“Cinema is the ultimate pervert art. It doesn’t give you what you desire, it tells you how to desire.”
–Slavoj Žižek
Saya merasa perlu mengawali tulisan ini dengan kutipan dari pernyataan filsuf kontroversial Slovenia, Slavoj Žižek. Pernyataan tersebut ia lontarkan sebagai pembuka dalam film yang ia bintangi The Pervert’s Guide to Cinema (2006). Dalam pemahaman Žižek, hasrat (desire) bukanlah sesuatu yang alamiah. Hasrat bukan sesuatu yang taken for granted, mak beduduk, tertanam sejak lahir. Hasrat, harus diajarkan kepada manusia, disuntikkan, ditanamkan.
Premis mengenai hasrat ini menjadi pisau pembedah yang Žižek gunakan sepanjang film berdurasi dua setengah jam yang disutradarai Sophie Fiennes tersebut. Menurut Žižek, sebagai salah satu bentuk seni, film adalah piranti ampuh untuk mengajarkan bagaimana manusia seharusnya berhasrat. Sepanjang film, Žižek mendedah bagaimana film-film termahsyur sepanjang sejarah peradaban manusia mengajarkan cara berhasrat. Film adalah ejawantah dari hasrat manusia, dan di saat yang sama merupakan instrumen pembentuk hasrat manusia.
Gagasan Žižek akan saya gunakan sebagai pisau pembedah yang sama untuk mencoba memahami film bertajuk Yang Kini Terbaring (2017) karya sutradara cum sastrawan Fauzan ‘Bandot’ Erlangga. Saya tidak akan banyak membahas perkara sinematografi. Substance is the only matter, jadi saya hanya akan membahas substansi tentang hasrat yang banyak berkelindan dalam film panjang pertama sutradara jebolan Kampus Sewon ini.
Hasrat Binatang Jalang
Singkat cerita, di penghujung film Yang Kini Terbaring, dikisahkan seorang tokoh bernama Jembeng menjadi talent dari sebuah talk show fiktif bertajuk Ziarah Pujangga. Dengan bantuan seorang dukun, Jembeng dirasuki oleh ruh Chairil. Jadilah ia malih rupa bertindak, berbicara, dan berpikir seperti Chairil.
Maka, sosok Sang Binatang Jalang menjadi benang merah utama narasi film ini. Bukan berarti Bandot berusaha membuat sebuah biopik tentang Chairil. Ia tidak sedang berusaha meneruskan tongkat estafet yang pernah dipegang oleh almarhum Sjumandjajai. Bandot tidak pula sedang menglorifikasi sosok Chairil. Ia merasa sosok seperti Chairil telah hilang dari kancah kesusastraan Indonesia. Dalam film Yang Kini Terbaring, sosok Chairil Anwar adalah instrumen untuk membedah sekaligus mengajarkan hasrat kepada manusia Indonesia.
Menilik sejenak ke belakang. Sosok penyair bohemian ini sempat menjadi instrumen pembedah hasrat saat muncul dalam film Ada Apa Dengan Cinta (2002) karya sutradara Rudy Soedjarwo. Tokoh Cinta (Dian Sastrowardoyo) merupakan representasi borjuis masyarakat kelas menengah yang hidup di masa awal reformasi. Sebagai sebuah bangsa yang baru saja terlepas dari belenggu rezim otoriter selama 32 tahun, Indonesia circa 2000an mengalami semacam gagap hasrat. Pada masa Orde Baru, jurang perbedaan kelas sosial begitu lebar menganga, dan dijaga agar tetap lebar. Pascaruntuhnya rezim, mereka bebas melepaskan hasrat yang sebelumnya direpresi Orde Baru.
Dengan membaca puisi-puisi Chairil, dan jatuh cinta pada sosok Rangga (Nicholas Saputra), siswa bertampang bohemian yang menghayati puisi Chairil Anwar, anak seorang pegawai negeri yang dipecat rezim karena dituding kiriii, Cinta sedang melakukan rekonsiliasi dua kutub kelas: borjuis dan proletar.
Melalui glorifikasi sosok Chairil, serta kisah asmara Cinta dan Rangga, AADC sedang mengajarkan hasrat kepada para penontonnya: harus ada rekonsiliasi antara kasta kelas di Indonesia. Saya perlu menekankan kata “glorifikasi” karena pasca-AADC, tiba-tiba cowok-cowok di masa itu berbondong-bondong macak seperti Rangga. Tiba-tiba menenteng buku Aku karya Sjuman Djaja menjadi sangat keren. Beredar di kawasan buku bekas Kwitang menjadi aksi yang begitu puitis. Jika AADC tidak berhasil mengajarkan hasrat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka paling tidak ia berhasil menyuntikkan hasrat kepada anak-anak muda kala itu untuk menghayati barisan kata-kata, dan menjalani romansa persis Cinta dan Rangga.
Untuk menggambarkan kondisi negara yang baru saja mendapat kebebasan a la reformasi, Rudy Soedjarwo banyak bermain tanda. Perkara kekiri-kirian yang tabu dibicarakan, ditandakan dengan narasi Rangga dan keluarganya yang tercerai-berai karena pilihan hidup sang bapak yang tergambar sebagai seorang kiri pelawan. Tidak perlu menggambarkan dengan rigid teori agen dan struktur untuk menjabarkan bagaimana negara menggunakan organisasi paramiliter dan preman sebagai alat membasmi yang kiri (atau tertuding kiri). Cukup hadirkan adegan beberapa orang naik motor RX King melontarkan molotov ke rumah Rangga, ini sudah terbaca jelas: beginilah cara negara menumpas ide yang tidak sepaham dengan narasi mereka.
Sepanjang filmnya, Bandot juga bermain tanda untuk menyatakan keluh kesahnya tentang berbagai peristiwa di Indonesia.
Bermain Tanda
Satu benda yang menurut saya menjadi fokus menarik sepanjang film adalah sebuah kotak ajaib bernama televisi. Baik dalam adegan di sebuah rumah tanpa dindingiii; adegan di sebuah truk tempat anak-anak belajar sejarah; maupun adegan saat Jembeng syuting talk show yang tentu saja untuk kebutuhan tayangan televisi.
Di tengah masyarakat dengan minat baca yang amat rendahiv, televisi adalah hasrat terpendam masyarakat Indonesia, sekaligus alat pengajar hasrat paling wahid. Secara spesifik dalam adegan siswa-siswi yang bersekolah di sebuah truk, Bandot dengan cerdas bermain tanda: seorang guru yang menyetir truk, harus mendiktekan narasi sejarah kekejaman PKI versi negara melalui microphone. Para siswa, harus duduk tenang di bak belakang, menyimak penjelasan sang guru melalui layar empat belas inci, mereka harus menempatkan tangan mereka di depan mata: pura-pura menjadikannya sebagai kacamata. Kacamata kuda tepatnya.
Tanda yang terbaca jelas: narasi komunisme yang selalu didengungkan negara adalah sebentuk kebohongan yang dianggap sebagai cara terbaik memajukan bangsa. Padahal, semuanya demi kepentingan elite tertentu. Masyarakat harus menelan mentah-mentah semua kebohongan narasi itu, menatapnya lekat-lekat sebagai sebuah kebenaran. Walau sesungguhnya kebenaran yang dimaksud buram, parsial, dan salah kaprah karena dipandang setengah-setengah. Persis yang diwakilkan oleh para siswa berkacamata kuda.
Bandot, dengan cukup berani juga menyentil banalnya kehidupan beragama dalam masyarakat Indonesia. Dalam adegan audisi di depan gawang sepak bola, para calon talent untuk Ziarah Pujangga selalu dihadapkan pada dua pertanyaan awal yang sama: siapa namamu, dan apa agamamu? Sebagai sebuah negara mayoritas Muslim, seorang perempuan yang menjawab beragama Kristen harus segera menyingkir dari audisi. Sementara Jembeng, meski salah membacakan doa mau tidur saat diminta membaca Al-Fatihah, pada akhirnya justru memenangkan audisi. Inilah kehidupan beragama bangsa Indonesia. Imajinasi kesalehan ditandakan dengan apa yang sekadar tampak di permukaan, bukan berdasarkan laku dan tindakan.
Meski mungkin sudah terlalu usang dieksploitasi, saya merasa gatal dan perlu untuk sekali lagi mengutip gagasan Marx tentang “religion is the opium of the people.” Di tengah segala karut marut bangsa; oligarki yang menguasai segala aspek perpolitikan; korporasi menjadi penguasa yang sebenarnya; gembel-gembel yang tidur di bangku terminal, agama menjadi semacam candu yang menjaga mereka tetap hidup dengan tabah. Agama menjadi semacam penghiburan bagi mereka yang lelah.
Sosok Ibu dalam adegan rumah tak berdinding digambarkan sebagai sosok manusia yang lelah bukan kepalang. Mukanya memancarkan nestapa, tumpukan baju rombeng bekas selalu tersampir di punggungnya. Di tengah lelah karena menghidupi dua anak: Jembeng si calon talent talk show, dan Timun si siswa berkacamata kuda, sosok Ibu digambarkan begitu tabah, menghadapi cobaan hidup sebagai yang miskin dan terpinggirkan dengan jalan sembahyang. Kekhusyukannya menghadap Yang Maha Kuasa adalah candu yang ampuh menyingkirkan segala rasa gulana.
Sounds of Silence
Menjadi orang miskin di negeri ini memang menyedihkan. Sudah jatuh, tertimpa tangga (sosial) pula. Miskin berarti menjadi bulan-bulanan kelas menengah: disalahkan sebagai tidak berpendidikan dan malas bekerja. Menjadi manusia miskin di Indonesia berarti harus selalu siap menjadi sasaran perundungan oleh kelas menengah dan menjadi korban kekuasaan. Padahal sebenarnya mereka tentu saja adalah korban dari pemiskinan struktural serta abainya kelas menengah dalam perkara keadilan sosial.
Sosok Sang Ibu, adalah ejawantah dari hasrat kaum miskin yang kini harus terbaring di antara karut marut negara. Ia mewakili kaum miskin yang harus hidup dalam sunyi. Menahan nestapa dengan kesalehan dan ketaatan. Menghibur diri dengan mengamati lekat-lekat tayangan televisi. Sang Ibu tersenyum getir saat melihat Jembeng, anak sulungya muncul di talk show Ziarah Pujangga.
Ia tak mampu berlangganan televisi kabel berbayar dan mengikuti tiap episode Parts Unknown yang diasuh Anthony Bourdain. Tak pernah ia mengerti bagaimana plating dan menata makanan di piring untuk kemudian difoto ukuran 1:1 dan diunggah ke media sosial sebagai wujud aktualisasi diri. Namun, Bandot memang brengsek. Sutradara ini menabrakkan kontradiksi tersebut: Sang Ibu yang hanya mampu menghidangkan karbohidrat berupa sepotong singkong rebus, digambarkan sedang menatanya di piring gembreng dalam ritual plating yang rupawan, lengkap dengan saus dan garnish a la koki restoran bintang lima. Negara tak mampu menjamin harga pangan yang terjangkau. Dalam sunyi karena tak mampu menebus nutrisi yang layak, sang Ibu dan kaum miskin harus menghibur diri sendiri dengan memperindah tampilan makanan sederhana.
Setali tiga uang dengan Istirahatlah Kata-Kata (2017) karya Yosep Anggi Noen yang menggambarkan sisi sunyi penyair protes Wiji Thukul melalui alur film yang lambat dan minim dialog, Bandot menghadirkan sosok Chairil Anwar dengan cara yang sama. Film ini berjalan dengan lambat, minim dialog. Beberapa adegan bahkan divisualkan dengan penampakan film noir yang abstrak dan membingungkan. Inilah suara-suara dari kesunyian. Di luar segala kebrengsekannya sebagai penyair bohemian yang bertindak suka-suka, Chairil adalah seorang manusia yang kesepian. Ia merasa terasing di zaman perang yang menurutnya mementahkan segala kemanusiaan.
Melalui sosok Chairil dan puisi-puisinya, Bandot menyuarakan kesunyian kaum miskin nusantara: di zaman gonjang-ganjing saat politik menjadi panglima, ada suara sunyi kaum papa yang tercekik, menjadi korban, tak mampu berbuat apapun selain pasrah dan berdoa.
Menara Gading
Saya tentu saja tetap harus menyelipkan kritik dan beberapa masukan untuk film panjang Bandot ini. Di dalam sebuah wawancara di QZ, ketika ditanya perihal kemenangan Donald Trump dalam pemilu Amerika Serikat, Žižek menyatakan bahwa ini bukan karena keampuhan kaum kanan-liberal belaka. Lebih lanjut, Žižek menuding kemenangan Trump juga merupakan kesalahan kaum kiri-liberal yang di zaman sekarang kebingungan dengan pergerakan mereka. Kaum kiri yang konon mendambakan imajinasi utopis tentang revolusi, menurut Žižek tidak berpikir keras dan bekerjasama mewujudkan revolusi tersebut. Alih-alih, mereka justru sibuk bertengkar di menara gading, tidak turun ke akar rumput, serta sibuk membuat jokes dan meme tentang Trump. Sementara Trump dan kaum kanan, turun ke akar rumput dengan janji-janji surgawi.
Menurut hemat saya, dalam satu atau dua tahun ke depan, Bandot akan wara-wiri ke berbagai festival film melalui karyanya Yang Kini Terbaring. Tidak bisa dimungkiri, karya Bandot akan tersegmentasi dalam label art house film atau “film alternatif” yang diputar di kalangan terbatas para moviegoers sidestream.
Saya cemas jika kemudian harus mengamini gagasan Žižek, bahwa film ini sekalipun menghadirkan narasi tentang suara sunyi kaum subaltern, tidak akan mampu disaksikan oleh para kaum subaltern itu sendiri. Bukan, saya tentu saja tidak bermaksud jumawa merendahkan kaum papa sebagai orang-orang yang tak sanggup menonton dan memahami film abstrak tipikal art house. Tetapi, data memang berbicara bahwa film terbanyak yang ditonton masyarakat Indonesia adalah film mainstream “non-mikirv, dan tayangan terfavorit televisi adalah sinetron dengan skenario tidak masuk akal.
Pada akhirnya, film ini akan disaksikan kaum terdidik yang—seringnya—berdiam dengan nyaman di menara gading. Saya khawatir, narasi tentang kaum papa yang terdiam tanpa daya dalam sunyi ini hanya akan menjadi tontonan pemuas hasrat “perlawanan” kaum terdidik. Meminjam frase yang dilontarkan tokoh Jembeng saat terasuki ruh Chairil: “manifestasi dari pikiran yang tiada arti.”
Atau, justru film ini akan menjadi instrumen yang mengajarkan hasrat kepada para kaum terdidik di menara gading. Bahwa dalam waktu yang singkat, mereka boleh memperdebatkan apapun substansi film karya Bandot—persis seperti saat mereka memperdebatkan sosok Wiji Thukul dalam film karya Anggi Noenvi—di menara gading. Namun, jangan lupakan hasrat yang kini terbaring di kolong-kolong jembatan atau rumah petak triplek tiga kali empat meter pinggir rel kereta.
Setelah film ini tuntas proses produksi, diputar dan diperdebatkan di ruang alternatif, adalah menjadi tugas Bandot, saya, dan kita semua untuk memikirkan: bagaimana mengakomodasi suara-suara sunyi dan hasrat kaum papa yang kini terbaring di akar rumput.
Catatan akhir
i Sutradara kawakan yang sempat menuntaskan skenario film tentang Chairil Anwar, namun keburu berpulang sebelum memfilmkannya. Skenario tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku bertajuk Aku.
ii Walau dalam amatan Ariel Heryanto, sosok Rangga sebenarnya tidak lekat dengan Chairil Anwar. Alih-alih, Rangga adalah ejawantah dari aktivis Soe Hok Gie. Lihat Ariel Heryanto, Identitas & Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2015, Kepustakaan Populer Gramedia).
iii Setting rumah tanpa dinding yang sengaja ditampakkan sebagai sebuah studio ini setali tiga uang dengan konsep yang digunakan Lars Von Trier dalam Dogville (2003). Tujuannya adalah menerabas batas antara yang fiksi dan nyata: bahwa studio, film, dan dunia nyata adalah sesuatu yang tak terpisahkan lagi.
iv Berdasarkan studi “Most Literated Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016. Dalam perihal minat membaca, dari 61 negara, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60. http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia
v Data tahun 2016 menunjukkan 15 film terlaris dengan jumlah penonton terbanyak merupakan judul-judul film yang secara umum dikategorikan sebagai ‘film mainstream’, bukan ‘film alternatif’. Data diambil dari http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2016#.WJfoQjgYOxs
vi Pascamasuknya film Istirahatlah Kata-Kata karya Yosep Anggi Noen ke jaringan bioskop besar, perdebatan sengit sempat terjadi. Antara kubu yang menganggap film ini bentuk komodifikasi sosok Thukul—terwakilkan oleh sastrawan Saut Situmorang http://pocer.co/read/wiji-thukul, dengan kubu yang menganggap film ini justru cara jitu mengkampanyekan sosok penyair protes Thukul ke masyarakat luas—diwakilkan oleh Windu Jusuf http://cinemapoetica.com/istirahatlah-kata-kata-wiji-thukul-di-antara-kudatuli-dan-tujuh-ribu-hari-yang-raib/. Bandingkan dengan ulasan Aloysius Bram yang tidak terseret arus perdebatan dan fokus membahas film ini dari kacamata kajian film https://serunai.co/2017/01/22/jalan-sunyi-seorang-cadel/.