Tentang musik jazz, jazz camp, dan bagaimana komunitas adalah unsur penting dalam perkembangan musik jazz di Indonesia.
Entah berapa puluh atau ratus orang yang hadir, yang jelas suasana malam di Kemisan Jazz begitu ramai dan hangat. Lokasi jam session malam itu adalah sebuah warung kopi di tengah Kota Malang. Warung kopi itu adalah gedung tua yang sederhana, dengan tempat duduk yang hampir terisi penuh selama jam session.
Kemisan Jazz adalah komunitas yang mengadakan jam session dan kumpul komunitas rutin, selama tiga tahun terakhir mereka mengadakan secara mingguan setiap hari Kamis. Seperti komunitas jazz lain di berbagai daerah di Indonesia, kumpul komunikasi Kemisan Jazz terasa hidup dan hangat.
Kebanyakan yang hadir saling kenal dan menyapa, tiap-tiap musisi bahkan seperti sudah paham apa yang akan mereka lakukan di panggung kecil—katakanlah dialog musikal. Seperti juga tongkrongan dan obrol-mengobrol yang cair, dialog musikal dalam jam session juga terasa demikian. Dibuka dengan beberapa jazz standar, para musisi dari Kemisan Jazz memulai jam session.
Mereka yang hadir langsung melebur dengan situasi itu, lalu semua terasa makin menyenangkan ketika Kevin Yosua, Sri Hanuraga, dan Hansen Arief naik ke panggung kecil. Hit pembuka dari drum berbunyi, intro dimainkan, dan mereka yang duduk di kursi penonton langsung bertepuk tangan. Beberapa mulai mengeluarkan gawainya dan merekam, beberapa yang lain asyik mengangguk sesuai ketuk, dan beberapa yang lain berhenti sejenak dari obrolan dengan teman semeja. Para musisi di panggung masih berfokus pada tiap-tiap bunyi dari instrumennya masing-masing, lalu mereka bergantian melakukan improvisasi.
Ketika seorang mengeluarkan frasa dalam improvisasinya dan frasa itu memukau, maka mereka yang duduk di bangku penonton bersorak. Kondisi itu terus berlanjut hingga mereka yang duduk di bangku penonton perlahan mulai berdiri, lalu makin dekat menyimak tiap-tiap bagian improvisasi.
Dari ballad hingga fast swing, jam session berlangsung dengan mengalir, santai, dan meriah. Para musisi saling bergantian untuk jamming, suasana dipenuhi rasa antusias dan tongkrongan yang santai. Suasana ini terasa akrab, mengingatkan saya pada jam session serupa pada beberapa komunitas jazz di Yogyakarta, Bandung, dan daerah lainnya.
Jazz dan Komunitas
Jazz sebagai spirit sebuah komunitas di satu daerah juga bergerak dari dan menuju komunitas-komunitas lain. Dalam suasana ini istilah “ekosistem jazz Indonesia” jadi lebih konkret, ia bukan sekadar kata yang hanya diucap, tapi justru terjalin sebagai spirit yang sifatnya komunal.
Pada komunitas-komunitas di berbagai daerah itulah jazz menjadi semacam kata kerja, bukan hanya label festival semata atau sekadar branding untuk mengangkat nilai jual sebuah konser musik medioker—yang seringkali bertujuan sebatas untuk transaksi menjual dan membeli tiket saja. Ya, festival musik dengan label jazz menjadi barang dagangan baru. Banyak penyelenggara festival seakan bangga untuk menempelkan label jazz pada nama festival atau konser.
Sementara jazz adalah spirit musikal, alih-alih sebuah prestise atau barang dagangan dari jenama sebuah festival. Justru, jazz sebagai spirit musikal itu dirawat oleh berbagai komunitas jazz secara mingguan atau bahkan harian. Komunitas jazz mungkin adalah fenomena unik dalam perkembangan musik jazz di Indonesia beberapa dekade ini, sebab kebanyakan komunitas itu benar-benar bersifat nirlaba, dengan niatan merayakan jazz dan pertemanan yang dilahirkan olehnya.
Aktivitas berbagai komunitas jazz itu kurang lebih persis seperti kisah dari Kemisan Jazz yang saya tulis tadi. Jam session, percakapan sebelum atau setelahnya, dan tongkrongan yang terjalin dalamnya. Aktivitas organik dan santai ini justru jadi sentral sekali untuk saling mengasah kemampuan teknis dan pertukaran pengetahuan. Terlepas klaim soal seperti apa jazz yang baik dan benar, berkualitas, murni, dan lain-lain, saya pikir spirit berkomunitas ini jadi hal paling substansial yang tak bisa diabaikan dalam percakapan soal ekosistem jazz Indonesia.
Jika dihitung berapa banyak anak-anak muda yang “terjerumus” dalam jazz, saya berani bertaruh jumlahnya pasti lebih banyak karena komunitas jazz dibanding jurusan musik di perguruan tinggi formal. Ya, klaim ini mungkin bisa saja dianggap berlebihan. Toh, saya hanya bisa meraba-raba data dan mencatat kisah musisi-musisi jazz muda dari dekat. Sebab, kita belum punya inisiasi produksi pengetahuan yang kualitatif maupun kuantitatif soal ekosistem jazz Indonesia—entah kolektif riset, kelompok kritikus, hingga inisiasi berbasis penelitian.
Kembali pada soal utama, saya pikir justru kepada komunitas-komunitas jazz di Indonesia itulah pedagogi jazz hingga pertukaran pengetahuan yang organik terjadi. Justru menariknya dalam silang sengkarut persoalan ekosistem jazz Indonesia, ada musisi sekaligus pengajar seperti Kevin Yosua, Sri Hanuraga, Hansen, dan penggerak lain yang berinisiatif untuk memulai sesuatu dari basis komunitas.
Jazz Camp: Antara Festival Jazz dan Komunitas.
Jazz Camp adalah inisiasi berbentuk inkubasi yang intensif bagi musisi-musisi jazz muda. Jazz Camp sempat berjalan di Solo untuk pertama kali pada Mei 2024 lalu, diinisiasi oleh Legato Jazz Club bekerja sama dengan Coffee Jazz Studio. Jazz Camp itu kemudian diselenggarakan di helatan Jazz Gunung 2024, mengumpulkan musisi jazz muda dari berbagai daerah dan latar belakang.
Jazz Camp kemudian jadi salah satu program penting dalam Jazz Gunung 2024, mengingat fokus program ini adalah ruang belajar untuk para musisi jazz muda dari berbagai daerah di Indonesia. Program ini dibimbing oleh tiga mentor, yaitu Kevin Yosua, Hansen Arief, dan Sri Hanuraga. Para mentor atau coach itulah yang membersamai musisi jazz muda untuk bertukar pengalaman dan belajar bersama.
Menariknya, Jazz Camp kali ini bekerja sama dan didukung oleh festival jazz, yaitu Jazz Gunung di Bromo, Jawa Timur. Dari banyaknya festival jazz di Indonesia, Jazz Gunung menyadari pentingnya merengkuh komunitas, melakukan regenerasi musisi, dan memikirkan praktik pedagogi. Dalam hal ini, festival jazz seperti Jazz Gunung bisa menjadi standar dan acuan untuk festival lain. Bahwa rangkaian praktik pedagogi dan produksi pengetahuan yang serius sangat dimungkinkan melalui festival jazz.
Sebagai platform yang memiliki perputaran berbagai sumber daya, festival jazz perlu menjadi ruang pedagogis untuk musisi jazz muda dan komunitas. Jazz Camp dimulai dari 16 Juli 2024, peserta Jazz Camp mengikuti sesi ensemble class, di mana mereka saling bertukar pengetahuan dan berlatih beberapa jazz standar bersama-sama. Walaupun beberapa peserta terlihat kelelahan karena baru datang dari berbagai kota, mereka langsung fokus pada instrumen dan materi yang diajarkan.
Begitu juga pada hari-hari selanjutnya, para peserta mengikuti sesi instrument class. Di situ mereka dibimbing langsung oleh para mentor sesuai instrumen masing-masing. Sesi ini berlangsung intensif, dengan pertukaran metode latihan yang ketat antara peserta dan mentor. Sesi latihan grup ansambel juga dilakukan, dengan para peserta berlatih dalam kelompok-kelompok kecil.
Puncaknya pada 19 Juli 2024, para musisi muda itu tampil di panggung utama Jazz Gunung. Hasil berlatih dan belajar bersama dalam kelompok ansambel itu dipresentasikan langsung. Jazz Camp menjadi sarana untuk pengembangan para musisi muda, bahkan pengalaman tampil di depan ribuan orang. Inisiasi seperti ini memungkinkan mereka untuk berjejaring dan belajar bersama.
Metode pertukaran pengetahuan dalam Jazz Camp terasa hidup dalam pembelajaran berbasis komunitas. Lebih menariknya, hampir seluruh musisi Jazz Camp lahir dari komunitas, mereka tumbuh berkembang, berlatih, dan berjejaring lewat komunitas jazz di daerahnya masing-masing. Pengalaman dan pengetahuan dalam Jazz Camp akhirnya akan kembali pada komunitas, khususnya yang menjadi “rumah” bagi para musisi jazz muda itu.
Berkomunitas jadi kata kunci yang dijalani oleh musisi-musisi jazz muda dari berbagai daerah. Komunitas juga jadi kata penting ketika kita membicarakan ekosistem jazz di Indonesia. Saya pikir secara perlahan-lahan, kita perlu melihat komunitas itu sebagai lokus utama—baik soal yang artistik maupun epistemik. Sehingga ekosistem jazz di Indonesia bertumbuh sesuai gestur dan naturnya, yaitu berbasis komunitas.
Penulis: Amos Ursia
Editor: Aris Setyawan