***
Dalam sesi wawancara dengan Bas, terungkap betapa proses kreatif LHAB sudah dimulai sebelum MDB dirilis. Penggarapannya sendiri dimulai dari pencatatan satu-dua kalimat di daily notes Bas, ditentukan tema dan judulnya, lalu digambar dalam melodi ritem awal, balik lagi ke penulisan lirik sementara, untuk kemudian masuk ke proses recording merekam vokal.
Iterasi ini kemudian diulang lagi dengan penulisan lirik selanjutnya dan proses merekam vokal tambahan hingga menjadi bangunan struktur lagu utuh yang dipercayakan kepada para personel band pengiring untuk digubah.
Meski terkesan back and forth, proses kreatif ini tak hanya menyiratkan disiplin dan etos kerja kreatif yang luwes secara produktivitas, tapi juga membantu Bas memiliki kontrol penuh dalam setiap aspek di LHAB.
Wajar bila konsep LHAB berubah lebih dari 5 kali, dengan jumlah track dan judul album yang paling sering berganti-ganti mulai dari judul album awal “Wawancara Liar”, “Hikayat Orang Gila” dan “Ku Doakan Kita Semua Masuk Neraka.”
Bahkan total track LHAB versi awal yang disiapkannya berjumlah hampir 50 lagu, yang mana kebanyakan di antaranya sudah naik vokal. Pemangkasan lebih dari dua lusin lagu, bukan tanpa alasan. Pasalnya jika beberapa lagu dipaksakan masuk, Bagian 1 akan menjadi terlalu pesimistis dan bagian 2 akan menjadi terlalu optimistis menurut Bas. “Ada tone and mannerism yang saya berusaha jaga, kalau part 1 harus sangat pesimis dan part 2 harus optimis buta,” ungkapnya.
Seraya mengenang proses kreatif LHAB, Bas mengaku di aplikasi notes smartphone-nya bahkan masih menyimpan lirik “Selebrisik” versi awal yang ditulis ulang, atau nomor unreleased “Pura-Pura Peduli” yang meski sudah rampung bertahun-tahun namun terpaksa disingkirkan dari daftar lagu final LHAB.
Menjawab komentar perkara hadirnya lagu-lagu yang bernuansa kampanye brand, Bas mengaku penuh ada semacam ‘kecacatan’ yang deliberately (dilakukan dengan sengaja) selain karena pertimbangan konsistensi storytelling album.
“Emang harus ada lagu brand di sini. Banyak yang bilang “Jangan Jadi Pahlawan” itu lagu brand banget. Ada lagu yang lebih bagus dari “Jangan Jadi Pahlawan” secara musikal, cuma saya nggak mau ada itu di album karena ‘cacatnya’ jadi ga ada,” sanggah Bas santai.
Sedangkan perihal skit, Bas mengakui keempat part “Wawancara Liar” terkoneksi langsung dengan simbol empat malaikat dan empat krisis anti-modernisme yang jadi tajuk utama LHAB. Format percakapan podcast sendiri dipilih karena dua alasan: Pertama untuk melancarkan pesan-pesannya karena kerumitan topik yang jadi wacana; dan Kedua untuk mempertahankan tradisi khas Hindia yang sudah dimulai dari kemunculan voice note di MDB.
Dengan mempercayakan penulisan sepenuhnya kepada Kristo dan Iyas, Wawancara Liar digarap Bas secara kolaboratif dengan memberikan talking points dan mempersilakan lebih dulu keduanya mendengarkan 24 lagu yang ada, serta menyimak dokumen puluhan halaman berisi manifesto LHAB yang diakuinya belum pernah ia publikasikan.
Kritik Atas Narasi LHAB
Narasi apokalip berwujud bait puisi, tembang, hingga kisah rakyat yang mengabarkan tanda-tanda akhir zaman seperti yang termaktub dalam LHAB sebetulnya bukanlah hal yang baru.
Pelacakan sejarah Nusantara menunjukkan di abad 11, Prabu Jayabaya sudah bernubuat akan muncul zaman Kalabendhu (carut-marut) di masa depan pasca runtuhnya kerajaan Kediri. Yang kemudian disitir pujangga Kasunanan Surakarta bernama Ronggowarsito lewat ramalan akan hadirnya zaman edan kala bangkrutnya masyarakat di bawah penjajahan Hindia Belanda, dan kepercayaan akan datangnya Ratu Adil sebagai mesias sang Juru Selamat.
Bedanya, LHAB hadir dengan meminjam simbol dan isu yang sama namun kontra-narasi lewat posisi yang berseberangan dalam memandang solusi krisis akhir zaman. Sebab alih-alih mengabarkan jalan keselamatan modernitas lewat pengharapan yang baik ala Sunan Kalijaga atau false positivisme-nya Badai Pasti Berlalu, Hindia dengan agresif dan berbahagia mengabarkan kekalahan generasi hari ini atas krisis multidimensi.
Lewat penerimaan kita akan kondisi kekinian yang nihilis, penguatan eksistensialisme dan sikap sebagai jalan keluar, Hindia sejatinya tengah mengajarkan pendengarnya untuk berani merayakan kiamat tanpa kehadiran juru selamat.
Dalam rangka inilah kami menilai LHAB memuat sejumlah paradoks. Pertama, terlepas dari apakah bumi kini benar-benar berada di akhir zaman sesuai ramalan, LHAB justru tengah ambil peran menyebarluaskan narasi masa lalu yang hendak dihancurkannya sendiri. Sebab menyamakan krisis multidimensi kekinian dengan kondisi akhir zaman Kalabendhu ala Jayabaya hanya akan menciptakan kebenaran palsu (baca: mitos) yang baru.
Kedua, meski belum ada bukti kuat bagaimana filsafat Nietzsche menginspirasi kekejaman Nazi, namun sejarah dunia sudah terlanjur mencatat trauma besar melanda Eropa karena pengaruh nihilisme aktif yang dianut Hitler. Tanpa mengabaikan kontribusi gagasannya dalam mengubah wajah dunia yang kita kenal hari ini, paham nihilisme tidak membawa kita kemana-mana karena sifat imanennya yang non-posisi. Dan dalam konteks LHAB, menawarkan nihilisme sebagai solusi sama saja dengan melawan trauma dengan menciptakan trauma baru.
Ketiga, kuatnya tawaran eksistensialisme dalam LHAB yang memandang manusia sebagai entitas bebas dalam menciptakan makna hidupnya sendiri, tampak kontradiktif. Sebab kalau hidup ini benar tak ada artinya dan kita bebas mengarang maknanya seorang, maka bagaimana bisa kita membangun konsensus untuk kemaslahatan bersama, semisal mengatasi krisis karbon?
Pasalnya dalih argumentasi yang sama jugalah yang dipakai para pendukung modernisme dalam mencapai kebebasan ekonomi dan politik, memicu banyak pihak berbuat sewenang-wenang untuk kepentingannya sendiri dan kelak mewariskan krisis multidimensi yg awalnya dikritik oleh LHAB sendiri.
Analisis Teks | Analisis Musikal | LHAB memiliki dua mood utama, yakni aggressive dan happy |
Analisis Semantik | LHAB memiliki sebaran topik dari ekses teknologi, social relationship, inflasi, personal dan mental health, krisis iklim hingga oligarki | |
Analisis Semiotik | LHAB menggunakan format skit untuk melancarkan pesan-pesannya tentang krisis multidimensi, yakni Krisis Ekonomi, Krisis Teknologi, Krisis Politik, dan Krisis Alam, serta meminjam simbol-simbol apokaliptik lewat narasi malaikat dan peristiwa kiamat | |
Analisis Produksi Teks | LHAB digarap dengan metode kreatif yang luwes di bawah kontrol penuh Bas | |
Analisis Konteks | Lewat sikap , LHAB menawarkan nihilisme dan eksistensialisme sebagai jalan keluar menghadapi krisis multidimensi |
Dus, ketiga paradoks di atas tak hanya membuktikan bagaimana Hindia terjebak dalam misleading di tataran ideologis, tapi sekaligus juga meruntuhkan bangunan argumentasi LHAB itu sendiri yang digadang-gadang menolak makna dan nilai-nilai yang umumnya diterima dalam masyarakat.
Karenanya menerima sebagai sikap hidup otentik seperti yang ditawarkan LHAB, hanya akan memunculkan generasi mati rasa yang stagnan dan bibit-bibit individualisme baru yang hidup dalam The Reality Bubble-nya masing-masing.
Penutup: Lagipula Esai Akan Berakhir
Saat penutup esai ini ditulis, Indeks Kualitas (AQI) dan polusi udara di Jakarta tengah menyentuh skor PM2.5 dengan AQI US di kisaran 113. Skor ini ditandai sebagai Tidak Sehat Bagi Kelompok Sensitif dan berada pada level 8 kali di atas nilai panduan kualitas udara tahunan WHO.
Data serius ini memang tidak main-main, karena polusi udara PM2.5 berukuran kecil untuk dapat tetap melayang di udara dalam waktu yang lama dan bisa diserap jauh ke dalam aliran darah saat terhirup. Pakar kesehatan menyebutkan hal ini merupakan ancaman kesehatan terbesar di dunia.
Dalam konteks global, setahun terakhir ini kita disuguhkan rangkaian laporan serupa mulai dari kenaikan suhu memicu kebakaran hutan yang mengerikan di Australia, banjir besar wilayah Israel, serta badai di sepanjang Pantai Teluk di Amerika Serikat.
“Setiap malam di jaringan berita seperti menjelajahi alam melalui Kitab Wahyu,” demikian komentar Mantan Wakil Presiden Al Gore yang dikenal gencar berbicara mengenai masalah perubahan iklim menanggapi tren yang makin tahun makin meningkat eskalasinya.
Komentar ini bukan tanpa sebab, jika kita menilik pada berbagai kepercayaan di banyak budaya, prediksi akhir zaman selalu ditandai dengan kondisi luar biasa yang mengarah pada perubahan iklim. Mulai dari tradisi Hindu yang memercayai kiamat dimulai dengan kekeringan selama satu abad lamanya, tradisi Eropa yang menyatakan dunia akan berakhir dengan musim dingin yang parah, hingga suku Aztec yang memercayai bahwa dunia telah beberapa kali berakhir karena kebakaran, banjir, dan angin topan.
Dan bentuk mitos yang paling umum terutama dalam kepercayaan agama Samawi adalah mitos banjir bandang saat Tuhan membanjiri bumi untuk menghukum umat manusia atas dosa-dosanya, dan mereka memilih segelintir orang yang selamat untuk mengisi kembali bumi setelah air bah surut.
Belajar dari temuan-temuan di LHAB yang paradoks, per hari ini kita justru hendak memandang kondisi global ini sebagai tantangan baru dalam mengatasi krisis karbon, alih-alih menerimanya sebagai ramalan akhir zaman yang secara cocoklogi kini terbukti kebenarannya.
Sebab jika makin banyak masyarakat yang percaya bahwa kekacauan iklim hari ini menandakan dunia yang akan segera berakhir, kita mungkin akan dengan mudah menyerah dan pesimis pada hal-hal strategis yang perlu dilakukan untuk menghindari bencana global. Ironisnya, hal tersebut justru membuat prediksi apokaliptik akan menjadi kenyataan dalam waktu tak lama lagi dari sekarang.
Volatile | The environment demands you react quickly to ongoing changes that are unpredictable and out of your control |
Uncertain | The environment requires you to take action without certainty |
Complex | The environment is dynamic, with many interdependencies |
Ambigous | The environment is unfamiliar, outside of your experties |
Karenanya sebagai ujung kesimpulan, lewat penutup esai ini kami hendak mengajukan sebuah gagasan tentang dunia VUCA sebagai pengganti mitos masa lalu tentang nubuat kondisi akhir zaman.
Meminjam istilah militer yang biasa digunakan dalam medan peperangan, dunia VUCA itu sendiri adalah cerminan dunia yang kita hidupi sekarang ketika perubahan terjadi sangat cepat, tidak terduga, dipengaruhi oleh banyak faktor yang sulit dikontrol, sehingga kebenaran serta realitas menjadi sangat subyektif.
Menghadapi VUCA world yang matched dengan kondisi hari ini memang tak perlu menunggu sang juru selamat datang, meski tak akan cukup taji jika dijalani hanya dengan nihilisme.
Sebab yang kita butuhkan saat ini adalah melatih diri kita menjadi aktor individual-environmentalist yang mampu menyembuhkan trauma diri sendiri dengan terus membangun komunikasi asertif, melihat jernih pentingnya hidup komunal untuk terus berjejaring, dan menciptakan etos-etos dan metodologi hidup baru yang lebih agile daripada generasi-generasi sebelumnya.
Selesai.
Bagian 1 tulisan ini dapat dibaca di tautan berikut.
Bagian 2 tulisan ini dapat dibaca di tautan berikut.
***
Tim Liputan LHAB Hindia:
Pry S. Jurnalis lepas dan programmer paruh waktu. Kini tinggal dan bekerja di Jakarta
Chasya Clementine. Pelajar di SMA Kairos Gracia. Gemar menulis abstrak untuk lagu-lagu atau album yang sedang ia dengarkan. Ia juga gemar menggambar dan mengilustrasi serta membuat banyak kerajinan tangan, mempunyai minat lebih di bidang kreatif. Beberapa karyanya bisa dilihat di profil instagramnya, @intrevald, dan akun khusus untuk ia menulis, @meliodya
Anto Arief. Pemimpin redaksi pophariini. Suka membaca tentang musik dan subkultur anak muda. Pernah bermain gitar untuk Tulus nyaris sewindu, pernah juga bernyanyi/bermain gitar untuk 70sOC.