Serunai.co
Ulasan

Tragedi itu Bernama “Gejolak Makam Keramat”

Satu hal yang dibutuhkan agar tragedi tidak terulang adalah dengan meretrospeksi memori. Dengan memori kolektif, tragedi pun berhasil dipertunjukan.

Sekitar 200 kursi penonton disediakan di depan panggung di dalam gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH UGM) pada Kamis (13/7) malam. Beberapa kursi lainnya yang berada di atas panggung disusun melingkar dengan tiang lampu neon putih bercabang tiga sebagai titik pusatnya.

Di sebelah pojok kiri panggung, grup musik Keroncong Agawe Santosa membawa syahdu suasana dengan berbagai tembang keroncong, mengiringi penonton yang baru masuk ke dalam gedung. PKKH UGM malam itu menjadi tempat diselengarakannya pertunjukan teater Gejolak Makam Keramat.

Pukul 19.30 WIB, sang sutradara memberi sambutan sekaligus prolog yang sedikit banyak isinya tertulis pada keterangan di papan acara. Konsep pertunjukan teater kali ini adalah teater semaan, yakni teater yang ditampilkan dengan menyimak teks naskah sebagai rujukan utamanya. Pemeran tidak perlu menghafal isi dari teks naskah. Pemeran tetap bisa membawa dan membacakan naskah teks pada saat pertunjukan berlangsung.

Mula-mula penonton dibagi menjadi empat kelompok yang masing-masing diberi nama: Ambarawa, Jefferson, Bulu, dan Plantungan. Nama kelompok tersebut mewakili nama penjara yang pernah menjadi tempat beberapa pemeran pertunjukan malam itu ditahan. Nama kelompok Ambarawa mengacu pada Benteng Pendem Ambarawa (Fort Willem I Ambarawa) di Ambarawa, Jawa Tengah, Jefferson mengacu pada Jefferson Library yang dahulu berada di seberang Pasar Kranggan Yogyakarta, Bulu adalah nama Lembaga Pemasyarakatan di Semarang, Jawa Tengah, sedangkan Plantungan mengacu pada penjara khusus wanita di Kendal, Jawa Tengah. Sebagian masih digunakan hingga sekarang, sebagian lagi sudah tidak dapat diakses. Jefferson termasuk golongan yang tidak dapat diakses.

Sesudah dibagi menjadi empat kelompok, penonton diajak melakukan simulasi pertunjukan. Simulasi yang berjalan kurang lebih 20 menit ini diarahkan oleh Achi Pradipta dan Leilani Hermiasih. Simulasi dilakukan agar penoton ikut membantu jalannya pertunjukan dengan menjadi pengisi musik latarnya, antara lain dengan menirukan beragam bunyi seperti suara ledakan, suara berisik dan suara-suara yang lainnya.

Baca Juga:  Paduan Suara Dialita: Mewujudkan Dunia Milik Kita

Cerita yang dibawakan berawal dari kegelisahan Bongkrek terhadap suara mesin pabrik yang tidak henti-hentinya bekerja. Tidak hanya mengeluhkan suara mesin pabrik, Bongkrek yang diperankan oleh Ibu Katmi juga membela tanah serta sebuah makam keramat yang berada di desanya. Cerita dikembangkan dengan memunculkan beberapa permasalahan sosial dan politik yang menjadi pancingan menuju titik klimaks pertunjukan.

Gejolak Makam Keramat mengadaptasi naskah berjudul “Leng” karya Bambang Widoyo SP dari kelompok Teater Gapit Solo yang ditulis pada 1987. Naskah aslinya disesuaikan untuk mendapatkan konteks permasalahan kekinian. Naskah asli yang memakai bahasa Jawa gaya Solo halus pun diubah menjadi bahasa Jawa gaya Yogyakarta ngoko agar lebih terkesan merakyat dan realis.

Faktor yang menjadi alasan lain penggubahan adalah pemerannya, terutama pemeran dari Teater Tamara. Nama Tamara sendiri adalah akronim dari Tak Mudah Menyerah. Pemeran dari Teater Tamara terdiri dari para perempuan penyintas tragedi 1965 berusia lanjut yang memiliki memori lebih kuat ketimbang apa yang tertulis pada naskah aslinya. Oleh karena itu, pertunjukan didasarkan pada kenyataan yang terjadi sebenarnya, sehingga tidak keseluruhannya berjalan sesuai dengan naskah asli.

Melalui latihan sebanyak 20 kali dan sekali gladi resik, pertunjukan yang awalnya berjalan dengan kekhawatiran—mengingat pertunjukan ini mengikutsertakan pemeran berusia lanjut—akhirnya berjalan tanpa kendala serius.

Berbagai konflik berlatar tragedi 65 juga disampaikan melalui pembacaan surat berita yang didapat dari hasil riset koran Harian Rakyat yang diterbitkan pada September 1965. Karena mengangkat salah satu peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia, pertunjukan Gejolak Makam Keramat dapat dikatakan sebagai teater tragedi.

Teater tragedi adalah teater yang mempertunjukan suatu kegetiran, ketegangan dan cenderung tragis. Dalam konteks sejarahnya, pertunjukan Gejolak Makam Keramat memainkan suatu “lakon tragedi” yang pernah terjadi di tahun 1965. Pemilihan waktu pertunjukan yang bertepatan dengan malam Jum’at Kliwon dalam sistem penanggalan Jawa semakin membuat kesan menakutkan bagi yang mempercayai hal tersebut.

Teater yang disutradarai oleh dua orang, Agung Kurniawan dan Irfanuddien Ghozali, ini menempatkan penonton sebagai aktor dalam pertunjukan. Penonton dibutuhkan dalam pertunjukan karena memang ada kebutuhan untuk “menyebarkan” memori kolektif secara langsung bersama dengan yang memiliki “memori lebih kuat” di panggung. Penonton, selain menjadi pengisi iringan suara pertunjukan, juga diberi peran masuk dalam dialog pertunjukan. Sebanyak empat orang yang mempresentasikan empat suku dengan logat bahasa yang berbeda di Indonesia (logat Batak, Betawi, Madura dan Surabaya) turut ikut ambil bagian dalam dialog pertunjukan.

Baca Juga:  Monita Tahalea: Memandang Waktu dari Balik Jendela

Gejolak Makam Keramat dikemas dengan gaya realis. Teater realis sendiri pada awalnya diperkenalkan oleh Hendrik Ibsen melalui karyanya A Doll’s House yang mengambarkan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan secara dramaturgis. Teater realis, menurut Ibsen, mempertunjukan apa yang terjadi di atas panggung senyata-nyatanya. Teater “menirukan” kenyataan.

Pada dasarnya, semua hal yang realis adalah semua yang berkaitan dengan karakter kehidupan senyata-nyatanya dan digambarkan sesuai dengan keadaan yang benar terjadi. Salah satu yang acapkali menjadi persoalan dalam pertunjukan teater realis terletak pada persoalan teknisnya. Semua bentuk teater pasti berbenturan dengan hal ini. Pada teater realis, permasalahan teknisnya lebih dapat terlihat dan terbaca. Bagaimana pemeran dapat menirukan apa yang sebenar-benarnya terjadi, serta bagaimana tata panggung (dekorasi, tata cahaya, dan properti) dapat membentuk gambaran “tiruan” atas kenyataan yang telah terjadi, menjadi satu unsur yang penting untuk diamati.

Pertunjukan Gejolak Makam Keramat dapat dikatakan sebagai pertunjukan yang tidak bergerak. Tidak ada pergantian latar tempat. Tidak ada gerak pemeran yang mengharuskan ia berpindah tempat. Gerakan pemeran yang hanya berupa duduk dan berdiri membuat pertunjukan menjadi kian membosankan. Kebosanan kian menjadi-jadi bagi penonton yang tidak mengerti bahasa Jawa yang menjadi bahasa dominan dalam pertunjukan ini.

Faktor pemeran yang berusia lanjut disini dapat dimaklumi. Namun, jika para pemeran yang benar-benar mengalami peristiwa kelam ini sudah dapat dikatakan “realis”, maka secara secara teknis, pertunjukan Gejolak Makam Keramat belum realis karena belum bisa memberi kesan yang benar-benar realis, terutama pada tata panggungnya. Terlalu riskan untuk menggunakan lampu neon, bohlam dan kerumuman orang di panggung sebagai maksud simbolisnya.

Pertunjukan Gejolak Makam Keramat sebetulnya ingin menunjukkan sebuah pertunjukan dengan menggunakan naskah yang melampaui naskah aslinya. Saat latihan pun banyak dilakukan peninjauan dan perbaikan ulang supaya bisa “memanggil dan menghadirkan” memori kolektif mereka. Di sini, unsur memori terhadap peristiwa aktual menjadi kuncinya. Cerita yang melibatkan unsur memori yang kuat dianggap sudah dapat membangun setiap pembawaan di tiap adegannya.

Baca Juga:  Suno: Ketika Semua Bisa Mencipta Musik

Berbagai gubahan dan penyesuaian lainnya juga dilakukan agar pertunjukan ini tetap menjadi relevan untuk dibawakan di zaman sekarang. Empat suku dengan logat bahasa yang berbeda, pembacaan berita dan penyampaian informasi orang hilang menjadi kunci untuk memahami dramaturgi pertunjukan teater. Identitas yang dibawakan secara implisit oleh empat suku yang berbeda logatnya menunjukan bagaimana pertunjukan ini ingin mengajak penonton mengingat-ingat kembali agar melawan kelupaan.

Betapapun, pertunjukan ini adalah usaha retrospeksi memori yang baik. Dengan pendekatan metode “memori kolektif”, tragedi pun berhasil dihadirkan dalam pertunjukan Gejolak Makam Keramat tanpa ada gangguan atau pembubaran di saat pertunjukan. Hal ini tidak bisa lepas dari siasat publikasi yang dilakukan tim kerja pertunjukan.

Tidak ada embel-embel mengenai tragedi ataupun sejarah kelam yang tampak jelas pada posternya. Keterangan gambar yang tertera pun hanya (sedikit) menceritakan akan berjalan seperti apa pertunjukan ini. Namun, jika diamati dengan lebih teliti, ada sedikit clue pada posternya. Berbeda dengan pertunjukan yang biasanya mengharuskan membayar dengan jumlah nominal yang jelas, Gejolak Makam Keramat kali ini hanya menerima donasi. Harga donasi sebagai tiket masuk yang bernominal Rp 6.500 – Rp 65.000 pada poster pertunjukan itu menjadi clue tak langsung.

Pertunjukan bergaya realis ini sangat baik untuk dijadikan bahan retrospeksi memori bagi yang menontonnya. Apalagi jika proses kerjasama dengan Forum Film Dokumenter (FFD) dalam pendokumentasiannya berhasil. Bukan tidak mungkin anda, kita, mereka, atau siapapun akan menjadi tahu banyak mengenai peristiwa kelam ini.

Tugas, yang juga untuk generasi anak-cucu kita belum berakhir, kamerad!

Related posts

Enola Holmes dan Perjalanan Menuju Arketipe Holmesian yang Lebih Relevan

Fahmi Shiddiq

Joyland: Mewujudkan Festival Musik yang Inklusif

Aris Setyawan

Paralaks Fiksi: Sebuah Usaha Memperkenalkan “Origami Tubuh”

Muhammad Nur Alam Tejo

1 komentar

Kaleidoskop Budaya : Melawan Hegemoni Sejarah Palsu Orde Baru (#Genosida65 Januari-Agustus ’17) – Genosida 1965-1966 15 Agustus 2017 at 03:29

[…] Tragedi itu Bernama “Gejolak Makam Keramat” – Arie Kamajaya  […]

Reply

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy