Serunai.co
Kolom

Mencari Perempuan dalam Kritik Musik Kiwari

kritik musik
Ilustrasi: Sarah Arifin (@srharfn)

Musisi perempuan ada banyak, tetapi mengapa sulit untuk menemukan tulisan kritik musik yang mengulas karya musisi perempuan?

Setelah membaca uraian tentang bagaimana wajah kritik musik hari ini yang disebut Ferdhi Putra sebagai begitu-begitu saja, saya jadi tergerak untuk melihat aspek gender dalam tulisan berupa ulasan maupun kritik musik terkini. Yang saya maksud sebagai terkini adalah tulisan-tulisan yang terbit di sejumlah media dalam kurun waktu setidaknya setahun terakhir, baik di media yang kantornya di Jakarta maupun di daerah lain, baik media yang memiliki rubrik musik maupun media yang khusus membahas musik.

Akan tetapi, mengapa tema gender perlu dibahas saat membahas ulasan musik? Menurut saya ya karena seperti produk budaya lainnya, sedikit banyak musik juga merepresentasikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tempatnya lahir. Oleh karena itu, melihat aspek gender dalam musik tidak hanya menarik tetapi juga penting untuk dilakukan.

Untuk melihat bagaimana perspektif gender itu diterapkan dalam mengulas musik, ada banyak pendekatan yang bisa dilakukan. Di tulisan ini saya menggunakan cara yang terbilang sederhana, yakni dengan melihat bagaimana upaya penulis kritik untuk menghadirkan karya musisi perempuan maupun menggunakan perspektif gender dalam tulisannya.

Jika dilihat dari upaya penulis menghadirkan subyek perempuan, tulisan yang membahas karya musisi perempuan di Indonesia bisa dibilang masih sangat minim karena sulit untuk ditemukan. Kalau tidak percaya, coba cari tulisan semacam itu lewat mesin pencari merk apa saja. Tentu perlu penelitian lebih lanjut untuk kesimpulan ini supaya hasilnya bisa lebih akurat dan ilmiah.

Pertanyaannya kemudian, mengapa bisa sedemikian minim? Apakah karena jumlah musisi perempuan sangat sedikit sehingga para penulis musik kesulitan menemukan karya yang bisa diulas? Untuk soal ini, saya rasa jawabannya adalah tidak. Selain wajah lama yang masih terus berkarya, setiap tahun selalu ada wajah baru di berbagai genre musik. Dari pop, jazz, rock, dangdut, keroncong, punk sampai noise. Selalu ada wajah perempuan di sana meski secara kuantitas bisa jadi jumlahnya tidak sebanding dengan musisi laki-laki. Artinya, menemukan karya untuk diulas mestinya tidak sesulit itu.

Lantas jika karya baru lahir setiap tahun, mengapa para penulis musik enggan mengulas karya itu? Apakah itu bukan karena para musisi perempuan yang kurang aktif dalam mempromosikan karyanya? Hmmm, pertanyaan semacam itu sekilas kelihatan masuk akal. Tetapi kalau memang menahbiskan diri sebagai penulis musik, mestinya seorang penulis tidak hanya menunggu disodori suatu karya baru menulis ulasan. Ia juga mesti aktif berburu informasi mengenai karya-karya baru hingga ke balik tikar. Keengganan untuk menemukan karya musisi perempuan untuk diulas bisa jadi merupakan cermin dari absennya perspektif gender dalam diri si penulis. Padahal, pengabaian terhadap karya perempuan berarti menutup peluang bagi karya-karya itu untuk dikenal publik dari generasi ke generasi. Artinya, generasi berikutnya akan mendapat informasi yang tidak utuh tentang masa kini karena tidak memiliki akses terhadap karya-karya perempuan, persis seperti yang kita alami sekarang.

Baca Juga:  Mengapa Kritik Musik Begitu-Begitu Saja?

Bagaimana dengan penulis perempuan yang membahas musik, apakah mereka juga enggan menulis karya perempuan? Untuk perkara ini, sayangnya harus dikatakan bahwa jawabannya iya. Bukan. Bukan penulis perempuan enggan menulis karya musisi perempuan, melainkan lebih ke soal minimnya jumlah penulis musik perempuan. Mari kita ingat-ingat, siapa saja dalam sejarah negeri ini yang dikenal sebagai penulis ataupun kritikus musik?

Kebanyakan penulis yang mengulas musik adalah laki-laki. Demikian pula kebanyakan pengelola media yang membahas musik juga laki-laki. Walaupun perspektif gender itu tidak eksklusif menempel pada perempuan, namun kehadiran penulis perempuan akan lebih bisa menjamin sensitivitas media dalam merepresentasikan karya perempuan.

Potret ini serupa dengan gambaran umum kesetaraan gender di media. Pada 2015, Global Media Monitoring Project mengungkapkan bahwa perempuan masih kurang direpresentasikan di semua jenis media. Fakta itu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan editorial media yang mayoritas ditentukan oleh laki-laki. Hanya 10 persen laporan yang fokus membahas perempuan, dan laporan-laporan itupun kurang akurat dalam menampilkan perempuan. Umumnya, perempuan baru akan ditampilkan di media ketika menjadi korban kejahatan. Masih sangat sedikit media yang menjadikan perempuan sebagai narasumber karena kepakarannya di bidang tertentu. Jika temuan itu kita letakkan dalam konteks musik, kita bisa dengan mudah menyebut nama musisi perempuan. Sebut saja misalnya Raisa, Isyana, Danilla, Rara Sekar sampai Via Vallen, atau yang sedang trending di dunia permedsosan dan pergosipan Syahrini. Umumnya, media lebih sibuk membahas gaya hidup atau kehidupan pribadi mereka ketimbang membahas pergulatan mereka dalam berkarya.

Jadi kalaupun saat ini masih ada rasa enggan dari penulis perempuan untuk mengulas musik, keengganan itu perlu ditelisik lebih jauh. Apakah ekosistem musik sudah terbuka dan mau menghargai perspektif penulis perempuan? Tentu saja jawabannya tidak segampang berkata : “Ya kalau perempuan mau menulis, tinggal nulis aja sih.” Itu karena kurangnya keterwakilan perempuan di bidang apapun tidak bisa dilepaskan dari timpangnya relasi gender yang berlaku di masyarakat dari dulu sampai sekarang. Simone de Beauvoir bilang “…her wings are cut and then she is blamed for not knowing how to fly.”

Ilustrasi tentang sulitnya perempuan diakui baik sebagai kreator musik maupun penulis musik bisa dilihat dalam ulasan singkat Caroline Criado-Perez di The Guardian untuk buku karya Anna Beer yang berjudul Sound and Sweet Airs: The Forgotten Women of Classical Music. Dalam ulasan itu, Perez fokus menyoroti bagaimana perempuan dari waktu ke waktu menghadapi hambatan dalam berkarya. Dengan menuliskan hasil risetnya tentang delapan perempuan komponis musik klasik yang hidup di abad 17 hingga 20, ia menilai Beer telah mewarnai sejarah musik dengan menunjukkan apa saja yang harus dilalui oleh perempuan supaya karyanya diakui—namun dalam perjalanan waktu karya-karya itu ternyata tetap nyaris tak dikenal. Perez lantas menghubungkan upaya Beer itu dengan cerita Marcia Citron yang pada 1979 menghadapi hambatan ketika hendak meneliti karya komponis Fanny Hensel. Sebagai perempuan, Citron dianggap tidak mampu meneliti karya Hensel sehingga dipersulit ketika hendak mengakses data-data karyanya di pusat arsip Mendelssohn di Berlin, Jerman. Namun, sama seperti komponis-komponis perempuan di masa lalu yang nekat berkarya di tengah berbagai kesulitan, Citron yang kini menjadi profesor musik juga nekat melanjutkan penelitiannya.

Baca Juga:  Kesunyian Airportradio

***

Beranjak ke isi, seberapa banyak ulasan musik yang menggunakan perspektif gender sebagai pisau untuk membedah karya? Ketika mencari kata kunci gender dan musik di mesin pencari, hanya sedikit sekali hasil relevan yang berhasil ditemukan. Kalaupun ada yang melakukan upaya bedah karya menggunakan pisau tersebut, bentuknya biasanya penelitian ilmiah. Sangat jarang, untuk tidak mengatakan tidak ada, tulisan populer yang membahas karya musik dari aspek gender.

kritik musik
Yose Riandi/ Proyek Bahaya Laten

Dari yang sangat jarang itu, sayangnya tulisan ini harus menyebut tulisan Raka Ibrahim saat membahas Proyek Bahaya Laten sebagai contoh. Dalam ulasannya, ia mempersoalkan pilihan lagu dalam album tersebut yang sebagian bisa dikatakan seksis. Saya setuju pendapatnya soal itu, meski tidak semua argumennya dalam ulasan tersebut saya sepakati. Selebihnya, tulisan-tulisan yang menggugat seksisme dalam musik lebih kerap muncul dari penulis yang menceritakan pengalaman personalnya menghadapi seksisme baik sebagai pelaku maupun audiens skena musik.

Bandingkan misalnya dengan bagaimana sebuah film atau karya sastra diulas. Walaupun kerap disebutkan bahwa penggunaan perspektif gender dalam kritik film maupun sastra masih kurang, saya melihat situasinya sedikit lebih baik ketimbang dengan yang terjadi di musik. Ini bisa dilihat dari kehadiran sejumlah media non akademik yang menampilkan kritik film maupun sastra secara lebih mendalam, dalam arti menghubungkan karya yang diulas itu dengan tatanan yang berlaku di masyarakat, salah satunya dengan pisau analisis gender. Kelas menulis kritik sastra maupun film juga kerap diadakan oleh sejumlah pihak. Saya rasa, paparan sekian tahun dari perspektif gender itu pulalah yang membuat para pegiat film—tak peduli apa jenis kelaminnya—meluncurkan kampanye #SinematikGakHarusToxic dalam peringatan hari perempuan internasional 8 Maret lalu.

Baca Juga:  Polemik JRX - Via Vallen : Perdebatan yang Sia-sia

Soal seksisme, tidak peduli karya laki-laki atau perempuan, semua bisa dibedah dengan pisau yang sama. Artinya, bisa saja ada musisi perempuan yang karyanya juga seksis. Sebab ideologi patriarki itu tertanam di kepala laki-laki maupun perempuan. Sebaliknya, karya musik yang mendorong kesetaraan gender juga perlu dikupas sehingga bisa memberi sumbangan yang bernutrisi bagi diskusi musik. Bagaimana pula dengan pelanggengan stereotip tertentu dalam lagu, misalnya penggunaan kata banci untuk menyebut sosok laki-laki yang dianggap ‘kurang laki’ dalam sebuah lagu? Rasanya, pembahasan soal itu sangat jarang ditemukan dalam kritik musik.

Demikianlah, setelah dilihat dari dua aspek itu—meski baru di level permukaan—mencari subjek dan tema perempuan dalam kritik musik saat ini ternyata bagaikan mencari sebatang jarum dalam tumpukan jerami. Minimnya perspektif gender dalam ulasan musik sedikit banyak menunjukkan wajah ketimpangan gender di dunia musik. Ini sekaligus pengingat diri sendiri, termasuk di media tempat tulisan ini bersarang (baca: serunai.co) yang sangat jarang menerima tulisan dari kontributor perempuan maupun ulasan musik yang membahas karya musisi perempuan.

Akan tetapi, dari tadi kita pun masih berkutat di soal perempuan, belum bicara keragaman gender dalam arti yang lebih luas. Artinya, ada banyak sekali yang harus dilakukan untuk menghadirkan perspektif gender dalam musik. Saya rasa jika hal ini dianggap angin lalu oleh para pengulas cum kritikus musik, kritik musik masih akan terus begitu-begitu saja.

Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggungjawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi serunai.co

Related posts

Inisiasi: Pertaruhan Simbol dan Harapan

Erie Setiawan

Mengapa Jason Ranti Ada Baiknya Rilis Single Bertajuk “Bahaya Populisme”

Dintyo AB

Turba

Aris Setyawan

1 komentar

Jalan Sunyi Band Perempuan di Kancah Musik yang Toksik - POP HARI INI 29 Juli 2022 at 13:02

[…] Seksisme di Scene Kami yang ditulis oleh Anida Bajumi untuk Jurnal Ruang. Kedua, artikel berjudul Mencari Perempuan dalam Kritik Musik Kiwari yang ditulis oleh Idha Saraswati untuk […]

Reply

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy