri, maka Tuhan akan jadi sangat kaya, atau manusia akan sangat malas mencipta.”
Sebuah karya akan saling memengaruhi. Apalagi di zaman jaringan 4G dengan informasi virtual tanpa batas. Jika Pak Edi benar-benar tak tahu menahu soal logo Dewi Sri, atau Dewi Saraswati yang ternyata sudah dipakai lebih dulu oleh kampus seni, maka pengurus kampus harus berlapang dada untuk memaafkan dan segera mencari divisi marketing-nya, bahwa ternyata kampus tersebut “nggak populer-populer amat” di akar rumput. Jika sampai masuk ke ranah hukum, ada baiknya mulai tak menyebut slogan “seni untuk rakyat” di kampus tersebut.
Polemik hak cipta memang tak pernah selesai. Menghargai suatu karya dengan menghormati penciptanya adalah sebuah keharusan. Tapi bagaimana jika suatu saat nanti masyarakat kita latah mempermasalahkan HAKI. Karya yang ditutup rapat dari akses publik akan menghambat berkembangnya pengetahuan. Izinkan saya mengutip pernyataan Jimmy Wales pada esainya yang berjudul Saya Bukan Pencuri:
“Anda seharusnya malu pada diri Anda sendiri. Museum berdiri sebagai sarana pendidikan bagi publik untuk menginformasikan warisan budaya kita.”
Jimmy Wales dan Wikipedia-nya dituduh telah mencuri koleksi lukisan sebuah museum dengan menampilkan gambar koleksi lukisan tersebut di website Wikipedia. Saya tak menyamakan kasus Pak Edi dengan kasus Wikipedia. Saya hanya membayangkan dunia yang kontra-produktif, di mana suatu saat HAKI akan dimanfaatkan oleh pemodal besar sebagai alat pengeruk pundi-pundi atas nama menghargai kreatifitas.
Atau jangan-jangan Pak Edi memang pengusaha jenius? Buktinya kita membicarakan hal ini, merek berasnya menjadi viral. Ada sebuah paragraf menarik dari sebuah forum tanya jawab Quora tentang arti kalimat yang saya kutip di awal tulisan. Ana Zdravic menulis, “When you copy something, you do so mindlessly and mechanically. But, when you steal something, there is more adrenaline, more creativity, more at risk. Copying is just technique. Stealing is an entire plot.”
Apakah Pak Edi memang desainer mutakhir yang menggunakan teori viral marketing? Kita lihat saja, jika kelak ia membuat beras baru dengan merek Gundala, lengkap dengan gambar The Flash dari DC Comics.
Uh, saya membayangkan di suatu tempat sana, Pak Edi sedang mengelus dagunya, memandang ke atas dan dengan lirih menembangkan lagu Sri Minggat Didi Kempot:
Sri, kapan kowe bali
Kowe lungo ora pamit aku
Pak Edi pun membayangkan perginya nasib baik para petani yang ditinggal Dewi Sri. Gagal panen tahun ini, tengkulak yang sesuka hati, pupuk mahal setengah mati, membuat ia membayangkan, andai Dewi Saraswati yang berpendidikan itu ikut mengurusi masalah pangan. Ah…
Sri, kapan kowe bali
Kowe lungo ora pamit aku
Jarene neng pasar, pamit tuku terasi
Nganti saiki kowe durung bali
*)Catatan editor: Ilustrasi oleh Bambang Nurdiansyah dibuat berdasarkan foto karung beras bermerk Dewi Sri yang menyebar secara luas di berbagai media.
*) Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggungjawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi serunai.co.