Don’t Look Up (Foto: Netflix)
Sejak Donald Trump menginjakkan kakinya di tampuk kekuasan tertinggi Amerika Serikat, geopolitik global terus mengalami perubahan drastis menuju keterpurukan. Gerakan politik anti-imigran dan penyangkalan terhadap krisis lingkungan menyeruak ke berbagai negara, terutama benua biru. Di tengah perubahan itu masyarakat dunia juga harus menelan pil pahit: World Health Organisation (WHO) menetapkan status pandemi menyusul meluasnya virus corona dan COVID-19. Sebagai akibatnya, pandemi menggerogoti tidak hanya sektor kesehatan publik, tetapi seluruh tatanan ekonomi politik global yang selama ini sangat bergantung pada struktur penguasaan alat produksi oleh segelintir elite pemilik modal.
Saat banyak orang-orang lemah tersungkur dan mati akibat terbatasnya bantuan pemerintah dan rusaknya jejaring ekonomi masyarakat, sebagian orang memilih membangun aliansi dan solidaritas demi mempertahankan keberlangsungan hidup; suatu ironi dari peradaban yang kita kenal maju dalam kehidupan masyarakat modern. Berangkat dari latar di atas, melalui film Don’t Look Up, sutradara berpengalaman Adam Mckay seolah ingin merespons gejolak yang menyertai kehidupan masyarakat dunia belakangan ini. Dengan balutan komedi satir, Don’t Look Up hadir menyuguhkan fantasi liar tentang bagaimana mesin-mesin kapital serta aktor politik bekerja mengeksploitasi sendi-sendi kehidupan hingga mengantarkan umat manusia menuju hari akhir yang tak terelakkan.
Film dibuka oleh Kate Dibiasky (Jennifer Lawrence), astronom muda yang tengah asyik mendengarkan lagu rap dari Wu-Tang Clan di sela-sela pekerjaannya memantau pergerakan benda-benda luar angkasa di planetarium. Pada saat yang sama, ia mendeteksi sebuah komet bergerak menuju bumi yang pada gilirannya menjadi objek keseluruhan jalannya cerita.
Kisah bertumpu pada duet Kate Dibiasky dan Dr. Mindy (Leonardo Dicaprio), seorang peneliti zat gas di galaksi mati. Melalui serangkaian rumus matematika mereka memecahkan teka-teki pergerakan komet (menghitung orbit), jarak dan kemungkinan apa saja yang terjadi saat komet mencapai permukaan bumi. Mereka pun tiba pada kesimpulan yang mencengangkan: besaran kekuatan komet tersebut mampu meluluhlantakkan bumi, dengan waktu perjalanan 6 bulan. Dalam perasaan cemas mereka menyusun rencana untuk mendesak otoritas politik, angkatan militer dan lembaga pengetahuan antariksa agar segera mengambil langkah mitigasi. Dalam usahanya mencegah komet jatuh ke bumi, penyangkalan, keserakahan dan kekacauan mengiringi film hingga akhir.
Don’t Look Up cukup menyegarkan, membawa kita pada suatu ilustrasi apokaliptik yang rasional, kekinian namun ironis pada kenyataannya. Terlebih, para pemeran utama dalam kisah ini memiliki karakter yang menarik. Dibiasky, sosok tangguh yang merepresentasikan semangat muda, heroik dan idealis, sedang Dr. Mindy adalah kolaborator yang suportif meski di banyak kesempatan ia tampak oportunis sekaligus menjengkelkan.
Dengan durasi 145 menit Mckay berusaha menyajikan dinamika sosio-ekonomi-politik yang begitu luas tanpa mengabaikan keutamaan cerita. Dalam amatan penulis sekiranya ada beberapa subjek utama: ilmuwan, media, politikus, pengusaha, dan militer. Kelima subjek tersebut ditempatkan pada rangkaian fragmen yang tak ubahnya piramida kapitalisme, ketika para ilmuwan, militer hingga politikus saling menopang keberadaan para pebisnis (pemilik modal) di puncak singgasana demi mempertahankan posisi mereka masing-masing di bawahnya. Meski sesekali jalan cerita mudah ditebak, tetapi Don’t Look Up tidaklah membosankan. Konflik yang hadir sejak awal film dibuka membuat cerita berjalan dinamis dan setidaknya membuat rasa penasaran penonton terus mengalir hingga akhir, terutama bagaimana Mckay mengekspos secara berlebihan kebodohan politisi di setiap alur cerita. Semuanya terasa begitu dekat hingga membuat penonton lupa bahwa mereka adalah pihak ketiga.
Media dan Politik
Enam tahun kuliah di jurusan ilmu politik membuat saya sadar betapa tidak bergunanya ilmu yang saya himpun jika tidak mampu memberikan gambaran yang sederhana: bagaimana politik bekerja dan memengaruhi segala urusan tetekbengekdalam keseharian kita, tak terkecuali hubungan politik dan bisnis media. Melalui Don’t Look Up, Mckay berhasil menempatkan media sebagai bagian yang tak terpisahkan dari politik, serta menggambarkannya secara apik. Tentu, media yang dimaksud di sini adalah korporasi media raksasa yang memiliki kontrol atas hak siar dengan jangkauan yang lebih luas dan pengaruh besar dari pada media independen yang dibangun melalui mekanisme swakelola.
Tidak hanya sebagai alat fabrikasi hoaks yang membentuk kesadaran masyarakat, media yang ditampilkan Mckey juga menjaga suatu tatanan kebudayaan yang lekat dengan nilai-nilai tertentu dalam industri budaya populer. Karenanya, pertama-tama Mckey menelanjangi bisnis media dengan menunjukkan bahwa industri media hari ini dibangun atas prinsip-prinsip jurnalisme yang mengedepankan aspek hiburan semata yang memberikan lebih banyak ruang bagi acara seperti gosip dan pemberitaan dengan isu-isu yang berjarak dari persoalan konkret masyarakat.
Dalam isu politik misalnya, kita mengenal apa yang disebut sebagai politainment: konten politik dikemas dengan menggunakan format hiburan. Alih-alih menciptakan konten yang mudah dicerna, politainment justru menjadi langkah strategis untuk mengaburkan hal-hal substansial—yang selanjutnya dengan cara itu pula kecenderungan untuk menyangkal fakta-fakta ilmiah pun menjadi sangat dimungkinkan, baik untuk tujuan kepentingan politik tertentu atau meningkatkan rating.
Semakin tinggi rating, semakin besar pundi-pundi keuntungan. Produk jurnalistik inilah yang sesungguhnya hadir tidak hanya dalam Don’t Look Up melainkan dalam keseharian kita, sehingga tak perlu terkejut jika dalam keseharian kita sulit menghindari konten dari produk jurnalistik yang bersifat ahistoris dan menormalisasi nilai-nilai status quo yang menindas kaum lemah.
Di dalam Don’t Look Up pemandangan ini dihadapi oleh Dibiasky dan Dr. Mindy dalam usahanya menggalang dukungan publik pada sebuah wawancara di salah satu siaran televisi. Saat mereka berusaha menyodorkan informasi mengenai ancaman komet yang akan menimpa bumi, para jangkar berita (news anchor) justru berusaha membingkai informasi tersebut sebagai lelucon yang tak perlu ditanggapi secara serius. Dampaknya, masyarakat pun ikut ke dalam arus dan kerangka berpikir yang sama. Pancaran ini tergambar oleh detail yang disajikan Mckey dalam satu adegan wawancara. Di tengah wawancara, salah satu penonton berkelakar bahwa Dibiasky yang dengan heroik menerangkan temuannya lebih terlihat seperti seorang pengidap bipolar dari pada seorang astronom yang sedang berusaha mengajak masyarakat menyelamatkan dunia.
Selanjutnya, secara repetitif kita juga akan dengan mudah menemukan praktik jurnalisme yang dengan telanjang menundukkan publik untuk kepentingan politik penguasa di atas gelombang kekacauan. Kita biasa menyebutnya riding the wave. Ironisnya, wave yang dimaksud di sini adalah kekacauan sosial dan politik saat masyarakat terpolarisasi menjadi dua golongan yang saling berseteru dan mempertaruhkan nasib mereka di tangan para politikus borjuis.
Dalam fragmen lain, Mckay juga menampilkan peran media sosial saat ini sebagai suatu yang primer—menjadikannya semacam jendela dunia yang seolah menyediakan ruang lebih independen untuk beragam diskursus, padahal kenyataannya, ia menyimpan kontradiksinya sendiri. Media sosial tidak lepas dari sistem yang juga dipengaruhi relasi kuasa, baik kuasa penggunanya atau para pemilik platform tersebut. Hal ini dapat diamati langsung dari misalnya pengaruh orang-orang yang mampu membayar—sebut saja—buzzer, yang belakangan dengan sistematis dipakai untuk membungkam mereka yang mengkritik penguasa. Karenanya, dibutuhkan solidaritas yang lebih masif dalam mengamplifikasi wacana tanding bagi isu-isu yang terpinggirkan (seperti konflik agraria, pelanggaran HAM, kriminalisasi aktivis lingkungan dan seterusnya) dari radar media yang hanya haus akan laba.
Akumulasi Kapital atau Mati!
Suara kelas pekerja (dalam arti kelas pekerja yang terorganisir) memang tidak banyak mendapatkan tempat dalam film ini. Narasi sinematik yang dibangun cenderung populis dan tipikal. Namun, menarik melihat bagaimana Mckay mengekspos segala bentuk keserakahan manusia pada muara yang tepat. Siapa manusia tersebut? Dan dalam relasi sosial seperti apa keserakahan itu dimungkinkan? Seperti kita bisa saksikan, di tengah konflik yang memuncak, Mckay dengan tepat menarasikan: di hadapan kapital, fakta ilmiah pun sukar menghalangi pemilik modal untuk terus melakukan proses akumulasi kapital.
Adalah Sir Peter Isherwell, pendiri BASH Incs, sebagai orang pertama yang menemukan potensi mineral bernilai miliaran USD yang terkandung dalam “komet Dibiasky” dan kemudian mengintervensi kebijakan pemerintah untuk melakukan penambangan (komodifikasi komet) alih-alih menyelamatkan dunia dari kehancuran. Setelah usaha yang panjang bagi Dibiasky, Dr. Mindy dan para pendukungnya meyakinkan pemerintah untuk segera menghancurkan komet, pemerintah justru berbalik arah mendukung Peter Isherwell. Bagian ini tentu menjadi fragmen yang paling terang dalam menggambarkan wajah ekonomi politik global yang bejangkar pada relasi kapital ketika para pemilik modal membawa pengaruh yang dominan bagi keputusan-keputusan politik sekalipun diperlukannya tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Relasi yang timpang dan terciptanya keputusan semacam ini tidak berdiri sendiri di ruang hampa. Terdapat ilmuwan dan aktor politikus borjuis yang erat kaitannya dengan etos politik antroposentrisme liberal—yang memandang manusia sebagai “pusat” dan eksploitasi sumber daya alam sepenuhnya baik dan perlu sejauh memberikan manfaat langsung bagi kepentingan manusia. Situasi yang seutuhnya mengingatkan kita pada manuver kebijakan ekonomi politik pemerintah dalam melanggengkan aktivitas eksploitasi sumber daya alam melalui sejumlah proyek investasi nasional bersama korporasi swasta dengan dalih pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, meski keberlanjutan ekologis menjadi korbannya.
Don’t Look Up memantik kita untuk berpikir ulang tentang siapa yang dimaksud dalam standar moralitas kita sebagai yang serakah. Jawabannya bisa sederhana, bisa juga rumit, bergantung pada perspektif apa kita melihatnya. Memang, Don’t Look Up tidak menyediakan kita pisau analisis untuk membedahnya secara holistik. Namun, paling tidak ia berusaha mendedahkan daya destruktif kekuasaan yang merepresentasikan kelas pemodal, sehingga aspirasi rakyat, kedaulatan dan hal-hal yang terkait dengan nilai-nilai demokrasi yang selama ini diamini tampak sebagai mitos belaka.
Jika ditarik lebih jauh, keserakahan memang tampak bersinonim dengan akumulasi kapital. Bagaimana tidak? Dalam banyak kasus, proses-proses akumulasi kerap menabrak batas-batas kemanusiaan. Kita tahu bahan baku lithium untuk membuat baterai yang disuplai ke berbagai merk dagang telepon pintar seperti Apple dan Samsung ditambang di Afrika oleh buruh-buruh anak. Atau praktik perbudakan ABK dari Indonesia di sebuah kapal ikan dari China. Itu merupakan sedikit dari banyak praktik yang dibutuhkan untuk memenuhi rantai pasok/produksi dalam proses akumulasi.
Don’t Look Up menghadirkan realitas yang mungkin tak jauh berbeda atau lebih buruk. Saat cerita menuju klimaks, Sir Peter Isherwell dan para politisi Gedung Putih (sebagai simbol keserakahan) memaksa orang-orang di bawahnya melempar dadu–mempertaruhkan nasib umat manusia beserta isinya dengan janji akumulasi nilai lebih, sembari di lain tempat diam-diam menyiapkan sekoci penyelamatan yang kelak digunakan saat rencana akumulasi dirasa tak sesuai spekulasi.
Amerika
Sepertinya kita tidak akan pernah kehabisan film yang memperlihatkan dunia bekerja dari sudut pandang Amerika Serikat. Amerika sebagai angle, Amerika sebagai pusat, Amerika yang superior, begitulah narasi sinema layar perak kita yang tak banyak berubah sejak Perang Dingin hingga kini dalam mendefinisikan dunia. Kendati demikian, Adam Mckay memiliki cara lain. Ia berupaya mendekonstruksi citra pemerintah Amerika Serikat hingga ke palung terdalam.
Don’t Look Up ingin berbicara lebih banyak tentang ketidakadilan dan kesewenang-wenangan politik di Amerika saat sebagian besar orang mendukung Donald Trump membangun normalitas baru politik sayap kanan. Mckay memulainya dengan hal subtil yang jauh dari perhatian publik, yakni tabiat pejabat tinggi Gedung Putih di balik layar. Adalah Dibiasky dan Dr. Mindy yang menyadari bahwa Gedung Putih berisikan orang-orang aneh dengan perilaku tidak masuk akal.
Pada satu adegan, misalnya, kita akan menjumpai Jenderal Themes, seorang wakil dari Pentagon yang mencoba menjual makanan gratis di white house kepada Dr. Mindy di tengah upayanya melaporkan temuan Dibiasky kepada presiden. Selanjutnya, seperti grup vokal yang saling bersahut-sahutan, fragmen-fragmen yang menghadirkan perilaku politisi korup, licik, oportunis, bodoh secara bergantian terus menerus ditampilkan pada setiap lapisan struktur kekuasaan Amerika yang berinteraksi dengan Dibiasky dan Dr. Mindy. Sementara berharap bisa keluar dari situasi itu, mereka terpaksa terperosok dalam permainan politisi. Realitas demi realitas yang dibangun Don’t Look Up bertalian erat dengan kenyataan kita. Keterpaksaan dan kebutuhan primer atas nama keberlangsungan hidup seringkali menyudutkan diri untuk pasrah pada keadaan yang menarik kita jauh ke dalam logika kekuasaan.
Dengan diiringi pertentangan konflik yang bertubi-tubi, secara sinematik Don’t Look Up menutup kisahnya dengan cara yang menarik. Selain menampilkan fragmen secara acak tentang bagaimana orang-orang di penjuru bumi menyambut hari akhir dalam ragam cara, selanjutnya, adegan sepenuhnya menyoroti dua frame yang masing-masing berisikan kelompok protagonis dan antagonis. Meski keduanya sama-sama harus menghadapi kematian, Mckay berusaha memberikan sentuhan yang berbeda dari dua sikap yang saling berseberangan. Kekalahan yang diterima oleh Dibiasky diakhiri dengan jamuan makan malam yang dilalui dengan perasaaan bahagia akan hal-hal baik yang telah mereka perjuangkan, sembari kembali menyemai harapan di dalam doa yang dipanjatkan bersama. Sedang sang antagonis Peter Isherwell dan kolega harus mati konyol di sebuah planet tak bertuan sebagai santapan makhluk luar angkasa.
Dengan formasi aktor yang diisi oleh aktris kenamaan dan penulisan naskah yang menggugah, sudah sewajarnya salah satu tayangan Netflix ini sukses meraup keuntungan dan banyak mendapat perhatian. Meski demikian, secara keseluruhan Don’t Look Up masih menyisakan ruang kemungkinan terciptanya plot cerita yang lebih luas—yang mampu menyediakan ruang bagi praktik pengorganisiran dan narasi yang tidak melulu Amerika, dengan menonjolkan, misalnya, persaingan antar-elite global atau tentang bagaimana kekuasaan mengkooptasi gerakan Don’t Look Up di akar rumput, hal-hal yang mungkin menjadi pelengkap dan mempertajam perspektif cerita.
Minimnya narasi politik dari luar Amerika tentu kembali mempertebal supremasi Amerika dalam propaganda politik melalui budaya populer. Terlepas dari itu, Don’t Look Up sangat layak ditonton seiring dengan meningkatnya aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang kian menimbulkan ancaman krisis bagi makhluk hidup hari ini dan di masa depan.
Don’t Look Up | 2021 | Durasi: 145 menit | Sutradara: Adam McKay | Penulis: Adam McKay | Produksi: Hyperobject Industries, Bluegrass Films| Negara: Amerika Serikat | Pemeran: Leonardo DiCaprio, Jennifer Lawrence, Rob Morgan, Jonah Hill, Mark Rylance, Tyler Perry, Timothee Chalamet, Ron Perlman, Ariana Grande, Kid Cudi, Cate Blanchett, Meryl Streep.
- Don’t Look Up: Ilustrasi Apokaliptik yang Rasional - 15 Maret 2023
No Comments