Serunai.co
Ulasan

Dari Pemuda E untuk Dea Anugrah: Sebuah Resensi yang Disadur

Sutter Cane pernah membuat New Hamphsire kisruh akibat bukunya yg berjudul In The Mouth Of Madness. Arthur Harahap pernah membuat sebuah kota gempar lewat kejadian bunuh diri beruntun warga kota selepas membaca Kopi Kepik. Lalu, apa akibat yang akan terjadi jika membaca kumpulan cerita pendek Dea Anugrah yang berjudul Bakat Menggonggong?

Surel dari Pengirim Misterius

Dalam kumpulan cerita pendek pertamanya ini, Dea Anugrah mempekerjakan seorang juru kisah yang cerewet, sok tahu, sinis, dan kadang tak patut dipercaya”. Begitulah Bakat Menggonggong memperkenalkan dirinya. Ia adalah hasil yang tercipta karena Dea mempekerjakan seorang juru kisah yang membantu mengisahkan dirinya yang gemar membual, tergila-gila pada adegan baku hantam, berpetuah dengan kalimat-kalimat tidak masuk akal, merancap sebagai alternatif pengobatan, dan hal-hal ganjil lainnya.

Seminggu lebih 8 jam lewat 13 menit menjorok 17 detik lalu, sebuah surel dengan alamat pengirim ganjil, [email protected], tiba-tiba muncul di kotak masuk saya. Surel itu berisi dua lampiran msword yang berjudul “Resensi” dan “Bakat Menggenggong”. Selain dua lampiran, surel itu diawali sebuah pesan yang bercerita awal mula Dea mempekerjakan si pengirim surel sebagai juru kisah dalam kumpulan cerita pendek pertamanya. Cerita itu mengingatkan saya pada tragedi Sutter Cane dalam film In The Mouth of Madness karya John Carpenter.

Juru kisah dan pengirim surel kemungkinan adalah Pemuda E yang diperkenalkan oleh Dea melalui cerita Kemurkaan Pemuda E untuk membuka rangkaian cerita dalam kumpulan cerita pendeknya. “Bagi Anda yang sangsi sewaktu Pemuda E mendaku dirinya penulis, silakan periksa sejilid kertas di keranjang sampah dekat meja. Itu pasti makalah yang ia tulis untuk seminar yang lalu. Atau lebih baik, lihatlah layar komputernya di atas meja. Ada sebuah tulisan yang belum ditutup. Sebuah cerita pendek, barangkali.”i Dari situlah asumsi saya berasal.

Terduga Pemuda E menceritakan awal pertemuannya dengan Dea terjadi di sebuah pertemuan rutin tarekat penggemar bualan di Ibukota. Karena hadirin yang datang terlalu sedikit–dua orang saja–Dea sebagai penggagas pertemuan sekaligus sebagai hadirin yang memenuhi undangan, maka tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain menabrakan pandangan, sepersekian detik saling menilai dalam pikiran masing-masing, lalu akhirnya bertukar kata-kata. Persinggungan yang sama akhirnya ditemukan pada satu titik, mereka berdua menggemari bualan.

Beberapa hari setelah pertemuan tersebut, Dea kembali menghubunginya. Ia berpesan bahwa telah mengirimkan sebuah surel beserta lampiran yang wajib dibaca, sebuah cerita pendek, karena bersamanya datang pula tawaran pekerjaan sebagai juru kisah dengan imbalan yang tak ternilai. “Sebuah tawaran yang tak akan bisa kau tolak,” begitu kata terduga Pemuda E.

Cerita pendek yang dilampirkannya berjudul Bakat Menggenggong, sebuah kisah yang belum pernah dipublikasikannya di manapun. Terduga Pemuda E mengatakan bahwa cerita tersebut memang tidak layak dipublikasikan di manapun, melalui media apapun, atau diceritakan kembali oleh siapapun, karena Dea tidak pernah menceritakan bahwa efek yang ditimbukan selepas membacanya. Katanya efek tersebut lebih men666erikan dibanding madness dan hysteria dalam In The Mouth Of Madness ciptaan Sutter Cane tersebut atau bunuh diri beruntun akibat membaca Kopi Kepik ciptaan Arthur Harahap.

Terduga Pemuda E mengalami nasib n666eri selepas membaca Bakat Menggenggong. Ia menjadi kecanduan ber-youtubing tarung genggong, sebuah pertarungan paling mematikan di dunia, yang lebih mematikan dari Bloodsport, Mortal Kombat, maupun Gelar Tinju Profesional Indosiar. Dan lebih jauh, akunya, selama 3 bulan ini ia tengah menyiapkan ilmu kanuragan dan membulatkan tekadnya untuk terjun dalam ring tarung.

Permasalahan selanjutnya datang lagi. Menurut terduga Pemuda E, tarung genggong rupanya sengaja diletakkan Dea sebagai linearitas semesta dalam kumpulan cerpennya: menguak berbagai gaya, menghibur, memunculkan skill-skill tersembunyi dan tidak tercatat dalam kitab beladiri kuno kebudayaan manapun, dan yang utama, ganjil. Tarung tersebut menghadirkan hal yang sangat remeh-temeh namun justru itulah yang menghibur penontonnya. Sama seperti ceritanya yang tidak pernah membahas sesuatu yang besar, tapi selalu sukses membuat pembacanya menyemati cerita-cerita dalam kumpulan cerita pendek tersebut dengan kode ***.ii

Baca Juga:  Siasat Memahami Kebudayaan di Hari Depan

Di sisi lain, Dea membutuhkan kader yang benar-benar matang untuk mengisahkan yang ada dalam kepalanya. Maka, ia perlu menjungkalkan seorang polos dalam kecanduan yang dalam dan akan menurut pada setiap perintah yang keluar dari mulutnya. Semengerikan itu efek dari Bakat Menggenggong.

Pada akhir pesannya, terduga Pemuda E memberikan tawaran pada saya untuk turut membaca cerita tesebut dan merasakan akibatnya, yang untungnya tidak selebay “tawaran yang tak bisa kau tolak” seperti katanya sewaktu mendapat tawaran dari Dea. Saya sudah pernah merasakan hal n666eri berujung apes ketika menuruti paksaan bapatua untuk mendaftar menjadi tenaga honorer PNS. Maka, saya memilih untuk mencukupkan keapesan di situ saja.

Resensi dalam Surel

Guna menghindari sifat celaka, apes, kerepotan yang menyita waktu, serta berakhirnya hidup di tangan nasib-nasib yang tercela, maka saya hanya mengunduh lampiran berjudul Resensi saja. Tanpa berani mengunduh apalagi membaca lampiran dengan judul Bakat Menggenggong. Rupanya terduga Pemuda E tak hanya membantu Dea menjadi juru kisah saja, tapi juga sudah menyiapkan resensi yang akan digunakan untuk keperluan-keperluan di masa depan. Dalam resensinya terduga Pemuda E berangkat dari akibat membaca Bakat Menggenggong untuk mendikotomikan semua cerita pendek dalam Bakat Menggonggong.

Setelah selesai membacanya dan menyadari bahwa resensi tersebut cukup bagus, tentu saja otak saya terdorong untuk berbuat curang: menyadur resensi tersebut agar seolah menjadi tulisan saya. Alasan melakukan hal tersebut berasal dari dua hal sepele dan besar. Hal sepelenya agar saya terlihat pakar dalam menulis dan disegani penulis sekitar. Sedang hal besarnya, karena saya menjabat sebagai sekretaris jenderal sebuah ordo dengan anggota terbatas di kota saya hidup sekarang, ordo penggemar saduran, yang anggotanya menggemari saduran dalam bentuk apapun. Mulai dari tulisan, ide, wacana, sampai kudapan kegemaran ketika rapat; gorengan yang disadur.

Cerita-cerita dalam Bakat Menggonggong linear dengan empat karakter petarung dalam Tarung Genggong, yaitu: petarung jalanan, petarung terlatih, orang mabuk yang kebetulan pulang mabuk tersesat berjalan menuju ring, dan santri yang merupakan tuan rumah tarung ini–karena, konon, tarung ini diciptakan oleh Pak Kyai Genggong dari Probolinggo. Lagipula, mana ada Tarung Genggong tapi nama penciptanya Anugerah. Pasti namanya akan jadi Tarung Anugerah, tentu saja.iii

Karakter pertama adalah petarung jalanan yang identik dengan gentho, orang sok-sokan atau gagah-gagahan yang entah kenapa ditakuti warga setempat, baik sekitar komplek perumahan maupun sekitar pasar. Gayanya petantang-petenteng, baik ketika berada di luar maupun di dalam ring. Tekniknya bak-buk ketika menghadapi musuh di dalam ring. Karakter tersebut ditemukan pada cerita Masalah Rumah Tangga, Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, Omong Kosong Yang Harus Ada dan Acara Tengah Malam.

Masalah Rumah Tangga adalah cerita seorang suami yang lemah syahwat yang menyarukan deritanya dalam kegusaran karena naskah tentang orang menjahit mulut yang dibuatnya tidak kunjung selesai. Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong Yang Harus Ada, lebih petantang-petenteng lagi. Mulai Killgore Trout, penulis fiksi apes yang diperkenalkan oleh Kurt Vonegut dalam beberapa karyanya, sampai Ramyun McClub, yang entah siapa, turut mewarnai bak-buk dalam cerita yang mengisahkan hubungan seorang pemuda kapiran dengan ibunya yang menjadi penjudi setengah gila akibat diberaki, tepat di jidat, oleh orang yang dikira mencintainya. Acara Tengah Malam tidak jauh beda. Kisah itu menceritakan terduga Arthur Harahap dan akibat-akibat membaca Kopi Kepik, novel buatannya, dalam semesta mencoba meraih gelas saat berada di rumah sakit.iv

Baca Juga:  Kesunyian Airportradio

Petarung kedua adalah petarung terlatih. Sudah pasti ia memiliki skill yang mengerikan lantaran latihan, serangannya pun tidak serampangan apalagi bak-buk, tapi terarah dan mematikan. Teknik petarung terlatih ditemukan dalam Kisah Afonso, Penembak Jitu, dan Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu.

Ketiga cerita itu disampaikan dengan cara yang sangat elegan oleh Dea. Kisah Afonso adalah cerita kesialan seekor ikan baung ajaib yang apes dimangsa oleh penerusnya. Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu menunjukan keintiman berbalut-balut pada cerita mendalam dari hubungan yang terangkai antara Patrik Wicaksana dan seorang wartawan yang pernah merasa malu seperti ketika mulutnya disengat tawon, dan bentuknya berubah menjadi mirip vagina, akibat salah menebak pengarang sebuah puisi. Cerita Penembak Jitu memiliki peluang untuk mendapatkan sematan cult di kalangan pemuja cerita pendek berkelas. Kalau tidak percaya, silakan simak kalimat penutupnya: “di luar selamanya, aku mendengar pria-pria tua berbicara penuh keyakinan tentang sebidang rawa yang berubah jadi danau, dan bahwa tempat itu akan melindungi mereka. “Apa dan siapa saja yang melintas,” kata salah seorang di antara mereka, “takkan bisa mencelakai kami.””. Kalimat semacam itu tentu saja tidak akan bisa dihasilkan oleh otak yang belum terkontaminasi MSG dalam level mengkawatirkan.

Yang menjadi pertanyaan adalah, dalam semesta tarung genggong dan kumpulan cerita pendek milik Dea, buat apa petarung terlatih dan cerita bagus ada di dalamnya? Petarung terlatih, andai memiliki pikiran yang waras, tentu saja memilih untuk mengejar reputasi dan uang seperti si congor besar Conor McGregor di panggung UFC, pun cerita bagus harusnya mencari lembaran yang lebih gemerlap dibanding dalam Bakat Menggonggong yang penuh kejadian-kejadian ganjil. Halaman depannya saja bergambar sotong, binatang yang mungkin tercipta dari perkawinan silang antara cumi-cumi dengan tumbuhan jewawut.

Petarung ketiga adalah orang mabuk yang tersesat di ring pertarungan. Sebelumnya, mari tidak meributkan di mana ia mulai minum, berapa jarak tempatnya mulai minum dengan tempat pertarungan, bagaimana ia bisa sampai di ring pertarungan, apalagi jenis minuman yang diminumnya. Mari berfokus pada efek apa yang dibawa oleh orang mabuk ini di dalam ring: tawa yang meledak dari penonton dan akibat yang tidak perlu dibayangkan pada si petarung-pemabuk ini setelah digaplok dengan pukulan rahasia seorang petarung, baik yang bak-buk maupun yang terlatih.

Si orang mabuk ditemukan pada empat cerita dengan judul serupa, yakni Kisah Sedih Kontemporer yang dirangkai dengan angka acak IV, XII, XXIV & IX.v Keempat cerita tersebut berkisah tentang pembagian harta dan hak asuh anak akibat masalah rumah tangga yang direkam pada kaset Greenday album Warning, Rik dan Loko yang berbicara masalah cinta dan tautan dalam pesan facebook yang sudah ditonton mereka entah berapa kali. Nasib apes Rik yang memiliki bakat menulis yang baik ketika kehilangan sebungkus rokok kemudian mati akibat paru-paru basah, dan Fredrik Fredrik yang bercakap dengan Shalina Nafasha dalam alur yang membuat saya hampir menangis.

Semuanya sengaja dibiarkan berserak oleh Dea. Tidak ada alur yang pasti dan arah yang tentu. Tapi semuanya menghibur, sama seperti orang mabuk di atas ring tarung genggong. Riuh dan sempoyongan dan tanpa tujuan. Bedanya, cerita-cerita layaknya orang mabuk itu tidak akan bisa dipukul sekali roboh lewat sebuah lucky blow atau jurus-jurus yang menggunakan perpaduan nama hewan dan kegiatan yang aneh. Ia tetap memiliki pijakan yang kuat.

Baca Juga:  Kurun: Musik dan Politik Otentik

Petarung terakhir adalah santri. Sebagai tuan rumah, santri seharusnya memberikan wejangan yang baik pada lawannya, pemabuk, petarung jalanan, atau petarung terlatih, sebelum akhirnya tersungkur juga akibat jurus yang tidak diduga.

Cerita petarung cum santri dalam terdapat dalam Kisah dan Pedoman, Perbedaan Baik dan Buruk, dan Tamasya Pencegah Bunuh Diri. Ketiganya, sama seperti santri, memunculkan bakat tersembunyi Dea: memberi petuah.

Kisah dan Pedoman adalah cerita tentang seorang penderita ayan yang kambuh sepersekian detik sebelum mencapai inti pedoman yang disampaikan seorang pedagang karpet padanya.vi Perbedaan Baik dan Buruk adalah kisah tragis yang mungkin dapat menjadikan Dea setara dengan penulis teenlit cinta-cintaan, namun berkat kemampuan menerawang hal gaib. Saya langsung mengetahui kalau Wanda adalah seorang transeksual dan dengan imaji yang sangat vivid saya bisa langsung membayangkan bagaimana bentuk perempuan “hitam, besar, dan mengerikan seperti beruang”, tengah menggenjot Gustaf. Sepertinya tidak akan ada tempat bagi penggemar teenlit untuk cerita macam itu. Tamasya Pencegah Bunuh Diri adalah cerita hantu yang dialami seorang pemuda yang bertemu tuyul yang bukannya gemar menggambil uang, tapi malah menceritakan cerita-cerita yang memperpanjang umurnya.

Petuah-petuah Dea terserak di dalam tiga cerita tersebut. Tentu saja tidak semuanya esensial, tapi sangat penting bagi kehidupan eksistensial pembacanya. Salah satu petuah yang paling mantap dapat ditemukan pada Tamasya Pencegah Bunuh Diri. Di sana ia mengajari pembacanya bahwa, “senja itu nonsens dan orang yang percaya bahwa ada makna lebih di balik langit berwarna saus tomat itu pastilah punya masalah gawat di otaknya.” Bukankah petuah itu brilian?

Epilog dan Permohonan Maaf

Apakah Anda mempercayai semuanya, cerita-cerita Dea, juru kisah bernama Pemuda E, surel dari pengirim berhuruf depan E dengan lampiran yang ganjil, dan resensi saduran ini? Kalau anda tidak mempercayainya—satupun—itu tidak menjadi soal. Yang harus anda percayai adalah bahwa seorang pemberi kerja yang menjungkalkan juru kisahnya tentu tidak termasuk dalam kategori orang baik. Ia layak ditimpuk dengan emas rongsok bikinan Dimas Kanjeng. Dan kemampuan Dea, dibantu Pemuda E, menciptakan keadaan-keadaan yang tidak masuk akal suaranya justru jadi memikat dan jadi ***.

Bagi terduga Pemuda E yang entah di mana dan mungkin satu saat membaca resensinya disadur, pasti ia merasa dijungkalkan sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih dan permintaan maaf yang dalam. Saya harap ia tidak sebegitu marah karena bagaimanapun juga namanya saya cantumkan pada judul.

Judul : Bakat Menggonggong
Penulis : Dea Anugrah
Penerbit : Buku Mojok
Halaman : 109 halaman
Tahun terbit : September 2016


Catatan akhir:

i Kemurkaan Pemuda E Bakat Menggonggong (hlm. 8).

ii Simbol tersebut melambangkan sesuatu yang amat berkilau dalam Kemurkaan Pemuda E (hlm. 3).

iii Pengelompokan tersebut telah dilakukan secara komprehensif oleh terduga Pemuda E dalam naskah asli resensi di lampiran surel yang saya terima.

iv Arthur Harahap juga ditemukan dalam “Kamu” karya Sabda Armandio.

v Kisah sedih kontemporer dalam “Bakat Menggonggong” dibagi menjadi empat bagian yang masing-masing diberi kode tidak berurutan IV, XII, XXIV, dan IX

vi Cerita ini mengingatkan pada dua buah cerita yang tengah disusun Dea pada blognya yang menceritakan tentang batu bertuah, yang sialnya terlebih dahulu hilang dari blog tersebut sebelum saya sempat mengulang membacanya untuk ke 1263 kali.

Related posts

Pencarian Spiritual dalam Splitual

Aris Setyawan

Mantra Senyawa

Irene Sarwindaningrum

Siasat Memahami Kebudayaan di Hari Depan

Zakharia Taufan

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy