Tentang frau dan hara yang mengaransemen ulang lagu “Kabut Putih”, sebuah kado spesial untuk Paduan Suara Dialita.
Kau kabut tebal nan putih, di lembah sunyi, datang mencekam
Kau kabut putih dan dingin, pagi ‘ni suram
Hujan rintik menambah sepi
hati nan muram, dingin merana
Kabut kini kian menipis
harap cahaya
Betapa tiada pedih, betapa tiada duka
Tapi lihatlah, lihat
s’makin terang cuaca
Menghilanglah kabut putih
hujan gerimis pun lenyap seg’ra
Lembah sunyi mulailah ria
‘kan cerah pasti
“Kabut Putih” – Zubaidah Nungtjik A.R.
Sepintas, lirik di atas mendeskripsikan panorama alam sebuah kawasan lembah yang kelihatannya bertemali erat dengan suasana hati sang perumus lagu. Tanpa memahami konteks penciptaannya, kita tak bakal mengira bahwa lirik cantik sarat optimisme ini lahir dari Kamp Plantungan, tempat pengasingan para tapol (tahanan politik) perempuan yang dituding bertanggung jawab atas prahara 1965. Berlokasi di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, tempat ini tadinya bekas rumah sakit lepra era kolonial.
Dalam kondisi babak belur selepas menjalani beragam siksa tak terperi, para tapol perempuan yang dikucilkan ke tanah asing terpencil tersebut masih mengalami rupa-rupa pelecehan. Tentu tak mudah untuk berjuang hidup dengan segenap daya yang tersisa di tengah tebalnya kabut ketidakpastian. Ajaibnya, mereka tetap mampu menyaksikan sepercik harapan akan masa depan yang lebih baik.
Optimisme perempuan-perempuan perkasa ini kentara terekspresikan dalam berbagai karya musik ciptaan Zubaidah Nungtjik A.R. yang lahir dari Kamp Plantungan. “Kabut Putih” salah satunya. Lirik sekaligus partitur goresan tangan Bu Nungtjik yang berkasnya ditemukan kemudian oleh Sri Nasti Rukmawati dan Uchikowati Fauzia menunjukkan “Kabut Putih” tercipta tahun 1971.
“Menurut rabaan saya, “Kabut Putih” dibikin awal-awal Bu Nungtjik sampai di Kamp Plantungan. Di sana, seluruh penghuninya memang bisa leluasa melihat kabut dan bukit, juga mendengar bunyi-bunyi binatang. Saya rasa jiwa Bu Nungtjik dengan sendirinya meresapi alam hingga lahirlah lagu “Kabut Putih.” Itulah gambaran kehidupan kami. Kabutnya tebal, tapi kami yakin terang akan datang,” papar Utati Koesalah Soebagyo Toer, penghuni Penjara Wanita Bukit Duri yang getol mendokumentasikan arsip-arsip musik karya Nungtjik.[1]
Kabut Putih: Kado Manis untuk Dialita
Menonjolnya perspektif harapan dalam “Kabut Putih” pula yang membulatkan hati Rara Sekar (hara) memilih lagu tersebut ketika suatu hari dikontak salah seorang tim produksi sutradara Shalahuddin Siregar yang memintanya menyanyikan sebuah lagu karya tapol 1965 sebagai respons atas film Lagu Untuk Anakku. Film dokumenter ini mengisahkan perjalanan Dialita, paduan suara perempuan penyintas 1965 yang aktif bermusik sejak 2011 sebagai alat pertahanan hidup sekaligus perlawanan.
Mendalami sejarah kelam peristiwa 1965 sejak berusia 19 tahun, Rara merasa “Kabut Putih” amat memilukan dan menguatkan pada saat bersamaan. Ia sungguh terenyuh menyaksikan daya juang para tapol perempuan yang gigih merangkul asa sekalipun awan pekat menyelubungi hidup mereka. Pengalaman menggarap “cover Kabut Putih” yang dirilis Maret 2022 sebagai salah satu pengiring Lagu Untuk Anakku kian menggores jejak mendalam yang tak henti menggelayuti benaknya.
Hara pun menyertakan “Kabut Putih” sebagai salah satu repertoar konser Layar Terkembang yang digelar 1 April 2023 dalam rangka peluncuran album perdananya, Kenduri. Menggunakan sebuah piano, hara menggaet frau (Leilani Hermiasih) menampilkan lagu ini dengan teknik permainan empat tangan. Duet memukau sontak menggema di seluruh penjuru Ruas Bambu Nusa, amfiteater rimbun berkanopi bambu berlatar Gunung Merapi yang dipilih menjadi lokasi konser.
“Sepertinya asyik kalau “Kabut Putih” bisa dibawakan duet. Aku langsung terpikir mengajak Lani yang sudah lebih dulu mengenal Dialita dan ibu-ibu penyintas di komunitas Kiprah Perempuan (Kipper) Yogyakarta. Kami punya keberpihakan serupa mengenai isu 1965,” terang Rara diiringi anggukan Lani.
Seingat Lani, persinggungan mendalamnya dengan isu 1965 bermula kala suatu hari pada 2010 ia menyaksikan pertunjukan Papermoon Puppet Theatre bertajuk Mwathirika, sebuah kisah metafora berlatar 1965. Woto Wibowo (Wok the Rock) kemudian memperkenalkannya pada Dialita saat ibu-ibu penyintas ini pentas dalam acara pembukaan Biennale Jogja 2015. Pada 2016-2017, Lani pun berkenalan dengan ibu-ibu Kipper Yogyakarta dalam sebuah proyek teater (dramatic reading) berjudul Gejolak Makam Keramat yang disutradarai Agung Kurniawan dan Irfanuddin Ghozali.
Frau akhirnya terlibat dalam proses pembuatan album perdana Dialita, Dunia Milik Kita (2016). Selain mengaransemen sejumlah lagu dalam album tersebut, frau juga membantu menerjemahkan not angka dari arsip orisinal menjadi not balok yang dapat dibaca para musisi sebagai bekal untuk menggarap album Dialita. Keterlibatan mendalam sejak satu dekade silam bersama ibu-ibu penyintas mendorong Lani meng-iya-kan langsung ajakan Rara berkolaborasi menyenandungkan “Kabut Putih.”
Duet hara dan frau mengalunkan “Kabut Putih” dalam konser Layar Terkembang di Yogyakarta tak luput direkam Shalahuddin Siregar yang akrab disapa “Mas Udin”. Hari itu juga, Mas Udin mengirim rekaman tersebut pada ibu-ibu Dialita yang sontak menyampaikan apresiasinya pada hara dan frau.
“Sambutan ibu-ibu Dialita atas “Kabut Putih” yang kami bawakan dalam konser Layar Terkembang jadi salah satu trigger yang membuatku berpikir untuk merekam lagu ini sebagai hadiah buat mereka. Walaupun setelah konser aku sibuk dengan persiapan pindah ke Selandia Baru, keinginan merekam lagu ini terus terpikirkan,” ucap Rara, mengenang ide awal aransemen “Kabut Putih” bersama Lani.
Ide menggubah “Kabut Putih” sebagai kado manis bagi ibu-ibu penyintas 1965 kian kukuh terwujud setelah Lani meracik aransemen pengiring menggunakan sebuah piano elektrik atau sering mereka referensikan sebagai “organ tunggal.”
“Aku sempat merekam pakai piano akustik, tapi kok rasanya terlalu berat. Kayaknya ada yang kurang. Akhirnya ngendon agak lama karena aku terus memikirkan sebaiknya diapakan. Kebetulan waktu itu aku lagi senang-senangnya dengan suara piano elektrik. Aku coba bermain dengan itu, dan ternyata memang terasa lebih ringan daripada piano akustik. Itulah yang akhirnya kukirim ke Rara,” tutur Lani.
Di Wellington, Selandia Baru, Rara seketika jatuh hati mendengar racikan “organ tunggal” yang dikirim Lani dari Yogyakarta. Alunannya terasa sangat pas menghadirkan nuansa nostalgia sekaligus suasana alam pegunungan yang ringan tanpa beban. Efek-efek delay yang muncul dan menghilang dengan lembut menghantarkan tiap pendengarnya memasuki dunia mimpi bertabur harapan.
“Aku betul-betul suka dan terbawa dengan efek musikal bagian intro dan outro yang dibikin Lani dengan organ tunggalnya. Aku langsung bilang oke Lan, aku bakal produce (aransemen) ini!,” kenang Rara.
September 2023, hara dan frau sepakat mematangkan rencana aransemen “Kabut Putih” dengan hara sebagai produsernya. Mereka kemudian bergerak cepat mengontak Dialita untuk mempresentasikan ide tersebut. Keduanya sadar tengah berkejaran dengan waktu yang terus melaju tanpa ampun. Ibu-ibu Dialita saksi sejarah kelam bangsa terus menua dan kini memasuki fase penghujung hidup.
Anggota Dialita yang terakhir tutup usia adalah Mudji Astuti Martoyo, seorang pendiri dan anggota Dialita. Ibu Tuti meninggal dunia dalam usia 76 tahun pada 12 September 2024. Sebelum aktif di Paduan Suara Dialita, Bu Tuti adalah mantan anggota Ansambel Tari dan Nyanyi Gembira (1963-1965), kelompok paduan suara bersejarah favorit Presiden Sukarno yang kerap diundang tampil di istana untuk menyambut tamu-tamu kenegaraan.
Berawal Khayal, Berakhir Bahagia
Bagi hara, pemilihan lagu “Kabut Putih” tak semata melanjutkan proyek cover-nya dua tahun silam. Selain melodinya yang luar biasa indah, Rara terpikat dengan perspektif harapan yang muncul dalam lagu tersebut. Ia sungguh terpukau dengan optimisme ibu-ibu penyintas menghadapi masa depan, ketika mereka sendiri masih bergumul hebat di tengah kondisi serba sulit nan pilu di tanah asing.
“Lagu ini sangat menyentuhku, memberi ketenangan sekaligus kekuatan. Daya juang generasiku jadi terasa jauh lebih lemah. Terpukul sedikit saja langsung merasa tak ada harapan. Kuatnya harapan melampaui keputusasaan yang muncul dalam lagu ini membuat cara pandangku melihat hidup hari ini jadi berbeda. “Kabut Putih” bisa menjadi pembelajaran berharga bagi generasi muda,” ujar Rara.
Di samping kendaraan untuk merawat harapan, frau merasa bahwa lirik yang tak terang-terangan meneriakkan protes atau nestapa akibat geger 1965 justru menjadikan “Kabut Putih” potensial sebagai pintu masuk yang lebih inklusif bagi mereka yang tertarik mempelajari sejarah kelam 1965.
Dengan lirik yang tak gamblang menuturkan kronologis sejarah, frau justru melihat keunggulan “Kabut Putih” dalam menginterpretasikan atmosfer serta emosi yang dirasakan, sekaligus harapan yang didamba. Dengan demikian, “Kabut Putih” bisa lebih tajam menguak sisi emosional yang biasanya sulit diekspresikan. Bagi frau, aspek emosional semacam ini tak kalah krusial diabadikan sebagai bagian penting sejarah selain narasi-narasi kasat mata yang lazim muncul dalam buku teks.
“Kabut Putih” itu metaforis banget. Lagu ini menggunakan keindahan untuk mengungkapkan harapan. Aku pikir, justru lagu-lagu yang sangat emosional dan personal seperti inilah yang bisa lebih efektif memantik orang mendalami lebih jauh peristiwanya. Melalui gambaran perasaan Bu Nungtjik sebagai salah seorang tapol yang mengalami peristiwa tersebut, aku melihat “Kabut Putih” seperti sekeping puzzle yang bisa melengkapi gambaran utuh tentang sejarah peristiwa 1965,” renung Lani.
Sehati dalam pemilihan lagu tak lantas membuat proses berkarya berangsur mulus.
Terpaut jarak lebih dari tujuh ribu kilometer dengan selisih waktu enam jam, sungguh tak mudah bagi hara dan frau menjalin komunikasi secara intensif untuk membincangkan proses aransemen “Kabut Putih.” Selain kendala jarak dan tingginya tangga nada, Rara yang baru hijrah ke Wellington mesti beradaptasi dengan kehidupan sekaligus pekerjaan baru yang mewajibkannya hadir dengan ritme jam kantor. Mereka harus piawai menyiasati waktu.
Rara pun terpana dengan harga sewa studio di Wellington yang mencapai Rp1,5 juta per jam. Menemukan tempat rekaman yang cocok dengan harga terjangkau menjelma tantangan tersendiri.
“Sebetulnya bisa saja rekaman di studio milik Pemkot [pemerintah kota; red] yang murah meriah, tapi aku cuma bisa weekend karena weekday harus kerja. Masalahnya, weekend itu biasanya berbarengan dengan band metal. Aku sempat sewa dua jam untuk rekaman vokal proyek lagu lain. Karena waktunya terbatas, aku nggak boleh salah supaya nggak harus take berulang-ulang,” Rara terkekeh.
Tak ingin merasa tertekan seperti pengalaman sebelumnya, proses produksi “Kabut Putih” akhirnya dilakukan Rara dari tempat tinggal yang ia sewa bersama suaminya di Wellington. Untuk menggenapi aransemen, ia dan Lani bergelut menggali sejumlah referensi terkait sejarah 1965 dan Kamp Plantungan. Berbulan-bulan menelaah dokumen-dokumen lawas, Rara akhirnya lebih sreg memasukkan sepenggal dialog dalam film Lagu Untuk Anakku. Selain terasa pas, Rara sekaligus ingin memberi penghargaan pada film dokumenter yang telah memperkenalkannya pada “Kabut Putih.”
Di luar perkara teknis, Rara mengaku bahwa tantangan terbesar yang ia rasakan sesungguhnya lebih berkaitan dengan gado-gado emosi yang terus muncul di sepanjang proses aransemen. “Aku berkali-kali menemukan diri nggak kuat melanjutkan prosesnya sehingga harus ambil jeda dulu. Hari ini berhenti karena nggak kuat, besoknya baru diteruskan lagi,” ungkap Rara.
Berjibaku menghadapi aneka tantangan yang menguras emosi, aransemen dan produksi “Kabut Putih” akhirnya tuntas dalam setahun. Sejalan dengan misi mempersembahkan kado manis bagi ibu-ibu Dialita, “Kabut Putih” versi hara dan frau diperdengarkan untuk pertama kalinya di hadapan mereka dalam “Sesi Mendengar” yang digelar melalui aplikasi Zoom pada 6 Oktober 2024. Lantunan hara dan frau seketika menggetarkan suasana, memicu keharuan mendalam yang tak henti mengalirkan air mata.
Aransemen ini menuai apresiasi luar biasa positif dari ibu-ibu Dialita yang berkesempatan hadir – antara lain Uchikowati Fauzia, Utati Koesalah, Irina Dayasih, Budhisatwati Kusni, Tunik Kurniawati, Yuli Iswahyu, dan Sri Nasti Rukmawati. Selain memuji kepiawaian hara dan frau menggubah lagu “Kabut Putih” yang menggugah hati, ibu-ibu Dialita juga mengungkapkan rasa syukur mereka melihat semangat generasi muda belajar sejarah dan menghargai pengalaman penyintas lewat karya kreatif.
“Setelah melalui perjalanan berliku-liku, kami bersyukur lagu-lagu yang lahir dari dalam tahanan seperti “Kabut Putih” ini akhirnya sampai ke anak-anak muda. Yang tadinya hanya khayal, akhirnya jadi kenyataan yang sangat membahagiakan. Semoga lagu-lagu seperti ini terus merambati batin anak-anak muda sehingga penasaran memahami sejarah kelam. Sekelam apa pun, tetap perlu diketahui supaya mereka bisa mengambil jalan yang lebih efektif untuk kemajuan negeri ini, demi kebahagiaan dan kehidupan semua anak bangsa,” papar Utati, menyatakan harapan terbesarnya.
Riana, cucu Zubaidah Nungtjik A.R. yang menyaksikan langsung momen terakhir nenek tercintanya, turut gembira mendengar karya omanya dilantunkan kembali oleh hara dan frau.
“Mendengar Mbak Rara dan Mbak Lani menyanyi, rasanya seperti mendengar suara oma sewaktu muda. Agak sopran, melengking tinggi. Sepertinya ada setengah jiwa oma di lagu itu. Lewat lagu itu, saya merasakan kerinduan oma terhadap suaminya yang saat itu belum ketemu. Saya dengar oma memang disayang banget sama opa. Apa pun yang oma minta, selalu dipenuhi opa,” ungkap Riana.
Hara dan frau bahagia bukan kepalang mendengar apresiasi ibu-ibu Dialita. “Sesudah mendengar tanggapan ibu-ibu Dialita dalam “Sesi Mendengar,” tujuan utama kami memberikan hadiah untuk mereka sebenarnya sudah tercapai. Sudah cukup. Tak perlu rilis pun tak masalah,” Rara terbahak.
Karya Tumbuh Sepanjang Hayat
Saling mengenal dan berkolaborasi sejak lebih dari satu dekade silam, hara dan frau sama-sama memandang musik sebagai pedagogi atau cara menyampaikan pesan atas suatu isu alih-alih dilihat sebagai tujuan atau produk akhir. Musik juga menjadi cara untuk menyelidiki berbagai kemungkinan. Keduanya sadar bahwa upaya membangun kesadaran kritis dalam memandang sejarah, terlebih sejarah-sejarah kelam yang masih ditabukan seperti peristiwa 1965, tak pernah berjalan mudah.
Walau musik terbukti manjur menyentuh afeksi yang menggelitik rasa ingin tahu, hara dan frau yakin mereka tak bisa berjuang sendiri membangkitkan minat publik untuk mempelajari sejarah kelam. Berangkat dari keyakinan ini, keduanya sepakat memosisikan aransemen “Kabut Putih” yang dirilis pada 25 Oktober 2024 sebagai pintu masuk bagi masyarakat untuk mengenal beragam sejarah yang disenyapkan, sekaligus menyediakan ruang bagi mereka yang tertarik menyampaikan respons.
Selama perjalanan menggubah “Kabut Putih,” hara dan frau mengaku bahwa mereka sangat bergairah membayangkan kemungkinan-kemungkinan kolaborasi dengan berbagai pihak. Keduanya bertekad memperlakukan aransemen ini sebagai karya tumbuh bersama dalam jangka panjang.
“Setahun terakhir, sepertinya kami lebih heboh mikirin apa yang bakal dirilis bersamaan dengan rilis “Kabut Putih” daripada rekamannya itu sendiri. Bikin zine, film, tulisan, ilustrasi – butuh biaya berapa, bikin bujet, dan seterusnya. Obrolannya malah lebih berat ke sana. Sejujurnya aku terinspirasi cara Mas Udin dan tim mengundang teman-teman untuk merespons film Lagu Untuk Anakku. Kami juga terpikir mengajak penulis, seniman, film maker, dan sebagainya. Daftarnya panjang,” cetus Rara.
Meyakini kekuatan kolaborasi, hara dan frau tak ragu mengumandangkan “Open Call Seumur Hidup”, sebuah ajakan terbuka bagi siapa pun yang tertarik merespons aransemen “Kabut Putih” serta kisah para penyintas 1965 melalui karya-karya kreatif dalam berbagai format.
Tak seperti promosi rilis lagu komersial pada umumnya yang dibatasi tenggat waktu, hara dan frau menolak batasan waktu untuk setiap respons yang masuk. Dengan begitu, ibu-ibu Dialita bisa terus menerima hadiah manis sepanjang hayat mereka tanpa perlu menanti bulan atau momen tertentu. Hara dan frau pun berencana membuat situs web khusus untuk merumahkan karya-karya tersebut.
“Tentu akan terasa hangat jika setiap respons yang masuk bisa kami share ke ibu-ibu Dialita. Respons-respons ini menjadi hadiah-hadiah kecil yang bisa terus mereka terima seumur hidupnya. Kami pun percaya orang-orang yang menyaksikan respons bisa merasakan kehangatan yang sama sehingga tertarik merespons juga. Jadinya semacam the gift that keeps on giving,” jabar Rara.
Melalui “Open Call Seumur Hidup”, hara dan frau pun berharap semangat mempelajari sejarah 1965 tak surut ditelan zaman. Selain memberi pelajaran berharga tentang keberingasan politik kekuasaan yang berkuasa membalikkan nasib manusia, kisah ibu-ibu Dialita memberi pesan yang amat berharga perihal daya juang di tengah kecamuk badai kehidupan, kemampuan melepas dendam dan amarah, kegigihan merangkul harapan, serta keindahan saling mengasihi antarsesama (collective care).
Tak kalah penting, “Open Call Seumur Hidup”mencerminkan itikad hara dan frau memerdekakan diri dari belenggu kapitalisme berikut segala jargon produktivitasnya yang biasanya kerap membatasi kesempatan seseorang belajar dan bertumbuh tanpa tekanan ruang dan waktu.
“Kenapa kami harus membatasi bentuk dan durasi waktu berkarya jika ibu-ibu Dialita saja mesti menghadapi [pergumulan] itu seumur hidupnya? Rasanya kurang pas jika ajakan belajar sejarah 1965 ramai disuarakan pada September atau Oktober saja. Setiap orang harusnya bisa merespons kapan pun pintu hatinya terketuk. Upaya merawat ingatan itu tak perlu deadline,” pungkas Rara.
[1] Diungkapkan Utati Koesalah Soebagyo Toer dalam “Sesi Mendengar” perdana aransemen “Kabut Putih” versi hara dan frau yang berlangsung pada Minggu, 5 Oktober 2024 melalui aplikasi Zoom.
“Kabut Putih” gubahan hara dan frau dapat didengarkan di tautan berikut:
Penulis: Sylvie Tanaga
Editor: Aris Setyawan