Kebudayaan, sebagaimana dikatakan oleh penulis Thomas Kristianto dalam bukunya Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan, begitu “licin”—sulit mendapatkan penerjemahan yang spesifik. Bagaimana tidak, ini dikarenakan kebudayaan merupakan suatu entitas yang dinamis; meliputi atau mencakup unsur-unsur yang membentuk dan sekaligus terbentuk dalam individu, masyarakat, hingga bangsa. Unsur-unsur yang abstrak ataupun konkret, keduanya akan memainkan peran sama: membentuk, mengubah, dan memperkuat suatu kebudayaan sesuai tuntutan zaman ke depannya.
Pemahaman akan kebudayaan yang begitu “licin” atau “lentur” sejalan dengan apa yang hendak dikonsepsikan oleh Slavoj Zizek; bahwa kebudayaan tidaklah universal dan tidak deterministik terhadap suatu subjek yang partikular. Dan bahwa partikularitas itu menyebabkan kebudayaan nyaris tak berhasil memenuhi kekurangan-kekurangan—atau diistilahkan Zizek sebagai “lubang-lubang”—yang terdapat dalam setiap subjek. “Lubang-lubang” inilah yang menjadi celah masuknya elemen-elemen budaya.
Itulah mengapa, seiring berjalannya waktu, kebudayaan selalu berkembang dan disempurnakan. Upaya-upaya penyempurnaan itulah yang perlu diamati sebagaimana mestinya. Manakala di dalamnya juga terjadi pergeseran, persinggungan atau distorsi terhadap substansi masing-masing kebudayaan masyarakat yang satu dengan lainnya. Kebudayaan selayaknya urusan yang tak akan pernah terselesaikan, atau hasrat yang tak pernah tersalurkan antara subjek dengan kebudayaan itu sendiri. Maka rupa-rupanya, tak bisa terelakkan jika kebanyakan ilmuwan menyebutkan kebudayaan sebagai biang pembentuk identitas organisme. Kira-kira seperti itulah argumen Thomas.
Akan tetapi pemahaman semacam itu yang menurut saya justru menyederhanakan kebudayaan itu sendiri—bahwa kebudayaan hanya terbatas interaksinya kepada subjek saja. Inilah yang hendak diurai oleh C.A van Peursen dalam buku Strategi Kebudayaan.
Pada bagian prakata, van Peursen—sebagai ahli filsafat—menuliskan buku ini sebagai media pemahaman bagi masyarakat atau pembacanya, khususnya di Indonesia, yang saat itu sedang dihadapkan pada permasalahan kebudayaan seperti perubahan-perubahan nilai sosial-budaya-politik, atas imbas dari pengaruh kebudayaan luar negeri dalam berbagai bentuk seperti gaya hidup, fashion, pola konsumsi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut dijadikan van Peursen sebagai titik tolak untuk meninjau kebudayaan yang seyogyanya dipergunakan “sebagai siasat manusia menghadapi hari depan” (hlm. 5) dan merupakan proses pembelajaran bagi seluruh lapisan masyarakat yang sifatnya kontinyu.
Buku ini menjadi medium, dimana sang penulis hendak memaparkan sekaligus merumuskan perubahan unsur-unsur budaya dalam kehidupan—yang disesuaikan melalui pendekatan (dimensi) tertentu dengan mengangkat berbagai masalah kebudayaan sebagai objek dan bukti yang riil dalam memperjelas pendekatannya.
Buku ini menjabarkan tiga garis besar tahap pandangan perkembangan kebudayaan: mitologis, ontologis, dan fungsionalis. Ketiga tahap inilah yang kemudian dianggap sebagai strategi kebudayaan. Tidak ada tahap yang bisa dikatakan lebih unggul atau lebih maju dibandingkan dengan tahap yang lain, karena masing-masing memiliki kekhasan peran. Tentu ketiganya dijelaskan dengan fungsi dan pengaplikasiannya sendiri-sendiri. Dikatakan demikian karena setiap orang punya kecenderungan yang tersegmentasi dalam mengilustrasikan kebudayaan. Hal ini yang kemudian oleh van Peursen, dianalogikan seperti menafsirkan sebuah lukisan, yang output-nya multitafsir.
Sepanjang isi buku ini, kebudayaan memang dikemukakan sebagai kesatuan komponen antara makhluk hidup (manusia dan hewan) dengan alam—tetapi bukan alam seperti pada umumnya. Alam dianggap sebagai sesuatu yang memiliki entitas atau berwujud (kasat mata) dan alam abstrak (tidak kasat mata), yang bisa dimisalkan seperti alam ide-ide yang digagas oleh Plato.
Keunikan lagi yang ditemukan dalam tulisan-tulisan van Peursen adalah pembagian objek dan subjek kebudayaan. Alam, lingkungan, dan daya-daya keduniawian dilabeli sebagai objek. Sedangkan organisme, yakni manusia dan hewan dilabeli sebagai subjek. Lalu bagaimana proses hingga hasil perilaku, tindakan-tindakan subjek kepada objek ini dimunculkan? Van Peursen kembali lagi pada tiga tahap perkembangan kebudayaan yang sudah diungkapkan.
Tahap Mitologis: Pandangan atas Alam Kebudayaan Primitif
Kendati hidup di zaman modern, van Peursen menyatakan bahwa istilah “primitif” sudah tidak relevan karena menurutnya segala penggambaran tentang simbol dan adat istiadat berisikan filosofi yang dalam. Primitif bukanlah sebuah masa dimana manusia selalu bersikap konservatif atas hal-hal yang tampak baru atau asing.
Deskripsi kebudayaan primitif yang diberikan dalam tahap ini dinyatakan bahwa manusia berhubungan langsung dengan alam dan mampu menanggapi daya-daya yang muncul. Dalam pola-pola yang beragam, daya-daya atau kekuatan oleh alam tersebut diekspresikan manusia berupa hasil-hasil kesenian. Tarian-tarian, simbol, doa, dan upacara adat adalah media penyampaian dan pemaknaan.
Runtutan kemunculan tahap mitologis diturunkan oleh para nenek moyang manusia. Bukan dengan teori-teori, melainkan cerita secara turun-temurun—intra-generasi dan antar-generasi—yang disebut sebaga mitos. Mitos, dalam konteks pembahasan van Peurseun adalah “cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang” (hlm. 37) dalam berperilaku. Mitos dapat dituturkan secara lisan maupun tertulis. Satu dari sekian banyak media penyalur mitos yang hingga saat kini kita temui, ialah wayang. Plot dan alur cerita wayang umumnya berisikan pengalaman manusia; pemunculan lambang-lambang kebaikan dan kejahatan pada sosok manusia; hingga segala hal keduniawian bahkan keilahian yang berada di luar kemampuan individu (transcendent). Terminologi transcendent ini, jika dihubungkan dalam filsafat modern, berarti terkait dengan segala sesuatu yang berada di luar atau mengatasi kemampuan koderat manusia.
Di samping itu, mitos pun ditautkan dengan sebuah fungsi untuk menumbuhkan segala perasaan-perasaan dalam diri (immanent), seperti kepercayaan, jaminan rasa aman, dan kelancaran akan kehidupan oleh manusia dalam berpartisipasi sekaligus mengelola pekerjaan-pekerjaan. Kemudian setelah mitos diturunkan, muncul tindakan-tindakan manusia untuk mendekatkan dirinya terhadap kekuatan-kekuatan di luar dirinya yang disebut magi. Jika manusia menguasai magi, ia akan berpotensi merendahkan segala hasil-hasil kebudayaan (simbol, tarian, kepercayaan pada dewa).
Skema dalam tahap mitologis kira-kira digambarkan dengan adanya manusia (subjek) yang dikelilingi oleh dunia atau alam sekitarnya (objek). Manusia di sini, digambarkan dengan lingkaran yang tidak utuh atau terputus-putus, sehingga daya-daya dari dunia atau alam dapat merasukinya. Manusia bekerja secara pasif. Sebaliknya, alam bekerja secara aktif.
Tahap Ontologis: Aktualisasi Diri Manusia terhadap Alam
Apabila manusia dalam tahap mitis dikelilingi oleh kekuatan ilahi dan menimbulkan perasaan-perasaan terkurung atau inferior, maka ontologis sebaliknya. Ontologis menyikapinya dengan mengartikan manusia bekerja lebih aktif terhadap daya-daya kekuatan alam. Van Peursen menitikberatkan tahap ontologis sebagai masa di mana manusia mulai mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan atas daya-daya kekuatan yang muncul begitu saja. Alih-alih manusia bersikap tunduk terhadap kekuatan, mereka bahkan mulai mengambil jarak lantas memisahkan diri dari hal keduniawian. Dalam tahap ini, yang tidak boleh dikesampingkan adalah manusia mulai mengandalkan pikiran logis yang mana semua serba dibuktikan secara rasional. Cara pemikiran yang logis ini juga berbeda pada tiap-tiap masyarakat. Dalam buku ini dicontohkan melalui masyarakat barat dengan cara berpikirnya berciri khas tentang hal-hal konkret, komersil, dan riil yang memunculkan ilmu pengetahuan dan teknik-teknik. Berbanding terbalik pada masyarakat timur, yang dianggap oleh masyarakat barat berpikiran mengambang.
Lebih lanjut, pemikiran ontologis menelurkan suatu faham baru, yang disebut substansialisme. Paham substansialis ini menempatkan nilai-nilai dan orang-orang pada tempatnya masing-masing. Pada akhirnya, paham ini menganggap manusia dan hakekat nilai norma ke-Tuhan–an memiliki identitasnya sendiri.
Tahap Fungsionalis: Jukstaposisi Manusia dan Alam Kebudayaan
Peralihan tahap perkembangan kebudayaan dari mitologis dan ontologis ke arah tahap fungsionil membuka cara pandang baru. Sebelumnya dijelaskan bahwa manusia dan daya kekuatan alam hanya memiliki hubungan satu arah saja. Bagi van Peursen, “kata fungsi selalu menunjukkan pengaruh terhadap sesuatu yang lain” (hlm. 85). Pernyataan tersebut yang kemudian menunjukkan tahapan fungsionil sebagai strategi bagaimana manusia berkeinginan mempertunjukkan bahkan membuktikan daya-daya kekuatan alam sembari menjadikan segala kekuatan tersebut dapat dialami (experienced), sejauh itu ada ataupun tiada. Atau dengan kata lain, manusia telah menyejajarkan dirinya dengan alam, dan keduanya diketahui sama-sama memiliki posisi tawar dalam tahap ini. Tahap ini merupakan tahap dimana sikap keterbukaan antar manusia dan alam seolah-olah terwujud. Fenomenanya saat ini bisa kita lihat dengan adanya iktikad baik manusia dalam memahami gejala alam melalui pengembangan ilmu-ilmu lingkungan, dan lain sebagainya.
Kita ketahui sebelumnya ontologis memiliki pahamnya sendiri. Tahap fungsionil memiliki pula dengan nama eksistensialis. Sejauh yang ditulis dalam buku ini, eksistensialis menolak atas apa yang dinyatakan oleh substansialis—yang terkesan otoriter, membatasi setiap unsur-unsur kebudayaan (nilai-nilai adanya Tuhan, norma, kaidah-kaidah), dan seolah-olah unsur-unsur tersebut mempunyai eksistensi dan esensinya sendiri, tidak peduli apakah dapat dikaitkan atau berarti sesuatu bagi kita. Karena pada dasarnya fungsionil selalu mencari relasi antar-komponen yang terlibat dalam kebudayaan, maka van Peursen menjelaskannya sebagai berikut:
“Sikap fungsionil memberi dasar kepada masa kini, di mana kekuatan mitis pada peristiwa masa lampau mampu memberikan jaminan keberlangsungan perbuatan masa kini. Aspek lainnya menjelaskan peranan ilmu pengetahuan, artinya ilmu pengetahuan berfungsi memahami pergeseran teori-teori ke arah praktek—atau sebagai contoh gerakan kearah transendensi sekaligus membuka hal-hal imanensi.“
Paham lain yang muncul sebagai imbas transisi tahap ontologis ke fungsionil yaitu operasionalisme—yang diperuntukkan menyingkap segi negatif tahap fungsionil. Operasionalisme diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk dipakai dan diikutsertakan dalam proses produksi dengan tata cara dan aturan yang berlaku. Pergeseran-pergeseran tahap kebudayaan pada masyarakat menimbulkan hal-hal multitafsir. Masyarakat Yunani yang kala itu masih kental terhadap paham mitologis-nya sehingga mendirikan panting-patung dewa sebagai simbol kekuasaan, keagungan, dan keilahian dapat menjadi rujukan. Seiring berkembangnya zaman, patung dewa mulai tergantikan. Seperti di Italia misalnya, yang dahulu dominan memiliki patung raja-raja. Maka dapat diketahui, dari kedua contoh ini terjadi pergeseran tahap mitologis dan ontologis.
Empat bab terkahir pada buku Strategi Kebudayaan akan dijelaskan tentang aplikasi kebudayaan di kehidupan sehari-hari. Aplikasi yang kaitannya terdapat dalam proses vegetasi-produksi-konsumsi dan etika berbudaya. Selain itu, sejak zaman purbakala hingga dewasa ini, kebudayaan juga disertakan sebagai salah satu dari sekian unsur dalam pengembangan teknik (teknik industri, teknik informasi, teknik mesin, dsb.) dan organisasi sebagai suatu “kegiataan yang mengatur hubungan-hubungan antar sistem-sistem terbuka itu dengan lingkungannya.”
Dalam bagian tersebut, kebudayaan menjadi lebih distingtif. Ia mampu memberikan nilai lebih dalam bidang teknik, sehingga memunculkan sub-ilmu baru. Misalnya desain industri, desain tata ruang yang mengutamakan aspek estetika, dan berusaha membuat bentuk yang indah pada suatu perabotan, pengolahan logam, serta aksesoris bagi mesin. Dalam bidang teknik itu pula, manusia mafhum dan mampu memproyeksikan bagian-bagian tubuhnya ke dalam bentuk alat-alat teknis sebagai ekstensi (penambahan) dari bagian tubuhnya dalam membantu kelangsungan hidupnya. Pada tahun-tahun kebangkitan industri dunia, ilmu-ilmu teknik ini yang kemudian dihubungkan dengan gerakan scientific management selama masa Perang Dunia kedua, yang diinisiasi oleh Frederick W. Taylor. Gerakan ini digagas untuk menemukan cara atau metode yang paling efisien untuk menyesuaikan alat-alat mekanik terhadap struktur badan dan faal. Metode-metode inilah yang kemudian menjadi purwarupa bagi perkembangan teori—yang saat ini kita sebut sebagai—ergonomi.
Kebudayaan tentulah juga menyinggung kita untuk menyadari bahwa lambang-lambang purba (archetype) yang dipelopori oleh Carl G. Jung, selalu kita jumpai dan ditafsirkan kembali, serta masih berlaku hingga saat ini dalam mengungkapkan proses belajar, gejolak dalam hati manusia atas manifestasi kesadaran kolektif—berkaitan dengan hal-hal psikologis. Inilah yang membawa van Peursen untuk mengistilahkan inventifitas sebagai hasil dari sebuah proses pengejawantahan lambang-lambang untuk mengekspresikan dan mengkreasikan perbuatan-perbuatan manusia. Bertolak dari pemahaman inilah, dalam proses belajarnya, manusia tampak menyalurkan dorongan-dorongan alamiahnya, yaitu dorongan untuk mencari makanan serta ketakutan untuk mati, seksualitas dan nafsu untuk mengeksplorasi hal yang belum dikenal.
Pada bagian selanjutnya, tiga tahap kebudayaan dijelaskan van Peursen juga berkaitan dengan tiga tahap vegetasi-produksi-konsumsi. Dalam tahap mitologis, manusia mengimplementasikan proses vegetasi hanya dalam ranah pertanian saja. Manusia dinilai bekerja secara pasif terhadap alam, dan hanya memberdayakan diri terbatas sebagai pengawas, tanpa inisiatif untuk bereksplorasi. Karena alam yang dianggap telah bekerja, maka mereka tinggal memanen apa saja yang dapat menyambung hidup dari tumbuhan serta hewan-hewan yang ditemui.
Peursen menjelaskan istilah vegetasi sebagai cara hidup yang semata-mata bersumberkan pada alam, bertindak atas dorongan kematian dan seksualitas. Proses vegetasi lalu diubah menjadi proses produktif, seiring dengan transisi pemahaman mitologis menuju ontologis. Manusia mulai berhasrat untuk menciptakan dan menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru. Tenaganya mulai dikerahkan untuk mengeksplorasi alam, mendapat pengetahuan, dan selanjutnya mengembangkan teknik. Dorongan untuk hidup menyebabkan manusia memproduksi barang-barang dan metode-metode baru, hingga terciptalah kehidupan industrial.
Lain halnya pada tahap fungsionalis, proses vegetasi tetap berjalan dengan tujuan untuk kemakmuran suatu kelompok. Sedangkan, tahap produksi-konsumsi difungsikan untuk kekayaan, dan—yang saya rasa paling mulia dari yang lain-lain, ialah—pemerataan kesejahteraan secara jasmani dan rohani. Mengingatkan saya pada pepatah adiluhung Jawa: “sugih tanpa banda”. Tujuan yang terakhir disebutkan ini sekiranya menjadi pijakan ilmu psikologi di bidang industri dan organisasi untuk mendalami hubungan antarindividu dalam organisasi, perhatian pada perilaku dan kesejahteraan (well-being). Dalam suatu bagian di buku ini juga, van Peursen ternyata menjelaskan bahwa etos dan etika kerja juga merupakan produk kebudayaan manusia dalam setiap proses pekerjaannya. Hal ini yang kemudian diterangkan oleh van Peursen sebagai “perencanaan atau strategi menyeluruh yang mengkaitkan daya kekuatan alam dan masyarakat dengan bidang tanggung jawab manusiawi” (hlm. 193).
Jadi, ini membuktikan bahwa produk kebudayaan benar-benar tidak terhenti pada penciptaan berupa objek-objek kebudayaan, melainkan juga berlaku pada subjek kebudayaan yang hasilnya bisa kita lihat pada penjelasan di atas: perilaku, etos dan etika kerja, dan kesejahteraan.
***
Akhirul kalam, sekali lagi yang perlu dipahami dari apa yang telah dituliskan semua oleh van Peursen bukanlah soal membuat komparasi antar-kebudayaan; tidak dimaksudkan juga untuk mengkotak-kotakkan kebudayaan masyarakat satu dengan lainnya, karena van Peursen sebelumnya telah menyadari bahwa kebudayaan ialah nisbi; dan tanpa perlu dengan sengaja menisbikannya. Dari tulisannya pun, van Peursen juga tidak mengeksklusifkan pendeskripsian satu atau dua kebudayaan tertentu; ia melampirkan hasil-hasil kebudayaan dan kesenian sebagai bukti konkret berfungsinya tiga strategi kebudayaan yang diperkenalkannya.
Buku ini, setidak-tidaknya memberikan telaah yang cukup komprehensif untuk pelbagai ragam kebudayaan bahkan kesenian, tentunya dengan disesuaikan pada konteks zamannya. Tidak berhenti di situ saja, van Peursen memberikan pengharapan pada buku ini yakni agar khalayak mampu mengikuti ke mana arah “pendulum” perkembangan kebudayaan, dan atas kesadaran diri dapat melakukan pembelajaran kebudayaan lewat pengajaran, pendidikan, serta melalui sentuhan di bidang agama.
Judul : Strategi Kebudayaan (Judul asli: Cultuur In Stroomversnelling & Strategie Van De Cultuur)
Penulis : Prof. Dr. C.A. van Peursen
Penerjemah : Dick Hartoko
Penerbit : BPK Gunung Mulia; Yayasan Kanisius
Halaman : 239 halaman
Tahun terbit : 1976 (Cetakan pertama)